Oleh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil.
48. SUNGAI FURAT MENAMPAKKAN TIMBUNAN EMAS.
“Tidak akan tiba hari Kiamat hingga sungai Furat [1] menampakkan timbunan emas. Manusia saling membunuh karenanya. Dari setiap seratus orang, terbunuh sembilan puluh sembilan orang. Setiap orang dari me-reka berkata, ‘Semoga akulah yang beruntung (mendapatkannya).’” [2].
Yang dimaksud dengan timbunan emas ini bukanlah minyak bumi, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh Abu ‘Ubayyah di dalam ta’liqnya (komentar) terhadap kitab an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim karya Ibnu Katsir [3], hal itu berdasarkan berbagai alasan.
“Senantiasa manusia berbeda-beda lehernya di dalam mencari dunia… sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Hampir saja sungai Furat kering dan menampakkan timbunan emas, barangsiapa mendatanginya, maka janganlah ia mengambilnya sedikit pun.” [4].
Siapa saja memaknai ‘timbunan emas’ dengan minyak bumi, maka pendapatnya mengharuskan larangan mengambil minyak bumi tersebut, padahal tidak seorang pun berpendapat demikian. [5].
Al-Hafizh Ibnu Hajar menguatkan bahwa sebab larangan mengambil emas adalah karena mengambilnya dapat menimbulkan fitnah dan pembunuhan. [6].
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir].
48. SUNGAI FURAT MENAMPAKKAN TIMBUNAN EMAS.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَحْسِرَ الْفُرَاتُ عَنْ جَبَلٍ مِنْ ذَهَبٍ، يَقْتَتِلُ النَّاسُ عَلَيْهِ، فَيُقْتَلُ مِنْ كُلِّ مِائَةٍ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَيَقُولُ كُلُّ رَجُلٍ مِنْهُمْ: لَعَلِّي أَكُونُ أَنَا الَّذِي أَنْجُو.
Yang dimaksud dengan timbunan emas ini bukanlah minyak bumi, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh Abu ‘Ubayyah di dalam ta’liqnya (komentar) terhadap kitab an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim karya Ibnu Katsir [3], hal itu berdasarkan berbagai alasan.
- Pertama : Nash dalam hadits mengatakan, “Timbunan emas.” Sementara minyak bumi bukanlah emas secara hakiki, karena emas adalah barang tambang yang telah dikenal.
- Kedua : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa air sungai menampakkan timbunan emas, sehingga manusia bisa melihatnya, sementara minyak bumi dikeluarkan dari dalam bumi melalui berbagai alat dengan jarak yang sangat dalam.
- Ketiga : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan kekhususan kepada sungai Furat, tidak kepada lautan atau sungai-sungai. Adapun minyak bumi bisa kita saksikan dikeluarkan dari lautan begitu juga dikeluarkan dari dalam bumi dan berbagai tempat lainnya.
- Keempat : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia akan saling membunuh karena harta simpanan tersebut. Kita tidak menyaksikan bahwa mereka saling membunuh ketika keluarnya minyak bumi dari sungai Furat atau selainnya. Bahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang orang yang mendatangi harta simpanan tersebut agar tidak mengambilnya sedikit pun. Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat lain dari Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu, dia berkata:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ مُخْتَلِفَةُ أَعْنَاقُهُمْ فِي طَلَبِ الدُّنْيَا... إِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: يُوشِكُ الْفُرَاتُ أَنْ يَحْسِرَ عَنْ جَبَلٍ مِنْ ذَهَبٍ، فَمَنْ حَضَرَهُ فَلاَ يَأْخُذْ مِنْهُ شَيْئًا.
Siapa saja memaknai ‘timbunan emas’ dengan minyak bumi, maka pendapatnya mengharuskan larangan mengambil minyak bumi tersebut, padahal tidak seorang pun berpendapat demikian. [5].
Al-Hafizh Ibnu Hajar menguatkan bahwa sebab larangan mengambil emas adalah karena mengambilnya dapat menimbulkan fitnah dan pembunuhan. [6].
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir].
_______
Footnote
[1]. (اَلْفُرَاتُ) dengan huruf Fa yang didhammahkan, setelah huruf ra yang tidak bersyiddah, dan di akhir-
nya huruf ta, ada yang mengatakan: Kata tersebut adalah lafazh asing yang diarabkan, (اَلْفُرَاتُ) me-nurut bahasa Arab maknanya adalah air tawar, (اَلْفُرَاتُ) adalah sungai besar, hulunya menurut orang yang menyangkanya berasal dari Armenia, kemudian masuk ke negeri Romawi sampai ke Mal-thiyyah, lalu mengalir ke sungai-sungai kecil kemudian melewati ar-Riqqah, lalu menjadi sungai-sungai yang mengairi perkebunan di Irak. Bertemu dengan sungai Dajlah di Wasith, lalu keduanya keluar di teluk Arab (dahulunya laut India).
Lihat Mu’jamul Buldaan (IV/241-242).
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab Khuruujun Naar (XIII/78, al-Fat-hul), dan Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraatus Saa’ah (XVIII/18, Syarh an-Nawawi).
[3]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/208), tahqiq Muhammad Fahim Abu Ubayyah.
[4]. Shahiih Muslim
[5]. Lihat Ithaaful Jamaa’ah (I/489-490).
[6]. Lihat Fat-hul Baari (XIII/81).
http://almanhaj.or.id/content/758/slash/0/46-49-tanah-arab-kembali-hijau-banyak-hujan-sedikit-tumbuh-tumbuhan-binatang-buas-berbicara/
Footnote
[1]. (اَلْفُرَاتُ) dengan huruf Fa yang didhammahkan, setelah huruf ra yang tidak bersyiddah, dan di akhir-
nya huruf ta, ada yang mengatakan: Kata tersebut adalah lafazh asing yang diarabkan, (اَلْفُرَاتُ) me-nurut bahasa Arab maknanya adalah air tawar, (اَلْفُرَاتُ) adalah sungai besar, hulunya menurut orang yang menyangkanya berasal dari Armenia, kemudian masuk ke negeri Romawi sampai ke Mal-thiyyah, lalu mengalir ke sungai-sungai kecil kemudian melewati ar-Riqqah, lalu menjadi sungai-sungai yang mengairi perkebunan di Irak. Bertemu dengan sungai Dajlah di Wasith, lalu keduanya keluar di teluk Arab (dahulunya laut India).
Lihat Mu’jamul Buldaan (IV/241-242).
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab Khuruujun Naar (XIII/78, al-Fat-hul), dan Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraatus Saa’ah (XVIII/18, Syarh an-Nawawi).
[3]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/208), tahqiq Muhammad Fahim Abu Ubayyah.
[4]. Shahiih Muslim
[5]. Lihat Ithaaful Jamaa’ah (I/489-490).
[6]. Lihat Fat-hul Baari (XIII/81).
http://almanhaj.or.id/content/758/slash/0/46-49-tanah-arab-kembali-hijau-banyak-hujan-sedikit-tumbuh-tumbuhan-binatang-buas-berbicara/
0 komentar:
Posting Komentar