Beliau adalah Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Sallam bin ‘Abdillah. Berkat keilmuannya, beliau pun mendapatkan julukan sebagai imam, hafizh dan mujtahid. Ayahnya adalah budak milik salah seorang penduduk Harah. Meskipun budak, ternyata ayahnya sangat perhatian terhadap perkembangan keilmuan anaknya. Saat Abu ‘Ubaid bersama dengan putra gurunya, diriwayatkan bahwa sang ayah keluar dari rumahnya dan berkata kepada gurunya, “Ajarilah Al-Qasim. Sesungguhnya dia anak yang cerdas”.
Setelah selesai mempelajari dasar-dasar ilmu sesuai keinginan bapaknya yang tidak bisa berbahasa Arab, maka beliau mulai melakukan rihlah fi thalabil ilmi, yaitu menempuh perjalanan untuk mencari ilmu di negeri seberang menuju Bashrah dan Kufah. Di sana, beliau memperdalam bahasa Arab, ilmu fikih dan hadits, kepada para ulama Daulah Islamiyah yang ada di kedua kota tersebut.
Ulmu yang dimilikinya tersebut, telah mengantarkan beliau menjabat sebagai qadhi di kota Tursus pada masa pemerintahan Tsabit bin Nasr bin Malik. Dan beliau tetap menjadi qadhi di kota tersebut selama Tsabit bin Nasr menjabat sebagai wali kota Tursus, yaitu dari tahun 192 H sampai 210 H, atau sekitar 18 tahun. Kemudian pada tahun 210 H beliau kembali ke kota Baghdad dan memulai berhubungan dengan Abdullah bin Thahir, yang menjabat sebagai gubernur di Khurasan.
Hubungan Abu ‘Ubaid dengan ‘Abdullah bin Thahir sangat dekat sehingga membuat ‘Abdullah bin Thahir sangat mencintai Abu ‘Ubaid. Ada beberapa kisah yang menjadi bukti kecintaan tersebut. Dikisahkan, ketika Abu ‘Ubaid bersama Abdullah bin Thahir, datanglah seseorang yang bernama Abu Dalf. Kedatangannya ini meminta agar ia bisa belajar kepada Abu ‘Ubaid selama 2 bulan. Abu ‘Ubaid pun menyanggupi permintaan tersebut, kemudian bermukimlah beliau di rumah Abu Dalf selama 2 bulan. Begitu waktu belajar telah usai, ketika hendak kembali, Abu Dalf memberikan uang kepada beliau sebesar 30.000 dirham. Akan tetapi beliau tidak mau menerimanya seraya berkata, Sesungguhnya aku berada di sisi orang yang telah mencukupi kebutuhanku. Dan tidak menjadikan diriku membutuhkan kepada yang lainnya. Dan aku tidak akan mengambil sesuatu yang mengurangiku.
Ketika beliau telah kembali dari kediaman Abu Dalf, maka ‘Abdullah bin THahir menyerahkan kepada beliau 30.000 Dirham sebagai gantinya. Sehingga beliau berkata, Adapun sekarang, wahai Amir, maka aku terima (uang ini). Akan tetapi engkau telah mencukupkan aku dengan kebaikan yang telah engkau berikan kepadaku. Aku berniat menggunakan uang ini untuk membali sebuah senjata dan seekor kuda. Yang keduanya, nanti akan aku pergunakan untuk berjaga-jaga di perbatasan, agar engkau mendapatkan pahala yang lebih banyak, wahai Amir. Kemudian beliau pun mewujudkan keinginannya tersebut.
Terdapat juga kisah lainnya yang menceritakan:
Mendengar jawaban itu, marahlah Ishaq. Waktu itu ‘Abdullah bin Thahir telah biasa memberikan gaji kepada Abu ‘Ubaid sebanyak 2.000 dirham setiap bulannya. Penolakan beliau ini kemudian menjadi sebab Ishaq bin Ibrahim menghentikan gaji tersebut dan mengirimkan laporan mengenai apa yang telah dilakukan Abu ‘Ubaid. Untuk menjawab risalah laporan ini, ‘Abdullah bin Thahir berkata," Sungguh benar yang dikatakan Abu ‘Ubaid. Dan sesungguhnya akau akan menambah gajinya, disebabkan dengan yang dia lakukan. Maka berikanlah yang telah tahan dari gajinya dan tunaikanlah haknya".
Demikian ini dua dari beberapa kisah yang menunjukkan kedekatan Abu ‘Ubaid dengan ‘Abdullah bin Thalhah yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Khurasan. Bahkan ‘Abdullah bin Thahir pernah memujinya dengan berkata,' Manusia ada empat, Ibnu ‘Abbas pada zamannya, Asy-Sya’bi pada zamannya, Qasim bin Ma’an pada zamannya, dan Abu ‘Ubaid pada zamannya".
Hubungan beliau dengan Gubernur ‘Abdullah bin Thahir tidak hanya sampai di situ, bahkan ketika Abu ‘Ubaid mengarang sebuah buku, beliau menghadiahkan buku tersebut untuk ‘Abdullah bin Thahir. Sebagaimana ketika menulis kitab Gharibul Hadits, beliau menunjukkan kitab tersebut kepada ‘Abdullah bin Thahir, sehingga Gubernur Khurasan ini berkata, Sesungguhnya, akal yang telah membawa seseorang untuk menulis kitab yang sangat berharga ini, tidaklah pantas sibuk mencari ma’isyah (penghasilan).
Dan ‘Abdullah bin Thahir akhirnya menambahkan gajinya menjadi 10.000 dirham. Bahkan setelah beliau meninggal, gaji tersebut masih terus diterima oleh anak-anaknya.
Meski menetap di Baghdad, bukan berarti beliau meninggalkan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu -red. jilbab). Beliau waktu tidak memangku jabatan, akan tetapi, beliau menyusun dan menulis kitab, dan ini memudahkan beliau untuk terus belajar kepada para ulama di berbagai tempat.
Di antara (tempat) yang beliau datangi adalah Mesir pada tahun 213 H, Damaskus, Marwa dan kota yang lainnya. Kemudian pada tahun 219 H, beliau pergi ke Mekkah, dan terus berada di kota tersebut sampai wafatnya. Mengapa beliau memilih tetap tinggal di Mekkah dan tidak kembali ke Baghdad?
Coba kita perhatikan kisah beliau ini. Ketika selesai melakukan haji, beliau berniat segera kembali ke Irak pada pagi hari. Abu ‘Ubaid menuturkan kisahnya, Aku bermimpi melihat Rasulullah dalam keadaan duduk Dan di atas kepala beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada orang-orang yang menutupi beliau. Banyak orang yang masuk dan menemuinya memberi salam dan berjabat tangan dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap aku berusaha mendekat, ada yang berusaha menghalangiku. Maka aku katakan kepada mereka, “mengapa kalian tidak membarkan aku bertemu dengan Rasulullah?”.
Mereka menjawab, “Tidak, Demi Allah, engkau tidak boleh masuk dan tidak boleh memberi salam kepadanya, sedangkan engkau akan keluar besok pagi menuju Irak.” Mendengar jawaban itu, maka aku katakan kepada mereka, “Kalo begitu, aku tidak akan kembali ke Irak.” Maka mereka pun mengambil janjiku, kemudian membiarkan aku untuk menemui Rasulullah. Aku pun masuk dan memberi salam dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjabat tanganku. Dan akhirnya aku membatalkan niatku kembali ke Irak.
Disamping kedekatannya dengan Gubernur Khurasan waktu itu, sebagai seorang ulama yang beraqidah shahihah yang kuat berpegang kepada Sunnah, beliau juga menjadi salah seorang yang sangat dekat hubungannya dengan Imam Ahmad bin Hambal. Sehingga tidak heran, jika beliau banyak terpengaruh oleh Imam Ahmad, terutama dalam masalah aqidah, sehingga beliau terkenal sangat keras terhadap ahlul bid’ah.
Sikap keras beliau terhadap ahlul bid’ah, dapat kita lihat dalam perkataan-perkataan beliau, "Aku telah banyak menyertai manusia, dan berbicara kepada ahli kalam, tidaklah aku dapatkan suatu kaum yang lebih lemah, lebih kotor, lebih menjijikkan dan lebih dungu melebihi orang-orang Rafidhah. Dan sungguh, aku telah memangku jabatan hakim di perbatasan, maka aku keluarkan dari mereka tiga orang, yaitu dua orang Jahmiyah dan satu orang Rafidhah atau dua orang Raidhah, dan satu orang jahmiyyah. Aku katakan kepada mereka, orang seperti kalian tidak pantas untuk berada di perbatasan".
Kedekatan beliau dengan Imam Ahmad, jiga dapat dilihat dari perkataan Imam Ahmad tentang dirinya, Abu ‘Ubaid adalah seorang yang setiap harinya menambah untuk kami, kecuali kebaikan".
Setelah selesai mempelajari dasar-dasar ilmu sesuai keinginan bapaknya yang tidak bisa berbahasa Arab, maka beliau mulai melakukan rihlah fi thalabil ilmi, yaitu menempuh perjalanan untuk mencari ilmu di negeri seberang menuju Bashrah dan Kufah. Di sana, beliau memperdalam bahasa Arab, ilmu fikih dan hadits, kepada para ulama Daulah Islamiyah yang ada di kedua kota tersebut.
Ulmu yang dimilikinya tersebut, telah mengantarkan beliau menjabat sebagai qadhi di kota Tursus pada masa pemerintahan Tsabit bin Nasr bin Malik. Dan beliau tetap menjadi qadhi di kota tersebut selama Tsabit bin Nasr menjabat sebagai wali kota Tursus, yaitu dari tahun 192 H sampai 210 H, atau sekitar 18 tahun. Kemudian pada tahun 210 H beliau kembali ke kota Baghdad dan memulai berhubungan dengan Abdullah bin Thahir, yang menjabat sebagai gubernur di Khurasan.
Hubungan Abu ‘Ubaid dengan ‘Abdullah bin Thahir sangat dekat sehingga membuat ‘Abdullah bin Thahir sangat mencintai Abu ‘Ubaid. Ada beberapa kisah yang menjadi bukti kecintaan tersebut. Dikisahkan, ketika Abu ‘Ubaid bersama Abdullah bin Thahir, datanglah seseorang yang bernama Abu Dalf. Kedatangannya ini meminta agar ia bisa belajar kepada Abu ‘Ubaid selama 2 bulan. Abu ‘Ubaid pun menyanggupi permintaan tersebut, kemudian bermukimlah beliau di rumah Abu Dalf selama 2 bulan. Begitu waktu belajar telah usai, ketika hendak kembali, Abu Dalf memberikan uang kepada beliau sebesar 30.000 dirham. Akan tetapi beliau tidak mau menerimanya seraya berkata, Sesungguhnya aku berada di sisi orang yang telah mencukupi kebutuhanku. Dan tidak menjadikan diriku membutuhkan kepada yang lainnya. Dan aku tidak akan mengambil sesuatu yang mengurangiku.
Ketika beliau telah kembali dari kediaman Abu Dalf, maka ‘Abdullah bin THahir menyerahkan kepada beliau 30.000 Dirham sebagai gantinya. Sehingga beliau berkata, Adapun sekarang, wahai Amir, maka aku terima (uang ini). Akan tetapi engkau telah mencukupkan aku dengan kebaikan yang telah engkau berikan kepadaku. Aku berniat menggunakan uang ini untuk membali sebuah senjata dan seekor kuda. Yang keduanya, nanti akan aku pergunakan untuk berjaga-jaga di perbatasan, agar engkau mendapatkan pahala yang lebih banyak, wahai Amir. Kemudian beliau pun mewujudkan keinginannya tersebut.
Terdapat juga kisah lainnya yang menceritakan:
Abul ‘Abbas Ahmad bin Yahya Tsa’lab berkata, Suatu ketika Thahir bin ‘Abdullah bin Thahir datang dari Khurasan untuk melaukan haji, dan beliau singgah di rumah Ishaq bin Ibrahim. Dia pun mengundang para ulama untuk menemui Thahir bin ‘Abdullah bin Thahir. Maka, datanglah para ulama hadits dan fiqh, di antaranya Ibnul ‘Arabi dan Abu Nasr sahabat al Asma’i. Begitu pula Abu ‘Ubaid, diminta untuk datang menemuinya, akan tetapi beliau menolak menghadiri undangan tersebut. Beliau pun berkata, Ilmu itulah yang harus didatangi.
Mendengar jawaban itu, marahlah Ishaq. Waktu itu ‘Abdullah bin Thahir telah biasa memberikan gaji kepada Abu ‘Ubaid sebanyak 2.000 dirham setiap bulannya. Penolakan beliau ini kemudian menjadi sebab Ishaq bin Ibrahim menghentikan gaji tersebut dan mengirimkan laporan mengenai apa yang telah dilakukan Abu ‘Ubaid. Untuk menjawab risalah laporan ini, ‘Abdullah bin Thahir berkata," Sungguh benar yang dikatakan Abu ‘Ubaid. Dan sesungguhnya akau akan menambah gajinya, disebabkan dengan yang dia lakukan. Maka berikanlah yang telah tahan dari gajinya dan tunaikanlah haknya".
Demikian ini dua dari beberapa kisah yang menunjukkan kedekatan Abu ‘Ubaid dengan ‘Abdullah bin Thalhah yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Khurasan. Bahkan ‘Abdullah bin Thahir pernah memujinya dengan berkata,' Manusia ada empat, Ibnu ‘Abbas pada zamannya, Asy-Sya’bi pada zamannya, Qasim bin Ma’an pada zamannya, dan Abu ‘Ubaid pada zamannya".
Hubungan beliau dengan Gubernur ‘Abdullah bin Thahir tidak hanya sampai di situ, bahkan ketika Abu ‘Ubaid mengarang sebuah buku, beliau menghadiahkan buku tersebut untuk ‘Abdullah bin Thahir. Sebagaimana ketika menulis kitab Gharibul Hadits, beliau menunjukkan kitab tersebut kepada ‘Abdullah bin Thahir, sehingga Gubernur Khurasan ini berkata, Sesungguhnya, akal yang telah membawa seseorang untuk menulis kitab yang sangat berharga ini, tidaklah pantas sibuk mencari ma’isyah (penghasilan).
Dan ‘Abdullah bin Thahir akhirnya menambahkan gajinya menjadi 10.000 dirham. Bahkan setelah beliau meninggal, gaji tersebut masih terus diterima oleh anak-anaknya.
Meski menetap di Baghdad, bukan berarti beliau meninggalkan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu -red. jilbab). Beliau waktu tidak memangku jabatan, akan tetapi, beliau menyusun dan menulis kitab, dan ini memudahkan beliau untuk terus belajar kepada para ulama di berbagai tempat.
Di antara (tempat) yang beliau datangi adalah Mesir pada tahun 213 H, Damaskus, Marwa dan kota yang lainnya. Kemudian pada tahun 219 H, beliau pergi ke Mekkah, dan terus berada di kota tersebut sampai wafatnya. Mengapa beliau memilih tetap tinggal di Mekkah dan tidak kembali ke Baghdad?
Coba kita perhatikan kisah beliau ini. Ketika selesai melakukan haji, beliau berniat segera kembali ke Irak pada pagi hari. Abu ‘Ubaid menuturkan kisahnya, Aku bermimpi melihat Rasulullah dalam keadaan duduk Dan di atas kepala beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada orang-orang yang menutupi beliau. Banyak orang yang masuk dan menemuinya memberi salam dan berjabat tangan dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap aku berusaha mendekat, ada yang berusaha menghalangiku. Maka aku katakan kepada mereka, “mengapa kalian tidak membarkan aku bertemu dengan Rasulullah?”.
Mereka menjawab, “Tidak, Demi Allah, engkau tidak boleh masuk dan tidak boleh memberi salam kepadanya, sedangkan engkau akan keluar besok pagi menuju Irak.” Mendengar jawaban itu, maka aku katakan kepada mereka, “Kalo begitu, aku tidak akan kembali ke Irak.” Maka mereka pun mengambil janjiku, kemudian membiarkan aku untuk menemui Rasulullah. Aku pun masuk dan memberi salam dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjabat tanganku. Dan akhirnya aku membatalkan niatku kembali ke Irak.
Disamping kedekatannya dengan Gubernur Khurasan waktu itu, sebagai seorang ulama yang beraqidah shahihah yang kuat berpegang kepada Sunnah, beliau juga menjadi salah seorang yang sangat dekat hubungannya dengan Imam Ahmad bin Hambal. Sehingga tidak heran, jika beliau banyak terpengaruh oleh Imam Ahmad, terutama dalam masalah aqidah, sehingga beliau terkenal sangat keras terhadap ahlul bid’ah.
Sikap keras beliau terhadap ahlul bid’ah, dapat kita lihat dalam perkataan-perkataan beliau, "Aku telah banyak menyertai manusia, dan berbicara kepada ahli kalam, tidaklah aku dapatkan suatu kaum yang lebih lemah, lebih kotor, lebih menjijikkan dan lebih dungu melebihi orang-orang Rafidhah. Dan sungguh, aku telah memangku jabatan hakim di perbatasan, maka aku keluarkan dari mereka tiga orang, yaitu dua orang Jahmiyah dan satu orang Rafidhah atau dua orang Raidhah, dan satu orang jahmiyyah. Aku katakan kepada mereka, orang seperti kalian tidak pantas untuk berada di perbatasan".
Kedekatan beliau dengan Imam Ahmad, jiga dapat dilihat dari perkataan Imam Ahmad tentang dirinya, Abu ‘Ubaid adalah seorang yang setiap harinya menambah untuk kami, kecuali kebaikan".
Begitupula Abu ‘Ubaid, beliau sangat menghormati Imam Ahmad, hingga beliau mengatakan, Sungguh aku telah duduk bersama Abu Yusuf Al-Qadhi, Muhammad bin Hasan, Yahya bin Said dan Abdurrahman bin Mahdi, maka tidak ada yang lebih aku hormati ketika membahas suatu masalah melebihi Abu Abdillah Ahmad bin Hambal.
Abu ‘Ubaid juga berkata, Ilmu itu berakhir pada empat orang. Yaitu Ahmad bin Hambal yang paling faqih, Ibnu Abi Syaibah yang paling hafal, Ali bin Madini yang paling mengetahui, dan Yahya bin Main yang paling rajin menulis".
Dan juga beliau mengatakan, Aku tidak pernah melihat seorang yang paham terhadap Sunnah melebihi Ahmad bin Hambal".
Diringkas dari Muqaddimah Tahqiq kitab At-Thahur karya Imam Abu ‘Ubaid Qasim bin Sallam, oleh Syaikh Abu ‘Ubaidah Mansyur bin Hasan Alu Salman, cet. I tahun 1414H, penerbit As-Shahabah, Jeddah.
http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/14/al-imam-abu-ubaid-al-qasim-bin-sallam/
Abu ‘Ubaid juga berkata, Ilmu itu berakhir pada empat orang. Yaitu Ahmad bin Hambal yang paling faqih, Ibnu Abi Syaibah yang paling hafal, Ali bin Madini yang paling mengetahui, dan Yahya bin Main yang paling rajin menulis".
Dan juga beliau mengatakan, Aku tidak pernah melihat seorang yang paham terhadap Sunnah melebihi Ahmad bin Hambal".
Diringkas dari Muqaddimah Tahqiq kitab At-Thahur karya Imam Abu ‘Ubaid Qasim bin Sallam, oleh Syaikh Abu ‘Ubaidah Mansyur bin Hasan Alu Salman, cet. I tahun 1414H, penerbit As-Shahabah, Jeddah.
http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/14/al-imam-abu-ubaid-al-qasim-bin-sallam/
0 komentar:
Posting Komentar