Tanda Tanda Besar Kiamat (9) : Keluarnya Api yang Mengumpulkan Manusia

Oleh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil.

Dan di antara tanda-tanda Kiamat adalah keluarnya api yang sangat besar, ia adalah tanda terakhir dari tanda-tanda besar Kiamat, dan sebagai tanda per-tama yang mengisyaratkan tegaknya Kiamat.

1. TEMPAT KELUARNYA
Banyak riwayat yang menunjukkan bahwa api tersebut akan keluar dari Yaman, yaitu dari jurang ‘Adn.[1].

Berikut ini kami sebutkan beberapa hadits yang menjelaskan tempat keluarnya api ini, sekaligus sebagai dalil atas kemunculannya.

(a). Dijelaskan dalam hadits Hudzaifah bin Asid Radhiyallahu anhu ketika menyebutkan tanda-tanda (besar) Kiamat, di dalamnya ada sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

وَآخِرُ ذَلِكَ نَارٌ تَخْرُجُ مِنَ الْيَمَنِ، تَطْرُدُ النَّاسَ إِلَى مَحْشَرِهِمْ.

“Dan yang terakhirnya adalah api yang keluar dari Yaman, menggiring manusia ke tempat mereka berkumpul.” [HR. Muslim][2].

(b). Dalam riwayat beliau pula, dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu :

وَنَارٌ تَخْرُجُ مِنْ قُعْرَةِ عَدْنٍ تُرَحِّلُ النَّاسَ.

“Dan api yang keluar dari jurang ‘Adn yang menggiring manusia.[3].

(c). Imam Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Akan keluar api dari Hadramaut atau laut Hadramaut sebelum hari Kiamat yang akan menggiring manusia.’”[4].

(d). Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa ‘Abdullah bin Salam ketika masuk Islam bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang beberapa masalah, di antaranya: “Apakah tanda pertama datangnya Kiamat?” Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Adapun tanda Kiamat yang pertama adalah api yang mengumpulkan manusia dari timur ke barat.[5].

Cara menggabungkan antara riwayat yang menjelaskan bahwa api ini adalah tanda besar Kiamat yang terakhir dan riwayat yang menjelaskan bahwa ia adalah tanda Kiamat yang paling pertama ialah bahwa dikatakan terakhir dilihat dari tanda-tanda lain yang disebutkan bersamanya di dalam hadits Hudzaifah, dan dikatakan yang pertama karena ia adalah tanda Kiamat pertama mengingat tidak ada lagi kehidupan dunia setelahnya, bahkan dengan berakhir-nya tanda Kiamat ini terjadilah peniupan sangkakala, berbeda dengan tanda-tanda Kiamat lainnya yang disebutkan dalam hadits Hudzaifah, di mana setelah tanda-tanda Kiamat tersebut masih ada urusan dunia.[6].

Adapun riwayat yang menjelaskan bahwa api tersebut keluar dari Yaman , dan di dalam sebagian riwayat lain api tersebut menggiring manusia dari timur ke barat, maka hal itu dapat dijawab dengan beberapa jawaban:
  • Pertama: Mungkin saja menggabungkan di antara riwayat ini, yaitu api tersebut keluar dari jurang ‘Adn sama sekali tidak bertentangan dengan pengumpulan manusia dari timur sampai barat. Hal itu karena pemulaan keluarnya dari lembah ‘Adn, lalu jika api tersebut telah keluar maka akan menyebar ke seluruh bagian bumi, dan yang dimaksud dengan menggiring manusia dari timur sampai barat adalah pengumpulan yang bersifat menyeluruh, tidak khusus di bagian timur dan barat saja.[7].
  • Kedua: Bahwa ketika api itu menyebar, maka untuk pertama kalinya ia akan mengumpulkan penduduk bumi yang berada di bagian timur. Hal itu diperkuat oleh kenyataan bahwa permulaan fitnah selalu datang dari arah timur. Adapun menjadikan kesudahan penyebarannya di barat karena Syam berada di bagian barat apabila dikaitkan dengan daerah yang berada di bagian timur.
  • Ketiga: Kemungkinan api yang diungkapkan dalam hadits Anas hanya merupakan kiasan atas fitnah yang menyebar serta menimbulkan banyak kejelekan dan menyala-nyala bagaikan nyala api. Fitnah tersebut permulaannya dari timur hingga membinasakan sebagian besar penduduknya. Manusia ber-kumpul dari arah timur sampai ke Syam dan Mesir, dan keduanya berada di arah barat, sebagaimana hal itu disaksikan beberapa kali dari zaman Jingis Khan dan yang setelahnya.
Adapun api yang diungkapkan dalam kedua hadits Hudzaifah bin Asid dan Ibnu ‘Umar, maka sesungguhnya api itu adalah api yang sebenarnya (yang akan keluar), [8] wallahu a’lam.

2. CARA API TERSEBUT MENGUMPULKAN MANUSIA
Ketika api yang besar tersebut muncul dari Yaman, maka ia akan menyebar di bumi dan akan menggiring manusia ke tempat mereka dikumpulkan, dan orang-orang yang digiring itu terbagi menjadi tiga kelompok:
  1. Kelompok yang penuh suka cita, mereka makan, mengenakan pakaian, dan menaiki kendaraan.
  2. Kelompok yang terkadang berjalan dan dan terkadang menaiki kendaraan, mereka semua saling bergantian dengan satu unta, sebagaimana akan dijelaskan di dalam hadits, “Dua orang di atas unta, dan tiga orang di atas unta…” sampai beliau bersabda, “Dan sepuluh orang di atas kendaraan saling bergantian.” Hal itu terjadi karena sedikitnya kendaraan ketika itu.
  3. Kelompok yang digiring oleh api, mereka digiring api dari belakang dan dari segala penjuru ke tempat mereka dikumpulkan, barangsiapa terlambat, maka ia akan dimakan oleh api. [9].
Di antara hadits-hadits yang menjelaskan cara api ini menggiring manusia adalah:
  • Pertama: Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى ثَلاَثٍ: طَرَائِقَ رَاغِبِيْنَ وَرَاهِبِيْنَ، وَاثْنَانِ عَلَى بَعِيْرٍ، وَثَلاَثَةٌ عَلَـى بَعِيْرٍ، وَأَرْبَعَةٌ عَلَى بَعِيْرٍ، وَعَشْرَةٌ عَلَى بَعِيْرٍ، وَيَحْشُرُ بَقِيَّتُهُمُ النَّـارُ، تَقِيْلُ مَعَهُـمْ حَيْثُ قَالُوا، وَتَبِيْتُ مَعَهُمْ حَيْثُ بَاتُوْا، وَتُصْبِحُ مَعَهُمْ حَيْثُ أَصْبَحُوْا، وَتَمْسِي مَعَهُمْ حَيْثُ أَمْسَوا.

“Manusia itu dikumpulkan menjadi tiga kelompok: kelompok orang yang bersuka ria, kelompok yang merasa takut, dan kelompok di mana dua orang di atas unta, tiga orang di atas unta, empat orang di atas unta, dan sepuluh orang di atas unta, dan selebihnya digiring oleh api, api ini akan selalu bersama mereka di saat mereka istirahat, di saat mereka bermalam, di waktu pagi, dan di waktu sore hari.” [10].
  • Kedua: Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تُبْعَثُ نَارٌ عَلَـى أَهْلِ الْمَشْرِقِ فَتَحْشُرُهُمْ إِلَى الْمَغْرِبِ تَبِيْتُ مَعَهُمْ حَيْثُ بَـاتُوا وَتَقِيْلُ مَعَهُمْ حَيْثُ قَالُوا وَيَكُوْنُ لَهَا مَـا سَقَطَ مِنْهُمْ وَتَخْلِفُ تَسُوْقُهُمْ سَوْقَ الْجَمَلِ الْكَسِيْرِ.

‘Akan dikeluarkan api pada penduduk yang ada di timur, lalu api tersebut menggiring mereka ke barat, ia akan selalu bersama mereka saat mereka bermalam, saat mereka beristirahat, apa saja yang jatuh dan tertinggal dari mereka menjadi miliknya (dimakannya), ia berada di belakang dan menggiring mereka bagaikan digiringnya unta yang patah kakinya.’” [11].
  • Ketiga: Diriwayatkan dari Hudzaifah bin Asid Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Abu Dzarr Radhiyallahu anhu berdiri, lalu beliau berkata:

يَا بَنِيْ غِفَارٍ! قُوْلُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا، فَإِنَّ الصَّادِقَ الْمَصْدُوْقَ حَدَّثَنِيْ أَنَّ النَّاسَ يُحْشَرُوْنَ عَلَـى ثَلاَثَةِ أَفْوَاجٍ، فَوْجٌ رَاكِبِيْنَ طَاعِمِيْنَ كَاسِيْنَ، وَفَوْجٌ يَمْشُوْنَ وَيَسْعَوْنَ، وَفَوْجٌ تَسْحَبُهُمُ الْمَلاَئِكَةُ عَلَى وُجُوْهِهِمْ وَتَحْشُرُهُمْ إِلَى النَّارِ فَقَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ: هَذَانِ قَدْ عَرَفْنَاهُمَا، فَمَا بَالُ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ وَيَسْعَوْنَ؟ قَالَ: يُلْقِـي اللهُ اْلآفَةَ عَلَى الظَّهْرِ حَتَّى لاَ يَبْقَى ظَهْرٌ، حَتَّـى إِنَّ الرَّجُلَ لَيَكُوْنُ لَهُ الْحَدِيْقَةُ الْمُعْجِبَةُ فَيُعْطِيْهَا بِالشَّارِفِ ذَاتَ الْقَتَبِ، فَلاَ يَقْدِرُ عَلَيْهَا.

“Wahai Bani Ghifar! Bersatulah dan janganlah kalian berselisih, karena ash-Shaadiqul Mashduuq Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda kepadaku, ‘Sesungguhnya manusia akan dikumpulkan dalam tiga kelompok: satu kelompok yang mengenakan pakaian, diberi makan, dan berkendaraan, satu kelompok yang berjalan dan berlari, dan satu kelompok (lain) yang wajah-wajah mereka diseret oleh para Malaikat dan digiring menuju api,’ lalu seseorang dari mereka berkata, ‘Dua kelompok ini sudah kami ketahui, maka bagaimana keadaan orang yang berjalan dan berlari?’ Beliau menjawab, ‘Allah mengirimkan penyakit (yang mematikan) pada binatang tunggangan mereka hingga tidak ada yang tersisa, bahkan seseorang memiliki kebun yang sangat bagus akan ditukarnya dengan unta betina gemuk yang memiliki pelana, akan tetapi orang tersebut tidak bisa melakukannya (me-milikinya).[12].

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir].
_______
Footnote
[1]. ‘Adn, ia adalah sebuah kota terkenal di Yaman, yaitu di sebelah selatan Jazirah Arab, daerah ter-sebut terletak di lautan Hadramaut, sekarang dinamakan lautan Arab.
Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Atsar (III/192).
[2]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah (XVIII/35, Syarh an-Nawawi).
[3]. Ibid.
[4]. Musnad Imam Ahmad (VII/133, no. 5146), Ahmad Syakir berkata, “Sanadnya shahih.” Dan at-Tirmidzi (VI/463-464, Tuhfatul Ahwadzi).
Al-Albani berkata, “Shahih.” Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (III/203, no. 3603).
[5]. Shahiih al-Bukhari, kitab Ahaadiitsul Anbiyaa', bab Khalqu Adam wa Dzurriyyatuhu (VI/362, al-Fat-h, no. 3329).
[6]. Fat-hul Baari (XIII/82).
[7]. Fat-hul Baari (XIII/82).
[8]. Fat-hul Baari (XI/378-379) dengan sedikit perubahan.
[9]. Lihat an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/230-231).
[10]. Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab al-Hasyr (XI/377, al-Fat-h, no. 6522), dan Shahiih Muslim, kitab al-Jannah wa Shifatu Na’imihaa, bab Fanaa-ud Dun-yaa wa Bayaanul Hasyri Yaumal Qiyaamah (XVII/194-195, Syarh an-Nawawi).
[11]. HR. Ath-Thabrani dalam al-Kabiir dan al-Ausath dengan perawinya yang tsiqat. Majma-uz Zawaa-id (VIII/12).
Dan diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (IV/548), beliau berkata, “Hadits ini shahih, akan tetapi keduanya tidak meriwayatkannya,” adz-Dzahabi menyepakati keshahihannya.
[12]. Musnad Imam Ahmad (V/164-165, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal), Sunan an-Nasa-i, kitab al-Janaa-iz, bab al-Ba’tsu (IV/116-117), Mustadrak al-Hakim (IV/564), al-Hakim berkata, “Sanad hadits ini shahih kepada al-Walid bin Jami’, akan tetapi keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.”
Adz-Dzahabi berkata dalam ringkasannya terhadap kitab al-Mustadrak, “Muslim pernah meriwayat-kan hadits al-Walid sebagai penguat, dan an-Nasa-i menjadikannya sebagai hujjah.”
Kami katakan, “Perawi dalam sanad an-Nasa-i adalah tsiqat, di dalamnya ada al-Walid bin Jami’, Ibnu Ma’in dan al-‘Ajali mentsiqatkannya, dan Imam Ahmad juga Abu Dawud berkata, “La ba’sa bihi.” Abu Hatim berkata, “Shaalihul Hadiits.” Ibnu Hajar berkata, “Shaaduq Yuham.”
Lihat Miizaanul I’tidaal (IV/337), Tahdziibut Tahdziib (XI/138-139), dan Taqriibut Tahdziib (II/333).

http://almanhaj.or.id/content/703/slash/0/pasal-kesembilan-tempat-keluarnya-api-cara-api-tersebut-mengumpulkan-manusia/.

3. BUMI TEMPAT BERKUMPUL
Pada akhir zaman manusia digiring ke Syam, yaitu tempat berkumpulnya manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai hadits shahih, di antaranya:
  • Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma ketika menjelaskan keluarnya api, di dalamnya diungkapkan: beliau berkata, kami bertanya, “Wahai Rasulullah! Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Hendaklah kalian berkumpul di Syam. [1].
  • Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Hakim bin Mu’awiyah al-Bahzi, dari ayahnya… (lalu beliau menuturkan hadits, dan di dalamnya ada sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:)

هَا هُنَا تُحْشَرَوْنَ، هَا هُنَا تُحْشَرَوْنَ، هَا هُنَا تُحْشَرَوْنَ (ثَلاَثًا)؛ رُكْبَانًا، وَمُشَاةً، وَعَلَى وُجُوْهِكُمْ.

“Di tempat inilah kalian akan dikumpulkan, di tempat inilah kalian akan dikumpulkan, di tempat inilah kalian akan dikumpulkan (sebanyak tiga kali); dengan berkendaraan, berjalan dan dengan diseret di atas wajah-wajah kalian.”Ibnu Abi Bakir rahimahullah [2] berkata, “Lalu beliau memberikan isyarat ke arah Syam, kemudian berkata, ‘Kesinilah kalian akan dikumpulkan.’”[3].
  • Dijelaskan dalam riwayat at-Tirmidzi, dari Bahz bin Hakim dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kemanakah engkau akan memerintahkanku?’ Beliau menjawab, ‘Ke sana,’ (beliau memberikan isyarat ke arah Syam).” [4].
  • Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

سَتَكُوْنَ هِجْرَةٌ بَعْدَ هِجْرَةٍ، يَنْحَازُ النَّاسُ إِلَى مُهَاجِرِ إِبْرَاهِيْمَ، لاَ يَبْقَى فِـي اْلأَرْضِ إِلاَّ شِرَارُ أَهْلِهَا، تَلْفِظُهُمْ أَرْضُوْهُمْ تَقْذَرُهُمْ نَفْسُ اللهِ، تَحْشُرُهُمُ النَّارُ مَعَ الْقِرَدَةِ وَالْخَنَازِيْرِ، تَبِيْتُ مَعَهُمْ إِذَا بَاتُوْا وَتَقِيْلُ مَعَهُمْ إِذَا قَالُوْا، وَتَأْكُلُ مَنْ تَخَلَّفَ.

‘Akan ada hijrah setelah hijrah, manusia pergi menuju tempat hijrah Nabi Ibrahim Alaihissallam, tidak tersisa di muka bumi kecuali orang-orang yang jelek, bumi-bumi tempat mereka berpijak akan melemparkan mereka, demikian pula Dzat Allah membenci mereka, api akan mengumpulkan mereka bersama kera dan babi, api akan selalu bersama mereka ketika mereka bermalam, atau ketika mereka beristirahat, dan apa itu akan memakan orang yang tertinggal.’ [5]. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Diungkapkan dalam tafsir Ibnu Uyainah dari Ibnu ‘Abbas, “Barangsiapa meragukan bahwa mahsyar itu di sini, yakni Syam, maka bacalah permulaan surat al-Hasyr. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu bersabda kepada mereka, ‘Keluarlah kalian!’ Mereka bertanya, ‘Kemana?’ Beliau menjawab, ‘Ke bumi tempat berkumpul.’”[6].

Yang menjadi sebab dijadikannya Syam sebagai tempat berkumpul karena keamanan dan keimanan pada akhir zaman ketika banyak fitnah berada di Syam.

Telah diriwayatkan berbagai hadits shahih yang menjelaskan keutamaan untuk tinggal di Syam.

Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abud Darda' Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بَيْنَمَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ رَأَيْتُ عَمُوْدَ الْكِتَابِ اُحْتُمِلَ مِنْ تَحْتِ رَأْسِيْ، فَظَنَنْتُ أَنَّهُ مَذْهُوْبٌ بِهِ فَأَتْبَعْتُهُ بَصَرِيْ فَعُمِدَ بِهِ إِلَى الشَّامِ، أَلاَ وَإِنَّ اْلإِيْمَانَ حِيْنَ تَقَعُ الْفِتَنُ بِالشَّامِ.

‘Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba saja aku melihat halaman al-Kitab (al-Qur-an) di bawah kepalaku, lalu aku mengira bahwa ia dibawa pergi, kemudian mataku terus mengikutinya, sehingga diletakkan di Syam. Ketahuilah, sesungguhnya keimanan berada di Syam ketika banyak terjadi fitnah.’” [7].

Ath-Thabrani rahimahullah meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Hawalah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عَمُوْدًا أَبْيَضَ كَأَنَّهُ لِوَاءٌ تَحْمِلُهُ الْمَلاَئِكَةُ فَقُلْتُ: مَا تَحْمِلُوْنَ؟ قَالُوْا: عَمُوْدَ الْكِتَابِ، أُمِرْنَا أَنْ نَضَعَهُ بِالشَّامِ.

‘Ketika aku diisra'kan aku melihat sebuah lembaran putih seakan-akan ia adalah bendera yang dibawa oleh para Malaikat, lalu aku bertanya, ‘Apa yang kalian bawa?’ Mereka menjawab, ‘Lembaran kitab, kami diperintahkan untuk meletakkannya di Syam.’ [8].

Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya kepada ‘Abdullah bin Hawalah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

سَيَصِيْرُ اْلأَمْرُ إِلَى أَنْ تَكُوْنُوْا جُنُوْدٌ مُجَنَّدَةٌ: جُنْدٌ بِالشَّامِ وَجُنْدٌ بِالْيَمَنِ وَجُنْدٌ بِالْعِرَاقِ، فَقَالَ ابْنُ حَوَالَةَ: خِرْ لِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: عَلَيْكَ بِالشَّامِ، فَإِنَّهُ خِيْرَةُ اللهِ مِنْ أَرْضِهِ يَجْتَبِي إِلَيْهَا خِيْرَتَهُ مِنْ عِبَادِهِ، فَأَمَّا إِذَا أَبَيْتُمْ فَعَلَيْكُمْ بِيَمَنِكُمْ وَاسْقُوْا مِنْ غُدُرِكُمْ فَإِنَّ اللهَ k قَدْ تَوَكَّلَ لِيْ بِالشَّامِ وَأَهْلِهِ.

Kegentingan akan menjadikan kalian beberapa pasukan yang bermacam-macam: pasukan di Syam, pasukan di Yaman, dan pasukan di Irak.’ Ibnu Hawalah berkata, “Jika aku mendapatkannya, maka pilihlah (darinya) bagiku wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Hendaklah kalian berada di Syam, karena ia adalah bumi pilihan Allah yang dipilihkan bagi para hamba-Nya yang terpilih. Jika kalian tidak menginginkannya, maka tinggallah di Yaman, dan minumlah dari kolam kalian, karena sesungguh-nya Allah telah menyerahkan Syam dan penghuninya kepadaku.’[9].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendo’akan Syam dengan keberkahan, sebagaimana hal ini telah tetap dalam ash-Shahiih dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdo’a:

اَللّهُمَّ بَارِكَ لَنَا فِيْ شَامِنَا، اَللّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ يَمَنِنِا.

“Ya Allah limpahkanlah keberkahan untuk Syam kami, ya Allah limpahkanlah keberkahan untuk Yaman kami!” [10].

Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa turunnya ‘Isa Alaihissallam di akhir zaman adalah di Syam, dan di sanalah berkumpulkan kaum mukminin untuk membunuh Dajjal.

Sementara Abu ‘Ubayyah mengingkari bahwa Syam adalah tanah mahsyar, dia berkata, “Pendapat yang membatasi tanah mahsyar adalah pendapat yang tidak berdasarkan atas dalil dari al-Kitab, as-Sunnah juga ijma’, bahkan al-Qur-an al-Karim menentangnya, Allah Ta’ala berfirman:

يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ

“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain....” [Ibraahim: 48]. Maka tanah Syam yang mana yang dimaksud?![11].

Ungkapan tersebut dapat dijawab dengan banyaknya dalil yang menunjukkan bahwa tanah mahsyar adalah Syam, sebagaimana yang telah dijelaskan.

Faktor pendorong beliau mengatakan seperti itu adalah keyakinannya bahwa perhimpunan ini terjadi di akhirat dan bukan di dunia. Kami akan menjelaskan dalam pembahasan berikutnya bahwa mahsyar ini terjadi di dunia, sebagaimana dijelaskan oleh nash-nash yang shahih.

4. MAHSYAR INI TERJADI DI DUNIA
Pengumpulan yang disebutkan dalam berbagai hadits terjadi di dunia, yang dimaksud oleh hadits-hadits itu bukanlah dikumpulkannya manusia setelah hari berbangkit dari kubur. Al-Qurthubi -rahimahullah- mengatakan bahwa al-hasyr maknanya adalah berkumpul, hal itu terjadi empat kali; dua kali di dunia dan dua kali di akhirat.

Al-Hasyr di Dunia :
Pertama: Mengusir Bani Nadhir ke Syam.
Kedua: Dikumpulkannya manusia sebelum Kiamat di Syam, yaitu oleh api yang disebutkan di beberapa hadits ini.[12].

Pendapat yang menyatakan bahwa pengumpulan ini terjadi di dunia adalah sesuatu yang disepakati oleh mayoritas ulama, sebagaimana diungkapkan oleh al-Qurthubi, Ibnu Katsir, dan Ibnu Hajar. Inilah yang ditunjukkan oleh berbagai nash, sebagaimana telah dijelaskan di muka.

Sementara sebagian ulama seperti al-Ghazali [13] dan al-Hulaimi [14] berpendapat bahwa al-hasyr tidak terjadi di dunia [15], ia hanya terjadi di akhirat.

Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa sebagian pensyarah kitab al-Mashaa-biih memahami hal ini dengan dikumpulkannya manusia dari kubur mereka (setelah mereka dibangkitkan dari kubur), mereka berhujjah dengan beberapa hal:
  • Pertama: Bahwa lafazh al-hasyr ketika diungkapkan secara mutlak dalam konteks syari’at, maka maksudnya adalah dikumpulkannya mereka setelah dibangkitkan dari kubur, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
  • Kedua: Bahwa pembagian (manusia) ketika dikumpulkan dalam beberapa hadits di atas tidak tepat (tidak bisa difahami), sebab orang yang sedang berhijrah mesti dalam keadaan suka, atau khawatir, atau menggabungkan keduanya.
  • Ketiga: Bahwa digiringnya sisa manusia, sebagaimana diungkapkan (di dalam hadits), demikian pula api yang menggiring mereka ke arah tersebut, juga api yang selalu menyertai mereka hingga tidak memisahkannya adalah ungkapan yang sama sekali tidak bisa difahami, sementara kita tidak berhak untuk menghukumi adanya api yang menguasai orang-orang jelek di dunia dari keterangan yang tidak bisa dipegangi.
  • Keempat: Sesungguhnya hadits tersebut saling menjelaskan satu sama lainnya, sementara dijelaskan dalam beberapa hadits hasan dari hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari jalan lain dari ‘Ali bin Zaid, dari Aus bin Abi Aus, dari Abu Hurairah dengan lafazh, “Sekelompok di atas kendaraan, sekelompok berjalan kaki, dan sekelompok diseret mukanya,” pembagian ini sesuai dengan pembagian dalam surat al-Waaqiah, tegasnya dalam firman-Nya:

وَكُنْتُمْ أَزْوَاجًا ثَلَاثَةً

“Dan kamu menjadi tiga golongan.
” [Al-Waaqi’ah: 7][16].

Dan jawaban atas hujjah-hujjah yang mereka ungkapkan terangkum dalam beberapa penjelasan di bawah ini :
  • Pertama: Sesungguhnya berbagai dalil telah menjelaskan bahwa al-hasyr ini terjadi di dunia, sebagaimana dijelaskan pada berbagai hadits terdahulu.
  • Kedua: Bahwa pembagian yang diungkapkan di dalam surat al-Waa’qiah tidak mesti sama dengan pembagian yang diungkapkan di dalam hadits, karena pembagian yang ada di dalam hadits bertujuan menjelaskan bagaimana me-lepaskan diri dari segala fitnah, barangsiapa menggunakan kesempatan, maka dia akan berjalan dengan kendaraan yang bagus, juga perbekalan yang cukup disertai perasaan ingin segera sampai dan perasaan takut akan tempat yang ia tinggalkan, mereka adalah kelompok pertama yang diungkapkan di dalam hadits. Adapun orang yang tertinggal, kendaraan menjadi sedikit, sehingga mereka akan menggunakannya bersama-sama, mereka adalah kelompok yang kedua, sementara kelompok yang ketiga adalah yang digiring oleh api dan diseret Malaikat.
  • Ketiga: Bahwa jelas dari beberapa kesimpulan hadits bahwa yang dimaksud bukanlah api di akhirat, akan tetapi api yang keluar di dunia di mana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan peringatan atas hal itu, dan beliau menuturkan apa yang akan dilakukan oleh api tersebut di dalam berbagai hadits yang telah disebutkan.
  • Keempat: Bahwa hadits yang dijadikan hujjah oleh mereka, yaitu hadits riwayat ‘Ali bin Zaid -padahal diperselisihkan keshahihannya- sama sekali tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa al-hasyr terjadi di dunia, dan telah dijelaskan dalam hadits ‘Ali bin Zaid tersebut di dalam riwayat al-Imam Ahmad [17] bahwa mereka melindungi wajah-wajah mereka dari setiap tanah yang kasar dan duri, sementara tanah tempat manusia dikumpulkan nanti di hari Kiamat adalah tanah rata tidak ada lekukan di dalamnya, tidak ada bukit, dataran tinggi, dan tidak ada duri.[18].
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama berkata, “Dikumpulkannya ma-nusia ini terjadi di akhir dunia menjelang Kiamat, dan menjelang ditiupnya sangkakala, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Sisa dari mereka digiring oleh api yang akan selalu bersama mereka di saat istirahat, di waktu pagi, dan di waktu sore.’” [19].

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata -setelah menuturkan berbagai hadits yang menjelaskan keluarnya api sekaligus menjelaskan bahwa berkumpulnya manusia ini terjadi di dunia - : “Berbagai redaksi ini menunjukkan bahwa al-hasyr di sini adalah berkumpulnya manusia yang ada di akhir dunia dari berbagai penjuru dunia menuju satu tempat berkumpul, yaitu negeri Syam... ini semua menunjukkan bahwa pengumpulan ini terjadi di akhir zaman, di mana masih ada makanan, minuman, tunggangan di atas kendaraan yang di beli juga yang lainnya, demikian pula adanya api yang membinasakan orang-orang yang terlambat. Jika hal itu terjadi setelah ditiupnya sangkakala untuk kebangkitan, niscaya tidak ada lagi kematian, demikian pula tidak ada kendaraan yang dibeli, tidak ada makanan, tidak ada minuman juga tidak ada pakaian di padang yang luas nanti.” [20].

Adapun Al-Hasyr (berkumpulnya) manusia di Akhirat nanti, maka hal itu telah dijelaskan di berbagai hadits bahwa semua manusia, yang beriman mau-pun yang kafir akan dikumpulkan tanpa beralas kaki, telanjang, tanpa dikhitan, dan dengan bentuk asli. Dijelaskan dalam ash-Shahiih dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di hadapan kami, lalu bersabda, ‘Sesungguhnya kalian akan dikumpulkan dalam keadaan tanpa memakai alas kaki, telanjang, dan tanpa dikhitan:

كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ

“... Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya...” [Al-Anbiyaa': 104].

Dan makhluk yang pertama kali diberikan pakaian pada hari Kiamat adalah Ibrahim al-Khalil.’” [21].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dari manakah orang-orang yang dibangkitkan dalam keadaan telanjang lagi tanpa memakai alas kaki memiliki kebun-kebun, sehingga hendak menukarnya dengan unta-unta yang gemuk?”[22].

Hal ini menunjukkan bahwa dikumpulkannya manusia terjadi di dunia sebelum terjadinya Kiamat. Barangsiapa berpendapat selain dari hal itu, maka ia telah mengenyampingkan al-haq (kebenaran). Wallaahu a’lam.

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir].
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Imam Ahmad dan at-Tirmidzi.
[2]. Beliau adalah Abu Zakariya Yahya bin Abi Bakir, namanya adalah Nasr al-Asadi al-Kirmani al-Kufi ats-Tsiqah, wafat pada tahun 207 atau 208 rahimahullah.
Lihat Tahdziibul Kamaal (III/1491), dan Tahdziibut Tahdziib (XI/190).
[3]. Musnad Ahmad (IV/446-1491, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal).
[4]. At-Tirmidzi (VI/434-435, dengan Tuhfatul Ahwadzi), beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih....”
Ibnu Hajar mengomentari dua riwayat tersebut dengan berkata, “Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa-i dan sanadnya kuat.” Lihat Fat-hul Baari (XI/380).
[5]. Musnad Imam Ahmad (XI/99, no. 6871), Ahmad Syakir berkata, “Sanadnya shahih.” Dan Sunan Abi Dawud (VII/158, ‘Aunul Ma’buud) (2465).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad, dan sanadnya la ba’sa bihi.” Fat-hul Baari (XI/380).
[6]. Fat-hul Baari (XI/380), dan lihat Tafsiir Ibni Katsir (VIII/84-85).
[7]. Musnad Imam Ahmad (V/198-199, dengan catatan pinggir Muntakhab al-Kanz).
Ibnu Hajar berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad, Ya’qub bin Sufyan, dan ath-Thabrani… dan sanadnya shahih.” Lihat Fat-hul Baari (XII/402-403).
[8]. Fat-hul Baari (XII/403), al-Hafizh berkata, “Sanadnya hasan.”
[9]. Sunan Abi Dawud (VII/160-161, ‘Aunul Ma’buud, no. 2466).
Hadits ini shahih, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (III/214-215, no. 3553).
[10]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab Qaulun Nabiyyi J al-Fitnatu min Qibalil Masyriq (XIII/45, al-Fat-h).
[11]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/257) ta’liq Muhammad Fahim Abu Ubayyah.
[12]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (XVIII/2-3), dan at-Tadzkirah (hal. 198-199).
[13]. Lihat Fat-hul Baari (XI/379), dan at-Tadzkirah (hal. 199).
[14]. Beliau adalah al-Hafizh Abu ‘Abdillah al-Husain bin Hasan bin Muhammad bin Hulaim al-Jurjani, seorang faqih madzhab Syafi’i, pernah menjabat sebagai hakim di Bukhara, ia adalah orang yang banyak melakukan perjalanan ke Khurasan, di antara tulisannya adalah al-Minhaaj fii Syu’abil Iimaan, dan beliau banyak menukil dari kitab al-Baihaqi di dalam kitabnya Syu’abul Iimaan, beliau wafat pada tahun 403 H, berumur 65 tahun rahimahullah.
Lihat kitabnya al-Minhaaj fii Syu’abil Iimaan (I/13-19) Hilmi Muhammad Faudah, dan lihat Tadz-kiratul Huffazh (III/1030), dan Syadzaratud Dzahab (III/167-168).
[15]. Lihat al-Minhaaj fi Syu’abil Iimaan (I/442).
[16]. Fat-hul Baari (XI/380).
[17]. Musnad Imam Ahmad (XVI/365, no. 5632), tahqiq Ahmad Syakir, yang disempurnakan oleh Dr al-Husaini ‘Abdul Majid Hasyim, beliau menuturkan bahwa sanadnya hasan, akan tetapi al-Hafizh Ibnu Hajar melemahkan riwayat ‘Ali bin Zaid bin Jad’an.
Lihat Fat-hul Baari (XI/381).
[18]. Lihat Fat-hul Baari (XI/380-381).
[19]. Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVII/194-195).
[20]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/320-321), tahqiq Dr. Thaha Zaini.
[21]. Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab al-Hasyr (XI/377, al-Fat-h).
[22]. Fat-hul Baari (XI/382).

http://almanhaj.or.id/content/702/slash/0/pasal-kesembilan-bumi-tempat-berkumpul-mahsyar-ini-terjadi-di-dunia/


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger