Pengantar
Pembahasan ini sepenuhnya terkait dengan fitnah yang menyebar dikalangan para pembenci ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa dia telah menyalahi Ijma dalam banyak permasalahan, bahkan hingga mencapai 60 puluh buah.
Perlu diketahui bahwa jumlah tersebut merupakan nukilan dari jawaban Seorang Alim yang bernama Wali al-dîn Al Iraqi [1]. Materi kali ini akan memberi catatan khusus dalam bentuk footnote terhadap pernyataan tersebut yang diambil dari kitab beliau yang berjudul al Ajwibah al Mardhiyah ‘an al As’ilah al Makkiyyah yang ditahqiq oleh DR Muhammad Tâmir
Sebenarnya, kata-kata ini muncul bukan secara khusus sebagai Jawaban Wali al Din al Iraqi mengenai sikapnya terhadap Ibnu Taimiyah, namun kata-kata tersebut muncul terkait pertanyaan seseorang tentang Ibnu Arabi yang dipermasalahkan oleh banyak Ulama termasuk Ibnu Taimiyah.
Text pertanyaan
Masalah ke-20
Bagaimana pendapat anda tentang Syaikh al Muhyiddîn Ibnu al Arabi al Thâi [2] yang merupakan pemilik kitab al Fushus (al Hikâm, red)? Sesungguhnya sebagian mutaakhirîn telah membid’ahkannya, begitu pula Ibnu al Fâridh yang merupakan pengarang al Qashâid, begitu juga al Taqî Ibnu Taimiyah.
Jawaban
Disini saya tidak membeberkan jawaban panjang beliau yang secara tegas dan meyakinkan meng-amini penyesatan para ulama terhadap ibnu Arabi [3]. Namun secara khusus saya akan membahas pendapat beliau tentang ibnu Taimiyah.
Dalam halaman 91 s.d 100 terdapat persetujuan beliau secara tersirat dengan pendapat ibnu Taimiyah namun beliau mengomentari beberapa hal tentang ibnu Taimiyah sekaligus memujinya.
Beliau berkata:
Adapun Syaikh Taqi al Dîn Ibnu Taimiyah, maka dia adalah orang yang luas keilmuannya, banyak keutamaan dan kebaikannya, zuhud dalam masalah dunia, mencintai akhirat, dan menapaki jalan Salaf [4]. Tapi seperti dikatakan orang: “Ilmunya lebih banyak dari akalnya” hal itu membuatnya menyalahi banyak ijma dalam ijtihadnya[5]. Dikatakan [6]: ia menyalahi ijma hingga mencapai 60 masalah. Kemudian menyebar lewat lisan-lisan lalu memunculkan kecurigaan dan ia dicoba (disiksa, red) lalu mati dalam keadaan terpenjara disebabkan hal tersebut.
Namun para pembelanya mengaggapnya seperti mujtahid lainnya yaitu tidak ada masalah dalam menyalahi beberapa hal furu’ kalau hal tersebut berasal dari ijtihad [7].
Tapi penyelisihnya mengatakan:
Kalaupun terkait masalah furu, maka tidak diperkenankan untuk berpendapat lain setelah terjadinya ijma. Tak pernah ada para Imam yang diikuti menyalahi masalah tertentu setelah terjadinya ijma dimasa sebelum mereka, bahkan setiap perkataan mereka memiliki pendahulu dari sebagian kalangan salaf seperti ditegaskan tidak hanya seorang imam.[8]
Dua masalah tersebut telah dibantah oleh Taqi al Dîn al Subki dalam bentuk karangan yang ia susun dengan baik [11].
Penutup
Secara khusus tulisan Ini bukan untuk membela salah satu pendapat ibnu taimiyah, tapi yang terpenting adalah menelusuri berita tidak jelas bahwa beliau telah menyalahi Ijma. Oleh karena itu bagi para thalibul Ilmi hendaknya mencari pendapat-pendapat lain terkait dengan fatwa-fatwa ibnu Taimiyah agar dapat mengetahui sumber pengambilan dan sandaran ibnu Taimiyah dalam mengemukakan pendapat. Hal itu agar kita terhindar dari dosa menuduh orang tanpa bukit dan bayan.
Semoga bermanfaat.
Saudaramu: dobdob
[1] Perlu diingat bahwa beliau bukanlah Pengarang Alfiyah yang merupakan guru dari Ibnu Hajar, tapi beliau adalah anaknya. Ini dibedakan dengan laqabnya. Ayahnya yang lebih terkenal bernama Abdurrahim bin Husain dan berlaqab Zainuddin sedangkan beliau bernama Ahmad bin Abdurrahim bin Husain dan berlaqab Wali al Dîn.
[2] Disini mungkin ada sedikit perbedaan yang mungkin bersumber dari penanya atau periwayat kitab ini, yang terkenal bahwa penulisannya seharusnya tanpa alif dan lam untuk membedakan dengan Ibnul Arabi murid al Imam al Ghazali yang merupakan pemuka Mazhab Maliki. Namun karena disebutkan sebagai pengarang al Fushus maka jelaslah siapa yang dimaksud.
[3] Ini adalah salah satu keanehan dimana para pengkritik ibnu Taimiyah yang menukil pendapat Wali al dîn al Iraqi justeru para pengagum Ibnu Arabi. Misalnya gerakan Ahbas yang telah menyatakan dengan tegas pengkafirannya terhadap ibnu Taimiyah dan menolak untuk sholat berjamaah dibelakang syaikh Abdul Rahman Al Sudais. Disatu sisi mereka menukil kalimat dalam fatwa al Iraqi secara serampangan disisi lain mereka menolak persetujuan Al Iraqi terhadap sesatnya ibnu Arabi yang telah menganggap Fir’aun sebagai Mukmin
[4] Saya yakin ini adalah kalimat yang tidak akan pembaca temukan dalam tulisan-tulisan yang dikhususkan untuk merendahkan ibnu Taimiyah. Orang-orang yang mendeskreditkan ibnu Taimiyah secara membabi buta menghakimi Ibnu Taimiyah seolah beliau tak punya nilai sama sekali dalam khasanah keilmuan Islam. Tapi fakta-fakta didalam kitab sejarah dan rijal secara umum dan diblog ini secara khusus telah mengungkapkan hal lain. Kalau mau jujur menilai ibnu Taimiyah, seharusnya tulisan dan pujian ini ditampilkan agar pembaca tercerahkan dengan kondisi ibnu Taimiyah sebenarnya
[5] Berikut beberapa pendapat ibnu taimiyah terkait dengan keteguhannya untuk tidak menyelahi Ijma.:
“Alhamdulillah, Makna Ijma adalah berkumpulnya ulama kaum muslimin untuk menetapkan sebuah hukum. Jika telah tetap hukum ijma maka tidak boleh seorangpun keluar dari ijma tersebut. Sesungguhnya ummat tidak akan berkumpul dalam kesesatan (Majmu Fatâwa 20/10)
Dalam tempat lain beliau mengungkap sebuah riwayat dan berkata:
Umar menulis kepada Suraih: putuskan sesuai dengan yang ada dikitabullah, kalau kamu tidak mendapatinya, maka dengan apa yang ada pada sunnah Rasulullah, kalau engkau tidak mendapatinya maka dengan yang telah diputuskan oleh orang-orang soleh sebelum kamu dan pada riwayat lain; dengan apa yang telah di ijma’ kan oleh manusia. Umar telah mendahulukan kitabullah kemudian sunnah, begitupula Ibnu Mas’ud yang berkata mirip dengan perkataan umar yang mendahulukan Kitabullah kemudian sunnah kemudian Ijma. Begitupula Ibnu Abbas yang selalu berfatwa sesuai kitabullah kemudia sunnah kemudian sunnah Abu Bakr dan umar karena ada sabda nabi: ikutilah orang-orang yang setelah aku; Abu bakr dan Umar. Atsar ini telah tetap berasal dari umar, Ibnu Mas’ud dan ibnu Abbas, dan mereka adalah sahabat yang terkenal dengan fatwa dan keputusan-keputusannya. Inilah yang benar (Majmu; Fatâwa:19/201)
[6] Perlu diperhatikan! Kalau ada orang yang memastikan bahwa Wali al Dîn al Iraqi menyebutkan bahwa Ibnu Taimiyah menyalahi Ijma sebanyak 60 permasalahan, maka hal tersebut perlu kajian lebih lanjut atau bahkan diragukan, karena faktanya beliau juga menukil dari orang lain tanpa memastikan setuju atau tidak dengan sumber nukilan tersebut. Hal ini sesuai dengan Siyaq kalimat dimana beliau menggunakan kata qiila yang merupakan sighat Tamridh yang menunjukkan sumber tersebut lemah atau beliau tidak sepenuhnya yakin dengan nukilannya. Jadi jelas sumber primer tuduhan menyalahi Ijma bukanlah pernyataan beliau sendiri
[7] Alasan tuduhan menyalahi ijma mungkin disebabkan oleh gampangnya penuduh mengklaim satu perkara furu telah diijmakan oleh ulama kaum Muslimin. Oleh karena itu para pengikut ibnu taimiyah memberikan pembelaan bahwa ibnu Taimiyah hanya menyelisihi hal-hal yang memang ditolerir untuk melakukan hal tersebut. Mengenai proses terjadinya ijma, Imam Ahmad mengeluarkan perkataan yang masyhur. Beliau berkata : Abdullah bin Ahmad berkata; aku mendengar ayahku berkata: “apa yang telah diklaim sebagai Ijma adalah dusta dan siapapun yang mengklaim telah ada Ijma maka ia berdusta; kemungkinan manusia masih berselisih dan ia tidak mengetahuinya dan tidak menyadarinya, hendaknya ia mengatakan, kami tidak tahu manusia berselisih.”
[8] Begitu juga pendapat ibnu Taimiyah, beliau amat menjunjung ulama-ulama pendahulunya, tidaklah beliau berpendapat dan berijtihad, kecuali telah ada kalangan Salaf yang mendahuluinya.
[9] Mengenai masalah thalaq,maka ini amat jelas, thalaq tiga dalam satu majelis adalah medan perselisihan dikalangan para ulama dan secara jelas dan tegas disebutkan bahwa pada masa rasulullah dan masa Khalifah Abu Bakr thalaq tiga dalam satu majelis hanya jatuh sebagai thalaq satu. Baru setelah jaman umar ketentuan itu berlaku lain. Begitu juga masalah thalaq ketika haidh apakah jatuh atau tidak, ini adalah masalah furu yang ditolerir untuk berselisih
[10] Saya telah membahas dalam blog ini terkait masalah Ziarah kubur, sebagai peringatan, ibnu katsir telah menjelaskan dalam Al bidayah wannihayah terkait kedustaan orang-orang yang hasud terhadap beliau dengan menyebarkan berita bohong terkait fatwa ziarah kubur.
Beliau mengatakan : “lihatlah kedustaan atas Syaikhul Islam ini. Sesungguhnya jawaban beliau terkait masalah ini bukanlah larangan menziarahi kuburan orang-orang soleh. Dalam fatwa tersebut beliau hanya menyebutkan dua qaul tentang berbekal dan safar semata-mata untuk berziarah –satu masalah tentang berziarah kubur tanpa bekal dan safar dan satu masalah lagi bersafar untuk semata-mata berziarah. Syaikh pun tidak melarang ziarah tanpa safar bahkan menganjurkannya dan menganggapnya sunnah. Kitab-kitabnya serta praktek-praktek yang beliau lakukan menjadi saksi hal itu dan beliau tidak menentang Ziarah yang semacam ini. Beliau juga tidak berkata bahwa hal itu maksiat dan juga tidak menghikayatkan Ijma atas pelarangannya. Beliau juga tidak jahil terhadap Sabda Rasulullah : “berziarahlah kalian sesungguhnya hal itu mengingatkan kepada Akhirat. (Al Bidâyah wa al Nihâyah 14/124).
Kalau penuduhnya mau meluangkan sedikit saja untuk membaca Fathul bari, Tuhfatul ahwadzi, dan Aunul ma’bud yang menerangkan hadits Syaddur rihalmaka akan tampaklah kekeliruan orang yang mengatakan bahwa ini adalah Ijma. Disitu Ibnu Hajar memilih pendapat yang berbeda dengan pendapat yang diklaim hanya dikeluarkan oleh ibnu Taimiyah padahal disitu Ibnu Hajar sama sekali tidak menyinggung nama ibnu taimiyah. Dari tulisan ibnu hajar tersebut jelaslah bahwa Ibnu taimiyah sebenarnya hanya mengikuti pendapat pendahulunya seperti anak imam Haramain, Imam Malik, Qadhi Husain, Qadhi Iyadh dll seperti yang disebutkan ibnu Hajar. Silahkan merujuk pembahasan hal tersebut dalam blog ini :http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/03/19/aunul-ma%E2%80%99bud-larangan-melakukan-safar-untuk-ngalap-berkah-dan-ziarah/
[11] Kitab yang dikarang Oleh As Subki adalah bantahan mengenai ziarah qubur saja. Kitab tersebut berjudul Syifâ al Saqâm fi Ziyârati khair al Anam, siapapun yang menelaahnya akan terkesima dengan tashih dan penerimaan hadits-hadits yang jauh dari layak untuk di berlakukan seperti itu. Kitab ini mendapat tanggapan serius dari Al Hâfidz Ibnu Abdil Hâdi dengan sebuah karangan yang berjudul “al Shârim al Mankî fî Raddi ala al Subkî.
0 komentar:
Posting Komentar