Diskusi : Wajibkah Makmum Membaca Al Fatihah dalam Shalat Jahriyah ?

Oleh : Forum Komunikasi Islam ITB.
Maret 6, 2007 pada 6:18 am. Disimpan dalam Diskusi Milis.

Admin : Topik ini masih dalam ranah diskusi, tulisan ringan berikut dimaksudkan membuka diskusi lanjut dalam permasalahan ini.Penulis dalam hal ini menguatkan pendapat akan wajibnya membaca al-fatihah walaupun dalam sholat jahriyah dibelakang imam .
 
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh,
Sebelumnya saya buka, dengan mengingatkan bahwa para ulama berselisih pendapat salafan wa khalafan, hingga para sahabat telah berselisih dalam hal ini. Oleh karenanya mengenai membaca dibelakang imam,sungguh bijak ucapan seorang ulama in qoro’ta falaka salaf, wa in sakatta falaka salaf (jika engkau membaca maka anda punya pendahulu,demikian juga bila anda diam).Tentunya hal ini jika permasalahan ini tidak jelas mendudukkan dalil dan ucapan yang ada bagi kita.Adapun jika sudah jelas,maka sebagaimana ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i : Telah ijma’ kaum muslimin bahwasannya jika seseorang telah jelas baginya sunnah Rasulillah shalallah ‘alaihi wasalam tidak ada baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut hanya karena ucapan seseorang diantara manusia.
 
Fabillah nasta’in..
 
Ulama berbeda pendapat kedalam tiga pemahaman dalam masalah ini (lihat file yang dikirim Abu Ishaq yang berjudul : “Hukmu Qiroatil Fatihah Li Makmum (Mukhtashor kalam Ibn Taimiyah fi hukmil qiroah khalfal imam)“.Saya berikan tambahan seperlunya.
  1. Wajib diam mendengarkan bacaan Imam jika bacaannya dikeraskan. Apabila tidak terdengar bacaab Imam,misalkan karena jauh maka wajib membaca.Pendapat inilah yang dirajihkan dalam artikel tersebut, yang berarti inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.Berbaris dalam barisan ini diantaranya Abu Darda radhiallahu ‘anhu, Imam Malik bin Anas,dan lainnnya.
  2. Wajib membaca al-fatihah secara mutlak baik dalam shalat jahriyah atau sirriyah, juga baik mendengar suara imam maupun tidak.Berbaris dalam pendapat ini diantaranya:Umar bin Khattab,Ubadah bin Shamit,Abdullah bin Amr bin ‘Ash,Abu Hurairah radhiallahu ‘anhum jami’an,Imam Syafi’i dalam qoul jadidnya,Ishaq bin Rahawaih,Imam Al-Bukhari,Imam Asy-Syaukani,dan lain-lain.Pendapat inilah yang sedang dibantah dalam artikel “Hukmu Qiroatil Fatihah Li Makmum (Mukhtashor kalam Ibn Taimiyah fi hukmil qiroah khalfal imam)”.
  3. Tidak wajib membaca,baik dalam shalat jahriyah maupun sirriyah.Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Ali bin Abi Thalib,Zaid bin Haritsah,Jabir bin Abdillah,Sa’ad bin Abi Waqqash,Abdullah bin Mas’ud,Imam Abu Hanifah dan lainnya.
Pendapat pertama, seolah dipilih sebagai jalan tengah dari dua kutub berlawanan dari pendapat kedua dan ketiga yang saling berseberangan.
 
Jawaban Atas Artikel kiriman Saudara Abu Ishaq yang berjudul “Hukmu Qiroatil Fatihah Li Makmum (Mukhtashor kalam Ibn Taimiyah fi hukmil qiroah khalfal imam)”.
 
Karena berupa artikel,maka saya jawab yang sebagian besarnya saya ambil dari artikel ringan juga yang berjudul Al-Adillah ‘Ala Rukniyah Qiro’ah Al-Fatihah Lil- ma’mum wa roddu ‘alal Mukhalif tulisan dari Abu Abdirrahman Muhammad bin Imran.Point-point berikut hanya jawaban dari pokok argumen artikel tersebut, disamping sekaligus ada tambahan untuk argument yang tidak disebutkan dalam artikel tesebut.
 
Berdalil dengan surat Al-A’rof 204 :Wa idza quri-al qur’an fastami’uu lahu wa anshituu la’allakum turhamun” (Dan apabila dibacakan al-Qur’an,maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat).
 
Al-Jawab :
 
Sisi pertama, ketahuilah bahwa hadist-hadist yang sharih bahwa al-fatihah itu wajib adalah umum.
 
1. Dalam riwayat muslim,tirmidzi,An-Nasai,Abu Daud, Ibnu Majah,Imam Ahmad dan Imam Malik disebutkan, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam berkata (dalam lafadz riwayat Imam Ahmad):
 
(( أَيُّمَا صَلَاةٍ لَا يُقْرَأُ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهِيَ خِدَاجٌ ثُمَّ هِيَ خِدَاجٌ ثُمَّ هِيَ خِدَاجٌ))
 
(Shalat apa saja yang tidak dibaca didalamnya surat Al-Fatihah maka shalatnya rusak kemudian rusak dan rusak.).

(Khidaz disebutkan oleh Imam Albani dalam bukunya,artinya “An-Nuqshon wal fasad”).
 
Perhatikan yang saya garis bawahi (ayyuma sholatin).Huruf (Ayyu) menurut ulama ushul disebutkan sebagai minal huruf allati tadullu ‘alal umum (huruf yang menujukkan makna umum).Ditambah lagi bahwa kata “sholatin” yang berbentuk nakiroh yang bermakna umum juga.Nabi tidak membedakan shalat imam atau shalat makmum, juga tidak membedakah shalat jahriyah ataupun sirriyah.

Kaidah ushul mengatakan :

أن الأصل في العام أن يبقى على عمومه حتى يدل الدليل على التخصيص
 
(Asal dalam bentuk umum adalah tetap pada keumumannya sampai datang dalil yang menunjukkan kekhususannya).
 
Seandainya memang disana ada pengecualian, maka tentunya Nabi akan mengatakan :“Kecuali bagi makmum” atau “Kecuali bagi yang shalat dibelakang imam” atau yang semakna dengan ini.
 
2. Hadist Ubadah bin Shamit, hadist muttafaqun ‘alaih:
 
(( لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ ))
 
(Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca surat Al-Fatihah).

Kembali perhatikan yang saya garis bawahi (laa shalata). Kata shalat bentuknya nakiroh. Adalah kaidah mengatakan :
 
أن النكرة في سياق النفي تدل على العموم
 
(Bahwa Nakirah dalam bentuk nafyu (peniadaan) menunjukkan makna umum).

Nabi menjelaskan bahwa shalat tidaklah sah apabila tidak membaca Al-Fatihah,sama saja apakah sebagai makmum atau ketika shalat sendiri atau ketika menjadi imam.Yang menunjukkan akan wajibnya membaca Al-Fatihah ini adalah kalimat “Laa shalata” sebagai peniadaan (nafyu).
 
Asal dari peniadaan adalah peniadaan wujud (nafyun lil wujud),apabila tidak mungkin dengan makna ini,maka nafyu tersebut dibawa kepada peniadaan keabsahan (nafyun lilshihhah).Dan apabila tetap tidak mungkin dengan makna kedua ini, maka dibawa maknanya kepada peniadaan kesempurnaan (nafyun lilkamal).Inilah urutan dari an-nafyu.
 
Contoh :
  • Laa kholiqo illallah (tidak ada pencipta selain Allah ), maka peniadaan disini peniadaan wujud.
  • Laa sholata bighoiri wudhu’ (tidak ada sholat dengan tanpa wudhu), maka peniadaan disini peniadaan keabsahan (sah).Karena bisa saja sholat dilakukan tanpa wudhu sebelumnya.
  • Laa sholata bihadhroti tho’amin (tidak ada sholat dengan hadirnya makanan),maka peniadaan disini adalah peniadaan kesempurnaan.Karena sholat tetap sah walaupun dihadapannya tersedia makanan.
Setelah memahami perbedaan diatas, bagaimana penilaian kita dengan hadist Nabi “Laa sholata liman lam yaqro’ bifatihatil kitab”?Jawab : Mungkinkah orang shalat tanpa membaca Al-Fatihah? Mungkin saja!.Olehkarenanya penafian disini bukanlah penafian wujud.Maka penafian disini bisa dipastikan penafian urutan kedua, yakni penafian keabsahan (sah).Maka kita katakan bahwa tidak sah shalat tanpa membaca Al-fatihah.
 
Kaidah mengatakan :

الأصل في النصوص العامة أن تبقى على عمومها ، فلا تخصَّصُ إلا بدليل شرعيٍّ ، إما نصٌّ ، أو إجماعٌ ، أو قياس صحيح
 
(Asal dalam nash yang umum adalah tetap pada keumumannya, tidaklah dikhususkan kecuali dengan dalil syar’iy baik itu nash atau ijma’ atau qiyah yang shahih).
 
Pertanyaan , adakah disebutkan disana sesuatu yang mengkhususkan?
 
Sisi kedua, jawaban atas pendalilan dengan ayat Wa idza quri-al qur’an fastami’uu lahu wa anshituu la’allakum turhamun“.
 
Berkata Imam Ahmad, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dalam sholat.Maka ayat ini menunjukkan bahwa selayaknya bagi makmum untuk diam dan sibuk untuk mendengarkan bacaan alquran dari imam.
 
Al-Jawab:
 
Pertama,
Bahwa ayat yang kita bahas ini adalah umum (‘aam), adapun hadist-hadist tentang kewajiban membaca AL-Fatihah yang sudah saya sampaikan sebelumnya adalah kekhususan. Kaidah mengatakan :
إذا تعارض النص الصريح في المسألة مع غيره مما هو أعم فإنه يقدم الصحيح الصريح
(Apabila bertentangan nash yang shorih (gamblang) dalam suatu masalah dengan nash yang lainnya yang lebih umum,maka dikedepankan nash yang shahih dan gamblang tadi).
 
Ingat hadist Bukhari tentang kejadian shalat subuh Rasulullah.Rasulullah merasa terganggu oleh bacaan salah seorang makmum.Setelah shalat beliau bertanya : “Benarkah kalian tadi turut membaca bersama imam?” Kami menjawab:”Ya, tetapi dengan cepat,wahai Rasulullah” Beliau bersabda:“Kalian tidak boleh melakukannya kecuali [membaca] Al-Fatihah,karena tidak sah sholat seseorang jika tidak membacanya dalam sholat”.
 
Mana yang lebih umum antara ayat Al-A’rof dengan hadist diatas ini? Al-Jawab : Ayat Al-A’rof lebih umum, walaupun keduanya bisa dikatakan umum (dalam artian bahwa hadist ini bisa dikhususkan untuk shalat sirriyah).Tetapi hadist ini sebagaimana yang beberapa kali saya dengar diungkapkan Al-Imam Ibnu Utsaimin adalah nash yang shorih tentang kewajiban Al-Fatihah.Dengan kaidah ini maka selayaknya yang didahulukan adalah hadist ini bukan ayat Al-A’rof.
Kedua,
Hadist Ubadah : Laa shalata li man lam yaqro’ bifatihatil kitab seolah bertentangan dengan ayat Wa idza quri-al qur’an fastami’uu lahu wa anshituu la’allakum turhamun.

Ungkapan Laa shalata menunjukkan syarat sah shalat,sehingga kewajiban membacanya adalah lebih kuat dari ayat Al-A’rof ini.Karena ayat Al-A’rof menunjukkan kewajiban mendengar,dan kewajiban mendengar tidaklah bertentangan dengan kewajiban sebagai rukun.Dasar pijakannya adalah sebagai berikut:
Kaidah mengatakan :
إذا تعارضت الأركان والواجبات قدمت الأركان على الواجبات
(Apabila bertentangan antara rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban maka dikedepankan rukun atas kewajiban).
Membaca Al-Fatihah adalah kewajiban sebagai rukun dari sholat. Adapun wajib diam mendengar Al-Quran adalah kewajiban namun bukan rukun. Maka seharusnya didahulukan kewajiban sebagai rukun.
Mungkin ada yang akan mengatakan, bahwa Al-Fatihah itu sebagai rukun adalah sebatas ijtihad ulama.Jadi kedudukannya sama ,antara dua kewajiban yang bertentangan.Satu kewajiban membaca dan yang lain kewajiban mendengar.Sehingga tidak bisa diterapkan kaidah diatas ini.
 
Maka kami jawab sebagai berikut :
 
Ketahuilan bahwa ada dua jenis wajib : Wajib muttashil (Berkaitan langsung) dan wajib munfashil (terpisah).Hadist Al-Fatihah jelas berkaitan erat (muttashil) dengan shalat.Sedangkan ayat Al-A’rof kewajibannya terpisah (munfashil).

Kaidah mengatakan:
إذا تعارض الواجب المتصل بعبادة المكلف مع الواجب المنفصل ؛ فإنه يُقدم المتصل الذي أمر به إلزاماً على من فصل عنه
(Apabila bertentangan antara wajib muttashil (berkaitan dengan ibadah tertentu) dengan kewajiban yang munfashil (terpisah tidak berkaitan langsung) maka didahulukan yang muttashil tadi dari yang munfashil).
Ketiga,
Adalah mungkin membaca Al-Fatihah dalam keadaan Imam berhenti sebentar sebelum membaca surat.Walaupun tidak ada dalil yang kuat Imam mesti berhenti sebentar, akan tetapi jika kebetulan kita bermakmum pada imam yang seperti ini ,maka kita lebih lagi wajib membacanya
Dalam kitab Al-Inshaf fi ma’rifati Ar-rajih Minal Khilaf disebutkan demikian :”Dianjurkan membaca Al-Fatihah disaat imam berhenti membaca.Inilah pendapat yang dipilih dalam manhaj dan juga merupakan pendapat jumhur ulama.Bahkan ada yang mengatakan wajib membaca Al-Fatihah tatkala imam berhenti membaca”.
 
Berdalil dengan hadist:”Imam dijadikan sebagai anutan makmum.Jika ia bertakbir,bertakbirlah kalian dan jika ia membaca,diamlah kalian” (lihat shifat sholat Nabi oleh Imam Albani rahimahullah).
 
Jawab :
 
“Dan apabila imam membaca,maka diamlah” .Na’am (iya) kami sepakat diam,KECUALI surat Al-Fatihah. Disamping itu sanad hadist ini walaupun berterima akan tetapi lebih lemah dari tingkatan hadist-hadist yang menetapkan dengan jelas wajibnya membaca Al-Fatihah.Ulama Ushul mengatakan agar didahulukan Al-Ashohhu ‘ala As-Shohih (Yang lebih shahih atas yang shahih),didahulukan Al-aqwa ‘ala maa huwa qowiy (yang lebih kuat atas yang kuat),didahulukan Al-qowiy ‘ala Adh-dho’if (yang kuat atas yang lebih lemah), didahulukan Ash-Shahih ‘ala al-hasan (yang shahih atas yang hasan).
Berdalil dengan hadist:”Barangsiapa shalat dibelakang imam maka bacaan imam adalah bacaannya (man kaana lahu imam fa qiro-atuhu lahu qiro-ah).
 
Jawab :
 
Sebagian ulama mengatakan bahwa hadist ini tidak shahih.Sekalipun shahih, maka membaca Al-Fatihah adalah kekhususan yang diperintahkan membacanya.
Berdalil dengan adanya naskh
 
Al-Jawab :
 
Al-Imam Albani rahimahullah dalam kitab nya yang sangat “hebat”, yakni “Al-Ashlu Sifat Sholat Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam minat takbir ilat taslim ka-annaka taroha” menulis sub bab pada hal 327-364 (Maktabah Al-Ma’arif cetakan tahun 2006) “Naskhul qiro-ah waro-al imam fil jahriyah” (Dihapuskannya hukum membaca dibelakang imam dalam sholat yang dikeraskan bacaannya).

Beliau mengatakan,pada awalnya makmum dibolehkan membaca surat Al-Fatihah dibelakang imam dalam sholat jahr,sebagaimana pernah terjadi pada waktu sholat shubuh.Rasulullah merasa terganggu oleh bacaan salah seorang makmum.Setelah shlat beliau bertanya : “Benarkah kalian tadi turut membaca bersama imam?” Kami menjawab:”Ya, tetapi dengan cepat,wahai Rasulullah” Beliau bersabda:”Kalian tidak boleh melakukannya kecuali [membaca] Al-Fatihah,karena tidak sah sholat seseorang jika tidak membacanya dalam sholat”.
 
Di naskh oleh apa?
Al-Imam Albani membawakan dalil kedua sebagai penghapus hukum hadist pertama diatas :
 
“Adakah seseorang diantara kalian tadi membaca Al-Quran bersamaan dengan aku membaca?” Seseorang menjawab:”Ya,saya, wahai Rasulullah.” Rasulullah mengatakan :”Aku katakan kepadamu mengapa aku diganggu (sehingga bacaanku terganggu)?”Abu Hurairah berkata :Kemudian para sahabat berhenti membaca al-Quran bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam membacanya dengan suara keras dan bacaan itu mereka dengar [dan mereka membaca sendiri tanpa suara bila imam tidak mengeraskan bacaannya]“.
Hadist ini bermasalah akan keshahihannya dan juga pada ucapan Abu Hurairah.Sebagian ulama mengatakan bahwa lafadz tersebut bukan dari Abu Hurairoh, akan tetapi dari Az-Zuhri.Diantaranya yang berpendapat demikian adalah Al-Imam Al-Bukhari.Seandainya benar itu lafadz Az-Zuhri maka hukum hadist ini mursal munqothi’ karena Az-Zuhri seorang tabi’in sehingga tidak boleh berhujjah dengan dalil ini (ini pandangan Imam Albani sendiri pada hal.339).Dan juga, Abu Hurairoh dengan lafadz tegas dalam riwayat Muslim, menyatakan bahwa dalam sholat jahar pun makmum tetap membaca Al-Fatihah.
 
Taruhlan ini hadist yang berterima dan lafadz “intahan naas…”(manusia kemudian berhenti dari membaca dibelakang imam) adalah ucapan Abu Hurairoh,maka alhamdulillah saya temukan Al-Imam Ibnu Utsaimin menjawab pendapat naskh ini,bahwa hal tersebut tidak tepat karena diantara syarat naskh (penghapusan hukum) adalah tidak mungkinnya dilakukan jama’.Padahal sangat mungkin dilakukan jama diantara keseluruhan dalil, yakni bahwa al-fatihah adalah kekhususan dari lafazd-lafadz dalil yang umum. Silahkan mendengarkan kajian beliau ketika membahas Nailul Author Bab Sholat, ,terutama pada nomor kaset 3 side B dan No.2 side B. Juga jangan tinggalkan nomor kaset 1A,1B,2A,4A.Silahkan bisa diunduh kajian beliau di.
 
Saya bawakan dari Al-Ushul min ‘ilmil ushul karya Imam Ibnu Utsaimin tentang syarat naskh ini sebagai berikut:
  1. Tidak mungkinnya menjama’ antara dua dalil,jika memungkinkan jama’ maka tidak ada naskh.
  2. Mengetahui bahwa nasikh (dalil yang menghapus hukum) datangnya paling akhir (dari dalil yang mansukh),baik dengan nash atau khabar dari sahabat atau tarikh.
  3. Keberadaan nasikh (dalil yang menghapus hukum) disyaratkan oleh jumhur harus lebih kuat dari dalil yang dimansukh atau minimal satu level.Maka dalil yang mutawatir tidak boleh dihapus hukumnya oleh dalil yang ahad.Tetapi yang rajih adalah tidak disyaratkan point ketiga ini.
Ketiga atau minimalnya kedua syarat diatas tidak dipenuhi, dalam berpendapat “Naskh”. Allahu a’lam. Dan juga Imam Albani pun jujur dalam footnote bahwa beliau tidak punya dalil (nash) mana yang datang duluan dan terakhir dari dua dalil diatas yang dikatakan beliau yang satu nasikh dan yang lainnya mansukh.Yang beliau pakai adalah logika bahwa tidak mungkin larangan (an-nahyu) datang lebih awal.InsyaAllah kaidah Imam Ibnu Utsaimin menurut saya lebih tepat yakni tidak bisa diterapkan hukum naskh ini.
 
Sehingga, karena tidak ada dalil untuk mengetahui mana yang datangnya lebih awal atau belakangan dari dua dalil yang nampaknya bisa terjadi nasikh mansukh ini.
 
Kaidah mengatakan :
النسخ لا يثبت بالاحتمال
An-Naskh tidak tsubut jika adanya kemungkinan.
Ada yang mengatakan begini :
”Siapa yang mendakwa bahwa Hadist Abu Hurairoh “fa intahannaas ‘anil qiroah fima yajharu fihi An-Nabiyyu shalallahu ‘alaihi wasalam” (Maka berhentilah para sahabat dari membaca pada sholat yang mana Rasulullah mengeraskan bacaannya) adalah menghapuskan dalil tentang membacanya sahabat dalam sholat shubuh maka Al-Hazimi dalam kitab Al-I’tibar (Hal 72-75) mendakwa kebalikannya yakni menjadikan dalil-dalil kewajiban membaca Al-Fatihah menghapuskan dalil-dalil larangan membaca dibelakang imam”.
Lantas, apakah benar tidak mungkin menjama’?

Abu Hurairoh memandang tidak demikian ketika ditanya bagaimana tentang makmum yang membaca dibelakang imam sedangkan ada dalil yang mengharuskan diam, Abu Hurairoh menjawab :Iqro biha yaa farisi fi nafsika”.
Berdalil dengan cara berpikir “Apa faidah Imam membaca kalau begitu, jika makmum sibuk membaca Al-Fatihah? atau “Apa gunanya Imam membaca keras?”
Jawaban :

Kami katakan in adalah qiyas atau logika yang berhadapan dengan nash,sedangkan
القياس في مقابلة النصِّ مُطَّرَح
Qiyas yang menyelisihi nash harus diabaikan (dibuang).
Berdalil dengan shahihnya tambahan kalimat “fasho’idan” dalam hadist “La sholata liman lam yaqro [fiha] bifatihatil kitab [fasho'idan] (lihat Sifat Sholat Nabi oleh Imam Albani), Fasho’idan” itu kurang lebih artinya “selebihnya atau tambahan” (tergantung kalimatnya).

Sehingga artinya :”Tidak ada sholat bagi yang tidak membaca didalamnya Al-Fatihah dan tambahan selebihnya (maksudnya surat)” Dalam artikel “mukhtashor kalam ibn taimiyah” ini dikatakan bahwa hal ini menunjukkan hadist ini berlaku bagi Imam bukan makmum karena tidak ada yang mengatakan bahwa meninggalkan mendengar secara keseluruhan baik al-fatihah dan surat itu baik serta tidak ada samasekali perintah bagi makmum membaca selain al-fatihah dibelakang imam.
 
Jawab:
 
Iya, kami sepakat tambahan ini shahih.Dan baiklah taruhlah kami terima pendapat bahwa hadits ini beserta tambahannya khusus bagi Imam.Olehkarenanya anda harus dikatakan “Bagi Imam itu wajib membaca Al-Fatihah dan Surat“.
 
Akan tetapi bukankah tambahan surat setelah al-fatihah itu sunnah bukan wajib.Bahkan ketahuilan adalah ijma’ bahwa membaca surat itu tidak wajib. Kalau anda mengatakan bilang wajib,cobalah beri keterangannya!”.
 
Baiklah kita bawakan saja ucapan ulama.Berkata Al-Mundziri :Kemudian ucapan “fasho’idan” dzahirnya menunjukkan wajib membaca tambahan (surat) setelah Al-Fatihah dengan makna akan batal sholat tanpa membaca surat.(Padahal) telah sepakat atau umumnya mereka (ulama) atas tidak wajibnya membaca surat ini.Dan sepertinya mereka membawanya kepada makna “dan tambahan surat” adalah ahsan.Allahu a’lam”.
 
Ada juga yang memaknai maksud “tambahan setelah Al-Fatihah” disini adalah rukun-rukan selain al-fatihah seperti ruku,sujud dan lainnya.
 
Allahu A’lam.
 
Juga mohon koreksinya.
Abu Umair As-Sundawy.
 
-oOo-
 
 
Dibawah ini saya sertakan rangkaian komentar tentang bahasan diskusi diatas, semoga bermanfaat :
 
Ahmad berkata
Maret 6, 2007 @ 7:07 am.
 
Admin : Pertanyaan di milis ini kami masukkan ,sebagai tambahan.
Ana baca penjelasan antum ,namun masih ada yang mengganjal di hati, Jika ujungnya adalah antum berpendapat bahwa tidak sah shalat bagi mereka yang tidak membaca fatihah, hatta makmum yang berimam, maka apakah Ini berarti jika seseorang masbuk dan mendapati imam sudah membaca surat dan sudah selesai, dan ia (imam) hampir ruku, dan kita mengikutinya, itu TIDAK dihitung satu rakaaat, jika jawabnya dihitung satu rakaat, maka kami tanyakan kembali “bukankah ia tidak membaca fatihah?”, jika jawabnya tidak dihitung satu rakaat atau bahkan tidak sah rakaatnya tsb (?), berpindahlah pertanyaan kami kepada “tunjukkan dalilnya bahwa makmum yang masbuk dan tidak sempat membaca fatihah -walau ia masuk ke shaf sambil ruku- TIDAK dihitung satu rakaat…B) ” bahkan yang kami dapati sejauh ini adalah makmum mendapat satu rakat bersama imam jika ia mendapati ruku dengan sempurna, walau masuk shalat sambil ruku (tentunya sudah pasti tidak baca fatihah), sebagaimana yang diamalkan Abu Bakrah, Ibnu Mas’ud (itu saja yang ana tahu sejauh ini).
atau masalahnya sudah berbeda lagi, ya?.
 
Syukran
Ahmad
Balas.
 
 author berkata
Januari 31, 2011 @ 12:28 pm.
hadits yg menjelaskan ttg dihitungnya satu rekaat ketika Imam ruku’ adl lemah. Allohu A’lam.
Balas.
 
 Abu Umair As-Sundawy berkata
Maret 6, 2007 @ 7:11 am.
 
Hasanan Ya Akhy,
Berdiri (qiyam) dalam sholat hukumnya apa Pak? Jika tidak wajib, mana dalilnya? Jika wajib dan tidak sah tanpa berdiri,maka orang yang langsung ruku dia tidak sempat berdiri toh..piye? jawab dulu ini.
 
Saya masih dalam satu barisan dengan antum ,bahwa yang mendapati imam ruku’ telah mendapatkan roka’at.Singkat saja jawabannya, sebagaiamana yang dikatakan Al-Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam fatawa arkanul islam.Ujar beliau,bahwa pada saat seperti itu, maka kewajiban membaca Al-Fatihah menjadi terangkat karena dia tidak mendapatkan tempat untuk membacanya.Sebagaimana orang yang buntung tangannya maka keawajibannya terangkat untuk membasuh tangannya ketika wudhu, tidak perlu membasuh lengan atas yang masih tersisa.
 
Hal ini dikuatkan juga oleh Al-Imam Ibnu Baz rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa Ibn Baz 11/234-244 ,beliau berkata :
 
قراءة الاستفتاح سنة وقراءة الفاتحة فرض على المأموم على الصحيح من أقوال أهل العلم ، فإذا خشيت أن تفوت الفاتحة فابدأ بها ومتى ركع الإمام قبل أن تكملها فاركع معه ويسقط عنك باقيها لقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( إنما جعل الإمام ليؤتم به ، فلا تختلفوا عليه ، فإذا كبر فكبروا ، وإذا ركع فاركعوا ) متفق عليه
 
Membaca doa istiftah adalah sunnah dan membaca Al-fatihah adalah wajib bagi yang sholat dibelakang Imam,berdasar pendapat ulama yang lebih benar.Apabila anda khawatir ketinggalan membaca Al-Fatihah maka mulailah dengan membacanya (tidak perlu membaca doa iftitah). Dan jika Imam ruku sebelum anda selesai membaca al-fatihah maka rukulah bersama Imam dan yang tersisa dari kewajiban membaca Al-Fatihah itu telah terangkat berdasar sabda Nabi :”Imam itu dangkat untuk diikuti,jangan berbeda.Apabila Imam takbir,maka bertakbir.Jika imam ruku, maka ruku’lah …(muttafaqun ‘alaihi).
Allahu a’lam.
 
Abu Umair As-Sundawy.
Balas.
 
 Abu Aufa berkata
Maret 9, 2007 @ 2:09 am.
 
Penjelasan Admin :
Ingat hadist Bukhari tentang kejadian shalat subuh Rasulullah.Rasulullah merasa terganggu oleh bacaan salah seorang makmum.Setelah shalat beliau bertanya : “Benarkah kalian tadi turut membaca bersama imam?” Kami menjawab:”Ya, tetapi dengan cepat,wahai Rasulullah” Beliau bersabda:“Kalian tidak boleh melakukannya kecuali [membaca] Al-Fatihah,karena tidak sah sholat seseorang jika tidak membacanya dalam sholat”.
 
Pertanyaan saya:
Akh, ana menemukan hadits yang semakna atau bisa dibilang sama matannya dengan hadits diatas akan tetapi bukan riwayat Imam Bukhari tapi riwayat Imam Abu Dawud, Imam Ahmad, Imam Tirmidzi berikut haditsnya :
Berkata Imam Abu Dawud (Hadits No 823) : Haddatsana : Abdullah bin Muhammad An Nufailiy Haddatsna : Muhammad bin Salamah an Muhammad bin Ishaq an Mak-hul an Mahmud bin Rabi’ an Ubadah bin Shaamit ia berkata : Kami pernah sholat fajar (shubuh) dibelakang Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam. kemudian Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam membaca, lalu menjadi berat bacaan tersebut atas beliau. maka sesudah selesai (Sholat) beliau bertanya : ” Barangkali kamu membaca dibelakang imam kamu ?” Jawab kami, ” Betul ! dengan cepat-cepat ya Rasulullah.” beliau bersabda , ” Janganlah kamu lakukan kecuali (membaca) surat Al Fatihah, karena sesungguhnya tidak sah sholat bagi orang yang tidak membacanya.
 
Di Sanad hadits ini ada dua orang Mudallis yang melakukan ‘an’anah yaitu :
  1. Muhammad bin Ishaq bin Yasar, seorang yang benar ( Taqribut Tahdzib 2/144)
  2. Mak-hul Asy Syaamy (orang Syam), seorang rawi yang Tsiqah (Mizaanul I’tidal 4/177,178).
Karena ada dua orang Mudallis yang melakukan ‘An’Anah, maka riwayat Abu Dawud diatas dinamakan hadits mudallas yang termasuk kedalam bagian hadits Dhoif.
Penjelasan diatas ana baca di buku Pengantar Ilmu Mustholahul Hadits milik Al Ustadz Abdul Hakim Abdat.. Apakah bisa disebutkan secara lengkap riwayat Imam Bukharinya dan bagaimana dengan penjelasan Ustadz Abdul Hakim diatas ? mohon dijelaskan.. Jazaakallahu Khoiron..
Balas.

Abu Umair As-Sundawy berkata
Maret 9, 2007 @ 2:53 am.

Jalurnya kurang lebih sama nampaknya dari Mak-hul an Mahmud bin Rabi’ an Ubadah bin Shaamit.Tapi ada jalurlain kalau tidak salah.Dikeluarkan oleh beberapa imam ahlil hadist.InsyaAllah saya akan cek, dan bandingkan komentar Al-Ustadz Abdul Hakim hafidzahullah tersebut dengan Imam Al-Albani rahimahullah, karena beliau membawakan hadist ini dalam Sifat Sholat.

Sekedar tambahan bahwa hadist ini dikeluarkan Al-Imam Bukhari dalam juz al-qiroah nya .Dinyatakan sahih oleh Al-Imam Ibnu Baz dalam fatawanya (11/221).Al-hafidz Ibnu Hajar mengatakan isnadnya hasan.

Allahu a’lam.Syukran atas komentarnya.
Abu Umair As-Sundawy.
Balas.

Abu Umair As-Sundawy berkata
Maret 12, 2007 @ 11:54 pm.

Pak Abu Aufa silahkan membaca di Al-Ashlu Sifat Sholat Nabi mulai hal 327-331.(maktabah Al-Ma’arif 2006) oleh Syaikh Albani , bisa didunlod di wqfeya.com.Dalam Notakaki bab Naskhul qiro-ah waro-al imam fil jahriyah.

Agak panjang, saya belum sempat menuliskannya, tapi cuplikannya demikian:
Hadza hadistsun shohih (ini adalah hadist yang shahih).Dikeluarkan oleh Bukhari (Juz’ul Qiroah (7&22),Abu Daud (1/131)Tirmidzi(2/116-117),At-Thahawi(1/127),Ad-Daruquthni(120),Al-Hakim(1/237),At-Thabrani dalam As-Shoghir(134),Al-Baihaqi(2/164)Ahmad(5/313,316,322),Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (3/236) dari jalan Muhammad bin Ishaq dari Makhul dari Mahmud bin Ar-Rabi’ dari Ubadah bin Shamit.

Isnadnya jayyid (baik) tidak ada celaan padanya sebagaiman dikatakan Al-Khothobi dalam Al-Ma’alim (1/205).Ibnu Ishaq menjelaskannya dengan “tahdist” pada riwayat Ahmad.Dan Ad-Daruquthni berkata (Isnadnya hasan).Albaihaqi meng i’lal nya.Dan At-Tirmidzi berkata “Hadist hasan”.Dan Alhaqim berkata “Isnadnya mustaqim (lurus)”.Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam “Nataijul afkar fi takhrij ahadistul adzkar” : Ini adalah hadist hasan”.Demikian juga Imam An-Nawawi dalam al-majmu’(3/363) dan Tahdzibul Asma’ (2/170) : “Hadist shoheh”.

Silakan bisa dibaca selengkapnya..
Kesimpulan Syaikh :”Wabil jumlah ,fal hadist shohihun bi majmu’ hadza at-thuruq,hasanun min thoriq ibni ishaq,wadhthirob man tabi’ahu fihi la yadhurru fi riwayatihi” (Secara keseluruhan ini,maka hadist ini shohih atas-jalur-jalur ini,Hasan dari jalan ibnu ishaq,dan kegoncangan yang menyertainya tidak membahayakan dalam riwayatnya).

Allahu a’lam.Silahkan koreksi.
Abu Umair As-Sundawy.

Note: Justru yang menarik adalah argumen dan pendapat Syaikh setelah membahas keabsahan hadist ini,bahwa hadist ini tidak bermakna wajib tapi ibahah.Coba rujuk kesana,sangat menarik.
Balas.

Abu Aufa berkata
Maret 14, 2007 @ 6:06 am.

Terus terang ana masih bingung akh mensikapi perbedaan pendapat diantara para ulama dan ahli ilmu dalam hal tashih dan tadh’if sebuah hadits.. apakah kaidah Al Jarh Muqoddamun ‘Ala Ta’dil atau Al Jarh Mufassar Muqoddamun ‘Ala Ta’dil Aam bisa digunakan untuk setiap perbedaan atau bagaimana.??. sebenarnya ingin sekali ana membaca kitab syaikh Albani Al-Ashlu Sifat Sholat Nabi akan tetapi ana belum bisa berbahasa arab akh..

Jikalau hadits hadist Bukhari tentang kejadian shalat subuh Rasulullah adalah shahih maka ana kira pendapat antum adalah pendapat yang kuat karena dalam hadits tersebut jelas bisa ditangkap Wajibnya membaca Al Fatihah dalam sholat Jahriyyah. akan tetapi dari yang antum bilang walaupun Syaikh Albani menshahihkan hadits ini akan tetapi beliau menjelaskan bahwa hadits tersebut tidak menunjukkan wajibnya Al Fatihah akan tetapi hanya ibahah saja, bisakah antum jelaskan secara ringkas mengapa Syaikh Albani berpendapat seperti itu ??
Balas.

Abu Umair As-Sundawy berkata
Maret 14, 2007 @ 12:25 pm.

Pak Abu Aufa, tentang kebingungan antum dalam masalah tashih wa tadh’if, maka ini menjadi kendala bersama umumnya kita.Karena sangat minim orang yang bisa mapan dalam bidang ini,kecuali dengan kesungguhan belajar yang tak kenal lelah.Jika memang tidak punya kemampuan untuk mempelajari sanad,maka tidak mengapa untuk taqlid kepada ahli di bidang ini dengan tetap memperhatikan semua argumennya.

Adapun tentang wajib dan ibahah dijelaskan cukup panjang oleh Al-Imam Albani dalam footnotenya.Saya coba tuliskan sedikit,ini baru dari sisi argumen beliau.Saya belum menuliskan tulisan yang menta’qib pendapat ini.

Kata beliau, hadist ini justru sebenarnya menunjukkan larangan membaca dibelakang imam, tetapi untuk al-fatihah maka diperbolehkan.Karena dalam kutub ushul dikatakan :”Annal ististna min hukmin yadullu ‘ala naqidhihi fahasab,wala dilalah lahu ‘ala ziyadah hukmin” atau “annal ististna ba’da an-nahyi la yufidu al-wujub war rukniyah,wa innama yufidu al-ibahah….” Sedikit contoh yang dibawakan Syaikh demikian misalnya perintah kepada anak dibawah umur 7 tahun:”Sholatlah kamu,sesungguhnya tidak ada agama bagi yang tidak sholat”,padahal ijma mengatakan tidak wajib sholat untuk umur dibawah 7,hanya saja ucapan “sesunguhnya tidak ada agama bagi yang tidak sholat”,menujukkan penjelasan sifat sholat pada hakikat asalnya. (Keluasannya yang sangat sarat faidah, silahkan dirujuk langsung kebuku aslinya,disana ada contoh ayat-ayat dengan keserupaan teks seperti ini).Maaf saya belum bisa menuliskan utuh karena keterbatasan waktu.

Abu Umair As-Sundawy
Balas.

Heri Setiawan berkata
April 30, 2007 @ 7:21 am.

kalau ada kasus, bacaan alfatihah imam ndak benar dalam hal mahraj huruf dan panjang pendek bacaan salah, itu gimana..? wajibkah kita mengganti bacaan alfatihah untuk melengkapi rukun sholat..?

Balas.

Habib Amaluddin berkata
Mei 14, 2007 @ 8:53 am.

Kalau benar bacaan Al Fatihah wajib bagi ma’mum, baik pada sholat jahriyah maupun sirriyyah, kapan ma’mum membacanya saat sholat jahriyyah?
Ana juga masih bertanya-tanya apa faidah dari imam membaca dijahrkan kalau ma’mum membaca Al Fatihah sendiri-sendiri. Bukankah cukup mengaminkan bacaan Al Fatihah imam.

Balas.

ibnu Muhtadi berkata
Mei 14, 2007 @ 1:16 pm.

@ Akhi Heri,
berkaitan dengan imam yang tidak menyempurnakan rukun dalam shalat:
makmum diperbolehkan memisahkan diri dari imam yang tidak membaca makhraj huruf atau tajwid tersebut (yakni bacaannya merubah makna dari bacaan al Fatihah). dalilnya adalah tentang sahabat kecil yang memisahkan diri dari mu’adz bin Jabbal radlillahu’anhuma saat membaca shalat dengan bacaan yang terlalu panjang. maka tidak disempurnakannya rukun (karena membaca al fatihah adalah rukun dalam shalat) adalah lebih boleh lagi bgi si makmum untuk memisahkan diri dari si imam.

seingat ini adalah fatwa Syeikh Ibnu Utsaimin, hanya saja lupa bentuk pertanyaaannya apakah imam yang tidak tuma’ninah atau tidak membaca Al Fatihah dengan benar.

Wallahu A’lam.

Balas.

Elvin Ikhsan berkata
Mei 29, 2007 @ 6:45 am.

Penulis mengatakan diawal tulisan bahwa pendapat mengenai masalah ini terbagi 3 dan bahkan telah dimulai semenjak jaman para shahabat, yaitu:
1. Wajib diam (Ibnu Taimiyah, Abu Darda, Imam Malik, dan lainnya)
2. Wajib membaca (Umar bin Khattab, Ubadah bin Shamit, Abdullah bin Amr bin ‘Ash, Abu Hurairah, Imam Syafi’i dan lainnya.)
3. Tidak wajib membaca baik jahriyah maupun sirriyah (Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, Jabir bin Abdillah, Sa’ad bin Abi Waqqash).

Dalam hal ini penulis menguatkan pendapat ke-dua. Maka konsekwensi pendapat kedua ini adalah bahwa “mereka” (shahabat nabi, diantaranya Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud) yang memilih diam (tidak wajib membaca Al-Fatihah pada shalat jama’ah jahar) maka shalat jama’ah mereka selama ini tidaklah sah baik shalat mereka ketika di imami Nabi ataupun ketika di imami oleh Amirul Mukminin setelah Nabi sesuai dengan keumuman Hadits Nabi “Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca surat Al-Fatihah”.

Pertanyaan saya:
1. Siapakah dirinya yang mengaku lebih alim dari shahabat Nabi sehingga berani mengatakan tidak sah shalat mereka (para shahabat) apabila mereka diam ketika imam membaca Al-fatihah)??
2. Apakah selama itu Nabi tidak mengetahui bahwa beberapa shahabat Nabi (pendapat ketiga) shalat dibelakang beliau tidak membaca Al-fatihah? Dan apabila Nabi mengetahui mengapa Nabi tidak memarahi mereka karena telah melanggar “”Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca surat Al-Fatihah”.?? Bukankah ini berarti ada kekhusuan dalam hal ini yaitu dalam shalat Jama’ah terutama Jahar tidaklah diwajibkan??
3. Telah mafhum bahwasanya beberapa shahabat telah dijamin dengan sorga. Diantara mereka yang dijamin tentulah ada yang berpendapat diam dibelakang imam, lalu bagaimana mereka bisa dijamin sorga apabila selama ini shalat jamaah mereka tidak sah (menurut pendapat kedua)?? Dan para shahabat hampir selalu shalat wajib berjamaah sepanjang hidup mereka sebagai muslim.
4. Permasalahan sholat ini adalah permasalah yang sangat penting akan tetapi mengapa Umar bin Khattab (pendapat kedua) hanya mendiamkan saja Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud yang mengambil pendapat ketiga (menurut tulisan penulis) padahal mengandung resiko tidak sahnya shalat mereka dan orang-orang yang mengikuti mereka?? Apakah Umar bin Khattab yang tidak mengerti nash-nash ataukah Ali bin Abi Thalib yang tidak paham??
5. Tidak cukupkah bagi kita “in qoro’ta falaka salaf, wa in sakatta falaka salaf” (jika engkau membaca maka anda punya pendahulu,demikian juga bila anda diam)?.

Wassalam.
Elvin Ikhsan
Balas.

herbono utomo berkata
Desember 25, 2010 @ 4:00 am.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pak ustadz Abu Umair As-Sundawy,
Saya sangat setuju dgn pendapat sdr. Elvin Ikhsan: Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib dan yg lainnya berbeda pendapat ttg wajib atau tidaknya membaca Alfatihah pada rakaat jahar. Mereka adalah org2 yg dijamin masuk surga dan Rasulullah tdk menyalahkan mereka. Kita membaca al-Fatihah atau tidak, karena kita berguru kepada mereka!!!.

Saya juga setuju dgn pendapat Abu Faris, jika ijtihad ulama yg kita ikuti benar maka kita mendapat 2 pahala. Jika salah, maka kita mendapat 1 pahala. Semoga Allah subhanahu wa ta’la selalu membimbing kita ke jalan yang lurus, aamiin ya Rabbal alamin.

Balas.

Abu Umair As-Sundawy berkata
Mei 30, 2007 @ 12:23 am.

Assalamu’laikum warahmatullah wabarakatuh,
Al-Akh Elvin Ikhsan,
1.Adakah ulama yang berpendapat akan wajibnya membaca al-fatihah berkonklusi seperti kesimpulan antum bahwa sahabat yang diam tidak membaca al-fatihah maka shalat mereka batal.Tunjukkan kepada kami akan nukilan pendapat ini, fal yatafadhdhol masykuro!.

Kalaulah demikian,maka amatlah mudah bagi kita untuk mendakwa bahwa antum juga “menuduh” segenap ulama yang berbaris rapi akan pendapat wajibnya membaca dibelakakang imam bahwa mereka menuduh para sahabat tidak sah shalatnya.

2.Selebihnya dari point antum yang disebutkan, itulah permasalahan fiqih yang tidak melulu berujung pada satu barisan dan berkonklusi saklek “if-then” (jika demikian pasti demikian).Yuk sama-sama menghisap aroma fiqih dari sekian banyak contoh kasus:p.

3.Ada beberapa artikel terkait yang saya ingat akan topik ini,silahkan dikunjungi :
1. Konsultasi Ustadz: Dalil Makmum Membaca Al Fatihah Setelah Imam:
http://muslim.or.id/2007/05/04/konsultasi-ustadz-dalil-makmum-membaca-al-fatihah-setelah-imam/

2.Di blog Al-Akh Abu Salma
http://abusalma.wordpress.com/2007/05/01/beberapa-fatawa-ulama-yaman/

Allahu a’lam.
Abu Umair As-Sundawy.
Balas.

Elvin Ikhsan berkata
Mei 30, 2007 @ 6:29 am.

Assalamu’laikum warahmatullah wabarakatuh,

Akhi Abu Umair As-Sundawy,
Harus saya akui bahwa saya telah mengambil kesimpulan terlalu jauh tanpa disertai ilmu, saya bertobat akan hal ini. Terima kasih atas penjelasan antum. Akhlak antum dalam menjelaskan hal ini sangat baik sekali.

Akan tetapi mengenai permasalahan ini saya tetap tsiqah kepada barisan ulama yang menguatkan pendapat tidak wajib membaca Al-Fatihah dalam shalat jahriyyah, tentunya dengan penjelasan mereka yang tidak perlu saya lampirkan disini karena terlalu panjang. Dan saya kira antum tentu sudah mempelajari pendapat ini.

Jazzakalloh Khoiron Katsiro
Wassalamu’alaikum warohmatulllohi wabarokatuh.
Elvin Ikhsan
Balas.

Abu Faris an-Nuri berkata
Mei 30, 2007 @ 9:45 am.

Sekedar memberi komentar ringan atas tulisan al-Akh al-Fadhil Abu Umair di atas…
Fiqh tetaplah mengikuti kaidah ‘if-then’. Hanya saja, terkadang tidak timbul ‘than’ padahal ada ‘if’ karena di sana ada yg disebut dg ‘wujud al-mawani’ wa ‘adam istifa` asy-syurut’ (terdapat penghalang dan atau tidak terpenuhinya persyaratan). Demikian pula dg sebagian permasalahan yang diklaim sebagai exception atau keluar dari kaidah tertentu, padahal ternyata hal itu disebabkan ia masuk pada range kaidah yang lain.
 
Ok, singkat kata, bagaimana implementasinya dalam kasus di atas? Mereka yang berpendapat tentang wajibnya membaca al-Fatihah baik dalam shalat jahr maupun sirr tidak dapat memastikan bahwa orang yang berseberangan dg mereka tidak sah shalatnya, karena mereka pun ber-ijtihad dan ber-istinbath dari dalil2 yg ada, sedangkan ijtihad jika salah bernilai satu pahala dan jika benar bernilai dua pahala. Demikianlah ringkasnya, mudah2an dapat dipahami ^_^

NB:
Saya sendiri belum mencoba melakukan ‘tarjih’ dalam masalah ini. Namun, pernah saya sampaikan dalam salah satu momen bahwa membaca al-Fatihah merupakan perkara yang ‘ahwath’ (paling hati2/selamat; jangan dibaca akhwat loh ^_^), jika Anda membaca al-Fatihah, maka shalat Anda tetap sah menurut dua pendapat yg berseberangan tersebut. Namun jika Anda tidak membaca al-Fatihah maka shalat Anda tidak sah menurut konsekuensi salah satu pendapat. Bukankah demikian? ^_^ Ini jika Anda bingung dalam memilih satu dari dua pendapat yang ada. Namun, jika Anda merasa tenteram terhadap salah satu pendapat dan meyakini kebenarannya, maka itulah yang Anda amalkan.
Wallahu a’lam bish shawab.
Balas.

Abu Al-Jauzaa' berkata
Mei 30, 2007 @ 2:50 pm.

Ana pribadi menguatkan sebagaimana apa yang ditulis oleh akh Abu ‘Umair. Idem ma Abu Faris; Syaikh Bin Baaz pernah mengatakan hal yang serupa. Beliau menguatkan pendapat diwajibkannya membaca Al-Fatihah. Namun di sisi lain beliau memberikan penjelasan bahwa jika ada orang yang tidak membaca Al-Fatihah, maka shalatnya tetap sah. Allaahu a’lam. Komentar ini lebih ringan lagi dari apa yang ditulis akh Abu Faris… Ya partisipasi saja lah.

Balas.

abah zacky berkata
Agustus 1, 2007 @ 1:26 am.

Assalamu’alaikum wr. wb
Sebelumnya saya mohon maaf, ketika membaca keterangan tentang hadis man adraka rak’atan … di dalam syarh Abu Dawud, Aunul Ma’bud, disebutkan bahwa maksudnya adalah mendapatkan satu rekaat lengkap, bukan mendapatkan ruku’. Satu rekaat lengkap dimulai dari takbiratul ihram, berdiri membaca surat (termasuk al-fatihah) ruku’ dan seterusnya sampai berdiri lagi. Kalau Imam sudah ruku’ dan belum bangun lalu seorang makmum datang, ia kehilangan beberapa rukun shalat bersama imam. Kalau menurut Syaikh Shalih al-Munajjid, dalam buku terjemahan yang berjudul Fiqih Darurat, dikatakan bahwa seseorang yang tertinggal dua rukun maka jama’ahnya tidak sah. Artinya, rekaat itu tidak dihitung sebagai satu rekaat.

Maaf, saya tidak sempat mengecek halaman per halaman, karena ini hanya seingat saja. Kalau pingin tahu silakan cek sendiri.

abahzacky.wordpress.com
Balas.

Abu Umair As-Sundawy berkata
Agustus 1, 2007 @ 11:21 am.

Wa’alaikumsalam warahmatullah wb.

Abah Zacky,
Sejujurnya saat belakangan ini ketika sedang membaca-baca lagi,saya agak selintas cenderung menguatkan perkataan antum, yakni seseorang masbuq tidak mendapati rokaat ketika mendapati imam ruku’.Tapi ini masih dalam baca-baca selintas belum didalami lebih lanjut.Yah lain kali coba kita bahas.

Abu Umair As-Sundawy
Balas.

Abu Shalih berkata
Agustus 27, 2007 @ 3:54 am.

Akhi Abu Umair, dalam beberapa waktu terakhir ini ana menelaah permasalahan ini, dan ana memiliki kecenderungan yang sama dengan antum bahwa bacaan Alfatihah adalah tetap wajib saat qirooah jahriyyah.

Ada sedikit poin yang mungkin bisa membantu menyokong penjelasan antum:

ana cop-past beberapa tulisan antum :
======
“Adakah seseorang diantara kalian tadi membaca Al-Quran bersamaan dengan aku membaca?” Seseorang menjawab:”Ya,saya, wahai Rasulullah.” Rasulullah mengatakan :”Aku katakan kepadamu mengapa aku diganggu (sehingga bacaanku terganggu)?”Abu Hurairah berkata :Kemudian para sahabat berhenti membaca al-Quran bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam membacanya dengan suara keras dan bacaan itu mereka dengar [dan mereka membaca sendiri tanpa suara bila imam tidak mengeraskan bacaannya]”.

Hadist ini bermasalah akan keshahihannya dan juga pada ucapan Abu Hurairah.Sebagian ulama mengatakan bahwa lafadz tersebut bukan dari Abu Hurairoh, akan tetapi dari Az-Zuhri.Diantaranya yang berpendapat demikian adalah Al-Imam Al-Bukhari.Seandainya benar itu lafadz Az-Zuhri maka hukum hadist ini mursal munqothi’ karena Az-Zuhri seorang tabi’in sehingga tidak boleh berhujjah dengan dalil ini (ini pandangan Imam Albani sendiri pada hal.339).Dan juga, Abu Hurairoh dengan lafadz tegas dalam riwayat Muslim, menyatakan bahwa dalam sholat jahar pun makmum tetap membaca Al-Fatihah.

========
Abu Shalih :
Lafadz : “fa intahannaas ‘anil qiroah fima yajharu fihi An-Nabiyyu shalallahu ‘alaihi wasalam”.
di antara ulama yang menyatakan bahwa ini adalah idroj (sisipan) dari azzuhri adalah : Al Imam Al bukhari dalam tarikhnya, Abu Dawud, Ya’qub bin yusuf, Adzdzihli, ALkhataby dan selainnya.
Bahkan imam An Nawawi berkata : “ini adalah persoalan yang tidak diperselisihkan dikalangan mereka”. sisipan ini disebutkan pada riwayat Ahmad (II/240).
pernyataan para imam ini semakin kuat untuk membatalkan dakwaan naskh pada keumuman perintah membaca Alfatihah.

dan
=====
An-Naskh tidak tsubut jika adanya kemungkinan.
Ada yang mengatakan begini :”Siapa yang mendakwa bahwa Hadist Abu Hurairoh “fa intahannaas ‘anil qiroah fima yajharu fihi An-Nabiyyu shalallahu ‘alaihi wasalam” (Maka berhentilah para sahabat dari membaca pada sholat yang mana Rasulullah mengeraskan bacaannya) adalah menghapuskan dalil tentang membacanya sahabat dalam sholat shubuh maka Al-Hazimi dalam kitab Al-I’tibar (Hal 72-75) mendakwa kebalikannya yakni menjadikan dalil-dalil kewajiban membaca Al-Fatihah menghapuskan dalil-dalil larangan membaca dibelakang imam”.
=========
dakwaan kebalikan ini (naskh terhadap dalil2 yang mengandung larangan) pun juga rasanya tidak memiliki landasan dalil yang kuat, so jalan yang terbaik adalah dikembalikan kepada kaidah jama’ dan tarjih.

penjelasan di atas dapat ditelaah di shahih fiqhsunnah wa adillatuhu wa taudhihu madzhab al aimmah.

Salam
Abu Shalih
Balas.

Abu Al-Jauzaa' berkata
September 20, 2007 @ 3:31 am.

Baru saja ana liat-liat,
http://www.saaid.net/book Eh,…. ketemu judul menarik terkait dengan tema nya Ustadz Abu ‘Umair yang tentunya bertolak belakang dengan kesimpulan beliau. Judulnya : Ar-Radd ‘alaa Man Aujaba Qiraa’atul-Fatihah ‘alal-Ma’muum fii Shalatil-Jahriyyah buah tulisan Ridlaa Ahmad Ash-Shamadi. Bukan dalam rangka menyanggah secara khusus, namun untuk berbagi-bagi matan.
 
Berikut isinya :

فأما ما استدل به البخاري والشافعي رحمهما الله على وجوب قراءة الفاتحة مطلقا ( منفردا وإماما ومأموما في السرية والجهرية ) فهو ما رواه البخاري وغيره في صحيحه قال : حدثنا علي بن عبد الله قال حدثنا سُفْيانُ قال حدثنا الزُّهْرِي عن محمود بن الربيع عن عُبَادَة بن الصامِت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ( لا صَلاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَاب ) .


وهو عُمدة ما استدل به القائلون بوجوب قراءة الفاتحة مطلقا ، ولم يُعَوِّلُوا في الباب على دليل ذي بَالٍ سوى هذا الحديث ، لذلك سيكون مِحْوَرَ الرد على أصحاب هذا المذهب مع التعرض للأدلة الأخرى والجواب عن هذا الحديث من ثلاثين وجه :


(1) أن تمام الرواية : ( لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب فصاعدا ) ، وهي من رواية مَعْمَر عن الزهري أخرجها مسلم وأحمد ، وزعم البخاري أن عامة الثقاة لم يتابعوا معمرا على هذه الزيادة ، وهو تَعَقُّبٌ لا يؤثر ، فمعمر ثقة حافظ ، ولا يؤثر انفراده ، خاصة إذا كانت الزيادة لا تنافي رواية الآخرين كما تقرر في مصطلح الحديث.


على أن للزيادة شواهد صحيحة منها ما رواه أبو داود عن أبي سعيد قال : أمرنا نبينا صلى الله عليه وسلم أن نقرأ بفاتحة الكتاب وما تيسر . قال الحافظ في الفتح (2/243) بسند قوي ، وقال البَنَّا في الفتح الرباني (3/195) : قال ابن سَيِّد الناس : وإسناده صحيح ورجاله ثقاة .


ولذلك لم يلتفت الحافظ ابن حجر في الفتح لنقد البخاري وذكر هذه الزيادة عند شرح الحديث في الفتح وسكت عنها . وصححها غيره من الأئمة .


قال شيخ الإسلام ابن تَيْمِيَّة في رسالته في القراءة خلف الإمام ( مجموع الفتاوى 23/289) : وهذا يدل على أنه ليس المراد به قراءة المأموم حال سماعه لجهر الإمام ، فإن أحدا لا يقول إن زيادته على الفاتحة وترك إنصاته لقراءة الإمام في هذه الحال خير، ولا أن المأموم مأمور حال الجهر بقراءة زائدة على الفاتحة.


(2) مما يدل على أن المراد بهذا الحديث الإمام دون غيره ما رواه مسلم عن أبي هُرَيْرَة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا صلاة إلا بقراءة . قال أبو هريرة : فما أَعْلَنَ رسول الله صلى الله عليه وسلم أَعْلَنَّاهُ لكم ، وما أَخْفَاهُ أَخْفَيْنَاهُ لكم .


وأورد الإمام مسلم هذه الرواية بعد حديث أبي هريرة مرفوعا : (من صلى صلاة لم يقرأ فيها بفاتحة الكتاب فهي خِدَاجٌ ) والسر في ذلك كما قال شيخ الإسلام ابن تيمية لبيان أن المراد بالحديث الإمام دون غيره ، فالمأموم لا يسمع أحد قراءته .


فإن قيل : في سنن أبي داود من رواية محمد بن إسحاق عن مَكْحُول عن محمود بن الربيع عن عبادة : أن النبي صلى الله عليه وسلم ثقلت عليه القراءة في الفجر ، فلما فرغ قال : لعلكم تقرءون خلف إمامكم ؟ قلنا : نعم ، قال : فلا تفعلوا إلا بفاتحة الكتاب ، فإنه لا صلاة لمن لم يقرا بفاتحة الكتاب .


فالجواب عن هذا من أربعة وجوه :


(1) أن هذا الحديث ضعيف فيه ثلاث عِلَلٍ :


الأولى: أنه من رواية مكحول وهو مُدَلِّسُ وقد عَنْعَنَ في جميع الطرق المروية عنه .


الثانية : أنه من رواية محمد بن إسحاق ، وهو وإن كان صرح بالتحديث فقد انفرد بهذه الزيادة : ( لعلكم ..) ولذلك لم يعتمدها البخاري في صحيحه فروى أصل الحديث : ( لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب ) . وقد قال الحافظ أبو زُرْعَة الرَّازي ( انظر سير أعلام النبلاء 13/80) : إذا انفرد ابن إسحاق بالحديث لا يكون حجة ، ثم روى له حديث القراءة خلف الإمام ، وما ورد من متابعات لمحمد بن إسحاق فلا يُعَوَّل عليها لضعفها .


الثالثة: أن إسناده مضطرب عن مكحول ،فمرة يرويه عن عبادة ومرة عن محمود عن عبادة ومرة عنه عن نافع عن عبادة ، وكلها في سنن أبي داود ، ومرة عن محمود عن أبي نُعَيْم عن عبادة رواه الدَارَ قُطْنِيّ .


(2) قال شيخ الإسلام ابن تيمية ( المجموع 23/268) : وهذا الحديث معلل عند أئمة الحديث بأمور كثيرة ، ضعفه أحمد وغيره من الأئمة ، وقد بسط الكلام على ضعفه في غير هذا الموضع ، وبين أن الحديث الصحيح قول النبي صلى الله عليه وسلم : ( لا صلاة إلا بأم القرآن ) فهذا هو الذي أخرجاه في الصحيحين ، ورواه الزهري عن محمود بن الربيع عن عبادة ، وأما هذا الحديث فغلط فيه بعض الشاميين ، وأصله أن عبادة كان يؤم ببيت المقـدس ، فقال هذا الكلام ، فاشتبه عليهم المرفوع بالموقوف على عبادة .


(3) قال الشيخ الألباني في ضعيف الجامع : عن حديث : ( إني أراكم تقرءون وراء إمامكم ، فلا تفعلوا إلا بأم القرآن فإنه لا صلاة لمن لم يقرأ بها ) : ضعيف ( ضعيف أبي داود ) . ثم قال في الحاشية : قلت : وقد حققت فيه أنه إنما يصح منه قوله : ( فلا تفعلوا إلا بأم القرآن ) وفي حديث آخر : ( فلا تفعلوا إلا أن يقرأ أحدكم بفاتحة الكتاب ) وهذا اللفظ ينفي وجوب الفاتحة وراء الإمام في الجهرية ، لقوله : ( إلا أن يقرأ … ) فتأمل ، وأما قوله : ( لا صلاة لمن …) فهو حديث آخر في الصحيحين وغيرهما هكذا مختصرا . أهـ كلامه حفظه الله .


وقال في حاشيته على مشكاة المصابيح عند التعليق على هذا الحديث (1/270) : هذا لا يدل على وجوب الفاتحة وراء الإمام كما يظن ، بل على الجواز ، لأن الاستثناء جاء بعد النهي ، وذلك لا يفيد إلا الجواز ، وله أمثلة في الاستعمال القرآني ، وتفصيل ذلك لا يتسع له المقـام ، فمن شاء التحقيق فليرجع إلى كتاب ( فيض القدير ) للشيخ أنور الكَشْمِيري ، ويشهد لذلك ما في رواية ثابتة في الحديث بلفظ : ( لا تفعلوا إلا أن يقرأ أحدكم بفاتحة الكتاب ) ، فهذا كالنص على عدم الوجوب فتأمل . أهـ .


(4) سلمنا صحة الحديث ، ولكن لا دلالة فيه ، ففي هذا الحديث بيان أن النبي صلى الله عليه وسلم لم يكن يعلم هل يقرءون وراءه بشيء أم لا ؟ ومعلوم أنه لو كانت القراءة واجبة على المأموم لكان قد أمرهم بذلك ، وأن تأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز ، ولو بين ذلك لهم لفعله عامتهم ، ولم يكن ليفعله الواحد والاثنان منهم ، ولم يكن يحتاج إلى استفهامه ، فهذا دليل أنه لم يوجب عليهم قراءة خلفه حال الجهر ، ثم إنه لما علم أنهم يقرءون نهاهم عن القراءة بغير أم الكتاب ، وما ذكر من التباس القراءة عليه تكون بالقراءة معه حال الجهر ، سواء كان بالفاتحة أو غيرها ، فالعلة متناولة للأمرين ، فإن ما يوجب ثقل القراءة والتباسها على الإمام منهي عنه .


فمعنى الحديث : لا تقرءوا خلف الإمام بأي قرآن لئلا تَلْبِسُوا عليه قراءته ، إلا بفاتحة الكتاب فاقرءوا بها على وجه لا يحصل به الالتباس أو الإلباس . ( وهو مطابق للمذهب الصحيح أن قراءة الفاتحة للمأموم خلف الإمام في الجهرية غير واجبة وترك القراءة غير واجب أيضا ) .


(3) سلمنا أن الحديث ليس خاصا بالإمام كما بينا ، وأنه عام للمأموم في كل الأحوال والإمام والمنفرد ، لكنه مخصوص بقوله تعالى : ( وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون ) .


وقد نزلت هذه الآية في القراءة في الصلاة . ذكر الإجماع على ذلك الإمام أحمد بن حَنْبَل ، فمن زعم أن هذه الآية عامة فقد خالف العموم بوجوب الإنصات والقراءة ، ومن زعم أنها خاصة بالقراءة خارج الصلاة فقد خالف الإجماع في أنها نزلت في القراءة في الصلاة ، وخالف الإجماع على أن الاستماع للقراءة خارج الصلاة ليست واجبة كما قال شيخ الإسلام ابن تيمية (23/269) ، وعلى فرض أنها خاصة بالاستماع للقراءة خارج الصلاة ، فدخول استماع المأموم إلى الإمام في الآية من باب أولى ، لأنه إذا كان الاستماع إلى القارئ خارج الصلاة واجبة حيث لا يجب الائتمام به فاستماع المأموم أوجب حيث ثبت بالدليل الصحيح الصريح وجوب ائتمام المأموم بالإمام في قوله صلى الله عليه وسلم : ( إنما جعل الإمام ليؤتم به ) .


ولا يرد أن هذه الآية نزلت في مكة وحديث عبادة بالمدينة فيثبت النسخ ( كما قال القرطبي رحمـه الله ) ، لأن ذلك يستلزم إثبات أن الآية لم تنـزل إلا في مكة ، ودون ذلك خَرْطُ القَتَاد ، فيجوز أن تكون نزلت مرتين مرة بمكة ومرة بالمدينة شأن كثير من الآيات كما هو معلوم في علوم القرآن ، بل إن الثابت فعلا أنها نزلت بالمدينة كما ذكر ابن كثير في تفسير هذه الآية : وقال إبراهيم بن مسلم الهجري عن أبي عِيَاض عن أبي هريرة قال : كانوا يتكلمون في الصلاة فلما نزلت هذه الآية : ( وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون ) أمروا بالإنصات . وأبو هريرة أسلم بعد عبادة بن الصامت ، فعلى قياس جعلهم حديث عبادة مَدَنِيَّاً لا تكون الآية منسوخة بحال .


(4) أن الأمر بالإنصات في الآية : ( وإذا قرئ القرآن ..) المقصود به حصول التدبر ، ولا ينازع المخالف أن المأموم لا يقرأ وراء الإمام في الجهرية مازاد على الفاتحة ، ويستدلون بذات الآية على لزوم الاستماع إلى ما زاد على الفاتحة ، لأنه من القرآن ، والفاتحة أم القرآن ، وهي التي لا بد من قراءتها في كل صلاة ، وهي أفضل سور القرآن ، وهي التي لم ينـزل في التوراة ولا في الإنجيل ولا في الزبور ولا في القرآن مثلها فيمتنع أن يكون المراد من الآية الاستماع إلى كل القرآن دون الفاتحة مع إطلاق لفظ الآية وعمومها ، وإذا كان المأموم مأمورا ( إجماعا ) بالاستماع إلى الزائد عن الفاتحة مع أن قراءة الزائد مستحبة ، فكيف لا يؤمر بالاستماع لقراءة الإمام الفاتحة وهي الفرض وكيف يؤمر باستماع التطوع دون استماع الفرض .


(5) وهو مفرع على ما قبله : أنه إذا كان الاستماع إلى القراءة الزائدة على الفاتحة واجبا بالكتاب والسنة والإجماع فالاستماع لقراءة الفاتحة أوجب . وقد أمر الرسول صلى الله عليه وسلم المسيء صلاته بقراءة الفاتحة وما تيسر ، فالقائل بوجوب قراءة الفاتحة صائِرٌ إلى القول بوجوب قراءة ما زاد لا محالة إذ محل الاستدلال واحد والتفريق بحديث عبادة بن الصامت لا يتم لأنه ثبت فيه الأمر بقراءة الزائد أيضا .


أما نحن فمَخْلَصُنا أن هذه الأحاديث في حق الإمام أو المنفرد ، ووجوب قراءة الزائد على الفاتحة على كل منهما ليس ببعيد ( وليس هذا محل البحث ) أما المأموم فالإجماع منعقد على عدم وجوب قراءة الزائد من الفاتحة عليه .


(6) أن حديث عبادة مخصوص بحديث أبي موسى الأشعري في صحيح مسلم قال : إن رسول الله صلى الله عليه وسلم خطبنا فبين لنا سنتنا ، وعلمنا صلاتنا ، فقال : ( أقيموا صفوفكم ، ثم ليؤمكم أحدكم ، فإذا كبر فكبروا وإذا قرأ فأنصتوا ) .


وزعم بعضهم أن زيادة : ( وإذا قرأ فأنصتوا ) شاذة ، وليس بشيء ، فقد أورد الإمام مسلم هذا الحديث في صحيحه الذي قال فيه : أنه أورد فيه ما أجمعوا عليه . وصحح حديث أهل السنن عن أبي هريرة مرفوعا : ( إنما جعل الإمام ليؤتم به فإذا كبر فكبروا وإذا قرأ فأنصتوا ) ، فلما سئل الإمام مسلم : لِمَ لَمْ يورده في صحيحه ؟ قال : إنه إنما أورد فيه ما أجمعوا عليه .


قال شيخ الإسلام في الاستدلال بهذا الحديث : فإن الإنصات إلى قراءة القارئ من تمام الائتمام به ، فإن من قرأ على قوم لا يستمعون لقراءته لم يكونوا مؤتمين به .


(7) وهو مفرع على ما قبله : أن متابعة المأموم للإمام مقدمة على غيرها ، حتى في الأفعال ، فإذا أدركه ساجدا سجد معه وإذا أدركه في وتر من صلاته تشهد عقب الوتر ، وهذا لو فعله منفردا لم يَجُزْ ، وإنما فعله لأجل الائتمام ، فيدل على أن الائتمام يجب به ما لا يجب على المنفرد ويسقط به ما يجب على المنفرد .


(8) قال شيخ الإسلام : والمقصود بالجهر استماع المأمومين ، ولهذا يُؤَمِّنون على قراءة الإمام في الجهر دون السر ، فإذا كانوا مشغولين بالقراءة فقد أُمِرَ أن يقرأ على قوم لا يستمعون لقراءته ، وهو بمنـزلة أن يحدث من لم يستمع لحديثه ، ويخطب من لم يستمع لخطبته ، وهذا سفه تنزه عنه الشريعـة ، ولهذا رُوِيَ في الحديث : ( مثل الذي يتكلم والإمام يخطب كمثل الحمار يحمل أسفارا ) فهكذا إذا كان يقرأ والإمام يقرأ عليه . أهـ


(9) ويخصص حديث عبادة أيضا ما رواه الإمام أحمد وأبو داود والترمذي وحسنه ، وصححه الشيخ أحمد شاكر من طريق الزُّهْرِي عن ابن أُكَيْمَة الليثي عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم انصرف من صلاةٍ جَهَرَ فيها ، فقال : ( هل قرأ معي أحد منكم آنفا ؟ فقال رجل : نعم يا رسول الله ، قال : إني أقول ما لي أُنَازَعُ القرآن ) قال : فانتهى الناس عن القراءة مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما جهر فيه النبي صلى الله عليه وسلم بالقراءة في الصلوات حين سمعوا ذلك من رسول الله صلى الله عليه وسلم . وقد اختلف النُّقَّاد في هذه الزيادة : فانتهى الناس .. هل هي من كلام أبي هريرة أو من كلام الزهري ، ورجح شمس الدين ابن القَيِّم أن قوله : فانتهى الناس ، من كلام أبي هريرة ، ورَدَّ على من نفى ذلك بكلام نفيس في حاشيته على مختصر سنن أبي داود ، وزاد الأمر تحقيقا الشيخ أحمد شاكر في شرحه للمسند . وعلى ذلك فقول أبي هريرة حجة في نقل عمل الصحابة بما يعد إجماعا منهم على ذلك ، ولا يقدح في هذا النقل من أبي هريرة زعم من زعم أن هذا مخالف لمذهبه في وجوب القراءة خلف الإمام ، فإن هذا لم يثبت صريحا عن أبي هريرة ، بل ثبت خلافه كما سيأتي ، ولو ثبت مخالفة أبي هريرة للحديث لكانت الحجة في الحديث وفي عمل الصحابة الذين نقل عنهم . ولو تنـزلنا وذهبنا إلى أن قوله : فانتهى الناس .. من كلام الزهري فلا تنتقص الحجة أيضا بذلك .


قال شيخ الإسلام : وهذا إذا كان من كلام الزهري فهو من أدل الدلائل على أن الصحابة لم يكونوا يقرءون في الجهر مع النبي صلى الله عليه وسلم ، فإن الزهري من أعلم أهل زمانه أو أعلم أهل زمانه بالسنة ، وقراءة الصحابة خلف النبي صلى الله عليه وسلم إذا كانت مشروعة واجبة أو مستحبة تكون من الأحكام العامة التي يعرفها الصحابة والتابعين لهم بإحسان ، فيكون الزهري من أعلم الناس بها ، فلو لم يبينها لاستدل بذلك على انتفائها ، فكيف إذا قطع الزهري بأن الصحابة لم يكونوا يقرءون خلف النبي صلى الله عليه وسلم في الجهر .


ويزيد هذا الوجه وضوحا الوجه التالي :


(10) أن عدم القراءة خلف الإمام في الجهرية هو عمل أهل المدينة ، نقل ذلك الإمام ابن العربي في تفسيره ، ولا شك أن عمل أهل المدينة المعتبر الذي يقدمه الإمام مالك على غيره من الأدلة إنما هو إجماع الصحابة والتابعين السابقين للإمام مالك ، وهم بلا شك من القرون الثلاثة المعتبرة ، وإجماع الصحابة والتابعين من أوثق الإجماعات كما قال أهل العلم .


ويتأكد هذا الأمر بالوجه الحادي عشر :


(11) وهو أن الإمام أحمد نقل الإجماع على أنه لا تجب القراءة على المأموم حال الجهر . ولا شك أن نقل أحمد للإجماع – على تَشَدُّدِهِ المعروف في الإجماع لدرجة أن كَذَّب مُدَّعِيَه – لَدَلِيْلٌ على صحة هذا الإجماع ، وقد ذكر هذا الإجماع عن الإمام أحمد الإمام أبو داود في مسائله عن أحمد صفحة (37) ، ونقله عنه شيخ الإسلام ابن تيمية وهو البصير بروايات أحمد .


ويقول شيخ الإسلام أيضا : ومعلوم أن النهي عن القراءة خلف الإمام في الجهر متواتر عن الصحابة والتابعين ومن بعدهم ، كما أن القراءة خلف الإمام في السر متواترة عن الصحابة والتابعين ومن بعدهم بل ونفي وجوب القراءة على المأموم مطلقا مما هو معروف عنهم .أهـ


فاجتمع عندنا الإجماع الذي نقله أبو هريرة عن عمل الصحابة ( أو الإجماع المنقول عـن الزهــري ) والإجماع الذي نقله الإمام أحمد ، والتواتر الذي أثبته شيخ الإسلام ( وَهُوَ مَنْ هُوَ في العلم بالخلاف ومذاهب العلماء ) وعمل أهل المدينة الذي نقله ابن العربي ( رحم الله الجميع ) ، فكل هذه الإجماعات كافية في تخصيص حديث عبادة ولا ريب ، لما تقرر من أن دلالة الإجماع مقدمة على دلالة النص لطُرُوْءِ العوارض على الأخير كالنسخ والتخصيص والإضمار وغير ذلك بخلاف الإجماع .


ومما يزيد هذا الإجماع وضوحا ما ورد عن الصحابة من آثار صحيحة صريحة في المنع من القراءة خلف الإمام ، وهو محمول على الجهرية لما سبق . وهو ما نوضحه في الوجه الثاني عشر :


(12) عن جابر بن عبد الله قال : من صلى ركعة لم يقرأ فيها ، لم يصل إلا وراء الإمام . رواه مالك في الموطأ ، وقال الدارقطني : الصواب موقوف . وقال الألباني في السلسلة الضعيفة (2/420) : سنده صحيح .


وعن نافع أن عبد الله بن عمر كان إذا سئل : هل يقرأ خلف الإمام ؟ يقول : إذا صلى أحدكم خلف الإمام تجزئه قراءة الإمام ، وإذا صلى وحده فليقرأ ، قال نافع : وكان ابن عمر لا يقرأ خلف الإمام . رواه مالك وعبد الرزاق . وقال الألباني : سنده صحيح .


وعن عطاء بن يَسَار أنه سأل زيد بن ثابت عن القراءة مع الإمام فقال : لا قراءة مع الإمام في شيء . رواه البَيْهَقِي وقال الألباني : سنده صحيح .


وعن أبي وائل أن رجلا سأل ابن مسعود عن القراءة خلف الإمام فقال : أَنْصِتْ للقرآن ، فإن في الصلاة شُغُلاً ، وسيكفيك ذلك الإمام . وقال الألباني : سنده صحيح .


قال شيخ الإسلام : وابن مسعود وزيد بن ثابت هما فقيها أهل المدينة وأهل الكوفة من الصحابة ، وفي كلامهما تنبيه على أن المانع : إنصاته لقراءة الإمام . أهـ


وعن علي بن أبي طالب قال : من قرأ خلف الإمام فقد أخطأ الفطرة . رواه البخاري في جزئه والدارقطني وابن أبي شَيْبَة بسند قال فيه الألباني : جيد .


وعن كثير بن مُرَّة أن أبا الدَّرْدَاء سئل أفي كل صلاة قراءة ؟ فقال : نعم . فقال رجل : وجبت هـذه . فقال أبو الدرداء : ما أرى الإمام إذا أم القوم إلا قد كفاهم . رواه النسائي والدارقطني والبيهقي وقال : الصواب أن أبا الدرداء قال ذلك لكثير بن مرة . وقال الألباني : سنده صحيح .


(13) قد ثبت النهي عن منازعة الإمام في غير ما حديث ، ولا شك أن قراءة الفاتحة مع الإمام فيه منازعة من الجانبين ، فمن تلك الأحاديث قوله صلى الله عليه وسلم : ( إني أقولُ ما لي أُنَازَعُ القرآن ) رواه أحمد وغيره وقد مَرَّ .


ومن تلك الأحاديث ما جاء عن ابن مسعود قال : كانوا يقرءون خلف النبي صلى الله عليه وسلم فقال : ( خَلَّطْتُمْ علي القرآن ) رواه أحمد في المسند والبخاري في جزئه وأبو يَعْلَى والبَزَّار وقال الهَيْثَمِي في المجمع : ورجال أحمد رجال الصحيح . وحسن إسناد أحمد الأستاذ الأرْنَاؤُوط في تخريجه للمسند .


وعن عمران بن حصين أن رجلا قرأ خلف النبي صلى الله عليه وسلم : في الظهر أو العصر ، فقال أيكم قرأ بـ ( سبح اسم ربك الأعلى ) فقال رجل من القوم : أنا ، فقال : ( قد عرفت أن بعضكم خالَجَنِيْهَا ) . رواه مسلم وابن حبان . والمخالجة : المجاذبة والمنازعة ( انظر القاموس المحيط مادة خلــج ) .


وعن أنس بن مالك أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى بأصحابه فلما قضى صلاته ، أقبل عليهم بوجهه ، فقال : ( أتقرءون في صلاتكم خلف الإمام ؟ فسكتوا ، فقالها ثلاثا ، فقال قائل أو قائلون : إنا لنفعل ، قال : ( فلا تفعلوا ، وليقرأ أحدكم بفاتحة الكتاب في نفسه ) . رواه البخاري في جزئه والدارقطني وابن حبان . وكل ما مر صحيح أو حسن إن شاء الله .


وغني عن البيان أن ترك المنازعة يجب أن يكون من المأموم لأنه مأمور بالاقتداء بإمامه .


وظاهر من حديث أنس أن الصحابة أثبتوا قراءةً سأل عنها النبي صلى الله عليه وسلم ، ثم نهاهم النبي صلى الله عليه وسلم نهيا عاما عن تلك القراءة ، ثم أمرهم بقراءة الفاتحة ، فلا يعدو هذا الأمر بقراءة الفاتحة أن يكون من جنس ما أثبته الصحابة ونهاهم عنه الرسول صلى الله عليه وسلم أو من غيره ، فإن كان من جنس ما أثبته الصحابة ونهاهم عنه الرسول صلى الله عليه وسلم فهو تناقض ، لأن مقصود النهي عدم حصول المنازعة ، ولو أمرهم بجنس ما نهاهم عنه لحصلت المنازعة ، وهذا باطل قطعا .


وإما أن يكون الأمر بالقراءة من غير جنس ما نهاهم عنه وهي القراءة في النفس وسيأتي بيانها .


(14) أن الاستماع إلى قراءة الإمام أمر دل عليه القرآن دلالة قاطعة ، لأن هذه الأمور الظاهرة التي يحتاج إليها جميع الأمة فكان بيانها في القرآن مما يحصل به مقصود البيان ، وجاءت السنة موافقة للقرآن .


(15) قال شيخ الإسلام ابن تيمية : لو كان القراءة في الجهر واجبة على المأموم للزم أحد أمرين : إما أن يقرأ مع الإمام وإما أن يجب على الإمام أن يسكت له حتى يقرأ ، ولم نعلم نزاعا بين العلماء أنه لا يجب على الإمام أن يسكت لقراءة المأموم بالفاتحة ولا غيرهـا ، وقراءته معه منهي عنها بالكتاب والسنة ، فثبت أنه لا تجب عليه القراءة معه في حال الجهر .


بل نقول : لو كانت قراءة المأموم في حال الجهر والاستماع مستحبة ، لاستحب للإمام أن يسكت لقراءة المأموم ، ولا يستحب للإمام السكوت ليقرأ المأموم عند جماهير العلماء ، وهذا مذهب أبي حنيفة ومالك وأحمد بن حنبل وغيرهم .


وحجتهم في ذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم لم يكن يسكت ليقرأ المأمومون ، و لا نقل أحد هذا عنه أحد ، بل ثبت عنه في الصحيح سكوته بعد التكبير للاستفتاح ، وفي حديث أبي هريرة أنه سأل النبي صلى الله عليه وسلم عن سكوته في أول الصلاة ، ولو كان النبي صلى الله عليه وسلم يسكت ليقرأ الناس الفاتحة قدر سكوت الاستفتاح لسأله الصحابة عن ذلك لأنه مما تتوافر الدواعي على نقلـه ، كيف وقد نقلوا لنا ما أقل شأنا من ذلك .


وفي السنن أنه كان له سكتتان : سكتة في أول القراءة وسكتة بعد الفراغ من القراءة ، وهي سكتة لطيفة للفصل لا تتسع لقراءة الفاتحة ، ولم يقل أحد إنه كان له ثلاث سكتات ولا أربع سكتات ، فمن نقل عن النبي صلى الله عليه وسلم ثلاث سكتات أو أربع فقد قال قولا لم ينقله عن أحد من المسلمين ، والسكتة التي عقب قوله : ( ولا الضالين ) من جنس السكتات التي عند رؤوس الآي ، ومثل هذا لا يسمى سكوتا ، ولهذا لم يقل أحد من العلماء إنه يقرأ في مثل هذا . ومعلوم أنه لم يسكت إلا سكتتين ، فعلم أنه أحداهما طويلة والأخرى بكل حال لم تكن طويلة متسعة لقراءة الفاتحة .


وأيضا لو كان الصحابة كلهم يقرءون الفاتحة خلفه إما في السكتة الأولى ، وإما في الثانية لكان هذا مما تتوفر الهمم والدواعي على نقله ، فكيف ولم ينقل هذا عن أحد من الصحابة أنهم كانوا في السكتة الثانية خلفه يقرءون الفاتحة ، مع أن ذلك لو كان مشروعا لكان الصحابة أحق الناس بعلمه وعمله ، فعلم أنه بدعة . أهـ كلامه بتصرف .


وقول شيخ الإسلام ابن تيمية إنه لم ينقل عن أحد من الصحابة أنهم كانوا في السكتة الثانية يقرءون خلف النبي صلى الله عليه وسلم ، من كلامه الدقيق رحمه الله ، فلقد نفى ورود الفعل عن الصحابة ولكنه لم ينف ورود القول ، وقد ثبت عن أبي هريرة رضي الله عنه أنه قال : للإمام سكتتان فاغتنموا القراءة فيهما بفاتحة الكتاب . رواه البخاري في جزئه وقال الألباني : سنده حسن .


ولكنه من الواضح أن قول أبي هريرة رضي الله عنه ليس فيه إيجاب قراءة الفاتحة ، فإنه حدد وقت القراءة بوقت سكوت الإمام ، وقوله : ( فاغتنموا ) إشارة إلى فوات محل قراءة الفاتحة بفوات سكوت الإمام . وفي كلام أبي هريرة فائدة أخرى نبه عليها الشيخ الألباني حفظه الله حيث قــال ( الضعيفة 2/24) : وفيه دليل على أن قول أبي هريرة في – مسلم – : ( اقرأ بها في نفسك يا فارسي ) إنما يعني قراءتها في سكتات الإمام إن وجدت ، وهذه فائدة هامة فخذها شاكرا لله تعالى . أهـ


ويعني حفظه الله أن مذهب أبي هريرة ليس وجوب قراءة الفاتحة مطلقا كما زعم البعض ، بل مذهبه كما يتضح من مجموع الروايات وجوب القراءة في السكتات كما هو بين .


تنبيه : من زعم أن الدارقطني صحح حديث السكتة التي يُقرأ فيها بفاتحة الكتاب فقد افترى على الدارقطني ، فقد أشار الدارقطني نفسه إلى ضعف هذا الحديث في سننه (336/1).


(16) لا يقال : إن في قراءة المأموم خروج من الخلاف وأخذ بالاحتياط ، حيث إن القارئ للفاتحة صلاته صحيحة يقينا وغير القارئ في صحة صلاته خلاف ، فإن من العلماء من يبطل صلاة الذي يقرأ خلف الإمام في الجهرية كما قال شيخ الإسلام ابن تيمية ، فلا سبيل إذا للخروج من الخلاف ، بل الذي يَتَعَيَّنُ : أن يعمل بما يوجبه الدليل الشرعي .


(17) قال ابن العربي في ترجيح عدم القراءة خلف الإمام ( بعد أن ذكر الترجيح بعمل أهل المدينة وبظاهر القرآن والسنـة ) قال : الوجه الثالث في الترجيح أن القراءة مع جهر الإمام لا سبيل إليها فمتى يقـرأ ؟ فإن قيل : يقرأ في سكتة الإمام ، قلنا: السكوت لا يلزم الإمام فكيف يركب فرض على ما ليس بفرض.


(18) في قراءة المأموم خلف الإمام في الجهرية مخالفة لأربعة أوامر :


الأول : عدم الإنصات .


الثاني : عدم الائتمام .


الثالث : المنازعة أي فعل ما يفعله الإمام في وقت واحد .


الرابع : عدم التدبر والخشوع .


وأما الاستماع للإمام في الجهرية فيحقق المقصود من القراءة وهو التدبر مع موافقة الأوامر الأخرى.


(19) لا يجوز تخصيص حديث أبي موسى الأشعري أو حديث أبي هريرة في الأمر بالإنصات بحديث عبـادة ، فيكون المعنى : الأمر بالإنصات فيما عدا الفاتحة . لأن حديث أبي موسى وأبي هريرة في قراءة المأموم خلف الإمام ومع ضَمِيْمَة قوله تعالى : ( فاستمعوا له وأنصتوا ) يكون قاطعا في إرادة المأموم خلف الإمام في الجهرية فهو أخص مطلقا بحيث لا يحتمل التخصيص ، أما حديث أبي عبادة فعام في المأموم وغيره بإجماع الطرفين ، وعليه فيتعين أن يكون حديث أبي موسى وأبي هريرة هو المخصص لعموم حديث عبادة لا العكس .


(20) أن حديث أبي موسى وحديث أبي هريرة وآية الأعراف لم يدخلها التخصيص قط بنص أو إجماع ، أما حديث عبادة فمخصوص بحديث أبي بكرة في المسبوق ، ومخصوص بالصلاة بإمامين ، فإن النبي صلى الله عليه وسلم لما صلى بالناس وقد سبقه أبو بكر ببعض الصلاة قرأ من حيث انتهى أبو بكر ولم يستأنف قراءة الفاتحة في هذا الموضع فعن المأموم أولى . وإذا تعارض عمومان أحدهما محفوظ والآخر مخصوص وجب تقديم المحفوظ .


(21) أن تخصيص آية الأعراف وحديثي أبي موسى وأبي هريرة يلزم منه تأويل المعنى الظاهر لها ، أما العكس فلا يلزم التأويل لأن حديث عبادة خاص بالإمام كما أسلفنا ، وقد تقرر أن ما لا يحتاج إلى تأويل أولى مما يحتاج إلى تأويـــل .


(22) أن العمل بعموم آية الأعراف وحديثي أبي موسى وأبي هريرة لا يحصل به إهمال مدلول النصوص الأخرى وتركها لأن المستمع متحقق للقراءة كما سيأتي بيانه ، بل المستمع قارئ ( في اللغة والعرف والشرع ) ، وقد تقرر أن إعمال الأدلة كلها أولى من إهمال بعضها .


(23) أن قوله صلى الله عليه وسلم : ( إنما جُعِلَ الإمام ليؤتم به فإذا كبر فكبروا وإذا قرأ فأنصتوا ) فيه بيان لأمرين :


الأول : قوله : ( إنما جعل الإمام ليؤتم به ) يفيد أن حالة الائتمام غير حالة الانفراد وأن لها أحكام تخصها ، فلما نص عليها علمنا أن ما نص عليه من الأحكام التي تخص حالة الإمامة خارجة عن مدلول النصوص الأخرى ، وحديث : ( لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب ) عامة للإمام وغيره ، فتعين حمل العام على الخاص .


الثاني : بيان علة الأمر بالإنصات ، حيث رتب الأمر بالإنصات على الائتمام بالفاء عن طريق الإيماء والتنبيه ، وهو من المسالك التي تفيد العِلِّيَة عند الأصوليين ، فعلم أن غير المنصت ليس بمؤتم . أما المستمع فمؤتم ومحقق لمقصود القراءة وهو التدبر ، فعلم أن المستمع ممتثل لكل الأوامر الواردة في المسألة ، أما غير المنصت فمخالف لبعضها ، وما يتحقق به الامتثال من كل الوجوه أولى مما تحصل به المخالفة من بعض الوجوه .


(24) قال ابن العربي في حديث أبي موسى الأشعري : ( وإذا قرأ فأنصتوا ) ، قال : وهذا نص لا مطعن فيـه ، يعضده القرآن والسنة وقد غمزه الدارقطني بما لا يقدح فيه . أهـ


(25) ويخصص حديث عبادة : حديث عبد الله بن شَدَّاد عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ( من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة ) .


قال شيخ الإسلام : وهذا الحديث رُوِيَ مرسلا ومسندا ، لكن أكثر الأئمة الثقاة رووه مرسلا عن عبد الله بن شداد عن النبي صلى الله عليه وسلم وأسنده بعضهم ، ورواه ابن ماجة مسندا ، وهذا المرسل قد عَضَّدَه ظاهر القرآن والسنة ، وقال به جماهير أهل العلم من الصحابة والتابعين ، ومُرْسِلُه من أكابر التابعين ، ومثل هذا المرسَل يحتج به باتفاق الأئمة الأربعة وغيرهم ، وقد نص الشافعي على جواز الاحتجاج بمثل هذا المرسَل ( أي الذي يعضده ظاهر القرآن وعمل عامة أهل العلم به ) . وليراجع هذا الحديث وتصحيح العلماء له نصب الراية للزيلعي وإرواء الغليل للألباني .


وعلى ذلك فدلالة هذا الحديث قاطعة في نفي القراءة عن المأموم ، لكنه مخصوص بالأمر بالقراءة في السرية لأن الإمام حينئذ ليست له قراءة معتبرة يمكن للمأموم أن يستمع إليها .


(26) بضميمة حديث عبد الله بن شداد مع حديث عبادة لا يكون هناك تعارض ألبتة بين نصوص المسألة ، فيحمل قوله صلى الله عليه وسلم ( لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب ) على أنه يستمع فتحصل له القراءة المأمور بها .


(27) قال شيخ الإسلام : والمصلحة الحاصلة للمأموم بالقراءة يحصل بالاستماع ما هو أفضل منها ، بدليل استماعه لما زاد على الفاتحة ، فلولا أنه يحصل له بالاستماع ما هو أفضل من القراءة لكان الأولى أن يفعل أفضل الأمرين ، وهو القراءة ، فلما دل الكتاب والسنة والإجماع على أن الاستماع أفضل له من القراءة، علم أن المستمع يحصل له أفضل مما يحصل للقارئ ، وهذا المعنى موجود في الفاتحة وغيرهـا ، فالمستمع لقراءة الإمام يحصل له أفضل مما يحصل بالقراءة وحينئذ فلا يجوز أن يُؤْمَرَ بالأدنى ويُنْهَى عن الأعلى .


وثبت أنه في هذه الحال قراءة الإمام له قراءة كما قال ذلك جماهير السلف والخلف من الصحابة والتابعين لهم بإحسان وفي ذلك الحديث المعروف عن النبي صلى الله عليه وسلم : ( من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة ) أهـ


(28) الاستماع للإمام له حكم القراءة ، بل يُطْلَقُ عليه أنه قراءة شرعا ولغة وعرفا .


أما شرعا فلما يلي :


فلقوله صلى الله عليه وسلم : ( من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة ) .


وقال الله تبارك وتعالى : ( وقال موسى ربنا إنك آتيت فرعون وملأه زينة وأموالا في الحياة الدنيا ، ربنا ليضلوا عن سبيلك ، ربنا اطمس على أموالهم واشْدُدْ على قلوبهم فلا يؤمنوا حتى يروا العذاب الأليم . قال : قد أجيبت دعوتكما فاستقيما ولا تتبعان سبيل الذين لا يعلمـــون ) فتأمل قوله تعالى : ( قد أجيبت دعوتكما ) ، كيف أثبت وجود دعوتين حال كون الداعي هو موسى فقط لقوله تعالى : ( وقال موسى ..) ، والمعلوم أن الداعي الثاني هو هارون الذي كان يستمع ويؤمن ، إذ لو كان يدعو معه لقال : وقال موسى وهارون .


ومما سبق يعرف أن المستمع له حكم القارئ بنص القرآن والحديث .


وأما لغة فإن اللغة تطلق على قراءة السر ( أي القلب ) قراءة ، وهي قراءة النفس المقصودة في حديث أبي هريرة وغيره من الروايات : اقرأ بها في نفسك . قال ابن العربي : وقد وجدنا وجها للقراءة مع الجهر ، وهي قراءة القلب بالتدبر والتفكر ، وهذا نظام القرآن والحديث ، وحفظ العبادة ومراعاة السنة ، وعمل بالترجيح والله أعلم ، وهو المراد بقوله تعالى : ( واذكر ربك في نفسك تضرعا وخيفة ودون الجهر من القول بالغدو والآصال ولا تكن من الغافلين ) .


وأما عرفا : فمن طالع كتابا بعينه وفهمه وتدبره دون أن يتلو حروفه أو يتحرك لسانه يصح له في عرف الناس أن يقول : قرأت هذا الكتاب .


(29) إذا افترضنا أن جميع المأمومين يقرءون خلف الإمام ، فيكون جهر الإمام حينئذ لمن لا يستمع له ، فلا يكون هناك فائدة في جهر الإمام أصلا، ولا يكون هناك فائدة لقوله صلى الله عليه وسلم : ( إذا أمَّنَ فَأَمِّنوا ) لأنهم يكونون قد أمنوا على قرآن لم يستمعوه ولا استمعه أحد منهم .


(30) بقي أن نرد على شبهة أخيرة : وهي أنه لا تعارض بين أحاديث النهي عن المنازعة وبين الأمـر بقراءة الفاتحة مطلقا ، حيث يستطيع أن يقرأ بالمخافتة فلا تحصل المنازعة ولا المخالجة .


والجواب أن المخافتة ولو كانت بأدنى حس تَلْبِسُ على الإمام ، قال شيخ الإسلام : وهذا أمر محسـوس . ويـجاب أيضا مع ذلك بأن المأموم لو خافت فستحصل المنازعة ، لأنه سينازع القراءة مع الإمام ، فإما أن يهوش على الإمام وهذا مجمع على كراهته ، وإما سيهوش على نفسه فلا يحصل التدبر الذي هو مقصود القراءة . ( الصواب يهوش ، وأما يشوش فليس بعربي ) .


وكذلك من أجاز القراءة في السكتات التي تعقب آيات الفاتحة ، فإذا قرأ الإمام ( الحمد لله رب العالمين ) قرأ المأمـــوم ( الحمد لله رب العالمين ) ، فهذا لم يَقُلْ به أحد من أهل العلم ، حاشا أبا البركات جد شيخ الإسلام . ومع أنه لا دليل عليه فإنه يناقض الواقع في كثير من الأحوال ، فما الحل لو لم يسكت الإمام على رؤوس الآي وقرأ الفاتحة في نَفَسٍ واحد ؟ أو كانت السكتات قصيرة جدا بحيث تستحيل القراءة المعتبرة فيها ؟!!


(31) مما يدل على أن حديث عبادة : ( لا صلاة ..) لا يدل على العموم أن كثيرا من الأحاديث التي وردت على نفس صيغة النفي للجنس لم تدل على العموم لورود المخصِّص بأدلة أخرى ، منها قول النبي صلى الله عليه وسلم : ( من سمع النداء فلم يُجِبْ فلا صلاة له إلا من عذر ) رواه أبو داود والبيهقي والحاكم بسند صحيح عن ابن عباس مرفوعا . والجمهور على أن صلاة الرجل في بيته مع عدم وجود العذر صحيحة مع اختلافهم في لحوق الإثم والكراهة .


وقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( لا بِرَّ أن يُصام في السفر ) رواه الطبراني في الكبير عن عبد الله بن عمرو وقال الألباني : حسن . ومعلوم أن المذهب القائل باستحباب الصوم في السفر لمن أطاقه مذهب مشهور معتبر .


ومنه قول النبي صلى الله عليه وسلم : ( لا صلاة بحضرة الطعام ولا وهو يدافعه الأخبثان ) رواه مسلم وأبو داود عن عائشة مرفوعا . ومعلوم أن الصلاة بحضرة الطعام ليست باطلة على قول عامة أهل العلم .


كل هذا يدل على أن (لا) التي لنفي الجنس نص في عموم النفي ولكنها لا تمنع التخصيص كما ظهر لك من الأمثلة ، وبهذا يتجلى خواء قول من قال إن حديث عبادة قطعي في بطلان صلاة من لم يقرأ بفاتحة الكتاب .


وبعد فهذه الأوجه التي رددنا بها على استدلال من قال بوجوب قراءة الفاتحة مطلقا بحديث عبادة بن الصامت ، قصدنا بها بيان القول الأجدر بالاتباع والأحرى بالعمل والتطبيق ، وكذلك القول المحقق للمقاصد الشرعية والمصالح المعتبرة .


مع الأخذ بعين الاعتبار أن ما ذهبنا إليه هو قول جمهور العلماء من الصحابة والتابعين والمذاهب المتبوعة بل حكى على هذا القول الإجماع إمام جليل هو الإمام أحمد بن حنبل .


وغني عن القول أن المسألة من فروع العبادات التي يلزم العالم المجتهد أن يتحرى فيها الدليل ، وأما المقلد فيتحرى اتباع العالم التقي الذي يطمئن لتقليده .


وأجمع العلماء أن صلاة كلا الفريقين صحيحة عند أصحابهما ، فيجوز ائتمام شافعي بحنفي والعكـس ، أما الحكم ببطلان الصلاة فهو باعتبار قول القائل به ، فمن تبنى وجوب قراءة الفاتحة للمأموم في الجهرية فلم يقرأ فصلاته باطلة ، وليس صلاة كل من لم يقرأ الفاتحة والحال كهذه أنه تبطل صلاته ، مادام قد اعتبر في قوله بالدليل الشرعي المعتبر .


كل ذلك ليعلم الناس أن القول بعدم وجوب الفاتحة قول معتبر ، وليس قولا خارجا عن أقوال أهل السنة كما يزعم البعــض ، بل هو قول وجيه بل قوي وراجح تعضده أدلة قوية متكاثرة من القرآن والسنة والإجماع والقياس .


ولا سبيل إلى احتكار الحق في مثل هذه المسائل ، بل ينبغي أن يتغافر أهل العلم فيما بينهم وأن يسعهم ما وسع السلف رضوان الله عليهم .



اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وألهمنا اجتنابه ، والله هو المسئول عن إصلاح ذات البين ، والحمد لله رب العالمين .



بانكوك . سبتمبر 1999م

Semoga bermanfaat untuk ditelaah..

Balas.

Hery berkata
Oktober 10, 2007 @ 8:23 am.

Ustazd, saya yang awam ini jadi bingung,
- sewaktu dari kecil saya diajarin baca fatihah di belakang imam (waktu imam baca surah-surah kita baca fatihah)
- akhir2 ini seteleh belajar dari internet dan buku sifat sholat nabi, saya tidak membaca fatihah di belakang imam saat imam baca jahr (dari temen2 bilang, kalo baca fatihah saat imam baca surah, kalo semua makmum membaca fatihah, terus siapa yang dengerin bacaan surah imam..? kalo salah siapa yang mengingatkan, dan lain-lain).

Nah, sekarang saya mau tanya ustazd, biar gak bingung, kalo saya harus baca fatihah , pada saat dimana membacanya..?

Seandainya saya baca fatihah, bagaimana cara untuk menghilangkan terngiang2nya surat al a’raaf 204, juga hadist2 yang disebutkan di atas, sehingga sewaktu membaca fatihah merasa tidak bertentangan hati?

Karena pada dasarnya saya yang awam ini menganggap dalil2 tersebut tentunya masing2 benar.
Maaf bila ada salah2 kata, mohon penjelasannya biar lebih mantab sholat saya. mohon pake bahasa orang awam aja Ustadz biar saya mudah menangkapnya.

Terma kasih banyak.
Hery.

Balas.

FAHRUL berkata
Juli 10, 2010 @ 9:35 am.

ASSALAMU’ALAIKUM
SAYA SANGAT MENGHARGAI ADANYA PERBEDAAN,TETAPI KOK ANDA MENULIS
Berdalil dengan adanya naskh.

Al-Jawab : Al-Imam Albani rahimahullah dalam kitab nya yang sangat “hebat”, yakni “Al-Ashlu Sifat Sholat Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam minat takbir ilat taslim ka-annaka taroha” menulis sub bab pada hal 327-364 (Maktabah Al-Ma’arif cetakan tahun 2006) “Naskhul qiro-ah waro-al imam fil jahriyah” (Dihapuskannya hukum membaca dibelakang imam dalam sholat yang dikeraskan bacaannya).
APA MAKSUD ANDA MENULIS KATA HEBAT DENGAN TANDA KUTIP?

Balas.

kiki berkata
Januari 25, 2011 @ 5:52 am.

engga papa klo menulis berdalil dengan adanya naskh.

Balas.

abu zahra berkata
Desember 13, 2010 @ 7:30 am.

Assalamu’alaikum yaa ikhwani,
Awalnya saya hanya membaca dalam rangka mencari tambahan ilmu. Tapi membaca komentar akh Fahrul, ana jadi tergelitik untuk ikut sedikit memberi komentar. Mengenai pendapat akh Fahrul soal tulisan “hebat” dalam artikel Abu Umair ini ada sarankan sebaiknya tulisan tersebut diralat (dihilangkan tanda kutipnya). Karena ana sendiri merasa jengah saat membacanya. Itu saran saja.

Mengenai bacaan al Fatihah di belakang imam, dari sekian tulisan yang ana baca, juga penjelasan2 asatidzah lainnya, ana sampai pada pemahaman bahwa hadits yang dibicarakan membolehkan semua bentuk yang disebutkan dalam perbedaan pandangan mengenai membaca al Fatihah di belakang imam. Hadits yang berbunyi”….” Janganlah kamu lakukan (membaca Al Qur’an) kecuali surat Al Fatihah, karena sesungguhnya tidak sah sholat bagi orang yang tidak membacanya.” sebenarnya menjelaskan semuanya. Yaitu :
- Kita dilarang membaca dibelakang (saat itu sholat jahr)
- Kecuali surat Al Fatihah (selain Fatihah tidak boleh)
- Karena tidak sah sholat bagi yang tidak membacanya.

Ini bukan berusaha mencari kiyas atau ‘ngepas-ngepaske” kata orang jawa. Tetapi pendapat berikut ini menurut ana merangkum semua dalil hadits maupun surat al A’raaf 204 mengenai kewajiban mendengarkan bacaan imam, dan dalil lain mengenai mengikuti imam.

Artinya, jika seseorang tidak membaca al Fatihah – seperti yang dipraktekkan sebagian sahabat dan ulama – maka boleh ia lakukan, karena Al Fatihah adala al Qur’an. Tapi jika seseorang yang lain membaca al Fatihah, maka itu juga boleh karena Rasulullah yang mengatakan…”kecuali surat al Fatihah” saja, sebagaimana di praktekkan sebagian sahabat dan juga ulama yang lain .

Yang pasti sholat tidak sah jika tidak dibacakan al Fatihah sebelum ruku’. Jika seorang makmum yang mengikuti imam dimana imamnya tidak membaca al Fatihah, atau saat sholat sendiri dia tidak membaca al Fatihah atau saat sholat sirr dia tidak membaca al Fatihah, maka sholatnya tidak sah.

Maka dari penjelasan-penjelasan yang pernah ana dapatkan, ini kesimpulan yang bijak menurut ana yang memastikan semua dalil Al Qur’an dan Hadits diamalkan sesuai tempatnya dan tidak melepaskan satu dalil yang shohih hanya karena mengambil kesimpulan untuk satu sisi pendapat. wallohua’lam.

Kesimpulannya :
jika seseorang makmum pada sholat jahr membaca al Fatihah setelah atau bersama imam maka ia mengamalkan dalil ini dan itu. sedangkan jika ia tidak membacanya, maka ia mengamalkan dalil ini dan itu. Ini, insya Alloh menghapus perbedaan pendapat yang memecahkan sebagian golongan karena taklid atau ilmu yang belum sampai padanya – sebagaimana sahabat tidak terpecah belah dengan amalan membaca al Fatihah karena mereka semua mengamalkan hadits (yang merupakan perintah/petunjuk Rasululloh), yaitu dengan mengamalkan (saya mengutip) kalimat akhir tulisan akh Abu Faris ; jika Anda merasa tenteram terhadap salah satu pendapat dan meyakini kebenarannya, maka itulah yang Anda amalkan.

Jadi, jangan kita salahkan seorang makmum yang tidak membaca ataupun yang membaca al Fatihah (dengan asumsi dia memahami dalil2nya). Tapi salahkanlah jika seseorang sholat sendiri atau ada sholat jamaah yang didalamnya tidak dibacakan al Fatihah.

Ana mohon maaf jika ada kesalahan dan mohon ampunan Alloh dari keburukan yang mungkin timbul dari tulisan ana ini.

Wallohu’alam.
Balas.

yono berkata
Januari 28, 2011 @ 12:24 pm.

Tulisan yg brmanfaat,syarat dg ilmu,jazakumullahu khairan…

Balas.

awier berkata
Mei 24, 2011 @ 10:35 pm.

mending dieem dengerin dan perhatiin bacaan imam, biar kalian mendapat rahmat,, udah cukup.. jangan dimacem-macemin.. banyak kejadian gara2 makmum baca surah fatihah sendiri, makmum di sekitarnya jd terganggu.

-selesai-


1 komentar:

iman suryansyah mengatakan...

info yang sangat bermanfaat, thanks gan

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger