Pertanyaan:
Assalamu’alaikum, saya ingin bertanya tentang hadits pada edisi bulan April tentang hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menziarahi kubur ibunya lalu menangis dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi aku tidak diberi izin. Dan aku meminta izin kepada-Nya untuk menziarahi kuburnya, maka aku di beri izin. Maka hendaklah kamu berziarah kubur, karena ziarah kubur itu bisa mengingatkan kepada kematian”.
Apakah perempuan boleh menangis pada waktu berziarah kubur?
Menurut pengertian saya, bila berziarah kubur, kita tidak boleh memohonkan ampun atau mendoakan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan untuk berziarah kubur untuk mengingat kematian. Apakah pengertian saya benar?
Terima kasih. Wasalam.
Jawaban:
Dalam pertanyaan ini ada dua permasalahan:
Berdasarkan zhahir hadits di atas, perempuan boleh menangis pada waktu berziarah kubur sebagaimana laki-laki, karena pada asalnya hukum yang dibolehkan bagi laki-laki juga dibolehkan bagi perempuan, kecuali dalil yang mengkhususkannya. Akan tetapi, tangisan itu tidak boleh sampai niyahah.
Yang dimaksud niyahah (meratap) adalah menangisi mayit dengan disertai menghitung-hitung kebaikan-kebaikannya. Ada juga yang mengatakan, maksudnya adalah menangis dengan suara. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi).
Dan meratap ini sering disertai dengan perkara yang lebih dari menangis, seperti: berteriak, menampar wajah, merobek baju, dan lainnya.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang niyahah sebagaimana dalam hadits di bawah ini:
“Dari Abu Malik al-Asy’ari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ada empat perkara pada umatku yang termasuk perkara jahiliyah yang tidak mereka tinggalkan: Membanggakan kemuliaan orang tua/ nenek moyang, mencela nasab, istisqa (meminta hujan) dengan bintang, dan meratap.’ Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wanita yang meratap, jika tidak bertobat sebelum matinya, maka dia akan dibangkitkan pada hari Kiamat dengan memakai pakaian aspal dan gaun kudis’. (HR. Muslim, no. 934).
Adapun hadits yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur wanita yang menangis di kuburan, sebagaimana riwayat sebagai berikut:
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang wanita di dekat sebuah kuburan dan dia sedang menangis, maka beliau bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah dan sabarlah (wahai wanita)!’.” (HR. Bukhari, no. 1252).
Tentang hadits ini, Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, “Yang zhahir bahwa dalam tangisan wanita itu ada sesuatu yang lebih dari sekadar tangisan biasa, seperti niyahah atau semacamnya. Oleh karena itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar bertakwa.”.
Penjelasan Imam al-Qurthubi rahimahullah ini dikuatkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari. (Fathul Bari, syarah hadits no. 1283).
Demikian jawaban kami untuk pertanyaan yang pertama. Sedangkan untuk pertanyaan yang kedua, kami katakan bahwa pengertian Anda tidak benar, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan berziarah kubur bukan hanya untuk mengingat kematian, namun juga untuk mendoakan dan memohonkan ampun bagi kaum Muslimin yang sudah meninggal. Sebagaimana hadits di bawah ini:
“Dari Aisyah radhillahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam biasa keluar menuju (pekuburan) Baqi’, lalu beliau mendoakan kebaikan untuk mereka. ‘Aisyah pernah bertanya tentang hal itu, lalu beliau menjawab, ‘Sesungguhnya, aku diperintahkan untuk mendoakan kebaikan bagi mereka.‘” (HR. Ahmad. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Ahkamul Janaiz).
Adapun mayit orang-orang kafir, maka tidak boleh dimintakan ampun. Allah berfirman,
“Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. at-Taubah: 113).
Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 06 Tahun XIV Dzulqa’dah 1431 H – Oktober 2010. Artikel www.KonsultasiSyariah.com dengan pengubahan tata bahasa seperlunya oleh redaksi.
http://www.konsultasisyariah.com/menangis-di-kuburan/#axzz2O3D4f3of
Assalamu’alaikum, saya ingin bertanya tentang hadits pada edisi bulan April tentang hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menziarahi kubur ibunya lalu menangis dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi aku tidak diberi izin. Dan aku meminta izin kepada-Nya untuk menziarahi kuburnya, maka aku di beri izin. Maka hendaklah kamu berziarah kubur, karena ziarah kubur itu bisa mengingatkan kepada kematian”.
Apakah perempuan boleh menangis pada waktu berziarah kubur?
Menurut pengertian saya, bila berziarah kubur, kita tidak boleh memohonkan ampun atau mendoakan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan untuk berziarah kubur untuk mengingat kematian. Apakah pengertian saya benar?
Terima kasih. Wasalam.
Jawaban:
Dalam pertanyaan ini ada dua permasalahan:
- Pertama, tentang hukum menangis bagi wanita saat ziarah kubur?
- Kedua, tentang kebenaran pemahaman penanya.
Berdasarkan zhahir hadits di atas, perempuan boleh menangis pada waktu berziarah kubur sebagaimana laki-laki, karena pada asalnya hukum yang dibolehkan bagi laki-laki juga dibolehkan bagi perempuan, kecuali dalil yang mengkhususkannya. Akan tetapi, tangisan itu tidak boleh sampai niyahah.
Yang dimaksud niyahah (meratap) adalah menangisi mayit dengan disertai menghitung-hitung kebaikan-kebaikannya. Ada juga yang mengatakan, maksudnya adalah menangis dengan suara. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi).
Dan meratap ini sering disertai dengan perkara yang lebih dari menangis, seperti: berteriak, menampar wajah, merobek baju, dan lainnya.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang niyahah sebagaimana dalam hadits di bawah ini:
عَنْ أَبِي مَالِكٍ اْلأَشْعَرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْيَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ اَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُوْنَهُنَّ الْفَخْرُ
فِيْ اْلأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي اْلأَنْسَابِ وَاْلاسْتِسْقَاءُ بِالنَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقُامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ
مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Dari Abu Malik al-Asy’ari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ada empat perkara pada umatku yang termasuk perkara jahiliyah yang tidak mereka tinggalkan: Membanggakan kemuliaan orang tua/ nenek moyang, mencela nasab, istisqa (meminta hujan) dengan bintang, dan meratap.’ Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wanita yang meratap, jika tidak bertobat sebelum matinya, maka dia akan dibangkitkan pada hari Kiamat dengan memakai pakaian aspal dan gaun kudis’. (HR. Muslim, no. 934).
Adapun hadits yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur wanita yang menangis di kuburan, sebagaimana riwayat sebagai berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِامْرَأَةٍ عِنْدَ قَبْرٍ وَهِيَ تَبْكِى فَقَالَ اتَّقِى اللهَ وَاصْبِيِى
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang wanita di dekat sebuah kuburan dan dia sedang menangis, maka beliau bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah dan sabarlah (wahai wanita)!’.” (HR. Bukhari, no. 1252).
Tentang hadits ini, Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, “Yang zhahir bahwa dalam tangisan wanita itu ada sesuatu yang lebih dari sekadar tangisan biasa, seperti niyahah atau semacamnya. Oleh karena itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar bertakwa.”.
Penjelasan Imam al-Qurthubi rahimahullah ini dikuatkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari. (Fathul Bari, syarah hadits no. 1283).
Demikian jawaban kami untuk pertanyaan yang pertama. Sedangkan untuk pertanyaan yang kedua, kami katakan bahwa pengertian Anda tidak benar, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan berziarah kubur bukan hanya untuk mengingat kematian, namun juga untuk mendoakan dan memohonkan ampun bagi kaum Muslimin yang sudah meninggal. Sebagaimana hadits di bawah ini:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ إِلَى الْبَقِيْعِ فَيَدْعُو لَهُمْ فَسَأَلَتْهُ عَائِشَةُ عَنْ ذَلِكَ
فَقَالَ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَدْعُو لَهُمْ
“Dari Aisyah radhillahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam biasa keluar menuju (pekuburan) Baqi’, lalu beliau mendoakan kebaikan untuk mereka. ‘Aisyah pernah bertanya tentang hal itu, lalu beliau menjawab, ‘Sesungguhnya, aku diperintahkan untuk mendoakan kebaikan bagi mereka.‘” (HR. Ahmad. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Ahkamul Janaiz).
Adapun mayit orang-orang kafir, maka tidak boleh dimintakan ampun. Allah berfirman,
مَاكَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُوْلِى قُرْبَى مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. at-Taubah: 113).
Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 06 Tahun XIV Dzulqa’dah 1431 H – Oktober 2010. Artikel www.KonsultasiSyariah.com dengan pengubahan tata bahasa seperlunya oleh redaksi.
http://www.konsultasisyariah.com/menangis-di-kuburan/#axzz2O3D4f3of
0 komentar:
Posting Komentar