Muqaddimah.
Artikel berikut merupakan lanjutan dari artikel kami sebelumnya, “Ada Apa dengan Ziarah Kubur?”. Artikel ini merupakan “pelunas janji”yang telah kami utarakan pada artikel sebelumnya, sekaligus upaya untuk memahamkan kaum muslimin terhadap ajaran agamanya yang bersih dari noda-noda kesyirikan.
Tidak lupa, kami ucapkan kepada ustadzuna tercinta, Abu Umamah Aris Munandar Hafizhhahullah ta’ala atas segala upaya dan jasa beliau terhadap diri kami, terutama dalam penulisan artikel ini.
Safar ke Kuburan.
Tidak dapat disangsikan lagi berbagai fenomena kesyirikan telah menyebar di bumi pertiwi yang kita cintai ini. Apa yang dilakukan para pengultus kubur di sisi kuburan para wali hanyalah secuil dari fenomena ini. Anggapan sebagian orang bahwa berdoa di samping kuburan wali lebih mustajab ketimbang berdoa di masjid Allah pun merebak, atau bahkan yang lebih parah dari itu mereka justru berdoa (meminta) kepada penghuni kubur tersebut agar hajatnya terpenuhi atau menyembelih untuk para wali atau ngalap berkah dengan kuburan tersebut dan berbagai perbuatan menggelikan lainnya.
Fenomena kesyirikan yang mereka lakukan tidak lepas dari pengultusan yang berlebihan terhadap para wali. Lumrah jika para wali patut dihormati, namun yang ganjil dan keliru adalah mengultuskan wali tersebut secara berlebihan dan mensejajarkannya dengan kedudukan Rabbul ‘Alamin. Padahal penghulu para wali, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang umatnya untuk berlebih-lebihan terhadap beliau dalam sabdanya,
“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani memuji ‘Isa bin Maryam (puncak pengultusan kaum Nasrani kepada nabi ‘Isa adalah menuhankan ‘Isa bin Maryam ‘alaihis salam, pen-). Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka panggillah aku dengan hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari nomor 3261). Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan,
“Maksud sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘لا تطروني’adalah janganlah kalian memujiku seperti perbuatan kaum Nasrani yang mengultuskan ‘Isa bin Maryam kemudian menjadikannya sesembahan di samping Allah atau bahkan lebih dari itu sebagian dari mereka mengklaim ‘Isa adalah Allah atau anak Allah.” (Fathul Baari, 12/149).
Pengultusan inilah yang mendorong sebagian besar kaum muslimin untuk berkunjung ke kuburan para wali. Wisata religi, penamaan sebagian orang atas kegiatan ini. Meski kegiatan tersebut membuat masyarakat merogoh kocek dalam-dalam, menempuh perjalanan yang jauh serta berpeluh, toh mereka tidak peduli karena mereka berkeyakinan mengunjungi kuburan para wali adalah perbuatan yang memiliki keutamaan, apalagi fenomena ini telah berlangsung sekian lama dan rutin dilakukan oleh sebagian besar penduduk negeri.
Pada kesempatan ini, kami akan mengetengahkan berbagai penjelasan ulama terhadap hadits syaddur rihal yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu.
Penjelasan hadits ini kami pandang penting karena memiliki kaitan yang erat dengan fenomena ziarah kubur wali atau yang dibungkus dengan label wisata religi sehingga menjadi komoditi yang dapat mempertebal kantong sebagian orang, tidak terkecuali mereka yang dipanggil dengan sebutan ‘Pak Kyai’.
Dalam menyusun risalah dan menerangkan pendapat yang benar dalam permasalahan ini, penyusun banyak mengambil faedah dari tulisan Muhadditsul ‘Ashr al Allamah Muhammad Nashiruddin al Albani rahimahullah, yaitu Ahkaamul Janaaiz wa Bida’uha. Kami memohon kepada Allah agar risalah ini bermanfaat bagi kami dan kaum muslimin seluruhnya. Aamin.
Hadits Syaddur Rihal
Dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: Masjidil Haram, masjid Al Aqsha, dan masjidku (Masjid Nabawi).” (HR. Bukhari nomor 1197).
Terdapat hadits yang semakna dengan hadits di atas, diantaranya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah suatu perjalanan diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, Masjidil Haram, masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Masjidil Aqsha.” (HR. Bukhari nomor 1139).
Hadits di atas datang dalam bentuk penafian (negasi), namun mengandung larangan. Gaya bahasa yang demikian lebih tegas pelarangannya, sebagaimana dikemukakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tatkala membawakan perkataan ath Thibi rahimahullah (Al Fath 3/64). Namun, terdapat hadits lain yang menunjukkan bahwa penafian tersebut mengandung larangan. Hadits yang juga berasal dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kalian mempersiapkan perjalanan (bersafar), kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.” (HR. Muslim nomor 827).
Hadits Nabi yang mulia di atas menyatakan keutamaan dan nilai lebih ketiga masjid tersebut daripada masjid yang lain. Hal tersebut dikarenakan ketiganya merupakan masjid para nabi ‘alaihius salam. Masjidil Haram merupakan kiblat kaum muslimin dan tujuan berhaji, Masjidil Aqsha adalah kiblat kaum terdahulu dan masjid Nabawi merupakan masjid yang terbangun d atas fondasi ketakwaan (Al Fath 3/64).
Silang Pendapat Mengenai Kandungan Hadits
Para ulama berbeda pendapat dalam menilai kandungan larangan yang tertera dalam hadits di atas. Al Hafizh menyebutkan terdapat dua pendapat dalam permasalahan ini (Al Fath, 3/65). Beliau menyatakan para ulama Syafi’iyyah sendiri terbagi menjadi dua kutub yang saling bertentangan.
Pendapat pertama adalah apa yang dikemukakan oleh Imam Abu Muhammad Al Juwaini dan didukung oleh Al Qadli Husain, Al Qadhi ‘Iyadh dan sekelompok ulama lainnya. Beliau berpendapat bahwa bersafar ke tempat-tempat yang diyakini memiliki keutamaan atau berziarah ke kuburan orang shalih selain ketiga masjid di atas termasuk dalam larangan tanpa terkecualikan.
Mereka berdalil dengan pengingkaran Abu Basrah Al Ghifari terhadap tindakan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang mendatangi bukit Thursina dan melaksanakan shalat disana (HR. Ahmad nomor 23901, Syaikh Syu’aib al Arnauth menshahihkan hadits ini). Abu Basrah radhiyallahu ‘anhu mengatakan kepada beliau, “Jika aku berjumpa denganmu sebelum dirimu berangkat, tentulah engkau tidak akan pergi kesana”. Kemudian beliau berdalil dengan hadits syaddur rihal di atas dan Abu Hurairah menyetujuinya. Pengingkaran Abu Basrah terhadap apa yang diperbuat oleh Abu Hurairah merupakan indikasi bahwa larangan yang terkandung dalam hadits bersifat umum, mencakup seluruh tempat yang diyakini memiliki keutamaan dan dapat mendatangkan berkah.
Pendapat kedua menyatakan bersafar ke tempat-tempat tersebut tidak tercakup dalam larangan, sehingga hal tersebut diperbolehkan.
Hal ini merupakan pendapat Imam Al Haramain dan ulama Syafi’iyyah lainnya termasuk Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dan pendapat ini juga didukung oleh imam An Nawawi dalam kitab beliau Al Minhaj Syarh Shahih Muslim.
Mereka mengemukakan berbagai alasan untuk mendukung pendapat ini, diantaranya adalah:
“Tidak selayaknya seorang bersafar ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut…….”.
“Tidak selayaknya seorang bersafar ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut……….” (HR. Ahmad nomor 11627).
Pendapat yang Rajih
Pendapat kedua yang disebutkan di atas merupakan pendapat yang dipilih oleh Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah ta’ala. Beliau menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa larangan yang tertera dalam hadits tersebut hanya berlaku pada masjid semata, sedangkan bersafar ke tempat-tempat yang memiliki keutamaan seperti bersafar dalam rangka menziarahi kuburan orang shalih tidak termasuk dalam larangan tersebut (Lihat Fathul Baari 3/64-65), kemudian beliau membawakan beberapa alasan untuk menguatkan pendapat yang kedua sebagaimana telah tersebut di atas.
Pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hajar rahimahullah ta’ala merupakan pendapat yang jauh dari kebenaran. Beliau tidak menghiraukan riwayat yang shahih dari sahabat Abu Basrah al Ghifari yang berhujjah dengan hadits Abu Khudri untuk mengingkari perbuatan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hal ini menunjukkan bahwa larangan yang tercantum dalam hadits Abu Sa’id di atas mencakup seluruh tempat yang dipandang memiliki keutamaan walaupun tempat tersebut bukan masjid.
Di antara riwayat yang menguatkan keumuman larangan tersebut adalah riwayat yang shahih dari Qaz’ah. Dia berkata, “Aku berkeinginan untuk pergi menuju bukit Thursina maka aku pun bertanya kepada Ibnu ‘Umar mengenai keinginanku tersebut.” Ibnu ‘Umar pun mengatakan, “Tidakkah engkau mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Janganlah suatu perjalanan diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, Masjidil Haram, masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Masjidil Aqsha”?! Urungkan niatmu tersebut dan janganlah engkau mendatangi bukit Thursina! (HR. Al Azraqi dalam Akhbaru Makkah hal. 304 dengan sanad yang shahih).
Bantahan Bagi Pendapat Kedua
Berbagai alasan yang telah dikemukakan oleh para ulama dalam mendukung pendapat kedua pun dapat dijawab dengan jawaban sebagai berikut:
Perlu diketahui hadits Syahr yang dimaksud merupakan jalur periwayatan yang lain dari hadits sahabat Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu yang menjadi pokok pembicaraan kita. Terdapat dua rawi yang meriwayatkan hadits Abu Sa’id ini dari Syahr, yaitu,
a. Laits bin Abi Sulaim dari Syahr bin Hausyab, dia berkata,
“Kami berpapasan dengan Abu Sa’id sedang kami hendak bepergian menuju bukit Thursina. (Tatkala beliau mengetahuinya), maka beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seseorang melaksanakan perjalanan ke suatu tempat kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, “Masjidil Haram, Masjid Madinah (Nabawi) dan Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha)” (HR. Ahmad nomor 11901).
Jalur periwayatan ini lemah disebabkan kelemahan Laits bin Abi Sulaim atau Ibnu Zanim Al Laits. Abu Hatim dalam Al Majruuhiin (2/231) mengatakan bahwa hadits yang Laits bin Abi Sulaim hafal telah tercampur di masa tuanya. Terkadang beliau tidak mengetahui riwayat yang sedang beliau utarakan, sehingga beliau mencampuradukkan berbagai sanad, memarfu’kan hadits-hadits mursal dan menyandarkan beberapa hadits kepada perawi-perawi tsiqat, padahal mereka tidak meriwayatkan hadits tersebut. Kemudian Abu Hatim menyebutkan bahwa riwayat beliau (Laits bin Abi Sulaim) ditinggalkan oleh para imam ahli hadits semisal Yahya al Qahthan, Ibnu Mahdi dan Ahmad bin Hambal. Hal yang senada dikemukakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Taqribut Tahdzib (1/464). Syaikh Syu’aib al Arnauth rahimahullah melemahkan jalur periwayatan ini dalam ta’liq beliau terhadap Musnad Ahmad bin Hambal.
b. Rawi kedua yang meriwayatkan dari Syahr adalah Abdul Hamid bin Bahram dengan lafazh لا ينبغي للمطي ان تشد رحاله إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي . Jalur periwayatan inilah yang dijadikan hujjah oleh ulama yang berpendapat larangan dalam hadits Abu Sa’id al Khudri hanya berlaku pada masjid semata. Keabsahan riwayat ini juga didukung oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 3/65. Beliau menilai Syahr bin Hausyab hasanul hadits.
Syaikh al Albani rahimahullah mengatakan bahwa penilaian Ibnu Hajar rahimahullah terlalu terburu-buru. Beliau mengemukakan berbagai alasan sebagai berikut:
Syaikh Al Albani mengatakan, “Jika tambahan tersebut merupakan dalil yang mengkhususkan bahwa larangan bersafar dalam hadits Abu Sa’id hanya mencakup masjid dan bukan tempat-tempat yang memiliki keutamaan, maka pendalilan sahabat Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu tidaklah tepat. Karena bukit Thursina bukan masjid tetapi sebuah bukit! Tempat di mana Allah ta’ala berbicara dengan Musa ‘alaihis salam. Jika tambahan lafazh tersebut shahih, maka bukit Thursina tidak tercakup dalam larangan sehingga pendalilan Abu Sa’id al Khudri keliru dan Syahr tidak akan mungkin menerima pendalilan Abu Sa’id tersebut.” (Ahkaamul Janaaiz wa Bidaa’uha hal. 290 dengan sedikit peringkasan).
Inilah kontradiksi para ulama yang berdalil dengan hadits Syahr bin Hausyab. Mereka berdalil dengan hadits ini untuk mendukung pendapat yang menyatakan larangan bepergian hanya berlaku pada masjid semata. Namun, mereka tidak merenungkan bahwa hadits tersebut justru bumerang bagi mereka. Karena dalam riwayat tersebut, Abu Sa’id melarang Syahr untuk pergi menuju bukit Thursina. Padahal sebagaimana yang dimaklumi bahwa bukit Thursina bukanlah masjid!.
Hal ini menjadi dalil tambahan bahwa tambahan lafazh “إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة ” merupakan tambahan yang mungkar. Kalaulah tambahan itu shahih, maka mereka yang berpendapat bahwa larangan bersafar hanya mencakup masjid semata telah tenggelam dalam kontradiksi yang sangat jelas sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Al Albani.
Alasan lain yang dikemukakan oleh ulama yang menyatakan bolehnya bersafar ke tempat-tempat yang memiliki keutamaan adalah apa yang mereka sebutkan pada poin pertama di atas, yaitu maksud hadits adalah keutamaan yang sempurna hanya diperoleh dalam bersafar ketiga masjid tersebut, tidak ke tempat lainnya karena bersafar ke tempat-tempat selain ketiganya hukumnya boleh. Kemudian untuk menguatkan alasan ini mereka berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan Ahmad nomor 11627 dengan lafazh,
“Tidak selayaknya seorang bersafar ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, …”.
Mereka mengemukakan bahwa lafazh “لا ينبغي ” dalam hadits di atas tidaklah menunjukkan larangan, karena lafazh “لا ينبغي ” tidak dipergunakan untuk menyatakan keharaman sesuatu.
Jawaban atas pendapat ini sebagai berikut,
“Dan tidak layak bagi Rabb yang Maha Pemurah apabila memiliki anak.”. Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak boleh bagi seseorang menyatakan bahwa dirinya lebih baik daripada Yunus bin Matta.” (HR. Bukhari 3067).
Contoh yang lain dapat dilihat pada Ahkaamul Janaaiz hal. 291 dan I’laamul Muwaqqi’in 1/43.
Anggaplah sangkaan mereka bahwa lafazh “لا ينبغي ” tidak menyatakan keharaman, maka kita mengatakan minimal kandungan lafazh tersebut menyatakan kemakruhan. Akan tetapi anehnya mereka juga tidak menyatakannya, bahkan imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 9/106 menyatakan secara tegas dengan perkataannya,
“Pendapat yang benar dalam permasalahan ini adalah sesuai dengan pendapat yang dipilih imam Al Haramain dan para peneliti bahwa hal tersebut (bersafar ke kuburan orang shalih atau tempat yang diyakini memiliki keutamaan- peny) tidaklah diharamkan dan dimakruhkan.”!!!.
Rentetan jawaban yang diberikan di atas menjelaskan bahwa hadits yang digunakan justru menjadi hujjah bagi mereka dan sedikitpun tidak dapat dipakai untuk mendukung alasan yang mereka kemukakan.
Alasan yang tersisa sebagaimana yang dikemukakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah adalah sangkaan mereka bahwa larangan yang terkandung dalam hadits tersebut ditujukan bagi orang yang bernazar untuk shalat di suatu masjid selain ketiga masjid di atas. Di tempat yang sama, Al Hafizh juga menyebutkan bahwa maksud larangan dalam hadits ditujukan bagi mereka yang sengaja hendak beri’tikaf di suatu masjid selain ketiga masjid. Alasan ini sangat lemah, karena hal tersebut merupakan pengkhususan tanpa dilandasi dengan dalil sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Al Hafizh Ibnu Hajar (Al Fath 3/65) dengan perkataan beliau, وَلَمْ أَرَ عَلَيْهِ دَلِيلًا (aku tidak melihat satu dalil pun untuk mendukung pengkhususan ini -peny). Oleh karena itu, alasan ini sangat lemah dan tidak berdasar.
Dari uraian di atas, wajib memberlakukan keumuman larangan yang terkandung dalam hadits Abu Sa’id tersebut. Larangan bersafar yang dimaksudkan adalah larangan untuk sengaja bersafar ke seluruh tempat-tempat yang diyakini memiliki keutamaan baik itu masjid, kuburan orang shalih dan semisalnya. Terkecualikan dari larangan tersebut, tiga masjid yang telah dinyatakan dalam hadits, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.
bersambung insya Allah.
***
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
http://muslim.or.id/aqidah/safar-ke-kuburan-1.html
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد:
Artikel berikut merupakan lanjutan dari artikel kami sebelumnya, “Ada Apa dengan Ziarah Kubur?”. Artikel ini merupakan “pelunas janji”yang telah kami utarakan pada artikel sebelumnya, sekaligus upaya untuk memahamkan kaum muslimin terhadap ajaran agamanya yang bersih dari noda-noda kesyirikan.
Tidak lupa, kami ucapkan kepada ustadzuna tercinta, Abu Umamah Aris Munandar Hafizhhahullah ta’ala atas segala upaya dan jasa beliau terhadap diri kami, terutama dalam penulisan artikel ini.
Safar ke Kuburan.
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد:
Tidak dapat disangsikan lagi berbagai fenomena kesyirikan telah menyebar di bumi pertiwi yang kita cintai ini. Apa yang dilakukan para pengultus kubur di sisi kuburan para wali hanyalah secuil dari fenomena ini. Anggapan sebagian orang bahwa berdoa di samping kuburan wali lebih mustajab ketimbang berdoa di masjid Allah pun merebak, atau bahkan yang lebih parah dari itu mereka justru berdoa (meminta) kepada penghuni kubur tersebut agar hajatnya terpenuhi atau menyembelih untuk para wali atau ngalap berkah dengan kuburan tersebut dan berbagai perbuatan menggelikan lainnya.
Fenomena kesyirikan yang mereka lakukan tidak lepas dari pengultusan yang berlebihan terhadap para wali. Lumrah jika para wali patut dihormati, namun yang ganjil dan keliru adalah mengultuskan wali tersebut secara berlebihan dan mensejajarkannya dengan kedudukan Rabbul ‘Alamin. Padahal penghulu para wali, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang umatnya untuk berlebih-lebihan terhadap beliau dalam sabdanya,
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani memuji ‘Isa bin Maryam (puncak pengultusan kaum Nasrani kepada nabi ‘Isa adalah menuhankan ‘Isa bin Maryam ‘alaihis salam, pen-). Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka panggillah aku dengan hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari nomor 3261). Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan,
قوله لا تطروني لا تمدحوني كمدح النصارى حتى غلا بعضهم في عيسى فجعله إلها مع الله وبعضهم ادعى أنه هو الله
وبعضهم بن الله
وبعضهم بن الله
“Maksud sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘لا تطروني’adalah janganlah kalian memujiku seperti perbuatan kaum Nasrani yang mengultuskan ‘Isa bin Maryam kemudian menjadikannya sesembahan di samping Allah atau bahkan lebih dari itu sebagian dari mereka mengklaim ‘Isa adalah Allah atau anak Allah.” (Fathul Baari, 12/149).
Pengultusan inilah yang mendorong sebagian besar kaum muslimin untuk berkunjung ke kuburan para wali. Wisata religi, penamaan sebagian orang atas kegiatan ini. Meski kegiatan tersebut membuat masyarakat merogoh kocek dalam-dalam, menempuh perjalanan yang jauh serta berpeluh, toh mereka tidak peduli karena mereka berkeyakinan mengunjungi kuburan para wali adalah perbuatan yang memiliki keutamaan, apalagi fenomena ini telah berlangsung sekian lama dan rutin dilakukan oleh sebagian besar penduduk negeri.
Pada kesempatan ini, kami akan mengetengahkan berbagai penjelasan ulama terhadap hadits syaddur rihal yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu.
Penjelasan hadits ini kami pandang penting karena memiliki kaitan yang erat dengan fenomena ziarah kubur wali atau yang dibungkus dengan label wisata religi sehingga menjadi komoditi yang dapat mempertebal kantong sebagian orang, tidak terkecuali mereka yang dipanggil dengan sebutan ‘Pak Kyai’.
Dalam menyusun risalah dan menerangkan pendapat yang benar dalam permasalahan ini, penyusun banyak mengambil faedah dari tulisan Muhadditsul ‘Ashr al Allamah Muhammad Nashiruddin al Albani rahimahullah, yaitu Ahkaamul Janaaiz wa Bida’uha. Kami memohon kepada Allah agar risalah ini bermanfaat bagi kami dan kaum muslimin seluruhnya. Aamin.
Hadits Syaddur Rihal
Dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجد الحرام ومسجد الأقصى ومسجدي
“Janganlah suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: Masjidil Haram, masjid Al Aqsha, dan masjidku (Masjid Nabawi).” (HR. Bukhari nomor 1197).
Terdapat hadits yang semakna dengan hadits di atas, diantaranya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد المسجد الحرام ومسجد الرسول صلى الله عليه وسلم ومسجد الأقصى
“Janganlah suatu perjalanan diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, Masjidil Haram, masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Masjidil Aqsha.” (HR. Bukhari nomor 1139).
Hadits di atas datang dalam bentuk penafian (negasi), namun mengandung larangan. Gaya bahasa yang demikian lebih tegas pelarangannya, sebagaimana dikemukakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tatkala membawakan perkataan ath Thibi rahimahullah (Al Fath 3/64). Namun, terdapat hadits lain yang menunjukkan bahwa penafian tersebut mengandung larangan. Hadits yang juga berasal dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تشدوا الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجدي هذا والمسجد الحرام والمسجد الأقصى
“Janganlah kalian mempersiapkan perjalanan (bersafar), kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.” (HR. Muslim nomor 827).
Hadits Nabi yang mulia di atas menyatakan keutamaan dan nilai lebih ketiga masjid tersebut daripada masjid yang lain. Hal tersebut dikarenakan ketiganya merupakan masjid para nabi ‘alaihius salam. Masjidil Haram merupakan kiblat kaum muslimin dan tujuan berhaji, Masjidil Aqsha adalah kiblat kaum terdahulu dan masjid Nabawi merupakan masjid yang terbangun d atas fondasi ketakwaan (Al Fath 3/64).
Silang Pendapat Mengenai Kandungan Hadits
Para ulama berbeda pendapat dalam menilai kandungan larangan yang tertera dalam hadits di atas. Al Hafizh menyebutkan terdapat dua pendapat dalam permasalahan ini (Al Fath, 3/65). Beliau menyatakan para ulama Syafi’iyyah sendiri terbagi menjadi dua kutub yang saling bertentangan.
Pendapat pertama adalah apa yang dikemukakan oleh Imam Abu Muhammad Al Juwaini dan didukung oleh Al Qadli Husain, Al Qadhi ‘Iyadh dan sekelompok ulama lainnya. Beliau berpendapat bahwa bersafar ke tempat-tempat yang diyakini memiliki keutamaan atau berziarah ke kuburan orang shalih selain ketiga masjid di atas termasuk dalam larangan tanpa terkecualikan.
Mereka berdalil dengan pengingkaran Abu Basrah Al Ghifari terhadap tindakan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang mendatangi bukit Thursina dan melaksanakan shalat disana (HR. Ahmad nomor 23901, Syaikh Syu’aib al Arnauth menshahihkan hadits ini). Abu Basrah radhiyallahu ‘anhu mengatakan kepada beliau, “Jika aku berjumpa denganmu sebelum dirimu berangkat, tentulah engkau tidak akan pergi kesana”. Kemudian beliau berdalil dengan hadits syaddur rihal di atas dan Abu Hurairah menyetujuinya. Pengingkaran Abu Basrah terhadap apa yang diperbuat oleh Abu Hurairah merupakan indikasi bahwa larangan yang terkandung dalam hadits bersifat umum, mencakup seluruh tempat yang diyakini memiliki keutamaan dan dapat mendatangkan berkah.
Pendapat kedua menyatakan bersafar ke tempat-tempat tersebut tidak tercakup dalam larangan, sehingga hal tersebut diperbolehkan.
Hal ini merupakan pendapat Imam Al Haramain dan ulama Syafi’iyyah lainnya termasuk Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dan pendapat ini juga didukung oleh imam An Nawawi dalam kitab beliau Al Minhaj Syarh Shahih Muslim.
Mereka mengemukakan berbagai alasan untuk mendukung pendapat ini, diantaranya adalah:
- Maksud dari hadits tersebut adalah keutamaan yang sempurna hanya diperoleh dalam bersafar menuju ketiga masjid tersebut, tidak ke tempat lainnya karena bersafar ke tempat-tempat selain ketiganya hukumnya boleh. Hal ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan Ahmad nomor 11627 dengan lafaz,
لا ينبغي للمطي أن تشد رحاله إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي
“Tidak selayaknya seorang bersafar ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut…….”.
- Mereka mengemukakan bahwa lafazh “لا ينبغي ” dalam hadits di atas tidaklah menunjukkan larangan, karena lafazh “لا ينبغي ” tidak dipergunakan untuk menyatakan keharaman sesuatu.
- Larangan yang terkandung dalam hadits tersebut hanya berlaku bagi orang yang bernazar untuk shalat di suatu masjid selain ketiga masjid di atas. Mereka mengatakan nazar tersebut tidak perlu ditunaikan sebagaimana pendapat Ibnu Baththal.
- Larangan dalam hadits tersebut hanya mencakup masjid semata sehingga makna hadits tersebut adalah, “Tidak boleh bersafar ke suatu masjid selain ketiga masjid di atas untuk melaksanakan shalat”. Hal ini berarti sengaja bersafar ke suatu tempat yang diyakini memiliki berkah dan keutamaan tidak tercakup dalam larangan tersebut. Alasan ini dikuatkan oleh riwayat dari imam Ahmad dari jalur Syahr bin Hausyab yang telah lalu. Syahr mengatakan, “Aku mendengar Abu Sa’id tatkala ditanya mengenai hukum sengaja bepergian ke bukit Thursina dan melaksanakan shalat disana. Maka beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
لا ينبغي للمطي ان تشد رحاله إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي
“Tidak selayaknya seorang bersafar ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut……….” (HR. Ahmad nomor 11627).
Pendapat yang Rajih
Pendapat kedua yang disebutkan di atas merupakan pendapat yang dipilih oleh Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah ta’ala. Beliau menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa larangan yang tertera dalam hadits tersebut hanya berlaku pada masjid semata, sedangkan bersafar ke tempat-tempat yang memiliki keutamaan seperti bersafar dalam rangka menziarahi kuburan orang shalih tidak termasuk dalam larangan tersebut (Lihat Fathul Baari 3/64-65), kemudian beliau membawakan beberapa alasan untuk menguatkan pendapat yang kedua sebagaimana telah tersebut di atas.
Pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hajar rahimahullah ta’ala merupakan pendapat yang jauh dari kebenaran. Beliau tidak menghiraukan riwayat yang shahih dari sahabat Abu Basrah al Ghifari yang berhujjah dengan hadits Abu Khudri untuk mengingkari perbuatan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hal ini menunjukkan bahwa larangan yang tercantum dalam hadits Abu Sa’id di atas mencakup seluruh tempat yang dipandang memiliki keutamaan walaupun tempat tersebut bukan masjid.
Di antara riwayat yang menguatkan keumuman larangan tersebut adalah riwayat yang shahih dari Qaz’ah. Dia berkata, “Aku berkeinginan untuk pergi menuju bukit Thursina maka aku pun bertanya kepada Ibnu ‘Umar mengenai keinginanku tersebut.” Ibnu ‘Umar pun mengatakan, “Tidakkah engkau mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد المسجد الحرام ومسجد النبي صلى الله عليه وسلم ومسجد الأقصى
“Janganlah suatu perjalanan diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, Masjidil Haram, masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Masjidil Aqsha”?! Urungkan niatmu tersebut dan janganlah engkau mendatangi bukit Thursina! (HR. Al Azraqi dalam Akhbaru Makkah hal. 304 dengan sanad yang shahih).
Bantahan Bagi Pendapat Kedua
Berbagai alasan yang telah dikemukakan oleh para ulama dalam mendukung pendapat kedua pun dapat dijawab dengan jawaban sebagai berikut:
- Anggapan bahwa larangan tersebut hanya mencakup masjid-masjid selain ketiga masjid tersebut adalah anggapan yang lemah (yaitu alasan nomor tiga yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah).
- Hadits yang dijadikan hujjah adalah hadits Syahr bin Hausyab di atas. Hadits tersebut merupakan hadits yang lemah ditinjau dari segi sanad dan matan hadits sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikh Al Albani.
Perlu diketahui hadits Syahr yang dimaksud merupakan jalur periwayatan yang lain dari hadits sahabat Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu yang menjadi pokok pembicaraan kita. Terdapat dua rawi yang meriwayatkan hadits Abu Sa’id ini dari Syahr, yaitu,
a. Laits bin Abi Sulaim dari Syahr bin Hausyab, dia berkata,
لقينا أبا سعيد ونحن نريد الطور فقال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : لا تشد المطي إلا إلى ثلاثة مساجد المسجد الحرام ومسجد المدينة وبيت المقدس
“Kami berpapasan dengan Abu Sa’id sedang kami hendak bepergian menuju bukit Thursina. (Tatkala beliau mengetahuinya), maka beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seseorang melaksanakan perjalanan ke suatu tempat kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, “Masjidil Haram, Masjid Madinah (Nabawi) dan Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha)” (HR. Ahmad nomor 11901).
Jalur periwayatan ini lemah disebabkan kelemahan Laits bin Abi Sulaim atau Ibnu Zanim Al Laits. Abu Hatim dalam Al Majruuhiin (2/231) mengatakan bahwa hadits yang Laits bin Abi Sulaim hafal telah tercampur di masa tuanya. Terkadang beliau tidak mengetahui riwayat yang sedang beliau utarakan, sehingga beliau mencampuradukkan berbagai sanad, memarfu’kan hadits-hadits mursal dan menyandarkan beberapa hadits kepada perawi-perawi tsiqat, padahal mereka tidak meriwayatkan hadits tersebut. Kemudian Abu Hatim menyebutkan bahwa riwayat beliau (Laits bin Abi Sulaim) ditinggalkan oleh para imam ahli hadits semisal Yahya al Qahthan, Ibnu Mahdi dan Ahmad bin Hambal. Hal yang senada dikemukakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Taqribut Tahdzib (1/464). Syaikh Syu’aib al Arnauth rahimahullah melemahkan jalur periwayatan ini dalam ta’liq beliau terhadap Musnad Ahmad bin Hambal.
b. Rawi kedua yang meriwayatkan dari Syahr adalah Abdul Hamid bin Bahram dengan lafazh لا ينبغي للمطي ان تشد رحاله إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي . Jalur periwayatan inilah yang dijadikan hujjah oleh ulama yang berpendapat larangan dalam hadits Abu Sa’id al Khudri hanya berlaku pada masjid semata. Keabsahan riwayat ini juga didukung oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 3/65. Beliau menilai Syahr bin Hausyab hasanul hadits.
Syaikh al Albani rahimahullah mengatakan bahwa penilaian Ibnu Hajar rahimahullah terlalu terburu-buru. Beliau mengemukakan berbagai alasan sebagai berikut:
- Dalam riwayat ini terdapat tambahan “إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة “. Syahr bin Hausyab bersendirian dalam meriwayatkan tambahan ini. Karena dalam jalur periwayatan lain dari Abu Sa’id al Khudri yang shahih, tidak terdapat tambahan tersebut, bahkan tidak ditemukan dalam riwayat Laits dari Syahr yang telah dijelaskan kelemahannya! Hal ini menunjukkan tambahan tersebut adalah mungkar karena tidak tercantum dalam berbagai jalur periwayatan lain dari Abu Sa’id al Khudri, padahal jalur periwayatan dari Abu Sa’id al Khudri sangat banyak, namun tidak satu pun yang mencantumkan lafazh tambahan tersebut.
- Penilaian Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah yang menyatakan Syahr bin Hausyab hasanul hadits merupakan penilaian yang bertentangan dengan perkataan beliau di Taqribut Tahdzib 1/269. Dalam kitab tersebut beliau menyatakan bahwa Syahr bin Hausyab termasuk rawi shaduqun katsirul irsal wal auham, yaitu seorang yang tepercaya namun sering keliru dan meriwayatkan hadits-hadits mursal?! Padahal hadits yang dibawakan oleh rawi dengan kondisi demikian adalah hadits yang dhaif dan tidak patut dijadikan hujjah! (Lihat Ma’rifatu Ushulil Hadits 1/70 karya al Hakim, Syuruthul Aimmah 1/32 karya Ibnu Manduh dan al Masaa-il 3/307 karya al Ustadz Abdul Hakim bin ‘Amir Abdat).
- Anggaplah beliau, yakni Syahr bin Hausyab merupakan rawi yang hasanul hadits. Maka hadits yang dibawakan oleh seorang rawi dengan tingkatan hasanul hadits dapat dijadikan hujjah jika tidak menyelisihi riwayat lain yang lebih shahih. Namun tambahan hadits yang beliau (Syahr bin Hausyab) bawakan di atas telah menyelisihi riwayat yang lebih shahih dari para rawi yang juga meriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudri. Oleh karena itu, bagaimana mungkin beliau dikatakan sebagai seorang rawi yang hasanul hadits dengan adanya penyelisihan ini?! Bahkan beliau termasuk tingkatan rawi matrukul hadits sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Albani, dan Syaikh Albani tidak sendiri dalam mengkritik beliau (Syahr bin Hausyab).
- Terdapat beberapa kritikan terhadap Syahr bin Hausyab, diantaranya adalah sebagai berikut:
- Ahmad bin Syu’aib An Nasaa-i dalam Adl Dlu’afa wal Matrukiin menyatakan Syahr bin Hausyab ليس بالقوي (tidak kuat hafalannya).
- Ibnul Jauzi dalam Adl Dlu’afaa wal Matrukiin 2/43 membawakan perkataan Ibnu Hibban bahwa Syahr meriwayatkan berbagai hadits mu’dhol dari para perawi tsiqat.
- Ibnu Abi Hatim dalam Al Jarh wat Ta’dil (1/144) menyatakan bahwa Syu’bah meninggalkan hadits yang diriwayatkan oleh beliau (Syahr bin Hausyab). Dalam Tarikh Dimasyq 23/235 Syu’bah menyatakan و لقد لقيت شهرا فلم أعتد به (aku telah bertemu dengan Syahr, namun aku tidak mempedulikan riwayatnya).
- Terdapat kisah yang menyatakan kecacatan pada diri beliau (Syahr bin Hausyab). Disebutkan bahwa beliau telah mencuri sekantong uang dari Baitul Maal, sehingga tersebarlah perkataan لقد باع شهر دينه بخريطة فمن يأمن القراء بعدك يا شهر atas diri beliau (Lihat Al ‘Ilal wa Ma’rifatir Rijal 3/26 karya Ahmad bin Hambal, Tahdzibul Kamal 12/582 karya Al Maziy, Tahdzibut Tahdzib 4/324 karya Ibnu Hajar Al Asqalani dan Al Majruuhiin 1/361 karya Abu Hatim).
Syaikh Al Albani mengatakan, “Jika tambahan tersebut merupakan dalil yang mengkhususkan bahwa larangan bersafar dalam hadits Abu Sa’id hanya mencakup masjid dan bukan tempat-tempat yang memiliki keutamaan, maka pendalilan sahabat Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu tidaklah tepat. Karena bukit Thursina bukan masjid tetapi sebuah bukit! Tempat di mana Allah ta’ala berbicara dengan Musa ‘alaihis salam. Jika tambahan lafazh tersebut shahih, maka bukit Thursina tidak tercakup dalam larangan sehingga pendalilan Abu Sa’id al Khudri keliru dan Syahr tidak akan mungkin menerima pendalilan Abu Sa’id tersebut.” (Ahkaamul Janaaiz wa Bidaa’uha hal. 290 dengan sedikit peringkasan).
Inilah kontradiksi para ulama yang berdalil dengan hadits Syahr bin Hausyab. Mereka berdalil dengan hadits ini untuk mendukung pendapat yang menyatakan larangan bepergian hanya berlaku pada masjid semata. Namun, mereka tidak merenungkan bahwa hadits tersebut justru bumerang bagi mereka. Karena dalam riwayat tersebut, Abu Sa’id melarang Syahr untuk pergi menuju bukit Thursina. Padahal sebagaimana yang dimaklumi bahwa bukit Thursina bukanlah masjid!.
Hal ini menjadi dalil tambahan bahwa tambahan lafazh “إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة ” merupakan tambahan yang mungkar. Kalaulah tambahan itu shahih, maka mereka yang berpendapat bahwa larangan bersafar hanya mencakup masjid semata telah tenggelam dalam kontradiksi yang sangat jelas sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Al Albani.
Alasan lain yang dikemukakan oleh ulama yang menyatakan bolehnya bersafar ke tempat-tempat yang memiliki keutamaan adalah apa yang mereka sebutkan pada poin pertama di atas, yaitu maksud hadits adalah keutamaan yang sempurna hanya diperoleh dalam bersafar ketiga masjid tersebut, tidak ke tempat lainnya karena bersafar ke tempat-tempat selain ketiganya hukumnya boleh. Kemudian untuk menguatkan alasan ini mereka berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan Ahmad nomor 11627 dengan lafazh,
لا ينبغي للمطي ان تشد رحاله إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي
“Tidak selayaknya seorang bersafar ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, …”.
Mereka mengemukakan bahwa lafazh “لا ينبغي ” dalam hadits di atas tidaklah menunjukkan larangan, karena lafazh “لا ينبغي ” tidak dipergunakan untuk menyatakan keharaman sesuatu.
Jawaban atas pendapat ini sebagai berikut,
- Riwayat yang mereka pergunakan sebagai hujjah tidaklah shahih sebagaimana telah lalu penjelasannya.
- Anggaplah riwayat tersebut shahih, maka anggapan mereka bahwa lafazh “لا ينبغي ” tidak dipergunakan untuk menyatakan keharaman sesuatu merupakan anggapan yang keliru. Bahkan sebaliknya lafazh “لا ينبغي ” dalam Al Qur-an dan sunnah digunakan untuk sesuatu yang terlarang atau sesuatu yang mustahil (I’laamul Muwaqqi’in 1/43) diantaranya adalah firman Allah ta’ala dalam surat Maryam ayat 92,
وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (٩٢)
“Dan tidak layak bagi Rabb yang Maha Pemurah apabila memiliki anak.”. Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لا ينبغي لعبد أن يقول إنه خير من يونس بن متى
“Tidak boleh bagi seseorang menyatakan bahwa dirinya lebih baik daripada Yunus bin Matta.” (HR. Bukhari 3067).
Contoh yang lain dapat dilihat pada Ahkaamul Janaaiz hal. 291 dan I’laamul Muwaqqi’in 1/43.
Anggaplah sangkaan mereka bahwa lafazh “لا ينبغي ” tidak menyatakan keharaman, maka kita mengatakan minimal kandungan lafazh tersebut menyatakan kemakruhan. Akan tetapi anehnya mereka juga tidak menyatakannya, bahkan imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 9/106 menyatakan secara tegas dengan perkataannya,
والصحيح عند أصحابنا وهو الذي اختاره امام الحرمين والمحققون أنه لا يحرم ولا يكره
“Pendapat yang benar dalam permasalahan ini adalah sesuai dengan pendapat yang dipilih imam Al Haramain dan para peneliti bahwa hal tersebut (bersafar ke kuburan orang shalih atau tempat yang diyakini memiliki keutamaan- peny) tidaklah diharamkan dan dimakruhkan.”!!!.
Rentetan jawaban yang diberikan di atas menjelaskan bahwa hadits yang digunakan justru menjadi hujjah bagi mereka dan sedikitpun tidak dapat dipakai untuk mendukung alasan yang mereka kemukakan.
Alasan yang tersisa sebagaimana yang dikemukakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah adalah sangkaan mereka bahwa larangan yang terkandung dalam hadits tersebut ditujukan bagi orang yang bernazar untuk shalat di suatu masjid selain ketiga masjid di atas. Di tempat yang sama, Al Hafizh juga menyebutkan bahwa maksud larangan dalam hadits ditujukan bagi mereka yang sengaja hendak beri’tikaf di suatu masjid selain ketiga masjid. Alasan ini sangat lemah, karena hal tersebut merupakan pengkhususan tanpa dilandasi dengan dalil sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Al Hafizh Ibnu Hajar (Al Fath 3/65) dengan perkataan beliau, وَلَمْ أَرَ عَلَيْهِ دَلِيلًا (aku tidak melihat satu dalil pun untuk mendukung pengkhususan ini -peny). Oleh karena itu, alasan ini sangat lemah dan tidak berdasar.
Dari uraian di atas, wajib memberlakukan keumuman larangan yang terkandung dalam hadits Abu Sa’id tersebut. Larangan bersafar yang dimaksudkan adalah larangan untuk sengaja bersafar ke seluruh tempat-tempat yang diyakini memiliki keutamaan baik itu masjid, kuburan orang shalih dan semisalnya. Terkecualikan dari larangan tersebut, tiga masjid yang telah dinyatakan dalam hadits, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.
bersambung insya Allah.
***
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
http://muslim.or.id/aqidah/safar-ke-kuburan-1.html
0 komentar:
Posting Komentar