Kumpulan Mutiara Hikmah (Bag.8)

Imam Hasan al-Bashri rahimahullah,
"Ahlussunnah adalah manusia yang paling sedikit pada zaman yang telah lewat, paling sedikit pada zaman yang tersisa, mereka orang-orang yang tidak ikut-ikutan dengan orang yang bermegahan dengan ahli bid'ah dalam kebid'ahan mereka, mereka sabar di atas sunnah hingga bertemu Rabb mereka"
(Sunan ad- Darimi 1/83).
 
"Sudah sepantasnya bagi orang yang telah mengetahui suatu Amalan Ibadah agar bersemangat untuk mengamalkannya. Menuntut Ilmu Agama bukanlah sekedar tambah wawasan dan memperluas cakrawala.. Namun hendaknya orang yang sudah mendalami (mempelajari) ilmu Agama slalu berusaha untuk lebih giat lagi dalam Beribadah". (Faidah dari Muslim.or.id).
 
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rohimahulloh berkata, “Sungguh keberadaan agama Islam dan keberlangsungan dunia ini adalah dengan keberadaan ilmu agama,dengan hilangnya ilmu akan rusaklah dunia dan agama. Maka kokohnya agama dan dunia hanyalah dengan kekokohan ilmu.” (Miftah Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1/500).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh berkata,
"Suatu Musibah yang membuatmu mau menghadap kepada Allah itu lebih baik daripada suatu Nikmat yang membuatmu lupa akan Dzikir kepada Allah". (Tasjilat Ahl al Masha'ib, 226).

Syaikh Abdurrahman bin Qasim An Najdi rahimahullah mengatakan,
“Amal adalah buah dari Ilmu. Ilmu itu dicari demi mencapai sesuatu yang lain. Ilmu ibarat sebatang Pohon, sedangkan Amalan itu seperti buahnya. Maka, setelah mengetahui ajaran Agama, hendaknya menyertainya dengan Amalan. Sebab orang yang berilmu tetapi tidak beramal itu lebih jelek keadaannya daripada orang bodoh. (lihat Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 12).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
“Sesungguhnya seorang mukmin dngan mukmin yang lain itu bagaikan dua buah telapak tangan manusia. Telapak tangan yang satu itu membasuh telapak tangan yang lain. Terkadang kotoran itu tidaklah hilang kecuali dengan gosokan yang cukup keras, akan tetapi dengan hal tersebut tangan bisa bersih dan segar. Karena itu, kita harus menilai gosokan yang keras tersebut sebagai suatu tindakan yang terpuji” (Majmu Fatawa 28/53-54).

Hasan Al Basri rahimahullah berkata,
“Seorang hamba akan senantiasa dalam kebaikan selama dia memiliki penasehat dari dalam dirinya sendiri. Dan mengintrospeksi diri
merupakan perkara yang paling diutamakan.”
(Mawa’izh Lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal.41).

"Sungguh tidak ada seorangpun yang dilahirkan dalam keadan sudah ber-Ilmu. Ilmu itu tidak lain hanya didapat dengan cara Belajar".
(perkataan sahabat Abdullah bin Mas'ud dalam kitab Al 'Ilmu,
 Ibnu Qayyim rahimahullah, no.94).

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata,
Seandainya manusia mengetahui bahwa nikmat Allah yang ada dalam musibah itu tidak lain seperti halnya nikmat Allah yang ada dalam kesenangan, niscaya hati dan lisannya akan selalu sibuk untuk mensyukurinya.”
(Syifaa`ul ‘Aliil, 525).

Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah berkata,
“Para malaikat adalah para penjaga langit, sedangkan ashhabul hadits adalah penjaga bumi.”(Syaraf Ashabul Hadits (80) dengan sanad yang tidak bermasalah) Beliau juga mengatakan, “Perbanyaklah menguasai hadits, karena ia adalah senjata.”(Abu Nu’aim, al-Hilyah (6/364)).

Abdullah bin 'Aun berkata:
"Sesungguhnya orang-orang sebelum kita menyempatkan kehidupan dunia dengan sisa hidupnya untuk akhirat, sedangkan kalian menyempatkan akhirat dengan sisa hidup kalian untuk dunia".

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata,
''Barangsiapa yang mengenal Allah Ta'ala dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatanNya, maka dia pasti akan mencintai-Nya''
(Madarijus salikin 3/17).

Syaikh Sholeh al Fauzan berkata bahwa mengapa kita diperintahkan untuk tidak begadang hingga larut malam, di antara tujuannya adalah agar tidak luput dari shalat tahajud, witir dan tidak lalai dr shalat shubuh.
(Faedah dr durus al muntaqo, 3/11/1432 H).

“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan,
dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.”
(HR. Tirmidzi no. 3479. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Orang yang ikhlas lebih mengutamakan penilaian Allah
daripada penilaian manusia. Abu Utsman al-Maghribi berkata,
“Ikhlas adalah melupakan pandangan orang dengan senantiasa
memperhatikan pandangan Allah. Barangsiapa yang menampilkan dirinya berhias dengan sesuatu yang tidak dimilikinya niscaya akan jatuhlah kedudukannya di mata Allah.”
(Ta'thir al-Anfas, hal. 86).

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan
Bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya
Tetapi, mengapa aku tidak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja yang melukiskan bahwa itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta, lebih banyak mobil, lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan.
Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
"aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku" dan
menolak keputusan Nya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk
beribadah... "Ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja"
(Alm. Haji, Wilibrordus Surendra RENDRA, Muallaf Mantan Katholik. www.islamterbuktibenar.net).

"Jika engkau bisa, jadilah seorang ulama. Jika engkau tidak mampu, maka jadilah penuntut ilmu. Bila engkau tidak bisa menjadi seorang penuntut ilmu, maka cintailah mereka. Dan jika kau tidak mencintai mereka,
janganlah engkau benci mereka." (Umar bin Abdul Aziz).
 
"Sesungguhnya orang yang paling utama untuk kita ikuti (setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah orang yang paling sempurna ilmu dan pemahamannya. Dan sesungguhya para shahabat adalah orang yang paling sempurna ilmu dan pemahamannya, maka wajib bagi kita mengikuti dan mengutamakan mereka ketika terjadi perpecahan, perbedaan pendapat, dan perbedaan hukum". (Al Bayyinaatus Salafiyyah Anna Aqwaalash Shahaabah Hujjatun Syar'iyyah, hal. 77-78).

Qona'ah
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Hurairah,
“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’ niscaya dirimu akan menjadi hamba yang paling taat. Jadilah orang yang qana’ah, niscaya dirimu akan menjadi hamba yang paling bersyukur” [HR. Ibnu Majah: 4217].

"Seorang yang berkeluh-kesah atas rezeki yang diperolehnya,
sesungguhnya tengah berkeluh-kesah atas pembagian yang telah ditetapkan Rabb-nya. Barangsiapa yang mengadukan minimnya rezeki kepada sesama makhluk, sesungguhnya dirinya tengah memprotes Allah kepada makhluk. Seseorang pernah mengadu kepada sekelompok orang perihal kesempitan rezeki yang dialaminya, maka salah seorang diantara mereka berkata, “Sesungguhnya engkau ini tengah mengadukan Zat yang menyayangimu kepada orang yang tidak menyayangimu”
[Uyun al-Akhbar karya Ibnu Qutaibah 3/206].

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
 “Keberuntungan bagi seorang yang diberi hidayah untuk memeluk Islam, kehidupannya cukup dan dia merasa qana’ah dengan apa yang ada”
[HR. Ahmad 6/19; Tirmidzi 2249].

Abdullah bin Amr mengatakan bahwa,
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh beruntung orang yang memeluk Islam, diberi rezki yang cukup dan Allah menganugerahi sifat qana’ah atas apa yang telah diberikan-Nya”
[HR. Muslim: 1054; Tirmidzi: 2348].

Abdullah bin Mas’ud radhiallalhu ‘anhu mengatakan,
“Al Yaqin adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, engkau tidak dengki kepada seorangpun atas rezeki yang ditetapkan Allah, dan tidak mencela seseorang atas sesuatu yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sesungguhnya rezeki tidak akan diperoleh dengan ketamakan seseorang dan tidak akan tertolak karena kebencian seseorang. Sesungguhnya Allah ta’ala –dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya- menjadikan ketenangan dan kelapangan ada di dalam rasa yakin dan ridha kepada-Nya serta menjadikan kegelisahan dan kesedihan ada di dalam keragu-raguan (tidak yakin atas takdir Allah) dan kebencian (atas apa yang telah ditakdirkan Allah)”
[Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (118)
dan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (209)].

Sebagian ahli hikmah mengatakan,
“Saya menjumpai orang yang mengalami kesedihan berkepanjangan
adalah mereka yang hasad, sedangkan yang memperoleh ketenangan hidup adalah mereka yang qana’ah”
[Al Qana’ah karya Ibnu as-Sunni hlm. 58].

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya kemewahan dunia, akan tetapi kekayaan hakiki adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)”
[HR. Bukhari: 6446; Muslim: 1051].

Abu Dzar radhiallalhu ‘anhu mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya,
“Wahai Abu Dzar apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itu adalah kekakayaan sebenarnya?”Saya menjawab, “Iya, wahai Rasulullah.”
Beliau kembali bertanya, “Dan apakah engkau beranggapan bahwa kefakiran itu adalah dengan sedikitnya harta?”
Diriku menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.”
Beliau pun menyatakan, “Sesungguhnya kekayaan itu adalah dengan kekayaan hati dan kefakiran itu adalah dengan kefakiran hati”
[HR. An-Nasaai dalam al-Kubra: 11785; Ibnu Hibban: 685].

Umar radhilallahu ‘anhu pernah berpesan dalam salah satu khutbahnya,
“Tahukah kalian sesungguhnya ketamakan itulah kefakiran dan sesungguhnya tidak berangan-angan panjang merupakan kekayaan.
Barangsiapa yang tidak berangan-angan memiliki apa yang ada di tangan manusia, niscaya dirinya tidak butuh kepada mereka”
[HR. Ibnu al-Mubarak dalam az-Zuhd: 631].

Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu pernah berwasiat kepada putranya, “Wahai putraku, jika dirimu hendak mencari kekayaan, carilah dia dengan qana’ah, karena qana’ah merupakan harta yang tidak akan lekang”
[Uyun al-Akhbar : 3/207].

Abu Hazim az-Zahid pernah ditanya, “Apa hartamu”,
beliau menjawab,“Saya memiliki dua harta dan dengan keduanya
saya tidak takut miskin. Keduanya adalah ats-tsiqqatu billah
(yakin kepada Allah atas rezeki yang dibagikan) dan tidak mengharapkan harta yang dimiliki oleh orang lain" [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (963); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah 3/231-232].

Sebagian ahli hikmah pernah ditanya,
“Apakah kekayaan itu?”
Dia menjawab, “Minimnya angan-anganmu dan engkau ridha
terhadap rezeki yang mencukupimu” [Ihya ‘Ulum ad-Diin 3/212].

Al Hasan -rahimahullah- berkata,
“Engkau akan senantiasa mulia di hadapan manusia dan manusia akan senantiasa memuliakanmu selama dirimu tidak tamak terhadap harta yang mereka miliki. Jika engkau melakukannya, niscaya mereka akan meremehkanmu, membenci perkataanmu dan memusuhimu”
[Al-Hilyah: 3/20].

Al Hafizh Ibnu Rajab mengatakan,
“Begitu banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk bersikap ‘iifah (menjaga kehormatan) untuk tidak meminta-minta dan tidak bergantung kepada manusia. Setiap orang yang meminta harta orang lain, niscaya mereka akan tidak suka dan membencinya, karena harta merupakan suatu hal yang amat dicintai oleh jiwa anak Adam. Oleh karenanya, seorang yang meminta orang lain untuk memberikan apa yang disukainya,
niscaya mereka akan membencinya”
[Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam 2/205].

Seorang Arab badui pernah bertanya kepada penduduk Bashrah,
 "Siapa tokoh agama di kota ini?”
Penduduk Bashrah menjawab, “Al Hasan.”
Arab badui bertanya kembali, “Dengan apa dia memimpin mereka?”
Mereka menjawab, “Manusia butuh kepada ilmunya,
sedangkan dia tidak butuh dunia yang mereka miliki”
[Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam 2/206].

"Ada 3 (tiga) tingkatan mengeluh,
yang paling buruk adalah anda mengeluhkan Allah kepada makhluk-Nya,
yang paling tinggi (mulia) adalah anda mengeluhkan keburukan dan kelemahan diri kepada-Nya, dan yang pertengahan adalah anda mengeluhkan kezhaliman makhluk-Nya kepada-Nya". (Fawaidul Fawaid hal. 378).

Bersemangatlah dalam Hal Hal yang Bermanfaat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga.
Beliau mengatakan,“Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat.
Hal ini jauh berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk melakukan hal yang disyari’atkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan semakin mendapatkan manfaat dengan melakukan amalan tersebut, agama dan islamnya pun akan semakin sempurna.”

Lalu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
Oleh karena itu, banyak sekali orang yang terbuai dengan nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk menata hati. Maka, pasti karena maksudnya, dia akan semakin berkurang semangatnya dalam menyimak Al Qur’an. Bahkan sampai-sampai dia pun membenci untuk mendengarnya.”
(Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim li Mukholafati Ash-haabil Jahiim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq & Ta’liq: Dr. Nashir ‘Abdul Karim Al ‘Aql, 1/543).

"Janganlah heran kalau ada orang yang bisa semalam suntuk membaca al-Qur'an atau sholat malam, akan tetapi heranlah dengan orang yang sholat witir hanya 1 rakaat akan tetapi rutin dan continue." Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,"Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling rutin meskipun sedikit". (HR Bukhari dan Muslim, Ustadz Firanda).

Abu Hazim pernah ditanya komentar beliau tentang ulama.
Abu Hazim mengatakan: “Aku tidak pernah berkomentar tentang ulama,
kecuali yang baik. Saya menjumpai para ulama, dan mereka merasa kaya dengan ilmunya sehingga tidak butuh orang yang kaya dunia.
Sementara orang yang kaya dunia tidak merasa kaya dengan dunia mereka,
sehingga tetap butuh ilmu ulama.”
(al-Madkhal ilas sunan al-Baihaqi, 456).

Dari ar-Rabi' bahwa beliau mengatakan:
Suatu ketika Imam Syafi'i meriwayatkan sebuah hadis.
Tiba-tiba ada seseorang yang bertanya: Kamu mengamalkan hadis ini, wahai Abu Abdillah (Imam Syafi'i). Kemudian beliau menjawab: "Kapanpun aku meriwayatkan hadis shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian aku tidak mengamalkannya maka saya bersaksi di hadapan kalian bahwa akalku telah hilang." Beliau berisyarat dengan tanngannya dan memegang kepalanya.

Imam Ahmad bin Hambal mengatakan:
"Sikap terbaik yang ada pada diri as-Syafi'i menurutku adalah apabila beliau mendengar hadis yang belum pernah beliau dengar maka beliau langsung berpendapat dengan hadis tersebut dan meninggalkan pendapatnya yang (lama)" (al-Madkhal Ilas Sunan Baihaqi, 188 – 189).

Imam as-Syafi'i mengatakan:
"Orang yang belajar ilmu agama dengan mengandalkan hartanya dan merasa bangga, pasti dia tidak akan berhasil. Tetapi siapa yang belajar agama dengan merendahkan dirinya, kesusahan dalam hidup, memberikan pelayanan kepada ilmu, dan jiwa yang tawadhu' maka pasti dia akan berhasil."
 (Madkhal ila Sunan al-Kubro, lil Baihaqi, 407).

Pernah ada dua orang yang belajar kepada Imam al-A'masy.
Yang satu tujuannya untuk belajar hadits, dan yang satunya tidak untuk mencari hadits. Suatu ketika Imam al-A'masy memarahi muridnya yang ingin belajar hadits. Kemudian murid yang satunya (yang tidak ingin belajar hadits) berkata: Andaikan al-A'masy memarahiku sebagaimana dia memarahimu, saya tidak akan ikut kajian lagi. Kemudian Imam al-A'masy mengatakan: Andaikan dia adalah orang yang dungu seperti kamu, maka dia akan meninggalkan apa yang manfaat baginya, karena ada perangaiku yang buruk.
(al-Madkhal Ilas Sunan Baihaqi, 1/312).

Dari Rabi' bin Sulaiman,
bahwa beliau mendengar Imam as-Syafi'i mengatakan:
“Saya khawatir, orang yang belajar ilmu agama tanpa niat (serius),
ilmunya tidak manfaat baginya”
(al-Madkhal ilas sunan al-Baihaqi, 1/406).

Imam as-Syifi'i mengatakan:
“Hukumanku untuk ahli filsafat adalah dia dipukuli dengan pelepah dan sandal, sambil diarak di kampung, dan diumumkan: Inilah balasan untuk orang yang meninggalkan al-Quran dan sunah, kemudian dia mempelajari filsafat” (Minhajus Sunah, 2/138).

Dari Wahb bin Jarir, dari bapaknya, beliau bercerita:
“Saya mengikuti kajian al-Hasan selama tujuh tahun. Belum pernah aku bolos, meskipun sehari. Aku puasa dan aku berangkat kajian.”
(Siyar a'lam Nubala', adz-Dzahabi, 6/362).

Disebutkan dalam sebuah hadis:
“Akan datang sekelompok pemuda yang mencari ilmu. Jika kalian melihat mereka maka bersikaplah yang baik kepada mereka. Karena mereka adalah wasiat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam”
(HR. Ibn Abdil Bar, Ibn Majah, dan dihasankan al-Albani).

Yahya bin Mu'adz mengatakan:
"Wahai manusia, hati-hatilah dari setan.
Karena, setan itu sudah tua (berpengalaman), sementara kalian adalah
orang baru. setan itu sangat longgar waktunya, sementara kalian sangat sibuk.
Keinginan setan terhadapmu hanya satu yaitu membinasakanmu,
sementara kalian mempunyai banyak keinginan.
setan bisa melihat kalian dan kalian tidak bisa melihat setan,
kalian lalai dari setan sementara setan tidak pernah lalai dari kalian".
(Hal haaluna mitsla haali salaf, saaid.net).

Dari Ibn Jabir, bahwa Abu Darda radliallahu 'anhu pernah mengatakan:
“Saya bersikap santai, agar saya bisa lebih giat dalam kebenaran.”
Akupun bertanya: “Saya melihat anda tidak pernah berhenti dzikir. Berapa tasbih yang anda baca sehari?” Abu Darda menjawab:
“Seratus ribu, jika hitungan jariku tidak salah”
(Siyar A'lam Nubala ad-Dzahabi, 5/421).

Nasehat untuk Menundukkan Pandangan.
Amr bin Murrah mengatakan:
“Saya melihat seorang wanita, dan saya-pun terkesan.
Kemudian mata saya menjadi buta. Saya-pun berharap agar itu menjadi penebus dosaku.” (Dzammul Hawa, no. 284).

Sebagian ulama mengatakan:
“Saya melihat seorang wanita yang tidak halal bagiku. Ternyata kemudian istriku melihat seorang lelaki yang aku benci” (ashefaa.com).

Imam Mujahid mengatakan:
“Menundukkan pandangan dari apa yang Allah haramkan, akan mewujudkan kecintaan Allah (kepadanya)” (Dzammul Hawa, Ibnul Jauzi, no. 312).

Al-Warraq mengatakan:
“Siapa yang menahan pandahan dari sesuatu yang diharamkan,
Allah akan memberikan hikmah di lisannya” (ashefaa.com).

Diriwayatkan bahwa Nabi Isa 'alahis salam mengatakan:
“Melihat bisa menanamkan syahwat dalam hati. Cukuplah itu sebagai
perbuatan dosa”. Ma'ruf mengatakan:“Tundukkan pandanganmu,
meskipun karena melihat kambing betina”
(Kuffa Basharak- saaid.net).

Ibn Abbas radliallahu 'anhu mengatakan
Setan dalam diri seorang lelaki berada di tiga tempat: matanya, hatinya, dan kemaluannya. Sedangkan setan dalam diri wanita berada di tiga tempat: matanya, hatinya dan panggulnya”
(Zuhud, al-Waqi' bin Jarrah, no. 478).

Hassan bin Abi Sinan pernah berangkat menuju lapangan untuk shalat id. Setelah kembali ke rumah, istrinya bertanya:
“Berapa wanita cantik yang telah engkau lihat?”
Beliau menjawab: “Demi Allah, saya tidak melihat sesuatu kecuali jempolku, sejak saya keluar dari tempatmu sampai saya kembali kepadamu.”.

Ar-Rabi' bin Khaitsam rahimahullah sangat menjaga pandangannya.
Suatu ketika lewat beberapa wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya ke dadanya, sampai para wanita menyangka bahwa beliau orang buta.
Sampai para wanita itu berlindung kepada Allah dari orang buta.”
(Kuffa Basharak 'an al-Haram, al-Ayubi. Saaid).

Allah Ta'ala berfirman:
“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman, agar mereka menjaga pandangan mereka (dari melihat yang haram) dan menjaga kemaluan mereka. Hal itu lebih suci bagi mereka.” (QS. An-Nur: 30).

Sebagaian ulama mengatakan: 
“Bersabar menahan pandangan itu lebih dari pada bersabar terhadap pengaruh rasa sakit setelahnya.” Ketika orang memandang 'pemicu syahwat' yang terlarang, dia akan menginginkan yang lebih. Pandangan matanya akan menjadi bayangan yang senantiasa tengiang-ngiang dalam dirinya. Di saat itulah dia harus menahan rasa sakit karena tidak bisa mewujudkan keinginannya. Benarlah apa yang Allah firmankan.

Ilmu adalah Anugrah dari Allah
Dari Abul Harits, bahwa Imam Ahmad bin Hambal pernah mengatakan:
Sesungguhnya ilmu adalah anugerah yang Allah berikan kepada makhluk-Nya yang Dia cintai. Tidaklah seseorang mendapatkannya karena nasabnya.
Andaikan ilmu itu diperoleh karena nasabnya, tentu orang yang paling berhak mendapatkan ilmu adalah ahli bait Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam”
 (Ma'alim fi Thariq Thalabil Ilmi, hlm. 56).

Suatu ketika ada seorang murid Imam Ahmad yang menjenguk beliau ketika sedang sakit. Pada saat itu Imam Ahmad sedang merintih menahan sakitnya. Kemudian murid ini memberi nasehat: “Wahai Imam Ahmad, anda merintih. Padahal Imam Thawus (ulama besar zaman tabi'in) pernah mengatakan:
“Sesungguhnya malaikat mencatat (ucapan) hamba, sampai rintihan orang yang sakit. Karena Allah berfirman, yang artinya: 'Tidaklah dia melafadzkan satu kata-pun, kecuali di sisinya ada malaikat yang selalu mengawasi dan tidak pernah absen", Seketika itu, imam Ahmad langsung diam dan tidak merintih lagi. (Syarh al-Wasithiyah Ibn Utsaimin).

Beberapa nasehat ulama untuk lebih banyak diam
Sufyan mengatakan:“Sering diam adalah kunci ibadah”.
 
Thawus –salah satu ulama besar di kalangan tabi'in–mengatakan:
“Lidahku adalah hewan buas. Jika aku lepas maka dia akan memakanku”.
 
Seorang ulama mengatakan:
“Saya tidak pernah menyesal karena 'diamku' meskipun sekali.
Tapi saya telah menyesal karena 'ucapanku' berulang kali.”
(disadur dari: Hurmatu Ahlil Ilmi, karya Syaikh Muhamad
bin Ismail al-Muqadam).

Dari Abu Said al-Khudri radliallahu 'anhu,
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Setiap pagi hari, semua anggota badan manusia akan merendah kepada lisan. Mereka mengatakan: Bertaqwalah kepada Allah (wahai lisan) untuk keselamatan kami. Karena kami selalu mengikutimu. Jika kamu istiqamah (berada di jalan yang lurus) maka kami akan istiqamah, dan jika kamu melenceng maka kami akan melenceng.
(HR. Tirmidzi, no. 2407; dihasankan oleh Syaikh Salim Al-Hilali
di dalam Bahjatun Nazhirin, 3/17, no. 1521).

Disebutkan dalam hadits:
“Jangan banyak bicara selain dzikir kepada Allah,
karena banyak bicara selain dzikir kepada Allah sebab kerasnya hati. Dan manusia yang paling jauh dari Allah adalah orang yang keras hatinya.”
(HR. Turmudzi, dan dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir).

Dari Asma' binti Yazid radliallahu 'anha,
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang membela daging saudaranya (sesama muslim) dari ghibah, maka layak bagi Allah untuk membebaskannya dari neraka.”
(HR. Baihaqi dalam Syua'bul Iman, 3120).

Dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Ketika peristiwa isra mi'raj, saya melewati sekelompok orang yang
memiliki kuku dari tembaga, yang mereka gunakan untuk mencakar wajah
dan dadanya. Saya bertanya: Siapa mereka wahai Jibril?
Dia menjawab: Mereka adalah orang-orang yang makan daging manusia
dan mencabik kehormatan orang lain (gosip)”.
(HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tabrani, dan dishahihkan al-Albani).

Imam Hasan al-Bashri melanjutkan nasehatnya
 kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz: “Hati-hatilah wahai amirul mukminin, sesungguhnya bekal utama di dunia adalah dengan meninggalkan dunia, merasa butuh terhadap dunia adalah kefakiran, dunia akan menghinakan setiap orang yang mengagungkannya, dan membuat miskin setiap orang yang mengumpulkannya”.

Ibn Abid Dunya menyebutkan bahwa Hasan al-Bashri–salah seorang ulama besar tabi'in–pernah menulis nasehat kepada Khalifah Umar bin abdul Aziz melalui surat. Salah satu isi nasehatnya:
“Sesungguhnya dunia adalah negeri perantauan dan bukan tempat tinggal. Karena Adam diturunkan di bumi ini sebagai hukuman”.

Ali bin Abi Thalib mengatakan:
“Manusia seperti orang yang sedang tidur. Jika mereka mati,
barulah mereka sadar”.

Hasan al-Basri pernah mengatakan:
“Apabila engkau melihat ada orang yang mengunggulimu dalam
urusan dunia maka ungguli dia dalam urusan akhirat.”
(az-Zuhd karya Ibn Abi Dunya, no. 541).

Ada seseorang yang datang ke Abu Darda' dan minta nasehat.
Kemudian Abu Darda' radliallahu 'anhu mengatakan:
“Ingatlah Allah di waktu lapang, niscaya dia akan mengingatmu di waktu susah. Jika kamu mengingat orang yang telah mati, jadikanlah dirimu seperti salah satu diantara mereka.” (Siyar a'lam Nubala', 2: 349).

Imam Ibnul Jauzi mengatakan:
"Pembeda antara ulama dunia dan ulama akhirat adalah bahwa ulama dunia melihat kepemimpinan dan menginginkan banyaknya jamaah serta pujian. Sedangkan ulama akhirat mereka mengisolasi diri dan menghindari kepentingan tersebut. Bahkan mereka takut dengan hal itu dan mendoakan orang yang terjebak ke dalam ketenaran." (Shaidul Khatir).

Bisyr al-Hafi mengatakan:
"Tidaklah aku mengetahui ada orang yang lebih mencintai ketenaran,
kecuali ilmunya akan berkurang dan dibeberkan.".

Imam Ahmad mendapat kabar tentang doa banyak orang kepada beliau,
beliau mengatakan: “Saya Memohon kepada Allah, agar tidak menjadikanku sasaran penglihatan masyarakat.” (Siyar A'lam an-Nubala, 11/211).

Imam Ahmad mengatakan:
“Sungguh beruntung, orang yang Allah sembunyikan namanya sehingga dia tidak disebut-sebut”. Imam Ahmad pernah mendengar pujian orang yang disampaikan kepadanya. Kemudian beliau menasehatkan kepada salah satu muridnya, yang bernama Abu Bakr:
“Wahai Abu Bakr, jika orang itu mengenal siapa dirinya maka ada pengaruhnya pujian orang kepadanya.” (Siyar a'lam an-Nubala, 11:211).

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Waspadalah wahai orang arab (beliau ulangi 3 kali),
sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah riya' dan syahwat yang tersembunyi.” (HR. Thabrani dalam Mu'jam al-Kabir dan dihasankan al-Albani dalam Silsilah Sahihah, no. 508).
 
Ibnul Atsir -rahimahullah- mengatakan:
“Syahwat tersembunyi adalah senang ketika amalnya dilihat oleh masyarakat”.

Dari Husain bin Ismail, bahwa bapaknya bercerita:
"Orang yang mengikuti kajiannya Imam Ahmad sekitar 5000 atau lebih.
Sekitar 500 orang mencatat (kajian yang disampaikan). Sisanya, hanya ingin belajar bagaimana adab dan perilaku yang baik beliau."
(Siyar A'lam an-Nubala, 11/ 316).

Disebutkan dalam riwayat:
"Perumpamaan ulama yang tinggal di bumi ini seperti bintang di langit.
Orang yang melihatnya, bisa menjadikannya sebagai petunjuk (arah).
Jika mereka terhalangi untuk melihatnya maka mereka akan bingung (tidak tahu arah). (HR. Ahmad dan Baihaqi dalam al-Madkhal ila Sunan al-Kubro).

al-Hasan al-Bashri mengatakan:
“Andaikan bukan karena ulama, niscaya manusia akan seperti binatang.”.

Dari Abu Darda radhiyallahu 'anhu, beliau mengatakan:
“Jadilah orang alim (yang mengajarkan ilmu), atau muta'alim (orang yang belajar), atau mustami' (yang bersedia mendengarkan ilmu), atau muhibban (mencintai dan mendukung penyebaran ilmu), dan jangan menjadi orang yang kelima, karena kamu akan binasa.” Humaid bertanya kepada al-Hasan: “Siapakah orang yang kelima?” Beliau menjawab: “Ahli bid'ah.”
(al-Ibanah al-Kubro, karya Ibn Batthah, hadis no. 168).

Imam adz-dzahabi menyebutkan biografi salah satu ulama:
Abdul Wahab bin Al-Wahab bin al-Amin, beliau berkomentar: "Sesungguhnya waktu beliau sangat terjaga. Tidak berlalu satu waktu kecuali beliau dalam keadaan membaca, berdzikir, tahajud,
atau menyampaikan hadis."
(Ma'rifatul Qura' al-Kibar, 2: 465).

Ibnu Umar -radhiallahu 'anhu- mengatakan:
"Jika kalian di waktu sore jangan menunggu pagi dan jika kalian di waktu pagi jangan menunggu sore. Gunakan kesempatan sehatmu sebelum sakitmu dan gunakan kesempatan hidupmu untuk matimu." (HR. Bukhari).

Sebagian ulama mengatakan:
“Diantara bala tentara iblis adalah menunda amal”
(Iqtidhaul Ilmi, 114).

Ibnul Qoyim – Ulama dokter hati – mengatakan:
“Sesungguhnya angan-angan adalah modal utama untuk bangkrut.”
Madarijus Salikin, 1: 456).

Imam Ahmad – Imam Ahlus sunnah – mengatakan:
Pembela hadits menurut kami adalah orang yang mengamalkan hadits.”
Perkataan ini merupakan sindiran beliau kepada orang yang banyak menulis hadits atau membaca hadis tapi malas dalam mengamalkannya".

Muhammad Ibnu al-Munkadir –salah satu ulama besar
dari kalangan tabi'in – mengatakan: “Ilmu itu senantiasa membisikkan untuk diamalkan. Jika dipenuhi (bisikannya) maka akan tetap melekat. Jika tidak maka ilmu itu akan pergi".

Imam Syafi'i rahimahullah mengatakan:
"Ikutilah ahli hadits (orang yang mengamalkan hadits) karena mereka adalah orang yang paling banyak benarnya"
(Siyar A'lam an-Nubala, karya adz-Dzahabi, 10:70).

Definisi taqwa
Definisi taqwa yang paling bagus, disampaikan oleh seorang ulama dari kalangan tabi'in. Beliau mengatakan: “Taqwa adalah melakukan ketaatan kepada Allah dengan mengharap rahmat Allah, berdasarkan cahaya dari Allah (al-Qur'an dan sunnah), dan meninggalkan maksiat kepada Allah, karena takut hukuman Allah, berdasarkan cahaya dari Allah (al-Qur'an dan sunnah).”
(Dalam Zadul Muhajir hal. 10, Ibnul Qoyim mengatakan:
“Ini adalah penjelasan terbaik tentang batasan taqwa”).

Dari yunus bin Ubaid, beliau mengatakan:
Saya belum pernah melihat orang yang lebih banyak sedih melebihi Hasan al-Bashri. Beliau mengatakan: "Kita ketawa-ketawa, sementara bisa jadi Allah melihat amal kita kemudian Dia berfirman: Aku tidak menerima amalmu sedikitpun" (Kitab az-Zuhd Imam Ahmad, 4:71).

"Lima hal, siapa yang melakukannya dengan iman maka dia masuk surga:
(1) Menjaga shalat 5 waktu; dengan memperhatikan wudhu,rukuk,sujud,
dan (2) waktunya, (3) Puasa Ramadhan, (4) Haji jika mampu,
(5) Membayar zakat dengan penuh kerelaan hati."
(Sahih Targhib).

"Masa muda merupakan masa primanya pertumbuhan fisik
dan kekuatan manusia, dan ini merupakan kenikmatan besar dari Allah
Azza wa Jalla yang seharusnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
untuk amal kebaikan guna meraih ridha Allah Azza wa Jalla"
[Ust Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, MA].

Abul Wafa Ali bin Abu Aqil menceritakan tentang dirinya sendiri:
sesungguhnya aku tidak membiarkan diriku membuang-buang waktu meski hanya satu jam dalam hidupku. Sampai-sampai apabila lidahku berhenti berdzikir atau berdiskusi, pandangan mataku juga berhenti membaca, segera aku mengaktifkan fikiranku kala beristirahat sambil berbaring.
Ketika aku bangkit, pasti sudah terlintas sesuatu yang akan kutulis. Dan ternyata aku mendapati hasratku untuk belajar pada umur delapan puluhan, lebih besar dari hasrat belajarku pada umur dua puluh tahun”
(“Al-Muntazhim” karya Ibnul Jauzi IX:214 menukil dari buku “Sawanih Wa Tawilat Fii Qimatinz Zaman” karya Khaldun Al-Ahdab hal.24).

Ibnu Mas'uud berkata :
"Sesungguhnya hati-hati ini adalah (seperti) bejana-bejana.
Maka, sibukkanlah ia dengan Al-Qur'an dan jangan sibukkan ia dengan selainnya" [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ahmad dalam Az-Zuhd,
Al-Qaasim bin Sallaam dalam Fadlaailul-Qur'aan, dan Al-Khathiib dalam Taqyiidul-'Ilmi; dengan sanad hasan].
 
"Jangan pernah anda berpikir untuk mendapatkan sosok wanita sempurna
tanpa cacat. Jika orientasi anda adalah menikahi wanita tanpa cacat,
maka jangan pernah berpikir untuk menikah di dunia,karena wanita idaman anda adalah wanita penghuni surga (baca : bidadari).
Tapi sebelum itu, pikirkanlah jalan untuk menuju ke sana (surga).
Dan salah satu jalan menuju surga adalah dengan menikah (di dunia),
yaitu menikahi wanita penghuni dunia yang penuh ketidaksempurnaan.."
(Ustadz Dony Arif Wibowo).
 
-oOo-
 
_ disalin dari berbagai sumber _ 


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger