Kuburan Megah Pemimpin
Kuburan atau pemakaman merupakan sebuah taman akhirat bagi orang-orang yang telah mengalami kiamat kecil atau kematian. Disebut taman akhirat karena penghuni kubur telah mengalami sebagian peristiwa-peristiwa ghaib yang akan terjadi di akhirat kelak seperti ditampakkannya surga atau neraka bagi penghuninya.
Orang-orang sering mengistilahkan kubur dengan rumah terakhir atau peristirahatan terakhir. Penyebutan ini walaupun tidak mutlak benar namun juga tidak bisa disalahkan; bagi orang-orang yang shaleh kuburan merupakan peristirahatan dari kehidupan dunia yang melelahkan dan penuh cobaan, dan bagi pihak keluarga istilah tersebut bagaikan harapan dan doa bagi keluarga mereka yang meninggal agar beristirahat dengan tenang dan mendapatkan kebaikan serta pengampunan.
Akan tetapi ada orang-orang yang berlebihan, kubur sebagai tempat peristirahatan dan rumah terakhir membuat mereka berimajinasi dan berhayal melewati alam dunia menembus sekat-sekat alam barzarkh, rumah terakhir atau peristirahatan terakhir itu diserupakan dengan tempat beristirahat di dunia. Seperti gambar berikut ini:
Lain orang, lain pula pemikirannya. Ada juga orang-orang yang memugar dan mebangun makam yang megah, menurut mereka itulah wujud penghargaan orang-orang yang masih hidup kepada seseorang yang meninggal atas jasanya ketika di dunia. Oleh karena itu, tidak jarang kita temui makam orang-orang terkenal dan tokoh-tokoh nasional ataupun idola dunia dibangun megah sebagai perwujudan rasa cinta dan kekaguman. Seperti makam-makam di bawah ini:
Kesempurnaan Islam bukanlah sesuatu yang tersembunyi bagi pemeluknya bahkan orang-orang kafir sekalipun. Hanya saja pemaknaan dan penghayatan akan kesempurnaan itu yang terkadang hilaf dari kita umat Islam. Islam telah menuntunkan bagaimana layaknya mayit diberikan penghormatan dan bagaimana mayit dikebumikan dengan layak dan pantas, layaknya seorang hamba yang kerdil lagi miskin kembali ke pangkuan Rabnya yang Maha Kaya lagi Maha Mulia.
Jabir bin Abdillah radhiallaahu ‘anhu berkata,
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya.” (Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim no. 970).
Ali bin Abi Thalib radhiallaahu ‘anhu adalah salah seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana terdapat dalam riwayat,
Dari Abu AlHayyaaj al-Asadi, ia berkata, Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepadaku: “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku? Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan.” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy no. 1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang lainnya).
Larangan membangun kubur ini kemudian diteruskan oleh para ulama madzhab. Madzhab Syafi’iyyah, maka Imam Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata,
“Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhajirin dan Anshar dikapur. Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Mekah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan tersebut.” (Al-Umm, 1:316).
Salah seorang ulama pembesar Mahdzab Syafi’I lainnya, Imam An-Nawawiy rahimahullah, ketika mengomentari riwayat Ali radhiallahu‘anhu di atas berkata,
“Pada hadis tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunahkan kubur tidak terlalu ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah Madzhab Asy-Syaafii dan orang-orang yang sepakat dengan beliau.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 3:36).
Di tempat lain ia berkata,
“Keterangan-keterangan dari Asy-Syaafi’i dan para shahabatnya telah sepakat tentang dibencinya membangun masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit masyhur dengan keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman hadits-haditsnya.” (Al-Majmu’, 5:316).
Seorang hamba yang datang ke dunia tanpa membawa apa-apa; harta, kedudukan, dan posisi di tengah masyarakat, maka selayaknya ia kembali menuju Sang Maha Pencipta dengan kesederhanaan dan ketawadhuan. Demikian juga bagi pihak yang ditinggalkan, baik dari kalangan keluarga, pengagum, pencinta sang mayit hendaknya memahami dan merenenungi hakikat kematian dan bahwasanya mayit tidak butuh penghormatan akan tetapi mereka butuh doa dan pengamalan nilai-nilai kebaikan yang ia ajarkan.
Walaupun seorang raja ataupun putra mahkota semasa hidupnya, resapilah wahai kaum muslimin bahwa ia menghadap kepada Allah, Sang Maha Raja.
Ditulis oleh Nurfitri Hadi (Tim Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com.
sumber : http://www.konsultasisyariah.com/apakah-maksud-membuat-kuburan-megah/#axzz2Na86aEMR
Kuburan atau pemakaman merupakan sebuah taman akhirat bagi orang-orang yang telah mengalami kiamat kecil atau kematian. Disebut taman akhirat karena penghuni kubur telah mengalami sebagian peristiwa-peristiwa ghaib yang akan terjadi di akhirat kelak seperti ditampakkannya surga atau neraka bagi penghuninya.
Orang-orang sering mengistilahkan kubur dengan rumah terakhir atau peristirahatan terakhir. Penyebutan ini walaupun tidak mutlak benar namun juga tidak bisa disalahkan; bagi orang-orang yang shaleh kuburan merupakan peristirahatan dari kehidupan dunia yang melelahkan dan penuh cobaan, dan bagi pihak keluarga istilah tersebut bagaikan harapan dan doa bagi keluarga mereka yang meninggal agar beristirahat dengan tenang dan mendapatkan kebaikan serta pengampunan.
Akan tetapi ada orang-orang yang berlebihan, kubur sebagai tempat peristirahatan dan rumah terakhir membuat mereka berimajinasi dan berhayal melewati alam dunia menembus sekat-sekat alam barzarkh, rumah terakhir atau peristirahatan terakhir itu diserupakan dengan tempat beristirahat di dunia. Seperti gambar berikut ini:
Lain orang, lain pula pemikirannya. Ada juga orang-orang yang memugar dan mebangun makam yang megah, menurut mereka itulah wujud penghargaan orang-orang yang masih hidup kepada seseorang yang meninggal atas jasanya ketika di dunia. Oleh karena itu, tidak jarang kita temui makam orang-orang terkenal dan tokoh-tokoh nasional ataupun idola dunia dibangun megah sebagai perwujudan rasa cinta dan kekaguman. Seperti makam-makam di bawah ini:
Kesempurnaan Islam bukanlah sesuatu yang tersembunyi bagi pemeluknya bahkan orang-orang kafir sekalipun. Hanya saja pemaknaan dan penghayatan akan kesempurnaan itu yang terkadang hilaf dari kita umat Islam. Islam telah menuntunkan bagaimana layaknya mayit diberikan penghormatan dan bagaimana mayit dikebumikan dengan layak dan pantas, layaknya seorang hamba yang kerdil lagi miskin kembali ke pangkuan Rabnya yang Maha Kaya lagi Maha Mulia.
Jabir bin Abdillah radhiallaahu ‘anhu berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya.” (Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim no. 970).
Ali bin Abi Thalib radhiallaahu ‘anhu adalah salah seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana terdapat dalam riwayat,
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
Dari Abu AlHayyaaj al-Asadi, ia berkata, Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepadaku: “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku? Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan.” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy no. 1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang lainnya).
Larangan membangun kubur ini kemudian diteruskan oleh para ulama madzhab. Madzhab Syafi’iyyah, maka Imam Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata,
وأحب أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم أر قبور المهاجرين والانصار مجصصة …… وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
“Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhajirin dan Anshar dikapur. Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Mekah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan tersebut.” (Al-Umm, 1:316).
Salah seorang ulama pembesar Mahdzab Syafi’I lainnya, Imam An-Nawawiy rahimahullah, ketika mengomentari riwayat Ali radhiallahu‘anhu di atas berkata,
فيه أن السنة أن القبر لا يرفع على الأرض رفعاً كثيراً ولا يسنم بل يرفع نحو شبر ويسطح وهذا مذهب الشافعي ومن وافقه،
“Pada hadis tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunahkan kubur tidak terlalu ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah Madzhab Asy-Syaafii dan orang-orang yang sepakat dengan beliau.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 3:36).
Di tempat lain ia berkata,
وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى كَرَاهَةِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ عَلَى الْقَبْرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ مَشْهُورًا بِالصَّلَاحِ أَوْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ
“Keterangan-keterangan dari Asy-Syaafi’i dan para shahabatnya telah sepakat tentang dibencinya membangun masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit masyhur dengan keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman hadits-haditsnya.” (Al-Majmu’, 5:316).
Seorang hamba yang datang ke dunia tanpa membawa apa-apa; harta, kedudukan, dan posisi di tengah masyarakat, maka selayaknya ia kembali menuju Sang Maha Pencipta dengan kesederhanaan dan ketawadhuan. Demikian juga bagi pihak yang ditinggalkan, baik dari kalangan keluarga, pengagum, pencinta sang mayit hendaknya memahami dan merenenungi hakikat kematian dan bahwasanya mayit tidak butuh penghormatan akan tetapi mereka butuh doa dan pengamalan nilai-nilai kebaikan yang ia ajarkan.
Walaupun seorang raja ataupun putra mahkota semasa hidupnya, resapilah wahai kaum muslimin bahwa ia menghadap kepada Allah, Sang Maha Raja.
Ditulis oleh Nurfitri Hadi (Tim Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com.
sumber : http://www.konsultasisyariah.com/apakah-maksud-membuat-kuburan-megah/#axzz2Na86aEMR
0 komentar:
Posting Komentar