Sebab-sebab Terjadinya Pengkultusan Kubur.
Segala puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sholawat dan salam buat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah memperjelas tauhid dengan segala sendi dan cabang-cabangnya serta pembatalnya.
Pada kesempatan kali ini kita ingin membahas tentang penyebab dominan timbulnya kesyirikan di tengah-tengah umat manusia. Di antaranya yaitu pengkultusan terhadap kuburan nenek moyang dan orang sholih dan yang di anggap sholih. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan firman Allah azza wa jalla (yang artinya):
“Dan mereka berkata: Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwwa’, Yoghuts, Ya’uq dan Nasr.” [QS.Nuh/71:23].
Ini adalah nama orang-orang sholih dari kaum nabi Nuh ‘alaihis salam. Tatkala mereka meninggal, setan mewahyukan kepada kaum mereka untuk membuat patung di tempat-tempat duduk mereka. Lalu mereka menamai patung-patung tersebut sesuai dengan nama-nama mereka. Pada awalnya patung-patung itu masih belum disembah, sampai ketika mereka (orang-orang yang membuatnya) meninggal dan disertai dengan terhapusnya ilmu, lalu kaum yang datang kemudian menyembahnya.” [1].
Diantara sebab yang membawa kaum yang kita sebutkan di atas kepada pengkultusan kuburan:
Meninggikan kuburan lebih dari satu jengkal.
Sebagian kaum muslimin meninggikan kubur melebihi dari hal yang dibolehkan agama. Hal ini mungkin disebabkan karena mereka belum memahami tuntunan agama atau karena ada unsur lain seperti ingin menunjukkan bahwa orang tersebut seorang yang mulia.
Dari Abu Al-Hayyaj Al-Asadi dia berkata: Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku:
“Maukah kamu aku utus sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutusku? Hendaklah kamu jangan meninggalkan gambar-gambar kecuali kamu hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan kecuali kamu ratakan.” (HR. Muslim no. 969)
Dari Tsumamah bin Syufai, ia berkata: Aku pernah bersama Fudholah bin Ubaid di negeri Romawi ‘Barudis’. Lalu meninggal salah seorang teman kami. Maka Fudholah menyuruh untuk mendatarkan kuburannya. Kemudian Fadhalah bin Ubaid radhiallahu anhu berkata:
“Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk meratakannya (kuburan).” (HR. Muslim no. 968).
Menembok dan mencat kuburan.
Diantara kebiasan buruk yang bisa membawa kepada sikap pengkultusan kuburan adalah menembok dan mencat kuburan. Disamping hal tersebut diharamkan dalam agama, termasuk pula membuang harta kepada sesuatu yang tidak ada mamfaatnya. Dan yang lebih ditakutkan adalah akan terfitnahnya orang awam dengan kuburan tersebut. Sehingga mereka anggap kuburan tersebut memiliki berkah dan sakti.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dengan tegas menembok dan mengecat kuburan dalam sabda beliau,
“Dari Jabir radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mencat kubur, duduk di atasnya dan membangun di atasnya".
Yang dimaksud dengan membangun dalam hadits tersebut adalah umum sekalipun hanya berbentuk tembok saja. Apalagi membuatkan rumah untuk kuburan tersebut dengan biaya jutaan rupiah sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang-orang jahil masa sekarang.
Berkata Imam Syafi’i, “Aku melihat para ulama di Makkah menyuruh menghancurkan apa yang dibangun tersebut [2].
Berkata Al Manawi, “Kebanyakan ulama Syafi’iyah berfatwa tentang wajibnya menghacurkan segala bangunan di Qarofah (tanah pekuburan) sekalipun kubah Imam kita sendiri Syafi’i yang dibangun oleh sebagian penguasa [3].
Membangunkan rumah untuk kuburan.
Sebagian orang ada pula yang membangunkan rumah untuk kuburan. Bahkan kadang kala biayanya cukup besar. ini adalah salah satu bentuk pe-mubazir-an dalam penggunaan harta. Mungkin orang yang melakukan hal tersebut berasumsi bahwa si mayat mendapat naungan dan kenyamanan dalam kuburnya. Akan tetapi, sesungguhnya tidak ada yang dapat memberikan kenyamanan dalam kubur kecuali amalan sendiri, walau seindah apapun kuburan seseorang tersebut,
“Ibnu Umar melihat sebuah tenda diatas kubur Abdurrahman. Maka ia berkata, ‘Bukalah tenda tersebut wahai Ghulam (anak muda), maka sesungguhnya yang melindunginya hanyalah amalannya [4].’.
Duduk dan makan di kuburan.
Bentuk hal lain yang merupakan sebagai jalan untuk membawa kepada pengkultusan kuburan adalah kebiasaan sebagaian orang mendatangi kuburan pada momen-momen tertentu. Seperti mau masuk bulan suci ramadhan, hari lebaran atau setelah panen. Mereka berbondong-bondong kekuburan dengan membawa tikar dan makanan. Lalu sesampai dikuburan membentangkan tikar dan duduk bersama-sama. Dilanjutkan dengan rangkaian acara tahlilan dan doa setelah itu ditutup acara makan bersama. Jika hal tersebut kita timbangan dengan ajaran Islam yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh sangat bertolak belakang sama sekali. Jangankan untuk tahlilan dan makan bersama, duduk saja tidak boleh. Seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sungguh salah seorang kalian duduk di atas bara api lalu membakar baju sehingga tembus kekulitnya lebih baik daripada ia duduk di atas kuburan.’.
Kiranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas amat jelas bagi orang hatinya mau menerima nasehat. Adapun orang yang mata hatinya sudah ditutup Allah dari menerima petunjuk, niscaya ia akan berupaya mencari-cari alasan untuk menolaknya.
Membaca Alquran di kuburan.
Sebahagian orang ada yang berpandangan adanya keutamaan membaca Alquran ketika berziarah kubur seperti membaca Al-Fatihah, surat Al-Ikhlas atau sura Yaasiin, dan lain-lain. Bahkan ada yang menyewa orang lain untuk membaca dan khatam Alquran di kuburan keluarganya pada hari-hari tertentu. Hal tersebut tidak pernah dianjurkan dalam agama ini. Yang dianjurkan ketika berziarah kubur hanyalah membaca doa ziarah kubur. Berbeda dengan orang yang suka melakukan hal-hal yang baik menurut pikiran dan perkiraan mereka semata. Tetapi tidak baik menurut Allah karena hal tersebut melakukan ibadah yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam agama. Kalau seandainya hal tersebut baik pastilah Allah memerintahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat melakukannya. Apakah kita lebih tahu dari Allah tentang hal yang baik?.
“Katakanlah!, ‘Apakah kamu yang lebih tahu atau Allah?’.
Adapun hadits-hadits yang dijadikan pegangan oleh sebagian orang dalam hal ini. Seperti hadits, “Barangsiapa yang mendatangi kuburan lalu membaca surat Yasin. Niscaya Allah akan meringankan azab terhadap mereka pada waktu dan akan menjadikan dengan bilangan hurufnya kebaikan“[5] ini adalah hadits Maudhu’. Demikian pula hadits, “Barangsiapa yang melewati kuburan maka ia membaca surat Al Ikhlas sebelas kali…[6].”.
Shalat dan berdoa di kuburan.
Keyakinan lainnya yang amat aneh adalah berpendapat bahwa sholat dan berdoa dikuburan jauh lebih baik daripada di masjid, bahkan berasumsi lebih cepat terkabul. Yang lebih celaka lagi adalah meminta kepada si penghuni kubur. Ini sudah merupakan kesyirikan yang diperbuat oleh umat jahiliyah dulu. Jangan untuk sholat di kuburan, sholat mengarah kuburan saja sudah haram hukumnya. Artinya tidak boleh sholat di tempat yang di arah kiblatnya terdapat kuburan. Apalagi sholat ditempat yang dikelilingi kuburan. Diantara perbuatan dalam sholat adalah duduk, maka dudukpun dilarang di kuburan. Maksudnya di tempat tanah perkuburan, mekipun tidak persis di atas kuburan benar. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,
Dari Abu Martsid Al Ghanawy, telah bersabda Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kamu duduk di atas kuburan dan jangan pula sholat menghadapnya.”.
Berkata Ibnul Qayyim, “Setan memiliki cara yang amat halus dalam menyesat manusia. Bertama ia mengajak untuk berdoa di kuburan. Maka orang tersebut berdoa dengan khusuk dan tunduk sepenuh hati serta merasa lemah tidak berdaya. Maka Allah mengabulkan permintaannya lantaran apa yang terdapat dalam hatinya bukan karena kuburan. Seandainya dia berdoa seperti itu di tempat-tempat yang kotor sekalipun tentu Allah akan kabulkan doanya. Lalu orang bodoh mengira bahwa itu adalah karena kuburan. Allah mengabulkan doa orang yang dalam kesulitan sekalipun ia orang kafir.
Tidak berarti setiap orang yang dikabulkan doanya lalu ia diridhai dan dicintai Allah perbuatannya. Sesungguhnya Allah mengabulkan doa orang yang baik dan orang yang berdosa, orang mukmin dan orang kafir. Sebagian manusia berdoa dengan hal yang melampui batas dan sesuatu yang dilarang tetapi hal tersebut terbkabul, maka ia mengira bahwa perbuatannya tersebut baik[7].”.
“Tatkala setan berhasil mempengaruhi manusia dengan berasumsi bahwa berdoa di kuburan lebih baik daripada berdoa di masjid dan di rumahnya. Setan memindahkannya kepada tingkat yang berikutnya yaitu ber-tawasul dengan orang mati, hal ini lebih bahaya lagi dari hal yang sebelumnya[8].”.
“Tatkala setan berhasil pula mempengaruhi manusia bahwa ber-tawasul dengan orang mati lebih cepat dikabulkannya permintaan. Setelah itu setan memindahkannya pada tingkat berikutnya yaitu meminta kepada orang mati itu sendiri. Kemudian menjadikan kuburannya sebagai sembahan dan tempat meminta. Lalu dinyalakan lampu disekelilingnya dan diberi kelambu dilanjutkan membangun masjid di atasnya. Lalu shalat, tawaf, meciumnya serta berhaji dan menyembelih hewan di sisinya.
Kemudian berlanjut lagi pada tingkat berikutnya yaitu dengan mengajak manusia untuk menyembahnya dan menjadikannya sebagai tempat perayaan dan manasik. Mereka meyakini bahwa hal itu lebih bermamfaat bagi dunia dan akhirat mereka [9].”.
Membangun masjid dekat kuburan atau menguburkan mayat di pekarangan masjid.
Sebagian orang telah terjerumus kedalam kebiasan Ahli kitab, mereka membangun masjid dekat kuburan orang-orang yang mereka anggap shaleh. Atau menguburkannya di perkarangan masjid.
Hal tersebut dengan tegas telah dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
Dari Jundub, ia berkata, aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum beliau wafat: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shaleh mereka sebagai masjid. Ketahuilah! Janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid. Sesungguhnya aku melarang kalian dari hal itu.”.
Dalam sabda beliau yang lain,
Dari Aisyah bahwa Ummu Salamah menyebutkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah gereja yang ia lihat di negeri Habsyah, yang diberi nama gereja Mariya. Ia menceritakan bahwa ia melihat lukisan di dalamnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka adalah kaum yang bila meninggal seorang yang shaleh dikalangan mereka. Mereka membangun masjid di atas kuburannya dan mebuat lukisan-lukisan tersebut di dalamnya. Mereka adalah makhluk yang paling jelek di sisi Allah.”.
Dari kedua hadits tersebut sangat jelas menegaskan tentang haramnya membangun masjid di atas tanah perkuburan. Barangsiapa yang melakukannya maka ia telah melanggar larang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Jundub radhiallahu ‘anhu. Orang yang melakukannya adalah makhluk yang paling jelek di sisi Allah sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Aisyah.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membangun masjid di atas tanah kuburan. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Aisyah dan Ibnu Abbas saat detik-detik terakhir dari kehidupan beliau di dunia ini,
Dari Aisyah dan Ibnu Abbas keduanya berkata, Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin merasakan sakit beliau menutup mukanya dengan bajunya. Apabila sakitnya agak berkurang beliau membuka mukanya. Dalam kondisi seperti itu beliau bersabda, “Laknat Allah lah di atas orang Yahudi dan Nashara yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” Beliau memperingatkan terhadap apa yang mereka perbuat.
Diantara hikmahnya kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal tersebut saat beliau akan wafat. Agar umat ini jangan meniru dan melakukan apa yang dilakukan orang Yahudi dan Nashrani tersebut. Kuburan para nabi saja tidak boleh dijadikan sebagai masjid, apa lagi kuburan selainnya.
Dalam riwayat lain Aisyah menyebutkan,
Dari Aisyah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam waktu sakit yang beliau yang wafat padanya: “Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara karena menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid,” Berkata Aisyah, ‘Kalau bukan karena itu tentulah mereka (para sahabat) menjadikan di tempat terbuka kuburannya, melainkan aku takut akan di jadikan masjid.’”.
Hadits ini adalah diantara hadits-hadits yang terakhir yang diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hidup beliau. Jadi tidak ada alasan bagi orang yang suka berdegil bahwa hadits tersebut mansukh. Kemudian Aisyah menyebutkan diantara hikmah dikuburnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rumah beliau, yaitu agar orang tidak mengkultuskan kuburan beliau.
Berkata Imam Nawawi, “Sesungguhnya larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari menjadikan kuburannya dan kuburan lainnya sebagai masjid karena kekwatiran akan berlebih-lebihan dalam menganggungkan beliau dan timbulnya fitnah. Karena hal tersebut bisa membawa kepada kekufuran sebagaimana telah terjadi pada kebanyakan umat-umat yang lalu[10].”.
Bertawasul dan beristighatsah dengan orang sudah mati
Ketika sebagian orang Islam tidak mengindahkan berbagai nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah kita jelaskan di atas. Akhirnya setan menjerumuskan mereka kepada hal-hal yang membawa kepada kesyirikan. Sehingga sebagian orang telah memaknai lain terhadap kuburan. Mereka menjadikan kuburan sebagai mediator untuk berdoa, mereka ber-tawasul dan beristighatsah dengan orang mati.
Pada hakikatnya ber-tawasul itu terbagi kepada beberapa bentuk. Ada yang dibolehkan dan ada pula yang dilarang. Yang dibolehkan adalah ber-tawasul dengan nama dan sifat-sifat Allah, ber-tawasul dengan amal shaleh dan ber-tawasul dengan doa orang shaleh yang hidup lagi hadir. Yang dilarang adalah ber-tawasul dengan Zat (Bentuk) dan Jaah (Kedudukan) orang shaleh, ber-tawasul dengan orang shaleh yang hidup tetapi tidak hadir dan ber-tawasul dengan orang sudah mati.
Sebahagian orang memahami bahwa kehidupan para nabi, orang mati syahid dan orang-orang shaleh di alam Barzah sama seperti kehidupan mereka di alam dunia. Dengan demikian mereka berasumsi bahwa nabi atau orang shaleh dapat mendengar doa mereka. Oleh sebab itu, ketika mereka ditimpa masalah, mereka mendatangi kuburan para wali untuk dicarikan jalan keluar dari kesulitan yang sedang mereka hadapi. Ada yang minta jodoh, ada yang minta pekerjaan, ada yang minta dimudahkan usahanya, ada yang minta disembuhkan penyakitnya dan seterusnya.
Jangankan setelah mati, sewaktu hidup saja para wali tersebut tidak bisa memberi apa yang mereka minta. Jika minta jodoh, diwaktu hidup saja walinya tidak dapat jodoh. Jika minta pekerjaan, diwaktu hidup saja walinya nganggur. Jika minta kekayaan, diwaktu hidup aja walinya ngumpulkan sedekah dari murid-muridnya. Jika minta disembuhkan dari penyakit, wali itu sendiri tidak mampu menyembuhkan penyakitnya sampai ia meninggal.
Kenapa kita tidak langsung minta pada Allah Yang Pengasih, Maha Pemurah, Maha Kaya lagi Maha dekat dan Maha sempurna dalam segala sifat-sifat-Nya yang mulia.
Adapun selain Allah adalah makhluk yang memiliki kekurangan dan kelemahan dalam berbagai segi. Ia tidak dapat mendengar dari jarak jauh, apalagi setekah mati. Jika ia memiliki sesuatu untuk diberikan kepada orang lain terbatas kwalitas dan kwantitasnya. Adapun Allah Yang Maha Kaya mampu memberi segala apa yang minta oleh hamba-Nya dan berapapun jumlanya.
Adapun kehidupan para nabi dan syuhada’ di alam barzakh adalah kehidupan yang amat jauh berbeda dengan kehidupan dunia. Tidak ada yang mengetahui tentang kondisi dan hakikatnya. Maka tidak tidak boleh di-qias-kan antara kehidupan alam barzakh dengan kehidupan alam dunia ini.
Sebagaimana firman Allah,
“Dan akan tetapi kalian tidak menyadarinya.”
Artinya, tidak mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya melalui panca indra kalian. Karena hanya Allah yang mengetahui hakikat kehidupan mereka para syuhada’ tersebut.
Tidak pernah kita temukan dalam kehidupan para sahabat bahwa mereka bertawasul dan ber-istighatsah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apalagi dengan para sahabat yang telah meninggal, bahkan diantara mereka yang meninggal tersebut ada yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula jika kita melihat doa-doa mustajab yang diajarkan Rasululllah kepada sahabat beliau tidak ada satupun yang berkonteks tawasul dan be-ristighatsah dengan orang mati.
Jangankan untuk mengetahui kebutuhan orang lain, kelanjutan dari perjalanan hidup mereka sendiri setelah mereka mati mereka tidak tahu kapan mereka dibangkitkan. Sebagaimana firman Allah,
“Dan orang-orang yang mereka seru selain Allah, tidak menciptakan sesuatu apapun, sedangkan mereka sendiri diciptakan! Orang-orang mati tidak hidup, dan mereka tidak mengetahui bilakah mereka akan dibangkitkan.”.
“Katakanlah, ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah,’ dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.’”.
Adapun dalil-dalil yang menyebutkan tentang si mayat dapat mendengar langkah orang mengantarkannya ke kubur. Ini tidak menunjukkan bahwa ia mendengar selama-lamanya. Tapi hanya pada saat itu saja dan yang dapat ia dengar hanya suara langkah saja tidak semua apa yang ada di atas dunia. Kalau tidak demikian tentu mereka juga tersiksa dengan suara petir, hujan, angin kencang, suara bintang dan seranggga yang ada di sekitar kuburannya. Serta segala hal yang memekakkan di dunia ini. Wallahu A’lam.*1*.
Lihat gambar kuburan orang kufffar berikut:
Dan lihat juga gambar kuburan yang menisbatkan dirinya ke islam berikut :
bandingkan dengan gambar kuburan muslim yang mengikuti sunnah berikut ini :
Camkanlah firman Allah Azza wa Jalla,
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. (QS. Al Baqarah: 120).
Apakah kita akan terus mengikuti dan mencontoh amalan yahudi dan nasrani? lantas apa bedanya islam sebagai agama pertengahan?.
Bagaimana dengan kuburan nabi di masjid nabawi??
Syaikh Albani rahimahullah ditanya :
“Kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa salllam ada di dalam Masjid beliau, yang dapat disaksikan hingga saat ini. Kalau memang hal ini dilarang, lalu mengapa beliau dikuburkan disitu ?
Jawabannya:
…Keadaan yang kita saksikan pada jaman sekarang ini tidak seperti yang terjadi pada jaman sahabat. Setelah beliau wafat, mereka menguburkannya didalam biliknya yang letaknya bersebelahan dengan masjid, dipisahkan oleh dinding yang ada pintunya. Beliau biasa masuk masjid lewat pintu itu.
Hal ini telah disepakati oleh semua ulama, dan tidak ada pertentangan diantara mereka. Para sahabat mengubur jasad beliau didalam biliknya, agar nantinya orang-orang sesudah mereka tidak menggunakan kuburan beliau sebagai tempat untuk shalat, seperti yang sudah kita terangkan dalam hadits ‘Aisyah dibagian muka. Tapi apa yang terjadi dikemudian hari di luar perhitungan mereka. Pada tahun 88 Hijriah, Al Walid bin Abdul Malik merehab masjid Nabi dan memperluas masjid hingga kekamar ‘Aisyah. Berarti kuburan beliau masuk ke dalam area masjid. Sementara pada saat itu sudah tidak ada satu sahabatpun yang masih hidup, sehingga dapat menentang tindakan Al Walid ini seperti yang diragukan oleh sebagian manusia.
Al Hafizh Muhamad Abdul-Hady menjelaskan didalam bukunya Ash-Sharimul Manky: “Bilik Rasulullah masuk dalam masjid pada jaman Al Walid bin Abdul Malik, setelah semua sahabat beliau di Madinah meninggal. Sahabat terakhir yang meninggal adalah Jabir bin Abdullah. Ia meninggal pada jaman Abdul Malik, yang meninggal pada tahun 78H. Sementara Al Walid menjadi khalifah pada tahun 86H dan meninggal pada tahun 96H. Rehabilitasi masjid dan memasukkan bilik beliau kedalam masjid, dilakukan antara tahun-tahun itu.
Abu Zaid Umar bin Syabbah An Numairy berkata di dalam buku karangannya Akhbarul-Madinah: “Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi gubernur Madinah pada tahun 91H, ia merobohkan masjid lalu membangunnya lagi dengan menggunakan batu-batu yang diukir, atapnya terbuat dari jenis kayu yang bagus. Bilik istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa salllam dirobohkan pula lalu dimasukkan kedalam masjid. Berarti kuburan beliau juga masuk kedalam masjid.”
Dari penjelasan ini jelaslah sudah bahwa kuburan beliau masuk menjadi bagian dari masjid nabawi, ketika di Madinah sudah tidak ada seorang sahabatpun. Hal ini ternyata berlainan dengan tujuan saat mereka menguburkan jasad Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salllam di dalam biliknya.
Maka setiap orang muslim yang mengetahui hakikat ini, tidak boleh berhujjah dengan sesuatu yang terjadi sesudah meninggalnya para sahabat. Sebab hal ini bertentangan dengan hadits-hadits shahih dan pengertian yang diserap para sahabat serta pendapat para imam.
Hal ini juga bertentangan dengan apa yang dilakukan Umar dan Utsman ketika meluaskan masjid Nabawi tersebut. Mereka berdua tidak memasukkan kuburan beliau ke dalam masjid.
Maka dapat kita putuskan, perbuatan Al Walid adalah salah. Kalaupun ia terdesak untuk meluaskan masjid Nabawi, toh ia bisa meluaskan dari sisi lain sehingga tidak mengusik kuburan beliau. Umar bin Khattab pernah mengisyaratkan segi kesalahan semacam ini. Ketika meluaskan masjid, ia mengadakan perluasan di sisi lain dan tidak mengusik kuburan beliau. Ia berkata: “Tidak ada alasan untuk berbuat seperti itu.” Umar memberi peringatan agar tidak merobohkan masjid, lalu memasukkan kuburan beliau ke dalam masjid.
Karena tidak ingin bertentangan dengan hadits dan kebiasaan khulafa’urrasyidin, maka orang-orang Islam sesudah itu sangat berhati-hati dalam meluaskan masjid Nabawi. Mereka mengurangi kontroversi sebisa mungkin. Dalam hal ini An-Nawawi menjelaskan di dalam Syarh Muslim: “Ketika para sahabat yang masih hidup dan tabi’in merasa perlu untuk meluaskan masjid Nabawi karena banyaknya jumlah kaum muslimin, maka perluasan masjid itu mencapai rumah Ummahatul-Mukminin, termasuk bilik ‘Aisyah, tempat dikuburkannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salllam dan juga kuburan dua sahabat beliau, Abubakar dan Umar. Mereka membuat dinding pemisah yang tinggi disekeliling kuburan, bentuknya melingkar. Sehingga kuburan tidak langsung nampak sebagai bagian dari masjid. Dan orang-orangpun tidak shalat ke arah kuburan itu, sehingga merekapun tidak terseret pada hal-hal yang dilarang.
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Rajab yang menukil dari Qurthuby, menjelaskan: “Ketika bilik beliau masuk ke dalam masjid, maka pintunya di kunci, lalu disekelilingnya dibangun pagar tembok yang tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar rumah beliau tidak dipergunakan untuk acara-acara peringatan dan kuburan beliau dijadikan patung sesembahan.”.
Dapat kami katakan: Memang sangat disayangkan bangunan tersebut sudah didirikan sejak berabad-abad di atas kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa salllam. Disana ada kubah menjulang tinggi berwarna hijau, kuburan beliau dikelilingi jendela-jendela yang terbuat dari bahan tembaga, berbagai hiasan dan tabir. Padahal semua itu tidak diridhai oleh orang yang dikuburkan disitu, yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salllam. Bahkan ketika berkunjung kesana, kita lihat disamping tembok sebelah utara terdapat mihrab kecil. Ini merupakan isyarat bahwa tempat itu dikhususkan untuk shalat dibelakang kuburan . Kita benar-benar heran bagaimana bisa terjadi paganisme yang sangat mencolok ini dibiarkan begitu saja oleh suatu negara yang mengagung-agungkan masalah tauhid ?.
Namun begitu kami mengakui secara jujur, selama disana kami tidak melihat seorangpun mendirikan shalat didalam mihrab itu. Para penjaga yang sudah ditugaskan disana mengawasi secara ketat agar mencegah manusia yang datang kesana dan melakukan suatu yang bertentangan dengan syariat disekitar kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa salllam. Ini merupakan suatu yang perlu disyukuri atas sikap pemerintah Saudi. Tetapi ini belum cukup dan tidak memberikan jalan keluar yang tuntas. Tentang hal ini sudah lama dikatakan di dalam buku Ahkamul Jana’ iz wa Bida’uha: “Seharusnya masjid Nabawi dikembalikan ke jamannya semula, yaitu dengan membuat tabir pemisah antara kuburan dengan masjid, berupa tembok yang membentang dari utara keselatan. Sehingga setiap orang yang masuk ke masjid tidak dikejar oleh macam-macam pertentangan yang tidak diridhai pendirinya. Kita merasa yakin, ini merupakan kewajiban pemerintah Saudi, kalau ia masih ingin menjaga tauhid yang benar. Andaikata ada rencana perluasan kembali, maka bisa melebar kesebelah barat atau sisi lainnya. Tapi ketika diadakan perbaikan lagi, ternyata masjid Nabawi tidak dikembalikan ke bentuknya yang pertama pada jaman sahabat.”.
Jadi kalau ada orang yang berdalil atau beragumen ingin mengkeramatkan kuburan atau menjadikan atau mendirikan masjid diatas kuburan,dengan mengatakan atau beragumen bahwa kuburan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam berada dimasjid maka mereka ‘salah alamat’, berargumen dengan argumen yang sangat lemah dari beberapa sisi, diantaranya : (dibawah ini jawaban syaikh Muhammad Bin Shalih Al Ustaimin Rahimahulllah ketika ditanya tentang kuburan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berada dimasjid).
Syiah Dan Golongan Batiniyah, Pencetus Budaya Pengagungan Kubur
Pengagungan kuburan dan komplek makam sudah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat, bahkan menjadi bagian praktek keagamaan mereka yang tak terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Di antaranya, dengan membuatkan bangunan makam dan memperindahnya, menjadikannya sebagai tempat shalat, mengkhatamkan baca al-Qur`ân di sampingnya dan memanjatkan doa kepada penghuni kubur (bukan kepada Allâh Azza wa Jalla).
Menilik sejarah generasi Salaf, pantas dikatakan bahwa praktek-praktek ibadah di atas masuk dalam kategori bid’ah, satu perbuatan dalam beragama yang tidak pernah diperbuat oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi terbaik umat Islam.
“Semua itu adalah perkara baru, belum pernah tersebar (dikenal) kecuali pasca tiga generasi paling utama (generasi Sahabat, Tâbi’in dan Tâbi’it Tâbi’in)” [11].
Pada tiga generasi pertama ini, tidak ditemukan petunjuk dan pembicaraan satu pun terkait pengagungan terhadap kubur sebagaimana disaksikan sekarang.[12] Dahulu tidak ada yang mengatakan, berdoa di kuburan Fulan akan dikabulkan, pergilah ke kuburan Fulan agar Allâh Azza wa Jalla memudahkan urusanmu, atau mengadakan perjalanan khusus ke kubur yang sering dikenal dengan wisata reliji. Bahkan dahulu tidak ada istilah safar syaddul rihâl (menempuuh perjalanan jauh) yang bertujuan menziarahi kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini termasuk istilah asing yang belum dikenal sebelumnya. Justru dipandang sebagai tindakan berlebihan. Sebab yang tepat dan masyru ialah berziarah (mengunjungi) Masjid Nabawi. Kitab-kitab Ulama terdahulu pun tidak ada yang membahas tema khusus berjudul ziyâratu qabrin Nabiyyi (ziarah kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)[13] .
Fenomena tersebut baru mulai muncul dan menyebar pada abad keempat, setelah berlalunya tiga generasi pertama umat yang dipuji oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pada awalnya, berkembang pada sekte Syiah (Rafidhah) semata. Selanjutnya, ketika sekte ini berhasil membangun negara-negara kecil berasaskan Syiah dan Batiniyah, seperti rejim ‘Ubaidiyah, Qarâmithah, dan Ismâ’iliyah, penyebaran tradisi pengagungan kuburan kian meluas.
Penyebarannya kian bertambah manakala tarekat-tarekat Sufiyah ikut mengadopsi tradisi Syiah (baca: bukan Ahlus Sunnah) ini. Hampir seluruh negeri kaum Muslimin terkena dampak buruknya. Akibatnya, masyarakat merasa asing dengan petunjuk-petunjuk Nabi dan orang-orang yang komitmen dengannya.
Di negeri ini, masyarakat diajak untuk mengagungkan kuburan, dengan berbagai dalih seperti penghormatan tokoh dan mengenang jasa-jasa baiknya melalui acara Haul yang diadakan secara besar-besaran. Wisata-wisata reliji dengan tujuan makam-makam orang-orang yang dianggap sebagai wali tetap kebanjiran peminat. Bahkan sebagian orang memang berniat untuk mengunjungi kuburan-kuburan dengan menumpuk harapan mendapatkan solusi hidup, kemudahan rejeki, kedatangan jodoh dan lainnya. Wallâhul musta’ân.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengenal (adanya riwayat) dari seorang Sahabat Nabi, generasi Tabi’i maupun seorang imam terkenal yang memandang disunnahkannya mendatangi kuburan untuk berdoa (kepada penghuni kubur, red). Tidak ada seorang pun meriwayatkan sesuatu tentang itu, baik (riwayat) dari Nabi, Sahabat maupun dari seorang imam yang terkenal”.
Beliau rahimahullah menambahkan, “Kemunculan dan penyebarannya ketika pemerintahan Bani ‘Abbâsiyah melemah, umat saling berpecah-belah, banyak orang zindiq yang mampu memperdaya umat Islam, slogan ahli bid’ah menyebar. Yaitu, pada masa pemerintahkan al-Muqtadir di penghujung tahun 300an. Pada masa itu, telah muncul Qarâmithah ‘Ubaidiyah di Maroko. Kemudian mereka menginjakkan kaki ke negeri Mesir…”.
Mereka membangun kompleks pemakaman ‘Ali di Najef, padahal sebelumnya, tidak ada seorang pun yang mengatakan kubur Sahabat ‘Ali Radhiyallahu anhu berada di sana. Sebab ‘Ali dikuburkan di lingkungan istana di kota Kufah. Tujuan mereka ialah mengobrak-abrik ajaran Islam yang berasaskan tauhîdullâh. Selanjutnya, mereka memalsukan banyak hadits perihal keutamaan menziarahi pemakaman, berdoa dan shalat di sana. Orang-orang zindiq ini dan para pengikutnya lebih menghormati dan mengagungkan tempat-tempat pemakaman, daripada masjid-masjid [14].
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Orang yang pertama kali menyusupkan bid’ah pengagungan kuburan ialah rejim Ubaidiyah di Mesir, Qarâmithah dan Syiah (yang jelas bukan termasuk Ahlus Sunnah, red)”[15].
Kesimpulan
Budaya pengagungan kubur secara berlebihan sampai meminta pengharapan kepada penghuninya berasal dari golongan Syiah yang sering memusuhi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adalah salah, bila seorang Muslim melakukan pengagungan seperti yang telah dipaparkan di atas. Rasûlullâh Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam telah menetapkan apa saja yang dilakukan ketika berziarah ke kubur, yaitu mengucapkan salam, melepas alas kaki, mendoakan penghuni kubur, selain bertujuan untuk mengingatkan akhirat kepada kita. Wallâhu a’lam.*3*.
Ziarah ke Kuburan
Ziarah kubur disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita bisa mengambil pelajaran dan mengingat akhirat. Tentunya dengan syarat jangan sekali-kali dia mengucapkan di sisi kuburan sesuatu yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan: “Semuanya menunjukkan tentang disyariatkannya ziarah kubur dan penjelasan tentang hikmah yang terkandung padanya dan untuk bisa mengambil pelajaran. Apabila kosong dari ini maka bukan ziarah yang disyariatkan.” (Lihat Subulus Salam, 2/162)
Berbicara realita yang terjadi sekarang, sebagian – bahkan tidak berlebihan jika dikatakan mayoritas – kaum muslimin, telah keluar dari jalur yang telah ditetapkan oleh syariat dengan beberapa alasan:
Pertama: Menentukan waktu tertentu dan makam tertentu untuk tempat berziarah. Hal ini tidak mungkin dilakukan melainkan ada keyakinan yang lebih terhadap waktu dan makam tersebut. Ini dibuktikan dengan hal-hal yang dilakukan di makam tersebut seperti mencukur rambut anak, memandikan anak, membawa bunga-bunga, berdzikir di sisi kuburan tersebut, tawassul dengannya bahkan meminta segala bentuk hajat.
Kedua: Mempersiapkan perbekalan yang besar untuk melakukan ziarah dengan segala aneka ragam makanan dan buah-buahan serta kurban.
Ketiga: Melakukan perkara-perkara yang haram seperti campur baur antara laki-laki dan perempuan bahkan membawa pasangannya yang tentu saja mengakibatkan hilangnya hikmah ziarah itu sendiri yaitu mengingat akhirat dan bisa mengambil pelajaran darinya. (Bahkan ada yang mensyaratkan harus berbuat zina demi terkabulnya permohonannya -red).
Keempat: Dilakukan berbagai macam penyembahan, ada yang dalam bentuk meminta kepada penghuninya, bernadzar berkurban untuknya dan sebagainya.
Apakah ziarah kubur dianjurkan secara mutlak atau dilarang secara mutlak?
Jawabnya: Hukum ziarah kubur dibagi oleh para ulama menjadi tiga bentuk:
1. Ziarah yang disyariatkan
Ziarah yang disyariatkan oleh Islam dan terpenuhi tiga syarat padanya:
Pertama: Tidak mengadakan safar (bepergian) untuk berziarah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jangan kalian bepergian (mengadakan safar dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini, Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-Aqsha.” (HR. Al-Bukhari no. 1139 dan Muslim no. 415, dan datang dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Kedua: Tidak mengucapkan kalimat-kalimat batil. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Dulu kami telah melarang kalian dari menziarahi kubur. Barangsiapa ingin menziarahi kubur, lakukanlah dan jangan mengucapkan hujran.” (HR. An-Nasai no. 100 dari shahabat Buraidah radhiallahu ‘anhu dan asalnya di dalam riwayat Muslim).
Ibnul Atsir rahimahullah di dalam kitab An-Nihayah (5/240) mengatakan: “Al-Hujra dengan didhammahkan huruf ha, artinya ‘ucapan keji’.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushabi hafizhahullah mengatakan: “Lihatlah –semoga Allah merahmatimu– bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari kalimat-kalimat yang keji dan batil ketika berziarah ke kuburan dan apakah ada ucapan yang lebih besar kekejian dan kebatilannya daripada menyeru (berdo’a) kepada orang-orang yang telah mati dan meminta tolong dibebaskan dari malapetaka kepada selain Allah?” (Al-Qaulul Mufid, hal. 193)
Ketiga: Tidak dikhususkan dengan waktu-waktu tertentu karena tidak ada dalil pengkhususan yang demikian itu.
2. Ziarah Bid’ah
Ziarah yang tidak ada salah satu dari syarat-syarat di atas.
3. Ziarah Syirik
Ziarah yang menjatuhkan pelakunya ke dalam kesyirikan seperti berdoa kepada penghuninya, menyembelih, bernadzar, meminta pertolongan, perlindungan, meminta diturunkannya hujan, kesembuhan, terpelihara dari musuh, malapetaka, dan sebagainya dari jenis-jenis kesyirikan.19
Dari pembagian ketiga jenis ini, bisa kita ukur dan nilai, masuk kategori mana ziarah yang dilakukan mayoritas muslimin di makam-makam terkenal di seluruh pelosok tanah air ini. Dan ziarah ini telah menjadi rutinitas kalangan tertentu meski dengan hajat yang berbeda. Sehingga tidak ada satu kuburanpun yang terkenal dan memiliki nilai sejarah dalam kehidupan nenek moyang kecuali setiap waktu dibanjiri oleh para peziarah. Seakan-akan ia bagai Baitullah Al-Haram di tanah suci Makkah. Dari yang tingkatan rendah dalam dunia dan agama, hingga yang memiliki kedudukan tinggi.
Akankah semua ini berakhir? Dan di manakah para da’i penyeru kepada kebenaran? Dari kebenaran mereka jauh dan dari kemungkaran mereka diam.
Tentu masih banyak lagi bentuk-bentuk pengagungan kepada kuburan dan ini adalah sebagian kecil daripadanya, semoga mewakili yang lain. Dari semuanya ini tergambar:
Catatan:
Harap bedakan antara makam (kuburan, bhs indonesia) dengan maqam (kedudukan/tempat berpijak, bhs arab).
Sumber:
*1* Disalin dari dua artikel di www.dzikra.com, Penulis Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
*2* Buku "Peringatan ! Menggunakan Kuburan Sebagai Masjid" Bab. IV/Hal.50-83] Oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani di http://gizanherbal.wordpress.com/2011/06/04/begini-gan-kuburan-yang-nyunnah-dan-syari-pic/ penambahan di http://nikahmudayuk.wordpress.com/2010/06/06/ini-komentar-anda-ini-jawaban-kami/
*3* [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/Syaban 1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196] Oleh Abu Minhal di http://almanhaj.or.id/content/3338/slash/0/syiah-dan-golongan-batiniyah-pencetus-budaya-pengagungan-kubur/
*4* http://asysyariah.com/bila-kuburan-diagungkan-bagian-2.html.
__________
Footnote
[1] Lihat HR.al-Bukhari: 4/1873 (4636)
[2] Dinukil Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim: 7/27
[3] Lihat Faidhul Qodir: 6/309
[4] Lihat HR.Bukhari: 1/457
[5] Lihat as Silsilah adh Dho’ifah: 3/397 (1246)
[6] Lihat as Silsilah adh Dho’ifah: 3/452 (1290)
[7] Lihat Ighatsatullahfaan: 1/215
[8] Lihat Ighatsatullahfaan: 1/216
[9] Lihat Ighatsatullahfaan: 1/217
[10] Lihat Syarah an-Nawawi: 5/13
[11]. Dirâsâtun fil Ahwâ wal Furûqi wal Bida’i wa Mauqifis Salafi minhâ, DR. Nâshir al-‘Aql hlm. 274
[12]. Silahkan lihat Iqtidhâ Shirâthil Mustaqîm 2/728
[13]. Silahkan lihat Âdâb wa Ahkâm Ziyâratil Madînah al-Munawwarah, DR. Shâleh as-Sadlân, Dâr Balansiyah hlm. 11
[14]. Lihat al-Fatâwâ 27/167,168
[15]. Siyar A’lâmin Nubâlâ 10/16
[16] Tambahan dalam riwayat Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud
[17] Tambahan dalam riwayat Al-Imam Ahmad dan An-Nasai
[18] Tambahan dalam riwayat Al-Imam An-Nasai
[19] Lihat kitab Ahkamul Janaiz karya Asy-Syaikh Muhammad ibn Nuh Nashiruddin Al-Albani, kitab Al-Qaulul Mufid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Yamani, Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin.
sumber : http://www.novieffendi.com/2013/02/budaya-pengkultusan-kuburan-makam.html
Segala puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sholawat dan salam buat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah memperjelas tauhid dengan segala sendi dan cabang-cabangnya serta pembatalnya.
Pada kesempatan kali ini kita ingin membahas tentang penyebab dominan timbulnya kesyirikan di tengah-tengah umat manusia. Di antaranya yaitu pengkultusan terhadap kuburan nenek moyang dan orang sholih dan yang di anggap sholih. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan firman Allah azza wa jalla (yang artinya):
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Ini adalah nama orang-orang sholih dari kaum nabi Nuh ‘alaihis salam. Tatkala mereka meninggal, setan mewahyukan kepada kaum mereka untuk membuat patung di tempat-tempat duduk mereka. Lalu mereka menamai patung-patung tersebut sesuai dengan nama-nama mereka. Pada awalnya patung-patung itu masih belum disembah, sampai ketika mereka (orang-orang yang membuatnya) meninggal dan disertai dengan terhapusnya ilmu, lalu kaum yang datang kemudian menyembahnya.” [1].
Diantara sebab yang membawa kaum yang kita sebutkan di atas kepada pengkultusan kuburan:
Meninggikan kuburan lebih dari satu jengkal.
menyalahi sunnah |
Dari Abu Al-Hayyaj Al-Asadi dia berkata: Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku:
أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
Dari Tsumamah bin Syufai, ia berkata: Aku pernah bersama Fudholah bin Ubaid di negeri Romawi ‘Barudis’. Lalu meninggal salah seorang teman kami. Maka Fudholah menyuruh untuk mendatarkan kuburannya. Kemudian Fadhalah bin Ubaid radhiallahu anhu berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا
Menembok dan mencat kuburan.
menyalahi sunnah |
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dengan tegas menembok dan mengecat kuburan dalam sabda beliau,
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: ((نَهَى رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ)). رواه مسلم.
Yang dimaksud dengan membangun dalam hadits tersebut adalah umum sekalipun hanya berbentuk tembok saja. Apalagi membuatkan rumah untuk kuburan tersebut dengan biaya jutaan rupiah sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang-orang jahil masa sekarang.
Berkata Imam Syafi’i, “Aku melihat para ulama di Makkah menyuruh menghancurkan apa yang dibangun tersebut [2].
Berkata Al Manawi, “Kebanyakan ulama Syafi’iyah berfatwa tentang wajibnya menghacurkan segala bangunan di Qarofah (tanah pekuburan) sekalipun kubah Imam kita sendiri Syafi’i yang dibangun oleh sebagian penguasa [3].
Membangunkan rumah untuk kuburan.
tidak sesuai dengan sunnah |
رأى ابن عمر رضي الله عنهما فسطاطا على قبر عبد الرحمن فقال انزعه يا غلام فإنما يظله عمله .
Duduk dan makan di kuburan.
Bentuk hal lain yang merupakan sebagai jalan untuk membawa kepada pengkultusan kuburan adalah kebiasaan sebagaian orang mendatangi kuburan pada momen-momen tertentu. Seperti mau masuk bulan suci ramadhan, hari lebaran atau setelah panen. Mereka berbondong-bondong kekuburan dengan membawa tikar dan makanan. Lalu sesampai dikuburan membentangkan tikar dan duduk bersama-sama. Dilanjutkan dengan rangkaian acara tahlilan dan doa setelah itu ditutup acara makan bersama. Jika hal tersebut kita timbangan dengan ajaran Islam yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh sangat bertolak belakang sama sekali. Jangankan untuk tahlilan dan makan bersama, duduk saja tidak boleh. Seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ ». رواه مسلم.
Kiranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas amat jelas bagi orang hatinya mau menerima nasehat. Adapun orang yang mata hatinya sudah ditutup Allah dari menerima petunjuk, niscaya ia akan berupaya mencari-cari alasan untuk menolaknya.
Membaca Alquran di kuburan.
Sebahagian orang ada yang berpandangan adanya keutamaan membaca Alquran ketika berziarah kubur seperti membaca Al-Fatihah, surat Al-Ikhlas atau sura Yaasiin, dan lain-lain. Bahkan ada yang menyewa orang lain untuk membaca dan khatam Alquran di kuburan keluarganya pada hari-hari tertentu. Hal tersebut tidak pernah dianjurkan dalam agama ini. Yang dianjurkan ketika berziarah kubur hanyalah membaca doa ziarah kubur. Berbeda dengan orang yang suka melakukan hal-hal yang baik menurut pikiran dan perkiraan mereka semata. Tetapi tidak baik menurut Allah karena hal tersebut melakukan ibadah yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam agama. Kalau seandainya hal tersebut baik pastilah Allah memerintahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat melakukannya. Apakah kita lebih tahu dari Allah tentang hal yang baik?.
{قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ} [البقرة/140]
“Katakanlah!, ‘Apakah kamu yang lebih tahu atau Allah?’.
Adapun hadits-hadits yang dijadikan pegangan oleh sebagian orang dalam hal ini. Seperti hadits, “Barangsiapa yang mendatangi kuburan lalu membaca surat Yasin. Niscaya Allah akan meringankan azab terhadap mereka pada waktu dan akan menjadikan dengan bilangan hurufnya kebaikan“[5] ini adalah hadits Maudhu’. Demikian pula hadits, “Barangsiapa yang melewati kuburan maka ia membaca surat Al Ikhlas sebelas kali…[6].”.
Shalat dan berdoa di kuburan.
salah |
عَنْ أَبِى مَرْثَدٍ الْغَنَوِىِّ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم « لاَ تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلاَ تُصَلُّوا إِلَيْهَا »
. رواه مسلم
Berkata Ibnul Qayyim, “Setan memiliki cara yang amat halus dalam menyesat manusia. Bertama ia mengajak untuk berdoa di kuburan. Maka orang tersebut berdoa dengan khusuk dan tunduk sepenuh hati serta merasa lemah tidak berdaya. Maka Allah mengabulkan permintaannya lantaran apa yang terdapat dalam hatinya bukan karena kuburan. Seandainya dia berdoa seperti itu di tempat-tempat yang kotor sekalipun tentu Allah akan kabulkan doanya. Lalu orang bodoh mengira bahwa itu adalah karena kuburan. Allah mengabulkan doa orang yang dalam kesulitan sekalipun ia orang kafir.
Tidak berarti setiap orang yang dikabulkan doanya lalu ia diridhai dan dicintai Allah perbuatannya. Sesungguhnya Allah mengabulkan doa orang yang baik dan orang yang berdosa, orang mukmin dan orang kafir. Sebagian manusia berdoa dengan hal yang melampui batas dan sesuatu yang dilarang tetapi hal tersebut terbkabul, maka ia mengira bahwa perbuatannya tersebut baik[7].”.
“Tatkala setan berhasil mempengaruhi manusia dengan berasumsi bahwa berdoa di kuburan lebih baik daripada berdoa di masjid dan di rumahnya. Setan memindahkannya kepada tingkat yang berikutnya yaitu ber-tawasul dengan orang mati, hal ini lebih bahaya lagi dari hal yang sebelumnya[8].”.
“Tatkala setan berhasil pula mempengaruhi manusia bahwa ber-tawasul dengan orang mati lebih cepat dikabulkannya permintaan. Setelah itu setan memindahkannya pada tingkat berikutnya yaitu meminta kepada orang mati itu sendiri. Kemudian menjadikan kuburannya sebagai sembahan dan tempat meminta. Lalu dinyalakan lampu disekelilingnya dan diberi kelambu dilanjutkan membangun masjid di atasnya. Lalu shalat, tawaf, meciumnya serta berhaji dan menyembelih hewan di sisinya.
Kemudian berlanjut lagi pada tingkat berikutnya yaitu dengan mengajak manusia untuk menyembahnya dan menjadikannya sebagai tempat perayaan dan manasik. Mereka meyakini bahwa hal itu lebih bermamfaat bagi dunia dan akhirat mereka [9].”.
Membangun masjid dekat kuburan atau menguburkan mayat di pekarangan masjid.
tidak dibenarkan |
Hal tersebut dengan tegas telah dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
عن جُنْدَبٌ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ بِخَمْسٍ وَهُوَ يَقُولُ «وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ ». رواه مسلم
Dalam sabda beliau yang lain,
عن عائشة : أن أم سلمة ذكرت لرسول الله صلى الله عليه وسلم كنيسة رأتها بأرض الحبشة يقال لها مارية فذكرت له ما رأت فيها من الصور فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( أولئك قوم إذا مات فيهم العبد الصالح أو الرجل الصالح بنوا على قبره مسجدا وصوروا فيه تلك الصور أولئك شرار الخلق عند الله ) متفق عليه
Dari kedua hadits tersebut sangat jelas menegaskan tentang haramnya membangun masjid di atas tanah perkuburan. Barangsiapa yang melakukannya maka ia telah melanggar larang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Jundub radhiallahu ‘anhu. Orang yang melakukannya adalah makhluk yang paling jelek di sisi Allah sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Aisyah.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membangun masjid di atas tanah kuburan. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Aisyah dan Ibnu Abbas saat detik-detik terakhir dari kehidupan beliau di dunia ini,
عن عائشة وعبد الله بن عباس قالا لما نزل برسول الله صلى الله عليه وسلم طفق يطرح خميصة له على وجهه فإذا اغتم بها كشفها عن وجهه فقال وهو كذلك (( لعنة الله على اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد )). يحذر ما صعنوا. متفق عليه
Diantara hikmahnya kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal tersebut saat beliau akan wafat. Agar umat ini jangan meniru dan melakukan apa yang dilakukan orang Yahudi dan Nashrani tersebut. Kuburan para nabi saja tidak boleh dijadikan sebagai masjid, apa lagi kuburan selainnya.
Dalam riwayat lain Aisyah menyebutkan,
عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال في مرضه الذي مات فيه ((لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مسجدا)) . قالت ولولا ذلك لأبرزوا قبره غير أني أخشى أن يتخذ مسجدا. متفق عليه
Hadits ini adalah diantara hadits-hadits yang terakhir yang diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hidup beliau. Jadi tidak ada alasan bagi orang yang suka berdegil bahwa hadits tersebut mansukh. Kemudian Aisyah menyebutkan diantara hikmah dikuburnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rumah beliau, yaitu agar orang tidak mengkultuskan kuburan beliau.
Berkata Imam Nawawi, “Sesungguhnya larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari menjadikan kuburannya dan kuburan lainnya sebagai masjid karena kekwatiran akan berlebih-lebihan dalam menganggungkan beliau dan timbulnya fitnah. Karena hal tersebut bisa membawa kepada kekufuran sebagaimana telah terjadi pada kebanyakan umat-umat yang lalu[10].”.
Bertawasul dan beristighatsah dengan orang sudah mati
contoh yang salah |
Pada hakikatnya ber-tawasul itu terbagi kepada beberapa bentuk. Ada yang dibolehkan dan ada pula yang dilarang. Yang dibolehkan adalah ber-tawasul dengan nama dan sifat-sifat Allah, ber-tawasul dengan amal shaleh dan ber-tawasul dengan doa orang shaleh yang hidup lagi hadir. Yang dilarang adalah ber-tawasul dengan Zat (Bentuk) dan Jaah (Kedudukan) orang shaleh, ber-tawasul dengan orang shaleh yang hidup tetapi tidak hadir dan ber-tawasul dengan orang sudah mati.
Sebahagian orang memahami bahwa kehidupan para nabi, orang mati syahid dan orang-orang shaleh di alam Barzah sama seperti kehidupan mereka di alam dunia. Dengan demikian mereka berasumsi bahwa nabi atau orang shaleh dapat mendengar doa mereka. Oleh sebab itu, ketika mereka ditimpa masalah, mereka mendatangi kuburan para wali untuk dicarikan jalan keluar dari kesulitan yang sedang mereka hadapi. Ada yang minta jodoh, ada yang minta pekerjaan, ada yang minta dimudahkan usahanya, ada yang minta disembuhkan penyakitnya dan seterusnya.
Jangankan setelah mati, sewaktu hidup saja para wali tersebut tidak bisa memberi apa yang mereka minta. Jika minta jodoh, diwaktu hidup saja walinya tidak dapat jodoh. Jika minta pekerjaan, diwaktu hidup saja walinya nganggur. Jika minta kekayaan, diwaktu hidup aja walinya ngumpulkan sedekah dari murid-muridnya. Jika minta disembuhkan dari penyakit, wali itu sendiri tidak mampu menyembuhkan penyakitnya sampai ia meninggal.
Kenapa kita tidak langsung minta pada Allah Yang Pengasih, Maha Pemurah, Maha Kaya lagi Maha dekat dan Maha sempurna dalam segala sifat-sifat-Nya yang mulia.
Adapun selain Allah adalah makhluk yang memiliki kekurangan dan kelemahan dalam berbagai segi. Ia tidak dapat mendengar dari jarak jauh, apalagi setekah mati. Jika ia memiliki sesuatu untuk diberikan kepada orang lain terbatas kwalitas dan kwantitasnya. Adapun Allah Yang Maha Kaya mampu memberi segala apa yang minta oleh hamba-Nya dan berapapun jumlanya.
Adapun kehidupan para nabi dan syuhada’ di alam barzakh adalah kehidupan yang amat jauh berbeda dengan kehidupan dunia. Tidak ada yang mengetahui tentang kondisi dan hakikatnya. Maka tidak tidak boleh di-qias-kan antara kehidupan alam barzakh dengan kehidupan alam dunia ini.
Sebagaimana firman Allah,
{وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ} [البقرة/154]
“Dan akan tetapi kalian tidak menyadarinya.”
Artinya, tidak mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya melalui panca indra kalian. Karena hanya Allah yang mengetahui hakikat kehidupan mereka para syuhada’ tersebut.
Tidak pernah kita temukan dalam kehidupan para sahabat bahwa mereka bertawasul dan ber-istighatsah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apalagi dengan para sahabat yang telah meninggal, bahkan diantara mereka yang meninggal tersebut ada yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula jika kita melihat doa-doa mustajab yang diajarkan Rasululllah kepada sahabat beliau tidak ada satupun yang berkonteks tawasul dan be-ristighatsah dengan orang mati.
Jangankan untuk mengetahui kebutuhan orang lain, kelanjutan dari perjalanan hidup mereka sendiri setelah mereka mati mereka tidak tahu kapan mereka dibangkitkan. Sebagaimana firman Allah,
وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ (20) أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ [النحل/20، 21]
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ [النمل/65]
“Katakanlah, ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah,’ dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.’”.
Adapun dalil-dalil yang menyebutkan tentang si mayat dapat mendengar langkah orang mengantarkannya ke kubur. Ini tidak menunjukkan bahwa ia mendengar selama-lamanya. Tapi hanya pada saat itu saja dan yang dapat ia dengar hanya suara langkah saja tidak semua apa yang ada di atas dunia. Kalau tidak demikian tentu mereka juga tersiksa dengan suara petir, hujan, angin kencang, suara bintang dan seranggga yang ada di sekitar kuburannya. Serta segala hal yang memekakkan di dunia ini. Wallahu A’lam.*1*.
Lihat gambar kuburan orang kufffar berikut:
Dan lihat juga gambar kuburan yang menisbatkan dirinya ke islam berikut :
bandingkan dengan gambar kuburan muslim yang mengikuti sunnah berikut ini :
Camkanlah firman Allah Azza wa Jalla,
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Apakah kita akan terus mengikuti dan mencontoh amalan yahudi dan nasrani? lantas apa bedanya islam sebagai agama pertengahan?.
Bagaimana dengan kuburan nabi di masjid nabawi??
Syaikh Albani rahimahullah ditanya :
“Kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa salllam ada di dalam Masjid beliau, yang dapat disaksikan hingga saat ini. Kalau memang hal ini dilarang, lalu mengapa beliau dikuburkan disitu ?
Jawabannya:
…Keadaan yang kita saksikan pada jaman sekarang ini tidak seperti yang terjadi pada jaman sahabat. Setelah beliau wafat, mereka menguburkannya didalam biliknya yang letaknya bersebelahan dengan masjid, dipisahkan oleh dinding yang ada pintunya. Beliau biasa masuk masjid lewat pintu itu.
Hal ini telah disepakati oleh semua ulama, dan tidak ada pertentangan diantara mereka. Para sahabat mengubur jasad beliau didalam biliknya, agar nantinya orang-orang sesudah mereka tidak menggunakan kuburan beliau sebagai tempat untuk shalat, seperti yang sudah kita terangkan dalam hadits ‘Aisyah dibagian muka. Tapi apa yang terjadi dikemudian hari di luar perhitungan mereka. Pada tahun 88 Hijriah, Al Walid bin Abdul Malik merehab masjid Nabi dan memperluas masjid hingga kekamar ‘Aisyah. Berarti kuburan beliau masuk ke dalam area masjid. Sementara pada saat itu sudah tidak ada satu sahabatpun yang masih hidup, sehingga dapat menentang tindakan Al Walid ini seperti yang diragukan oleh sebagian manusia.
Al Hafizh Muhamad Abdul-Hady menjelaskan didalam bukunya Ash-Sharimul Manky: “Bilik Rasulullah masuk dalam masjid pada jaman Al Walid bin Abdul Malik, setelah semua sahabat beliau di Madinah meninggal. Sahabat terakhir yang meninggal adalah Jabir bin Abdullah. Ia meninggal pada jaman Abdul Malik, yang meninggal pada tahun 78H. Sementara Al Walid menjadi khalifah pada tahun 86H dan meninggal pada tahun 96H. Rehabilitasi masjid dan memasukkan bilik beliau kedalam masjid, dilakukan antara tahun-tahun itu.
Abu Zaid Umar bin Syabbah An Numairy berkata di dalam buku karangannya Akhbarul-Madinah: “Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi gubernur Madinah pada tahun 91H, ia merobohkan masjid lalu membangunnya lagi dengan menggunakan batu-batu yang diukir, atapnya terbuat dari jenis kayu yang bagus. Bilik istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa salllam dirobohkan pula lalu dimasukkan kedalam masjid. Berarti kuburan beliau juga masuk kedalam masjid.”
Dari penjelasan ini jelaslah sudah bahwa kuburan beliau masuk menjadi bagian dari masjid nabawi, ketika di Madinah sudah tidak ada seorang sahabatpun. Hal ini ternyata berlainan dengan tujuan saat mereka menguburkan jasad Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salllam di dalam biliknya.
Maka setiap orang muslim yang mengetahui hakikat ini, tidak boleh berhujjah dengan sesuatu yang terjadi sesudah meninggalnya para sahabat. Sebab hal ini bertentangan dengan hadits-hadits shahih dan pengertian yang diserap para sahabat serta pendapat para imam.
Hal ini juga bertentangan dengan apa yang dilakukan Umar dan Utsman ketika meluaskan masjid Nabawi tersebut. Mereka berdua tidak memasukkan kuburan beliau ke dalam masjid.
Maka dapat kita putuskan, perbuatan Al Walid adalah salah. Kalaupun ia terdesak untuk meluaskan masjid Nabawi, toh ia bisa meluaskan dari sisi lain sehingga tidak mengusik kuburan beliau. Umar bin Khattab pernah mengisyaratkan segi kesalahan semacam ini. Ketika meluaskan masjid, ia mengadakan perluasan di sisi lain dan tidak mengusik kuburan beliau. Ia berkata: “Tidak ada alasan untuk berbuat seperti itu.” Umar memberi peringatan agar tidak merobohkan masjid, lalu memasukkan kuburan beliau ke dalam masjid.
Karena tidak ingin bertentangan dengan hadits dan kebiasaan khulafa’urrasyidin, maka orang-orang Islam sesudah itu sangat berhati-hati dalam meluaskan masjid Nabawi. Mereka mengurangi kontroversi sebisa mungkin. Dalam hal ini An-Nawawi menjelaskan di dalam Syarh Muslim: “Ketika para sahabat yang masih hidup dan tabi’in merasa perlu untuk meluaskan masjid Nabawi karena banyaknya jumlah kaum muslimin, maka perluasan masjid itu mencapai rumah Ummahatul-Mukminin, termasuk bilik ‘Aisyah, tempat dikuburkannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salllam dan juga kuburan dua sahabat beliau, Abubakar dan Umar. Mereka membuat dinding pemisah yang tinggi disekeliling kuburan, bentuknya melingkar. Sehingga kuburan tidak langsung nampak sebagai bagian dari masjid. Dan orang-orangpun tidak shalat ke arah kuburan itu, sehingga merekapun tidak terseret pada hal-hal yang dilarang.
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Rajab yang menukil dari Qurthuby, menjelaskan: “Ketika bilik beliau masuk ke dalam masjid, maka pintunya di kunci, lalu disekelilingnya dibangun pagar tembok yang tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar rumah beliau tidak dipergunakan untuk acara-acara peringatan dan kuburan beliau dijadikan patung sesembahan.”.
Dapat kami katakan: Memang sangat disayangkan bangunan tersebut sudah didirikan sejak berabad-abad di atas kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa salllam. Disana ada kubah menjulang tinggi berwarna hijau, kuburan beliau dikelilingi jendela-jendela yang terbuat dari bahan tembaga, berbagai hiasan dan tabir. Padahal semua itu tidak diridhai oleh orang yang dikuburkan disitu, yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salllam. Bahkan ketika berkunjung kesana, kita lihat disamping tembok sebelah utara terdapat mihrab kecil. Ini merupakan isyarat bahwa tempat itu dikhususkan untuk shalat dibelakang kuburan . Kita benar-benar heran bagaimana bisa terjadi paganisme yang sangat mencolok ini dibiarkan begitu saja oleh suatu negara yang mengagung-agungkan masalah tauhid ?.
Namun begitu kami mengakui secara jujur, selama disana kami tidak melihat seorangpun mendirikan shalat didalam mihrab itu. Para penjaga yang sudah ditugaskan disana mengawasi secara ketat agar mencegah manusia yang datang kesana dan melakukan suatu yang bertentangan dengan syariat disekitar kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa salllam. Ini merupakan suatu yang perlu disyukuri atas sikap pemerintah Saudi. Tetapi ini belum cukup dan tidak memberikan jalan keluar yang tuntas. Tentang hal ini sudah lama dikatakan di dalam buku Ahkamul Jana’ iz wa Bida’uha: “Seharusnya masjid Nabawi dikembalikan ke jamannya semula, yaitu dengan membuat tabir pemisah antara kuburan dengan masjid, berupa tembok yang membentang dari utara keselatan. Sehingga setiap orang yang masuk ke masjid tidak dikejar oleh macam-macam pertentangan yang tidak diridhai pendirinya. Kita merasa yakin, ini merupakan kewajiban pemerintah Saudi, kalau ia masih ingin menjaga tauhid yang benar. Andaikata ada rencana perluasan kembali, maka bisa melebar kesebelah barat atau sisi lainnya. Tapi ketika diadakan perbaikan lagi, ternyata masjid Nabawi tidak dikembalikan ke bentuknya yang pertama pada jaman sahabat.”.
Jadi kalau ada orang yang berdalil atau beragumen ingin mengkeramatkan kuburan atau menjadikan atau mendirikan masjid diatas kuburan,dengan mengatakan atau beragumen bahwa kuburan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam berada dimasjid maka mereka ‘salah alamat’, berargumen dengan argumen yang sangat lemah dari beberapa sisi, diantaranya : (dibawah ini jawaban syaikh Muhammad Bin Shalih Al Ustaimin Rahimahulllah ketika ditanya tentang kuburan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berada dimasjid).
- Pertama : Masjid nabawi tidak dibangun diatas kubur, bahkan masjid tersebut dibangun semasa hidup Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam
- Kedua : Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak dikubur didalam masjid, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa didalam masjid ini ada orang shalih yang dikuburkan, bahkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dahulu dikuburkan didalam rumahnya sendiri (rumah ‘aisyah -ed)
- Ketiga : sesungguhnya dimasukkannya rumah-rumah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam kedalam areal masjid, termasuk kedalamnya rumah aisyah tidak berdasarkan persetujuan semua sahabat. Hal ini terjadi sesudah sebagian besar mereka telah tiada, yaitu kurang lebih pada tahun 94 H, dan tidak termasuk hal yang dibenarkan oleh para sahabat, bahkan sebagian mereka menentangnya. Diantara orang-orang yang menentangnya adalah Sa’id Bin Musayyab dari kalangan tabi’in
- Keempat : kuburan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak berada diareal masjid kemudian dimasukkan kedalamnya. Kuburan tersebut semula berada diruang terpisah dari masjid dan masjid nabawi tidak dibangun diatas ruang tersebut. Tempat ini tetap terpelihara dengan dibatasi tiga dinding. Dinding2nya membentuk ruang segitiga dan tidak mengarah kiblat. Dinding bagian utara dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang shalat diutaranya tidak menhadap kearah kubur. Dengan demikian batallah alasan penyembah kubur yang didasarkan pada alasan yang syubhat ini “ (selesai perkataan syaikh Ibnu utsaimin)*2*.
Syiah Dan Golongan Batiniyah, Pencetus Budaya Pengagungan Kubur
Pengagungan kuburan dan komplek makam sudah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat, bahkan menjadi bagian praktek keagamaan mereka yang tak terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Di antaranya, dengan membuatkan bangunan makam dan memperindahnya, menjadikannya sebagai tempat shalat, mengkhatamkan baca al-Qur`ân di sampingnya dan memanjatkan doa kepada penghuni kubur (bukan kepada Allâh Azza wa Jalla).
Menilik sejarah generasi Salaf, pantas dikatakan bahwa praktek-praktek ibadah di atas masuk dalam kategori bid’ah, satu perbuatan dalam beragama yang tidak pernah diperbuat oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi terbaik umat Islam.
“Semua itu adalah perkara baru, belum pernah tersebar (dikenal) kecuali pasca tiga generasi paling utama (generasi Sahabat, Tâbi’in dan Tâbi’it Tâbi’in)” [11].
Pada tiga generasi pertama ini, tidak ditemukan petunjuk dan pembicaraan satu pun terkait pengagungan terhadap kubur sebagaimana disaksikan sekarang.[12] Dahulu tidak ada yang mengatakan, berdoa di kuburan Fulan akan dikabulkan, pergilah ke kuburan Fulan agar Allâh Azza wa Jalla memudahkan urusanmu, atau mengadakan perjalanan khusus ke kubur yang sering dikenal dengan wisata reliji. Bahkan dahulu tidak ada istilah safar syaddul rihâl (menempuuh perjalanan jauh) yang bertujuan menziarahi kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini termasuk istilah asing yang belum dikenal sebelumnya. Justru dipandang sebagai tindakan berlebihan. Sebab yang tepat dan masyru ialah berziarah (mengunjungi) Masjid Nabawi. Kitab-kitab Ulama terdahulu pun tidak ada yang membahas tema khusus berjudul ziyâratu qabrin Nabiyyi (ziarah kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)[13] .
Fenomena tersebut baru mulai muncul dan menyebar pada abad keempat, setelah berlalunya tiga generasi pertama umat yang dipuji oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pada awalnya, berkembang pada sekte Syiah (Rafidhah) semata. Selanjutnya, ketika sekte ini berhasil membangun negara-negara kecil berasaskan Syiah dan Batiniyah, seperti rejim ‘Ubaidiyah, Qarâmithah, dan Ismâ’iliyah, penyebaran tradisi pengagungan kuburan kian meluas.
Penyebarannya kian bertambah manakala tarekat-tarekat Sufiyah ikut mengadopsi tradisi Syiah (baca: bukan Ahlus Sunnah) ini. Hampir seluruh negeri kaum Muslimin terkena dampak buruknya. Akibatnya, masyarakat merasa asing dengan petunjuk-petunjuk Nabi dan orang-orang yang komitmen dengannya.
Di negeri ini, masyarakat diajak untuk mengagungkan kuburan, dengan berbagai dalih seperti penghormatan tokoh dan mengenang jasa-jasa baiknya melalui acara Haul yang diadakan secara besar-besaran. Wisata-wisata reliji dengan tujuan makam-makam orang-orang yang dianggap sebagai wali tetap kebanjiran peminat. Bahkan sebagian orang memang berniat untuk mengunjungi kuburan-kuburan dengan menumpuk harapan mendapatkan solusi hidup, kemudahan rejeki, kedatangan jodoh dan lainnya. Wallâhul musta’ân.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengenal (adanya riwayat) dari seorang Sahabat Nabi, generasi Tabi’i maupun seorang imam terkenal yang memandang disunnahkannya mendatangi kuburan untuk berdoa (kepada penghuni kubur, red). Tidak ada seorang pun meriwayatkan sesuatu tentang itu, baik (riwayat) dari Nabi, Sahabat maupun dari seorang imam yang terkenal”.
Beliau rahimahullah menambahkan, “Kemunculan dan penyebarannya ketika pemerintahan Bani ‘Abbâsiyah melemah, umat saling berpecah-belah, banyak orang zindiq yang mampu memperdaya umat Islam, slogan ahli bid’ah menyebar. Yaitu, pada masa pemerintahkan al-Muqtadir di penghujung tahun 300an. Pada masa itu, telah muncul Qarâmithah ‘Ubaidiyah di Maroko. Kemudian mereka menginjakkan kaki ke negeri Mesir…”.
Mereka membangun kompleks pemakaman ‘Ali di Najef, padahal sebelumnya, tidak ada seorang pun yang mengatakan kubur Sahabat ‘Ali Radhiyallahu anhu berada di sana. Sebab ‘Ali dikuburkan di lingkungan istana di kota Kufah. Tujuan mereka ialah mengobrak-abrik ajaran Islam yang berasaskan tauhîdullâh. Selanjutnya, mereka memalsukan banyak hadits perihal keutamaan menziarahi pemakaman, berdoa dan shalat di sana. Orang-orang zindiq ini dan para pengikutnya lebih menghormati dan mengagungkan tempat-tempat pemakaman, daripada masjid-masjid [14].
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Orang yang pertama kali menyusupkan bid’ah pengagungan kuburan ialah rejim Ubaidiyah di Mesir, Qarâmithah dan Syiah (yang jelas bukan termasuk Ahlus Sunnah, red)”[15].
Kesimpulan
Budaya pengagungan kubur secara berlebihan sampai meminta pengharapan kepada penghuninya berasal dari golongan Syiah yang sering memusuhi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adalah salah, bila seorang Muslim melakukan pengagungan seperti yang telah dipaparkan di atas. Rasûlullâh Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam telah menetapkan apa saja yang dilakukan ketika berziarah ke kubur, yaitu mengucapkan salam, melepas alas kaki, mendoakan penghuni kubur, selain bertujuan untuk mengingatkan akhirat kepada kita. Wallâhu a’lam.*3*.
Ziarah ke Kuburan
Ziarah kubur disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita bisa mengambil pelajaran dan mengingat akhirat. Tentunya dengan syarat jangan sekali-kali dia mengucapkan di sisi kuburan sesuatu yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ [فَإِنَّهاَ تَذَكَّرُكُمُ اْلآخِرَةَ]2[وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ خَيْرًا]3[فَمَنْ أَراَدَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوا هُجْرًا]4
“Sesungguhnya aku dulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) ziarahlah [karena akan bisa mengingatkan kepada akhirat] 16[dan akan menambah kebaikan bagi kalian dengan menziarahinya]17 [maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah dan jangan kalian mengatakan ‘hujran’ (ucapan-ucapan batil)]18.” (HR. Muslim dari shahabat Buraidah bin Hushaib radhiallahu ‘anhu)Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan: “Semuanya menunjukkan tentang disyariatkannya ziarah kubur dan penjelasan tentang hikmah yang terkandung padanya dan untuk bisa mengambil pelajaran. Apabila kosong dari ini maka bukan ziarah yang disyariatkan.” (Lihat Subulus Salam, 2/162)
Berbicara realita yang terjadi sekarang, sebagian – bahkan tidak berlebihan jika dikatakan mayoritas – kaum muslimin, telah keluar dari jalur yang telah ditetapkan oleh syariat dengan beberapa alasan:
Pertama: Menentukan waktu tertentu dan makam tertentu untuk tempat berziarah. Hal ini tidak mungkin dilakukan melainkan ada keyakinan yang lebih terhadap waktu dan makam tersebut. Ini dibuktikan dengan hal-hal yang dilakukan di makam tersebut seperti mencukur rambut anak, memandikan anak, membawa bunga-bunga, berdzikir di sisi kuburan tersebut, tawassul dengannya bahkan meminta segala bentuk hajat.
Kedua: Mempersiapkan perbekalan yang besar untuk melakukan ziarah dengan segala aneka ragam makanan dan buah-buahan serta kurban.
Ketiga: Melakukan perkara-perkara yang haram seperti campur baur antara laki-laki dan perempuan bahkan membawa pasangannya yang tentu saja mengakibatkan hilangnya hikmah ziarah itu sendiri yaitu mengingat akhirat dan bisa mengambil pelajaran darinya. (Bahkan ada yang mensyaratkan harus berbuat zina demi terkabulnya permohonannya -red).
Keempat: Dilakukan berbagai macam penyembahan, ada yang dalam bentuk meminta kepada penghuninya, bernadzar berkurban untuknya dan sebagainya.
Apakah ziarah kubur dianjurkan secara mutlak atau dilarang secara mutlak?
Jawabnya: Hukum ziarah kubur dibagi oleh para ulama menjadi tiga bentuk:
1. Ziarah yang disyariatkan
Ziarah yang disyariatkan oleh Islam dan terpenuhi tiga syarat padanya:
Pertama: Tidak mengadakan safar (bepergian) untuk berziarah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ. مَسْجِدِي هَذاَ وَالْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى
Kedua: Tidak mengucapkan kalimat-kalimat batil. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوا هُجْرًا
Ibnul Atsir rahimahullah di dalam kitab An-Nihayah (5/240) mengatakan: “Al-Hujra dengan didhammahkan huruf ha, artinya ‘ucapan keji’.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushabi hafizhahullah mengatakan: “Lihatlah –semoga Allah merahmatimu– bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari kalimat-kalimat yang keji dan batil ketika berziarah ke kuburan dan apakah ada ucapan yang lebih besar kekejian dan kebatilannya daripada menyeru (berdo’a) kepada orang-orang yang telah mati dan meminta tolong dibebaskan dari malapetaka kepada selain Allah?” (Al-Qaulul Mufid, hal. 193)
Ketiga: Tidak dikhususkan dengan waktu-waktu tertentu karena tidak ada dalil pengkhususan yang demikian itu.
2. Ziarah Bid’ah
Ziarah yang tidak ada salah satu dari syarat-syarat di atas.
3. Ziarah Syirik
Ziarah yang menjatuhkan pelakunya ke dalam kesyirikan seperti berdoa kepada penghuninya, menyembelih, bernadzar, meminta pertolongan, perlindungan, meminta diturunkannya hujan, kesembuhan, terpelihara dari musuh, malapetaka, dan sebagainya dari jenis-jenis kesyirikan.19
Dari pembagian ketiga jenis ini, bisa kita ukur dan nilai, masuk kategori mana ziarah yang dilakukan mayoritas muslimin di makam-makam terkenal di seluruh pelosok tanah air ini. Dan ziarah ini telah menjadi rutinitas kalangan tertentu meski dengan hajat yang berbeda. Sehingga tidak ada satu kuburanpun yang terkenal dan memiliki nilai sejarah dalam kehidupan nenek moyang kecuali setiap waktu dibanjiri oleh para peziarah. Seakan-akan ia bagai Baitullah Al-Haram di tanah suci Makkah. Dari yang tingkatan rendah dalam dunia dan agama, hingga yang memiliki kedudukan tinggi.
Akankah semua ini berakhir? Dan di manakah para da’i penyeru kepada kebenaran? Dari kebenaran mereka jauh dan dari kemungkaran mereka diam.
Tentu masih banyak lagi bentuk-bentuk pengagungan kepada kuburan dan ini adalah sebagian kecil daripadanya, semoga mewakili yang lain. Dari semuanya ini tergambar:
- Betapa jauhnya muslimin dari aqidah yang benar.
- Jauhnya mereka dari syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Kebutuhan mereka terhadap tauhid dan dakwah tauhid.
- Jauhnya mereka dari pemahaman salafush shalih.*4*
Catatan:
Harap bedakan antara makam (kuburan, bhs indonesia) dengan maqam (kedudukan/tempat berpijak, bhs arab).
Sumber:
*1* Disalin dari dua artikel di www.dzikra.com, Penulis Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
*2* Buku "Peringatan ! Menggunakan Kuburan Sebagai Masjid" Bab. IV/Hal.50-83] Oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani di http://gizanherbal.wordpress.com/2011/06/04/begini-gan-kuburan-yang-nyunnah-dan-syari-pic/ penambahan di http://nikahmudayuk.wordpress.com/2010/06/06/ini-komentar-anda-ini-jawaban-kami/
*3* [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/Syaban 1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196] Oleh Abu Minhal di http://almanhaj.or.id/content/3338/slash/0/syiah-dan-golongan-batiniyah-pencetus-budaya-pengagungan-kubur/
*4* http://asysyariah.com/bila-kuburan-diagungkan-bagian-2.html.
__________
Footnote
[1] Lihat HR.al-Bukhari: 4/1873 (4636)
[2] Dinukil Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim: 7/27
[3] Lihat Faidhul Qodir: 6/309
[4] Lihat HR.Bukhari: 1/457
[5] Lihat as Silsilah adh Dho’ifah: 3/397 (1246)
[6] Lihat as Silsilah adh Dho’ifah: 3/452 (1290)
[7] Lihat Ighatsatullahfaan: 1/215
[8] Lihat Ighatsatullahfaan: 1/216
[9] Lihat Ighatsatullahfaan: 1/217
[10] Lihat Syarah an-Nawawi: 5/13
[11]. Dirâsâtun fil Ahwâ wal Furûqi wal Bida’i wa Mauqifis Salafi minhâ, DR. Nâshir al-‘Aql hlm. 274
[12]. Silahkan lihat Iqtidhâ Shirâthil Mustaqîm 2/728
[13]. Silahkan lihat Âdâb wa Ahkâm Ziyâratil Madînah al-Munawwarah, DR. Shâleh as-Sadlân, Dâr Balansiyah hlm. 11
[14]. Lihat al-Fatâwâ 27/167,168
[15]. Siyar A’lâmin Nubâlâ 10/16
[16] Tambahan dalam riwayat Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud
[17] Tambahan dalam riwayat Al-Imam Ahmad dan An-Nasai
[18] Tambahan dalam riwayat Al-Imam An-Nasai
[19] Lihat kitab Ahkamul Janaiz karya Asy-Syaikh Muhammad ibn Nuh Nashiruddin Al-Albani, kitab Al-Qaulul Mufid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Yamani, Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin.
sumber : http://www.novieffendi.com/2013/02/budaya-pengkultusan-kuburan-makam.html
0 komentar:
Posting Komentar