Ciri Kedelapan
Orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih.
Yaitu orang-orang yang bertaubat dari kemaksiatan dan dosa-dosa yang lainnya dengan memenuhi syarat-syarat yang terkandung dalam ayat di atas: dia segera meninggalkan perbuatan itu, menyesali dosa yang pernah dilakukannya itu, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, yaitu keimanan yang menuntut dirinya untuk meninggalkan berbagai macam kemaksiatan dan menuntutnya untuk melaksanakan berbagai macam ketaatan, beramal shalih, melakukan amal yang diperintahkan syariat dan mengikhlaskan niatnya dalam beramal hanya untuk mengharap keridhaan dan pahala melihat Wajah-Nya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Para ulama mengatakan: Taubat itu wajib dilakukan untuk setiap dosa yang diperbuat.” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/56). Beliau juga berkata: “(Taubat) itu memiliki tiga rukun, meninggalkannya, menyesal atas perbuatan maksiatnya itu, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya selama-lamanya. Apabila maksiat itu berkaitan dengan hak manusia, maka ada rukun keempat yaitu membebaskan diri dari tanggungannya kepada orang yang dilanggar haknya. Pokok dari taubat adalah penyesalan, dan (penyesalan) itulah rukunnya yang terbesar.” (Syarah Muslim, IX/12).
Beliau rahimahullah juga mengatakan: “…Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa taubat dari segala maksiat (hukumnya) wajib, dan (mereka juga sepakat) taubat itu wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda-tunda, sama saja apakah maksiat itu termasuk dosa kecil atau dosa besar. Taubat merupakan salah satu prinsip agung di dalam agama Islam dan kaidah yang sangat ditekankan di dalamnya…” (Syarah Shahih Muslim, IX/12).
Allah ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53).
Ciri Kesembilan
Orang-orang yang tidak mendatangi az-Zuur, dan apabila mereka bertemu dengan orang yang mengerjakan al-Laghwu, mereka lewati dengan tetap menjaga kehormatan dirinya.
Az-Zuur adalah perkataan dan perbuatan yang diharamkan. Istilah ini mencakup banyak hal seperti; syirik dan penyembahan berhala, dusta, kefasikan, kekafiran, kesia-siaan, kebatilan, nyanyian, hari raya orang musyrik, kumpulan peminum khamr, persaksian palsu dan lain-lain (lihat Tafsir Ibnu Kasir, VI/33).
Maka mereka menjauhi semua pertemuan yang di dalamnya terdapat perkataan atau perbuatan yang diharamkan, seperti perbincangan dalam memperolok ayat-ayat Allah, perdebatan yang batil, menggunjing, mengadu domba, mencela, menuduh zina tanpa bukti, mengejek syariat Allah, nyanyian yang haram, meminum khamr, menggunakan sutera, memajang gambar-gambar bernyawa, dan lain sebagainya.
Apabila mereka tidak menghadiri az-Zuur, maka apalagi mengatakan atau melakukannya mereka lebih tidak mau lagi. Dan persaksian palsu termasuk perbuatan yang pertama kali dikategorikan dalam cakupan az-Zuur.
“Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah (al laghwu).
Al-Laghwu adalah perkataan yang tidak mengandung kebaikan, baik manfaat diniyah maupun manfaat duniawiyah. Seperti perkataan orang-orang pandir dan semacamnya. “mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya”. Mereka membersihkan dan memuliakan diri mereka dengan tidak ikut campur dalam pembicaraan itu. Mereka meyakini bahwa berbicara tentang perkara yang tidak mengandung kebaikan semacam itu meskipun tidak mendatangkan dosa, tetapi itu termasuk sikap bodoh menurut pandangan nilai-nilai kemanusiaan dan kehormatan. Sehingga mereka lebih memilih untuk menjaga diri dari hal itu.
Di dalam firman Allah, “Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah”, terdapat isyarat bahwa mereka itu sebenarnya tidak memiliki niat untuk menghadiri dan mendengarkan perkataan itu, akan tetapi peristiwa itu terjadi secara kebetulan lalu mereka pun menjaga kemuliaan diri mereka dengan tidak ikut bergabung di dalamnya.
Ciri Kesepuluh
Orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.
Mereka adalah orang-orang yang tidak berpaling dari peringatan itu, tidak menutup telinga dari mendengarkannya, tidak menutup mata dan hatinya dari memahami peringatan itu sebagaimana perbuatan semacam ini dilakukan oleh orang yang tidak mengimani peringatan itu dan tidak mau membenarkannya.
Apabila mereka mendengar peringatan itu mereka bersikap sebagaimana yang difirmankan Allah, “Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud [maksudnya mereka sujud kepada Allah serta khusyuk] seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.” (QS. As-Sajdah: 15).
Mereka menerima peringatan-peringatan itu dengan sepenuhnya dengan disertai perasaan sangat membutuhkannya, tunduk serta pasrah terhadapnya. Anda temukan mereka itu memiliki telinga yang sangat terbuka, hati-hati yang sangat sadar yang dengan begitu maka semakin bertambahlah iman mereka serta semakin sempurna pula keyakinan mereka. Dengan adanya peringatan itu tumbuhlah semangat mereka, mereka senang dan bergembira menyambutnya.
Inilah sifat orang yang beriman, sebagaimana diterangkan Allah dalam firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfaal: 2).
Adapun orang-orang kafir, mereka sama sekali tidak terpengaruh apabila mendengar firman Allah, bahkan mereka tetap ngotot berada dalam kekafiran dan kesesatannya. Hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam ayat-Nya, “Dan apabila diturunkan suatu surat, Maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?” adapun orang-orang yang beriman, Maka surat Ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit [kekafiran, kemunafikan, keragu-raguan dan sebagainya], Maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (QS. At-Taubah: 124-125).
Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya peringatan itu akan bermanfaat bagi kaum yang beriman.” (QS. Adz-Dzariyaat: 55). Di dalam ayat ini Allah menginformasikan kepada kita bahwa peringatan akan membuahkan manfaat bagi kaum mukminin. Hal itu disebabkan di dalam jiwa mereka terdapat keimanan, rasa takut kepada Allah (khasysyah), ingin kembali menaati Allah (inabah) dan juga ketundukan dalam menuruti keridhaan Allah. Itulah yang menuntut mereka untuk bisa memetik faedah dari peringatan tersebut dan bisa menempatkan nasihat yang sampai kepada mereka pada tempat yang semestinya (yaitu dilaksanakan sebaik-baiknya).
Hal ini senada dengan ayat yang difirmankan Allah ta’ala yang artinya, “Maka berikanlah peringatan jika peringatan itu membuahkan manfaat. Orang yang takut niscaya akan mengambil pelajaran (darinya). Sedangkan orang yang binasa niscaya justru akan menjauhinya".
Adapun keadaan orang-orang yang di dalam jiwanya tidak terdapat keimanan dan juga tidak memiliki bekal persiapan untuk menerima peringatan (baca: masa bodoh), maka peringatan yang ditujukan kepada tipe orang semacam ini tidak akan banyak mendatangkan faedah (bagi dirinya sendiri), sebagaimana tanah yang lembab serta asin tidak akan bisa menjadi subur barang sedikitpun walaupun diguyur hujan. Tipe-tipe orang seperti mereka ini, seandainya semua ayat datang kepada mereka, niscaya mereka tidak akan mau beriman sampai mereka benar-benar menyaksikan adzab yang amat menyakitkan, wal ‘iyaadzu billah (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu) (disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 812-813).
Ciri Kesebelas
Orang-orang yang berdoa: “Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang mereka, “Mereka adalah orang-orang yang memohon kepada Allah supaya mengeluarkan dari tulang sulbi dan anak keturunan mereka orang-orang yang taat dan menyembah-Nya saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, VI/34).
Apabila kita mencermati keadaan dan sifat mereka ini maka kita bisa mengetahui ketinggian cita-cita dan kedudukan mereka, sehingga mereka tidaklah merasa tenteram sampai anak-anak mereka mau taat dan patuh kepada Rabb mereka serta berilmu dan mengamalkan ilmunya.
Meskipun doa ini ditujukannya untuk kebaikan istri dan anak keturunannya tetapi sesungguhnya itu adalah doa untuk dirinya sendiri. Karena manfaat doa itu akhirnya juga akan kembali kepadanya. Oleh karenanya di dalam doa itu mereka menyebut hal itu sebagai anugerah bagi mereka. Bahkan manfaat doa mereka juga kembali kepada keseluruhan kaum muslimin. Karena kebaikan istri dan anak-anak akan menimbulkan kebaikan orang-orang yang berinteraksi dan menimba faedah dari mereka. Mereka berdoa, “Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. Ibnu Abbas, Al-Hasan, As-Suddi, Qatadah dan Rabi’ bin Anas mengatakan tentang maknanya, yaitu “Menjadi pemimpin-pemimpin di antara kami yang patut menjadi teladan dalam kebaikan.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, VI/35). Artinya mereka memohon supaya bisa meraih derajat yang tinggi ini, yaitu derajatnya kaum shiddiqiin dan derajat kesempurnaan yang dimiliki oleh hamba-hamba yang saleh, itulah derajat kepemimpinan dalam agama.
Mereka memohon supaya dapat menjadi teladan bagi orang-orang yang bertakwa, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan, sehingga perbuatan mereka layak ditiru dan perkataan mereka melahirkan ketenangan. Sehingga para pelaku kebaikan berjalan mengikuti mereka. Mereka mendapatkan hidayah dan juga menyebarkannya.
Doa untuk mendapatkan sesuatu berarti juga mencakup permintaan segala sesuatu yang menjadi syarat terpenuhinya. Sedangkan derajat kepemimpinan di dalam agama ini tidak akan bisa tercapai kecuali dengan bekal kesabaran dan keyakinan. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala, “Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar, dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (QS. As-Sajdah: 24).
Mari Menghadap Allah Dengan Qalbu yang Saliim
Saudara-saudaraku sekalian, marilah kita bersihkan hati-hati kita dari dosa-dosa dan kesyirikan. Karena di hari kiamat nanti tidak akan bermanfaat lagi banyaknya harta dan keturunan. Berapapun harta yang anda punya, emas sebesar gunung atau bahkan sepenuh bumi sekalipun, itu semua tidak ada artinya jika anda berjumpa dengan-Nya tanpa hati yang bersih.
Begitu pula tidak ada artinya banyaknya anak cucu, walaupun mereka itu memiliki kedudukan dan jabatan-jabatan tertinggi di atas muka bumi, bila anda tidak menghadap-Nya dengan hati yang suci.
Allah ta’ala berfirman, “(ingatlah) Pada hari di mana tidak bermanfaat lagi harta dan keturunan, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. Asy-Syu’araa’: 88-89)
Gunakan Kesempatan Sebaik-Baiknya
Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: ‘Salah satu bukti kebijaksanaan takdir dan hikmah ilahiyah yaitu barang siapa yang meninggalkan sesuatu yang bermanfaat baginya, padahal memungkinkan baginya untuk memetik manfaat itu lantas dia tidak mau memetiknya, maka dia akan menerima cobaan berupa disibukkan dengan hal-hal yang mendatangkan madharat terhadap dirinya.
Barang siapa meninggalkan ibadah kepada Ar-Rahman (Allah), niscaya dia akan disibukkan dengan beribadah kepada berhala-berhala.
Barang siapa meninggalkan cinta, harap dan takut kepada Allah maka niscaya dia akan disibukkan dalam kecintaan kepada selain Allah, berharap dan takut karenanya. Barang siapa tidak menginfakkan hartanya dalam menaati Allah niscaya dia akan menginfakkannya dalam menaati syaitan.
Barang siapa meninggalkan merendahkan diri dan tunduk kepada Rabbnya niscaya dia akan dicoba dengan merendahkan diri dan tunduk kepada hamba.
Barang siapa meninggalkan kebenaran niscaya dia akan dicoba dengan kebatilan (Tafsir surat al-Baqarah ayat 101-103, Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 60-61).
Saudaraku, waspadalah !
Banyak orang yang mengira dirinya berada di atas kebaikan dan dia termasuk orang yang selamat dan pemilik kebahagiaan pada hari kiamat disebabkan apa yang dilihatnya berupa nikmat-nikmat Allah yang dicurahkan kepadanya selama di dunia sehingga dia mengatakan, “Seandainya bukan karena Allah ‘azza wa jalla ridha kepadaku niscaya Dia tidak akan menganugerahkan nikmat-nikmat ini”.
Si miskin ini meyakini kalau nikmat-nikmat ini datang dengan sebab kecintaan Allah kepadanya, dan dia merasa akan mendapat pemberian di akhirat yang lebih baik dari itu semua, padahal dia senantiasa bergelimang dalam kemaksiatan terhadap Allah, terjerumus dalam perkara-perkara yang diharamkan Allah dan ini merupakan sikap terperdaya/ghurur yang banyak manusia terjatuh ke dalamnya, bahkan kebanyakan masyarakat tertipu karenanya.
Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Apabila kamu melihat Allah ‘azza wa jalla melimpahkan kepada seorang hamba segala sesuatu yang disukainya di dunia sementara dia bergelimang kemaksiatan maka sesungguhnya itu adalah istidraaj” kemudian beliau membaca firman Allah ta’ala yang artinya, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka Kamipun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka telah bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al An’aam: 44) (Hadits riwayat Ahmad dan dishahihkan Al-Albani).
Sebagian ulama Salaf mengatakan, “Apabila kamu melihat Allah terus menurunkan nikmat-Nya kepadamu sementara kamu bergelimang kemaksiatan kepada-Nya maka waspadalah, karena sesungguhnya itu adalah istidraaj yang ditimpakan kepadamu”.
Allah ta’ala telah membantah orang yang menyimpan persangkaan seperti ini dengan firman-Nya yang artinya, “Adapun manusia jika Rabbnya mengujinya dengan memuliakannya dan memberikan nikmat kepadanya dia berkata Rabbku telah memuliakanku, adapun jika Rabbnya mengujinya dengan membatasi rizkinya dia berkata Rabbku telah menghinakan aku, sekali-kali tidak demikian.” (QS. Al Fajr : 15-17).
Artinya tidak semua orang yang Aku karuniai nikmat (duniawi) dan Aku lapangkan rezekinya pasti orang yang Aku muliakan, dan tidak setiap orang yang Aku uji dan Aku sempitkan rezekinya pasti orang yang Aku hinakan, akan tetapi sebenarnya Aku sedang menguji orang yang satu ini dengan nikmat-nikmat dan Aku memuliakan orang yang satunya dengan memberikan ujian kepadanya. (dinukil dari ‘Isyruuna ‘uqbatan fii thariiqil muslim).
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin.
Orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih.
Yaitu orang-orang yang bertaubat dari kemaksiatan dan dosa-dosa yang lainnya dengan memenuhi syarat-syarat yang terkandung dalam ayat di atas: dia segera meninggalkan perbuatan itu, menyesali dosa yang pernah dilakukannya itu, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, yaitu keimanan yang menuntut dirinya untuk meninggalkan berbagai macam kemaksiatan dan menuntutnya untuk melaksanakan berbagai macam ketaatan, beramal shalih, melakukan amal yang diperintahkan syariat dan mengikhlaskan niatnya dalam beramal hanya untuk mengharap keridhaan dan pahala melihat Wajah-Nya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Para ulama mengatakan: Taubat itu wajib dilakukan untuk setiap dosa yang diperbuat.” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/56). Beliau juga berkata: “(Taubat) itu memiliki tiga rukun, meninggalkannya, menyesal atas perbuatan maksiatnya itu, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya selama-lamanya. Apabila maksiat itu berkaitan dengan hak manusia, maka ada rukun keempat yaitu membebaskan diri dari tanggungannya kepada orang yang dilanggar haknya. Pokok dari taubat adalah penyesalan, dan (penyesalan) itulah rukunnya yang terbesar.” (Syarah Muslim, IX/12).
Beliau rahimahullah juga mengatakan: “…Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa taubat dari segala maksiat (hukumnya) wajib, dan (mereka juga sepakat) taubat itu wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda-tunda, sama saja apakah maksiat itu termasuk dosa kecil atau dosa besar. Taubat merupakan salah satu prinsip agung di dalam agama Islam dan kaidah yang sangat ditekankan di dalamnya…” (Syarah Shahih Muslim, IX/12).
Allah ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53).
Ciri Kesembilan
Orang-orang yang tidak mendatangi az-Zuur, dan apabila mereka bertemu dengan orang yang mengerjakan al-Laghwu, mereka lewati dengan tetap menjaga kehormatan dirinya.
Az-Zuur adalah perkataan dan perbuatan yang diharamkan. Istilah ini mencakup banyak hal seperti; syirik dan penyembahan berhala, dusta, kefasikan, kekafiran, kesia-siaan, kebatilan, nyanyian, hari raya orang musyrik, kumpulan peminum khamr, persaksian palsu dan lain-lain (lihat Tafsir Ibnu Kasir, VI/33).
Maka mereka menjauhi semua pertemuan yang di dalamnya terdapat perkataan atau perbuatan yang diharamkan, seperti perbincangan dalam memperolok ayat-ayat Allah, perdebatan yang batil, menggunjing, mengadu domba, mencela, menuduh zina tanpa bukti, mengejek syariat Allah, nyanyian yang haram, meminum khamr, menggunakan sutera, memajang gambar-gambar bernyawa, dan lain sebagainya.
Apabila mereka tidak menghadiri az-Zuur, maka apalagi mengatakan atau melakukannya mereka lebih tidak mau lagi. Dan persaksian palsu termasuk perbuatan yang pertama kali dikategorikan dalam cakupan az-Zuur.
“Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah (al laghwu).
Al-Laghwu adalah perkataan yang tidak mengandung kebaikan, baik manfaat diniyah maupun manfaat duniawiyah. Seperti perkataan orang-orang pandir dan semacamnya. “mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya”. Mereka membersihkan dan memuliakan diri mereka dengan tidak ikut campur dalam pembicaraan itu. Mereka meyakini bahwa berbicara tentang perkara yang tidak mengandung kebaikan semacam itu meskipun tidak mendatangkan dosa, tetapi itu termasuk sikap bodoh menurut pandangan nilai-nilai kemanusiaan dan kehormatan. Sehingga mereka lebih memilih untuk menjaga diri dari hal itu.
Di dalam firman Allah, “Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah”, terdapat isyarat bahwa mereka itu sebenarnya tidak memiliki niat untuk menghadiri dan mendengarkan perkataan itu, akan tetapi peristiwa itu terjadi secara kebetulan lalu mereka pun menjaga kemuliaan diri mereka dengan tidak ikut bergabung di dalamnya.
Ciri Kesepuluh
Orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.
Mereka adalah orang-orang yang tidak berpaling dari peringatan itu, tidak menutup telinga dari mendengarkannya, tidak menutup mata dan hatinya dari memahami peringatan itu sebagaimana perbuatan semacam ini dilakukan oleh orang yang tidak mengimani peringatan itu dan tidak mau membenarkannya.
Apabila mereka mendengar peringatan itu mereka bersikap sebagaimana yang difirmankan Allah, “Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud [maksudnya mereka sujud kepada Allah serta khusyuk] seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.” (QS. As-Sajdah: 15).
Mereka menerima peringatan-peringatan itu dengan sepenuhnya dengan disertai perasaan sangat membutuhkannya, tunduk serta pasrah terhadapnya. Anda temukan mereka itu memiliki telinga yang sangat terbuka, hati-hati yang sangat sadar yang dengan begitu maka semakin bertambahlah iman mereka serta semakin sempurna pula keyakinan mereka. Dengan adanya peringatan itu tumbuhlah semangat mereka, mereka senang dan bergembira menyambutnya.
Inilah sifat orang yang beriman, sebagaimana diterangkan Allah dalam firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfaal: 2).
Adapun orang-orang kafir, mereka sama sekali tidak terpengaruh apabila mendengar firman Allah, bahkan mereka tetap ngotot berada dalam kekafiran dan kesesatannya. Hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam ayat-Nya, “Dan apabila diturunkan suatu surat, Maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?” adapun orang-orang yang beriman, Maka surat Ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit [kekafiran, kemunafikan, keragu-raguan dan sebagainya], Maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (QS. At-Taubah: 124-125).
Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya peringatan itu akan bermanfaat bagi kaum yang beriman.” (QS. Adz-Dzariyaat: 55). Di dalam ayat ini Allah menginformasikan kepada kita bahwa peringatan akan membuahkan manfaat bagi kaum mukminin. Hal itu disebabkan di dalam jiwa mereka terdapat keimanan, rasa takut kepada Allah (khasysyah), ingin kembali menaati Allah (inabah) dan juga ketundukan dalam menuruti keridhaan Allah. Itulah yang menuntut mereka untuk bisa memetik faedah dari peringatan tersebut dan bisa menempatkan nasihat yang sampai kepada mereka pada tempat yang semestinya (yaitu dilaksanakan sebaik-baiknya).
Hal ini senada dengan ayat yang difirmankan Allah ta’ala yang artinya, “Maka berikanlah peringatan jika peringatan itu membuahkan manfaat. Orang yang takut niscaya akan mengambil pelajaran (darinya). Sedangkan orang yang binasa niscaya justru akan menjauhinya".
Adapun keadaan orang-orang yang di dalam jiwanya tidak terdapat keimanan dan juga tidak memiliki bekal persiapan untuk menerima peringatan (baca: masa bodoh), maka peringatan yang ditujukan kepada tipe orang semacam ini tidak akan banyak mendatangkan faedah (bagi dirinya sendiri), sebagaimana tanah yang lembab serta asin tidak akan bisa menjadi subur barang sedikitpun walaupun diguyur hujan. Tipe-tipe orang seperti mereka ini, seandainya semua ayat datang kepada mereka, niscaya mereka tidak akan mau beriman sampai mereka benar-benar menyaksikan adzab yang amat menyakitkan, wal ‘iyaadzu billah (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu) (disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 812-813).
Ciri Kesebelas
Orang-orang yang berdoa: “Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang mereka, “Mereka adalah orang-orang yang memohon kepada Allah supaya mengeluarkan dari tulang sulbi dan anak keturunan mereka orang-orang yang taat dan menyembah-Nya saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, VI/34).
Apabila kita mencermati keadaan dan sifat mereka ini maka kita bisa mengetahui ketinggian cita-cita dan kedudukan mereka, sehingga mereka tidaklah merasa tenteram sampai anak-anak mereka mau taat dan patuh kepada Rabb mereka serta berilmu dan mengamalkan ilmunya.
Meskipun doa ini ditujukannya untuk kebaikan istri dan anak keturunannya tetapi sesungguhnya itu adalah doa untuk dirinya sendiri. Karena manfaat doa itu akhirnya juga akan kembali kepadanya. Oleh karenanya di dalam doa itu mereka menyebut hal itu sebagai anugerah bagi mereka. Bahkan manfaat doa mereka juga kembali kepada keseluruhan kaum muslimin. Karena kebaikan istri dan anak-anak akan menimbulkan kebaikan orang-orang yang berinteraksi dan menimba faedah dari mereka. Mereka berdoa, “Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. Ibnu Abbas, Al-Hasan, As-Suddi, Qatadah dan Rabi’ bin Anas mengatakan tentang maknanya, yaitu “Menjadi pemimpin-pemimpin di antara kami yang patut menjadi teladan dalam kebaikan.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, VI/35). Artinya mereka memohon supaya bisa meraih derajat yang tinggi ini, yaitu derajatnya kaum shiddiqiin dan derajat kesempurnaan yang dimiliki oleh hamba-hamba yang saleh, itulah derajat kepemimpinan dalam agama.
Mereka memohon supaya dapat menjadi teladan bagi orang-orang yang bertakwa, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan, sehingga perbuatan mereka layak ditiru dan perkataan mereka melahirkan ketenangan. Sehingga para pelaku kebaikan berjalan mengikuti mereka. Mereka mendapatkan hidayah dan juga menyebarkannya.
Doa untuk mendapatkan sesuatu berarti juga mencakup permintaan segala sesuatu yang menjadi syarat terpenuhinya. Sedangkan derajat kepemimpinan di dalam agama ini tidak akan bisa tercapai kecuali dengan bekal kesabaran dan keyakinan. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala, “Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar, dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (QS. As-Sajdah: 24).
Mari Menghadap Allah Dengan Qalbu yang Saliim
Saudara-saudaraku sekalian, marilah kita bersihkan hati-hati kita dari dosa-dosa dan kesyirikan. Karena di hari kiamat nanti tidak akan bermanfaat lagi banyaknya harta dan keturunan. Berapapun harta yang anda punya, emas sebesar gunung atau bahkan sepenuh bumi sekalipun, itu semua tidak ada artinya jika anda berjumpa dengan-Nya tanpa hati yang bersih.
Begitu pula tidak ada artinya banyaknya anak cucu, walaupun mereka itu memiliki kedudukan dan jabatan-jabatan tertinggi di atas muka bumi, bila anda tidak menghadap-Nya dengan hati yang suci.
Allah ta’ala berfirman, “(ingatlah) Pada hari di mana tidak bermanfaat lagi harta dan keturunan, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. Asy-Syu’araa’: 88-89)
- Imam Ibnu Katsir berkata: “(hati yang selamat) artinya selamat dari dosa dan kesyirikan.”
- Sa’id bin Al Musayyib mengatakan: “Hati yang selamat adalah hatinya orang beriman, karena hati orang kafir dan munafik itu sakit…”
- Abu ‘Utsman an-Naisaburi mengatakan: “(hati yang selamat) adalah hati yang bersih dari bid’ah dan merasa tenteram dengan as-Sunnah.” (Tafsir Ibnu Katsir, III/48).
Gunakan Kesempatan Sebaik-Baiknya
Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: ‘Salah satu bukti kebijaksanaan takdir dan hikmah ilahiyah yaitu barang siapa yang meninggalkan sesuatu yang bermanfaat baginya, padahal memungkinkan baginya untuk memetik manfaat itu lantas dia tidak mau memetiknya, maka dia akan menerima cobaan berupa disibukkan dengan hal-hal yang mendatangkan madharat terhadap dirinya.
Barang siapa meninggalkan ibadah kepada Ar-Rahman (Allah), niscaya dia akan disibukkan dengan beribadah kepada berhala-berhala.
Barang siapa meninggalkan cinta, harap dan takut kepada Allah maka niscaya dia akan disibukkan dalam kecintaan kepada selain Allah, berharap dan takut karenanya. Barang siapa tidak menginfakkan hartanya dalam menaati Allah niscaya dia akan menginfakkannya dalam menaati syaitan.
Barang siapa meninggalkan merendahkan diri dan tunduk kepada Rabbnya niscaya dia akan dicoba dengan merendahkan diri dan tunduk kepada hamba.
Barang siapa meninggalkan kebenaran niscaya dia akan dicoba dengan kebatilan (Tafsir surat al-Baqarah ayat 101-103, Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 60-61).
Saudaraku, waspadalah !
Banyak orang yang mengira dirinya berada di atas kebaikan dan dia termasuk orang yang selamat dan pemilik kebahagiaan pada hari kiamat disebabkan apa yang dilihatnya berupa nikmat-nikmat Allah yang dicurahkan kepadanya selama di dunia sehingga dia mengatakan, “Seandainya bukan karena Allah ‘azza wa jalla ridha kepadaku niscaya Dia tidak akan menganugerahkan nikmat-nikmat ini”.
Si miskin ini meyakini kalau nikmat-nikmat ini datang dengan sebab kecintaan Allah kepadanya, dan dia merasa akan mendapat pemberian di akhirat yang lebih baik dari itu semua, padahal dia senantiasa bergelimang dalam kemaksiatan terhadap Allah, terjerumus dalam perkara-perkara yang diharamkan Allah dan ini merupakan sikap terperdaya/ghurur yang banyak manusia terjatuh ke dalamnya, bahkan kebanyakan masyarakat tertipu karenanya.
Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Apabila kamu melihat Allah ‘azza wa jalla melimpahkan kepada seorang hamba segala sesuatu yang disukainya di dunia sementara dia bergelimang kemaksiatan maka sesungguhnya itu adalah istidraaj” kemudian beliau membaca firman Allah ta’ala yang artinya, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka Kamipun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka telah bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al An’aam: 44) (Hadits riwayat Ahmad dan dishahihkan Al-Albani).
Sebagian ulama Salaf mengatakan, “Apabila kamu melihat Allah terus menurunkan nikmat-Nya kepadamu sementara kamu bergelimang kemaksiatan kepada-Nya maka waspadalah, karena sesungguhnya itu adalah istidraaj yang ditimpakan kepadamu”.
Allah ta’ala telah membantah orang yang menyimpan persangkaan seperti ini dengan firman-Nya yang artinya, “Adapun manusia jika Rabbnya mengujinya dengan memuliakannya dan memberikan nikmat kepadanya dia berkata Rabbku telah memuliakanku, adapun jika Rabbnya mengujinya dengan membatasi rizkinya dia berkata Rabbku telah menghinakan aku, sekali-kali tidak demikian.” (QS. Al Fajr : 15-17).
Artinya tidak semua orang yang Aku karuniai nikmat (duniawi) dan Aku lapangkan rezekinya pasti orang yang Aku muliakan, dan tidak setiap orang yang Aku uji dan Aku sempitkan rezekinya pasti orang yang Aku hinakan, akan tetapi sebenarnya Aku sedang menguji orang yang satu ini dengan nikmat-nikmat dan Aku memuliakan orang yang satunya dengan memberikan ujian kepadanya. (dinukil dari ‘Isyruuna ‘uqbatan fii thariiqil muslim).
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin.
Selesai disusun ulang,
Jum’at 9/1/1429, di Yogyakarta
Abu Mushlih Ari Wahyudi.
Semoga Allah mengampuninya.
***
http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/sosok-hamba-hamba-teladan-2.html
0 komentar:
Posting Komentar