Kiat Selamat dari Aliran Sesat

Oleh Ustadz Abu Muslih Ari Wahyudi

Pembaca yang dimuliakan Allah..
Setiap kita tentu tidak ingin tenggelam dalam penyimpangan. Oleh sebab itu semestinya kita menempuh jalan menuju keselamatan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan penjelasan mengenai pentingnya berpegang teguh dengan Sunnah/ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam demi menjaga diri dari berbagai penyimpangan.

Beliau berkata:

Sesungguhnya seorang hamba hanya akan bisa selamat dari penyimpangan-penyimpangan ini dengan senantiasa berpegang teguh dengan perintah Allah yang diajarkan oleh Rasul-Nya pada setiap waktu. Sebagaimana yang dikatakan oleh az-Zuhri: Para pendahulu kita mengatakan, “Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan.” Hal itu dikarenakan [kedudukan] Sunnah itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Malik rahimahullah, “Sunnah itu ibarat bahtera Nabi Nuh. Orang yang menaikinya selamat, sedangkan orang yang tertinggal darinya akan tenggelam.”

Ibadah, taat, istiqomah, menetapi jalan yang lurus dan ungkapan lain yang serupa memiliki satu maksud yang sama. Dan itu semua dibangun di atas dua pondasi:
  • Pertama: Tidak boleh disembah kecuali Allah.
  • Kedua: Allah disembah dengan perintah dan syari'at dari-Nya, bukan dengan bid'ah-bid'ah.
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Tuhannya dengan sesuatu apapun.” (QS. al-Kahfi: 110)

Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya),“Tidak demikian, akan tetapi barangsiapa yang menyerahkan wajahnya kepada Allah (ikhlas) dan dia berbuat ihsan, maka dia akan mendapatkan pahalanya di sisi Tuhannya, tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak akan merasa sedih.” (QS. al-Baqarah: 112)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya),“Siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang menyerahkan wajahnya kepada Allah dan dia berbuat ihsan, dan dia mengikuti agama Ibrahim yang lurus, dan Allah pun mengangkat Ibrahim sebagai kekasih-Nya.” (QS. an-Nisaa': 125)

Amal salih itulah yang dimaksud dengan perbuatan ihsan.
Itu pula yang dimaksud dengan mengerjakan kebaikan-kebaikan (al-hasanat). Sementara kebaikan-kebaikan itu ada pada segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Kebaikan itu adalah segala yang diperintahkan oleh-Nya, baik perintah yang wajib maupun yang sunnah.

Bid'ah apa pun yang ditambahkan ke dalam agama ini, yang tidak berlandaskan al-Kitab maupun Sunnah yang sahih, sesungguhnya itu semua -siapapun yang berpendapat dan beramal dengannya- bukanlah sesuatu yang disyari'atkan; karena Allah tidak mencintainya, demikian juga Rasul-Nya. Oleh sebab itu perkara-perkara semacam itu tidak bisa disebut sebagai kebaikan (al-hasanat) dan tidak termasuk amal salih. Sebagaimana halnya, orang yang mengerjakan perkara-perkara yang tidak diperbolehkan seperti kekejian (al-fawahisy) dan penganiayaan/kezaliman, tidak dianggap kebaikan dan tidak tergolong amal salih.

Adapun firman Allah (yang artinya),“Dan dia tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Tuhannya dengan sesuatu apa pun.” (QS. al-Kahfi: 110). Dan firman-Nya (yang artinya), “Dia menyerahkan wajahnya kepada Allah.” (QS. al-Baqarah: 112). Maka itu semua maknanya adalah mengikhlaskan agama (ketaatan) kepada Allah semata.

Umar bin al-Khaththab sering berdoa, “Ya Allah jadikanlah amalku semuanya sebagai amal salih, jadikanlah ia ikhlas untuk mengharap wajah-Mu, dan janganlah Kau jadikan amal itu kutujukan kepada siapa pun (selain Engkau).”

al-Fudhail bin Iyadh mengomentari firman Allah ta'ala (yang artinya), “Dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2). Beliau menerangkan bahwa maksudnya adalah, “Amal yang paling ikhlas dan paling benar.” Teman-temannya berkata, “Wahai Abu Ali, apa yang dimaksud dengan amalan yang paling ikhlas dan paling benar itu?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya amalan apabila ikhlas akan tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima. Demikian juga apabila amal itu benar akan tetapi tidak ikhlas, maka tidak diterima, sampai amalan itu menjadi ikhlas dan benar. Amal yang ikhlas adalah yang ditujukan untuk Allah, sedangkan amal yang benar adalah yang tegak di atas Sunnah.”

[Diterjemahkan dari al-'Ubudiyah, tahqiq Muhammad bin Sa'id Ruslan, hal. 39-41]

Pelajaran yang bisa kita petik dari uraian beliau di atas, antara lain:
  1. Berpegang teguh dengan perintah Allah adalah sumber keselamatan.
  2. Ibadah yang diperintahkan oleh Allah harus ikhlas ditujukan kepada-Nya dan sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
  3. Bid'ah adalah perkara yang tercela dan merusak agama
  4. Amalan bid'ah tidak diterima di sisi Allah ta'ala
  5. Kebaikan diukur dengan kecintaan Allah dan Rasul-Nya
  6. Perintah Allah itu ada 2: wajib dan sunnah, sedangkan bid'ah bukan perintah Allah, maka tidak ada bid'ah yang wajib atau bid'ah yang sunnah, semua bid'ah adalah sesat
  7. Bid'ah adalah perkara yang dibenci oleh Allah
  8. Hendaknya kita berdoa kepada Allah agar menjadikan amal kita ikhlas kepada Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi-Nya
  9. Orang yang paling baik amalnya adalah yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
  10. Ikhlas dan mutaba'ah (kesesuaian dengan tuntunan) itu bertingkat-tingkat, ada yang baik, ada yang lebih baik, dan ada yang terbaik.
sumber : http://www.facebook.com/#!/note.php?note_id=10150242919516123


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger