Syubhat :
Assalamu’alaikum. Ustadz saya mau tanya adakah hukum di kristen tentang larangan makan babi, saya pernah dengar katannya ada, untuk menyanggah fitnah teman yang kebetulan kristen, dia selalu tanya “kenapa kalian tidak boleh makan babi”. Dan “katanya nabimu dulu senang makan babi sehinga kalian sekarang gak boleh makan,” mohon bantu jawab fitnah ini… wassalamu ‘alaikum. wr. wb. (IVAN, Batam).
Jawab :
Jawab :
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuhu.
Kita tidak boleh memakan babi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya. Allah Sang Pencipta telah memberitahukan bahwa hewan itu najis, tidak halal bagi seorang muslim untuk memakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu najis (kotor)…” (QS. Al-An’am (6): 145).
Tidak disebutkan di dalam syari’at alasan khusus pengharaman daging babi selain firman-Nya: “Karena sesungguhnya itu adalah najis”. Dan najis itu mutlak kepada apa yang dipandang buruk oleh syari’at dan fitrah yang lurus, dan alasan ini saja sudah cukup.
Terdapat juga alasan umum yang mencakup daging babi dan selainnya dari makanan-makanan yang diharamkan, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“… dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al-A’raf (7): 157).
Maka, segala yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah buruk, dan perkara-perkara yang khabits (kotor, buruk) pada konteks ini adalah apa-apa yang di dalamnya mengandung kerusakan bagi kehidupan manusia dan pada kesehatannya, atau hartanya, atau dalam akhlaknya.
Belum pernah kaum muslimin pada masa salaf (masa dulu) mengetahui rincian menjijikannya babi, serta alasan pengharamannya. Hingga datang penemuan-penemuan modern yang menemukan bahwa pada babi terdapat faktor-faktor penyakit serta bakteri-bakteri yang membahayakan. Diantaranya adalah bahwa babi, daging yang dimakan oleh manusia akan melahirkan cacing berbahaya [footnote: Cacing pita yang hidup pada babi (T solium), panjang 2-7 meter bisa menular dan hidup dalam pembuluh darah manusia, dalam usus manusia. Bila menyebar ke otak, bisa mematikan.] yang benihnya ada di dalam daging babi. Kemudian tumbuh di dalam lambung manusia dengan bentuk yang tidak dapat diobati dengan obat cacing lambung. Bahkan cacing babi itu akan tumbuh di dalam daging manusia dengan bentuk yang kedokteran hingga hari ini belum mampu membebaskan manusia darinya setelah dia tertimpa penyakit itu. Dan itu akan membahayakan kehidupannya. Cacing itu diberi nama Treichine [footnote: Itu hanya salah satu dari penyakit akibat babi.
Kita tidak boleh memakan babi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya. Allah Sang Pencipta telah memberitahukan bahwa hewan itu najis, tidak halal bagi seorang muslim untuk memakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
Tidak disebutkan di dalam syari’at alasan khusus pengharaman daging babi selain firman-Nya: “Karena sesungguhnya itu adalah najis”. Dan najis itu mutlak kepada apa yang dipandang buruk oleh syari’at dan fitrah yang lurus, dan alasan ini saja sudah cukup.
Terdapat juga alasan umum yang mencakup daging babi dan selainnya dari makanan-makanan yang diharamkan, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“… dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al-A’raf (7): 157).
Maka, segala yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah buruk, dan perkara-perkara yang khabits (kotor, buruk) pada konteks ini adalah apa-apa yang di dalamnya mengandung kerusakan bagi kehidupan manusia dan pada kesehatannya, atau hartanya, atau dalam akhlaknya.
Belum pernah kaum muslimin pada masa salaf (masa dulu) mengetahui rincian menjijikannya babi, serta alasan pengharamannya. Hingga datang penemuan-penemuan modern yang menemukan bahwa pada babi terdapat faktor-faktor penyakit serta bakteri-bakteri yang membahayakan. Diantaranya adalah bahwa babi, daging yang dimakan oleh manusia akan melahirkan cacing berbahaya [footnote: Cacing pita yang hidup pada babi (T solium), panjang 2-7 meter bisa menular dan hidup dalam pembuluh darah manusia, dalam usus manusia. Bila menyebar ke otak, bisa mematikan.] yang benihnya ada di dalam daging babi. Kemudian tumbuh di dalam lambung manusia dengan bentuk yang tidak dapat diobati dengan obat cacing lambung. Bahkan cacing babi itu akan tumbuh di dalam daging manusia dengan bentuk yang kedokteran hingga hari ini belum mampu membebaskan manusia darinya setelah dia tertimpa penyakit itu. Dan itu akan membahayakan kehidupannya. Cacing itu diberi nama Treichine [footnote: Itu hanya salah satu dari penyakit akibat babi.
Diketahui bahwa Babi adalah sarang bakteri, virus dan penyakit:
- influenza (flu babi)
- Balantidium Dysentery
- Fasciolopsis Buski
- Taenia Solium (cacing pita)
- Ascaris (ular perut)
- Trichinella Spiralis
- Zoonoses].
Dari sini tampaklah hikmah pengharaman daging babi dalam Islam.
Telah disebutkan di dalam Ensiklopedi Larous Perancis (Larousse Encyclopedia Perancis), bahwa cacing menjijikkan tersebut (Treichine) akan berpindah ke manusia menuju jantung, kemudian berdiam di otot, terutama di dada, kerongkongan, mata dan diafragma. Kemudian embrionya akan tinggal terlindungi dengan vitalitasnya di dalam tubuh selama bertahun-tahun.
Dan tidak mungkin terpaku pada penemuan ini saja dalam alasan pengharaman, bahkan mungkin ilmu pengetahuan yang telah menemukan penyakit ini pada babi akan menemukan penyakit-penyakit lain di kemudian hari yang sekarang ini kita belum mengetahuinya. Karena itu, tidak akan diterima di dalam Islam pendapat orang yang mengatakan bahwa pemeliharaan babi jinak di masa sekarang dengan cara metode teknis pengawasan dalam pemeliharan, kandang, serta kediamannya mampu memberantas bakteri tersebut. Tatkala kami jelaskan bahwa nash syari’at itu mutlak dalam pengharaman, dan tanpa alasan, maka memungkinkan bahwa terdapat madharat lain bagi Babi yang belum ditemukan, dan ilmu pengetahuan terus menerus berkembang.
Hendaknya diperhatikan juga bahwa jika memungkinkan memelihara babi dengan metode teknik yang bisa menghilangkan penyakit tersebut, pada waktu atau tempat atau banyak tempat dari pusat-pusat peradaban dunia, maka sesungguhnya hal itu tidak mungkin dilakukan pada seluruh penjuru bumi. Dan hukum syar’i wajib sesuai dan cocok untuk seluruh manusia di seluruh tempat. Oleh karena itu, pengharaman tersebut bersifat umum dan menyeluruh; di mana dan kapan saja.
Adapun klaim bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam suka daging babi, maka itu adalah kedustaan yang nyata.
Saya ingin memberikan hadiah kepada orang-orang Nasrani secara umum, sebuah hadiah dari kitab suci mereka tentang kenajisan, dan jijiknya babi ini :
Markus (5:11-13) ‘Adalah di sana di lereng bukit sejumlah besar babi sedang mencari makan, lalu roh-roh itu meminta kepada-Nya, katanya: “Suruhlah kami pindah ke dalam babi-babi itu, biarkanlah kami memasukinya!” Yesus mengabulkan permintaan mereka. Lalu keluarlah roh-roh jahat itu dan memasuki babi-babi itu. Kawanan babi yang kira-kira dua ribu jumlahnya itu terjun dari tepi jurang ke dalam danau dan mati lemas di dalamnya.’.
Lihatlah juga nash-nash lain tentang kotornya babi, dan hinanya para pemeliharanya:
Matius (7:6) “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.”.
II Petrus (2:22) “Bagi mereka cocok apa yang dikatakan peribahasa yang benar ini: “Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya.”.
Adapun pengharaman babi maka perhatikan Leviticus (11: 4-8) Nevertheless these shall ye not eat of them that chew the cud, or of them that divide the hoof: as the camel, because he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he is unclean unto you. And the coney, because he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he is unclean unto you. And the hare, because he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he is unclean unto you. And the swine, though he divide the hoof, and be clovenfooted, yet he cheweth not the cud; he is unclean to you. Of their flesh shall ye not eat, and their carcase shall ye not touch; they are unclean to you. [footnote: Namun perhatikanlah distorsi penerjemahan pada edisi Terjemahan Resmi: ‘Tetapi inilah yang tidak boleh kamu makan dari yang memamah biak atau dari yang berkuku belah: unta, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah; haram itu bagimu. Juga pelanduk, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah; haram itu bagimu. Juga kelinci, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah, haram itu bagimu. Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.’ (Imamat 11: 4-8).
Terjemahan inipun dimentahkan dengan terjemahan bahasa sehari-hari: ‘Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak.’ (Imamat: 11:7)]*.
http://alhilyahblog.wordpress.com/2012/01/23/jawaban-tuduhan-tuduhan-buruk-kaum-nasrani-dan-orang-orang-kafir-terhadap-islam-bag-1/
Telah disebutkan di dalam Ensiklopedi Larous Perancis (Larousse Encyclopedia Perancis), bahwa cacing menjijikkan tersebut (Treichine) akan berpindah ke manusia menuju jantung, kemudian berdiam di otot, terutama di dada, kerongkongan, mata dan diafragma. Kemudian embrionya akan tinggal terlindungi dengan vitalitasnya di dalam tubuh selama bertahun-tahun.
Dan tidak mungkin terpaku pada penemuan ini saja dalam alasan pengharaman, bahkan mungkin ilmu pengetahuan yang telah menemukan penyakit ini pada babi akan menemukan penyakit-penyakit lain di kemudian hari yang sekarang ini kita belum mengetahuinya. Karena itu, tidak akan diterima di dalam Islam pendapat orang yang mengatakan bahwa pemeliharaan babi jinak di masa sekarang dengan cara metode teknis pengawasan dalam pemeliharan, kandang, serta kediamannya mampu memberantas bakteri tersebut. Tatkala kami jelaskan bahwa nash syari’at itu mutlak dalam pengharaman, dan tanpa alasan, maka memungkinkan bahwa terdapat madharat lain bagi Babi yang belum ditemukan, dan ilmu pengetahuan terus menerus berkembang.
Hendaknya diperhatikan juga bahwa jika memungkinkan memelihara babi dengan metode teknik yang bisa menghilangkan penyakit tersebut, pada waktu atau tempat atau banyak tempat dari pusat-pusat peradaban dunia, maka sesungguhnya hal itu tidak mungkin dilakukan pada seluruh penjuru bumi. Dan hukum syar’i wajib sesuai dan cocok untuk seluruh manusia di seluruh tempat. Oleh karena itu, pengharaman tersebut bersifat umum dan menyeluruh; di mana dan kapan saja.
Adapun klaim bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam suka daging babi, maka itu adalah kedustaan yang nyata.
Saya ingin memberikan hadiah kepada orang-orang Nasrani secara umum, sebuah hadiah dari kitab suci mereka tentang kenajisan, dan jijiknya babi ini :
Markus (5:11-13) ‘Adalah di sana di lereng bukit sejumlah besar babi sedang mencari makan, lalu roh-roh itu meminta kepada-Nya, katanya: “Suruhlah kami pindah ke dalam babi-babi itu, biarkanlah kami memasukinya!” Yesus mengabulkan permintaan mereka. Lalu keluarlah roh-roh jahat itu dan memasuki babi-babi itu. Kawanan babi yang kira-kira dua ribu jumlahnya itu terjun dari tepi jurang ke dalam danau dan mati lemas di dalamnya.’.
Lihatlah juga nash-nash lain tentang kotornya babi, dan hinanya para pemeliharanya:
Matius (7:6) “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.”.
II Petrus (2:22) “Bagi mereka cocok apa yang dikatakan peribahasa yang benar ini: “Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya.”.
Adapun pengharaman babi maka perhatikan Leviticus (11: 4-8) Nevertheless these shall ye not eat of them that chew the cud, or of them that divide the hoof: as the camel, because he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he is unclean unto you. And the coney, because he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he is unclean unto you. And the hare, because he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he is unclean unto you. And the swine, though he divide the hoof, and be clovenfooted, yet he cheweth not the cud; he is unclean to you. Of their flesh shall ye not eat, and their carcase shall ye not touch; they are unclean to you. [footnote: Namun perhatikanlah distorsi penerjemahan pada edisi Terjemahan Resmi: ‘Tetapi inilah yang tidak boleh kamu makan dari yang memamah biak atau dari yang berkuku belah: unta, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah; haram itu bagimu. Juga pelanduk, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah; haram itu bagimu. Juga kelinci, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah, haram itu bagimu. Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.’ (Imamat 11: 4-8).
Terjemahan inipun dimentahkan dengan terjemahan bahasa sehari-hari: ‘Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak.’ (Imamat: 11:7)]*.
http://alhilyahblog.wordpress.com/2012/01/23/jawaban-tuduhan-tuduhan-buruk-kaum-nasrani-dan-orang-orang-kafir-terhadap-islam-bag-1/
0 komentar:
Posting Komentar