Di antara sunnah Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- adalah ziarah kubur. Rasulullah n bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ
“Dulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah kalian ke kuburan karena itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat.” (HR. Muslim dari Buraidah bin Hushaib z). Dalam riwayat Abu Dawud:
وَلْتَزِدْكُمْ زِيَارَتُهَا خَيْرًا
“Ziarah kubur akan menambah kebaikan bagi kalian”.
Ziarah kubur adalah salah satu ibadah yang harus dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah -shalallahu 'alaihi wasallam- supaya diterima oleh Allah -subhanahu . Oleh karena itu, seseorang yang ingin menjaga agamanya, hendaknya mempelajari agamanya termasuk dalam masalah ziarah kubur, karena sekarang ini banyak orang yang terjatuh dalam penyimpangan ketika melaksanakan ziarah kubur.
Ziarah kubur adalah salah satu ibadah yang harus dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah -shalallahu 'alaihi wasallam- supaya diterima oleh Allah -subhanahu . Oleh karena itu, seseorang yang ingin menjaga agamanya, hendaknya mempelajari agamanya termasuk dalam masalah ziarah kubur, karena sekarang ini banyak orang yang terjatuh dalam penyimpangan ketika melaksanakan ziarah kubur.
Tujuan Ziarah Kubur
Tujuan ziarah kubur ada dua hal.
- Orang yang berziarah mendapatkan manfaat dengan mengingat mati dan orang yang telah mati. Dia akan mengingat bahwa tempat kembalinya bisa surga atau neraka. Ini adalah tujuan utama ziarah kubur.
- Berbuat baik kepada orang yang telah meninggal dengan mendoakan dan memintakan ampun untuk mereka. Manfaat ini hanya didapat ketika berziarah ke kuburan muslim. (Ahkamul Jana’iz, hlm. 239).
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t berkata, “Ketahuilah—semoga Allah l memberikan taufik kepada saya dan Anda semua—bahwa ziarah kubur ada tiga macam.
1. Ziarah yang syar’i
Ini yang disyariatkan dalam Islam. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar ziarah menjadi syar’i.
- Tidak melakukan safar dalam rangka ziarah. Dari Abu Sa’id al-Khudri z, Rasulullah n bersabda:
لَا تَشُدُّوا الرِّحَالَ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Janganlah kalian bepergian jauh melakukan safar kecuali ke tiga masjid: Masjidku ini, Masjidil Haram, dan Masjidil Aqsha.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah z).
- Tidak mengucapkan ucapan batil. Dari Buraidah z, Rasulullah n bersabda:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
“Aku dulu melarang kalian ziarah kubur, (sekarang) ziarahlah kalian ke kuburan.” (HR. Muslim). Dalam riwayat an-Nasa’i dengan lafadz:
وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُورَ فَلْيَزُرْ وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا
“Aku dulu melarang kalian berziarah kubur. Barang siapa yang ingin ziarah kubur silakan berziarah dan janganlah kalian mengucapkan hujran.”. Hujran adalah ucapan keji. Lihatlah, semoga Allah l merahmati Anda, Rasulullah n melarang kita mengucapkan ucapan keji dan batil ketika ziarah kubur. Ucapan apa yang lebih keji dan lebih batil daripada meminta/berdoa kepada mayit dan meminta perlindungan kepada mereka?.
- Tidak mengkhususkan waktu tertentu karena tidak ada dalilnya.
2. Ziarah bid’ah
Ziarah bid’ah adalah ziarah yang tidak memenuhi salah satu syarat di atas atau lebih.
3. Ziarah syirik
Pelaku ziarah ini terjatuh ke dalam perbuatan kesyirikan kepada Allah l, seperti berdoa kepada selain Allah l, menyembelih dengan nama selain Allah l, atau bernadzar untuk selain Allah l, dan sebagainya. (Dinukil dari al-Qaulul Mufid hlm. 192—194 dengan sedikit perubahan).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Ziarah kubur ada dua macam, syar’i dan bid’ah. Ziarah menjadi syar’i jika dilakukan dengan niat untuk memberi salam kepada si mayit dan mendoakan kebaikan untuknya, sebagaimana yang diniatkan ketika menshalatkan jenazahnya. Akan tetapi, ziarah ini tidak boleh dilakukan dengan safar (bepergian jauh). Ziarah bid’ah adalah jika orang yang melakukannya bertujuan meminta kebutuhannya kepada si mayit. Ini adalah syirik besar. Atau, dia berniat untuk berdoa di sisi kuburnya atau bertawasul dengannya. Semua perbuatan ini adalah bid’ah yang mungkar dan sarana yang mengantarkan kepada kesyirikan. Amalan ini bukanlah sunnah Rasulullah n. Di samping itu, tidak pernah dianjurkan oleh seorang pun dari kalangan salaf umat ini atau para imamnya.” (Lihat Taudhihul Ahkam 3/258).
Perbedaan Ziarah Kubur Orang Bertauhid dan Orang Musyrik
Ibnul Qayyim -rahimahullah- menerangkan perbedaan ziarah kubur muwahid (orang yang bertauhid) dan musyrik. Seorang muwahid melakukan ziarah kubur untuk tiga hal sebagai berikut.
- Mengingat akhirat, mengambil ibrah dan nasihat. Nabi n telah mengisyaratkan hal ini dengan sabdanya:
فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ
“Berziarahlah kalian ke kuburan karena itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat.”.
- Berbuat baik kepada mayit. Ini terwujud dengan dia mendoakan dan memintakan ampunan serta rahmat bagi penghuni kubur.
- Berbuat baik kepada diri sendiri. Dengan melakukan ziarah kubur, dia telah menjalankan dan mengamalkan sunnah Rasulullah n. Adapun ziarah kubur yang dilakukan seorang musyrik, asalnya adalah peribadatan kepada berhala (dengan mengharapkan syafaat dari penghuni kubur sebagaimana orang-orang musyrik terdahulu mengharapkan syafaat dari sesembahan mereka). (Disadur dari Ighatsatul Lahafan hlm. 288—290).
Beberapa Penyimpangan yang Terjadi dalam Ziarah Kubur
Syaikhul Islam -rahimahullah- menjelaskan bahwa pokok kesyirikan bermuara pada dua hal. Salah satunya adalah mengagung-agungkan kuburan orang saleh. Beliau t berkata, “Kesyirikan bani Adam seringkali bersumber dari dua hal pokok. Yang pertama adalah mengagungkan kubur orang saleh dan membuat patung atau gambar mereka dengan tujuan mencari berkah ….” (Majmu’ al-Fatawa, 17/460).
Di antara penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan ziarah kubur adalah sebagai berikut.
1. Meminta kepada penghuni kubur, bertawasul dengan penghuninya. Rasulullah n bersabda:
فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُورَ فَلْيَزُرْ وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا
“Barang siapa yang ingin berziarah kubur silakan berziarah namun janganlah berkata hujran.” (HR. Abu Dawud).
- Al-Imam Nawawi t berkata, “Al-Hujra adalah ucapan batil. Dahulu mereka dilarang berziarah kubur karena mereka baru meninggalkan masa jahiliah. Dikhawatirkan mereka akan mengucapkan ucapan-ucapan jahiliah ketika berziarah kubur. Ketika fondasi Islam telah mantap, hukum-hukumnya telah kokoh, dan rambu-rambunya telah tampak, mereka pun dibolehkan berziarah kubur. Namun, Rasulullah n masih menjaga mereka dengan sabdanya, ‘Janganlah kalian mengucapkan hujran’.”
- Asy-Syaikh al-Albani t berkata, “Tidak diragukan lagi bahwasanya berdoa kepada penghuni kubur—yang dilakukan orang-orang awam dan selain mereka ketika ziarah kubur—, meminta tolong kepada mereka, serta meminta kepada Allah l dengan hak penghuni kubur (tawasul) adalah ucapan dan perbuatan hujran yang paling besar. Para ulama wajib menjelaskan hukum Allah l dan menerangkan ziarah kubur yang benar kepada mereka.” (Ahkamul Janaiz, hlm. 227—228).
2. Mengkhususkan waktu tertentu
Banyak fatwa para ulama tentang tidak bolehnya mengkhususkan ied (hari raya) atau bulan Ramadhan untuk berziarah kubur.
- Ada sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t, “Apa hukum mengkhususkan hari raya dan hari Jum’at untuk berziarah kubur?”. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t menjawab, “Pengkhususan hari Jum’at dan ied untuk berziarah kubur tidak ada asalnya di dalam sunnah. Pengkhususan ziarah kubur pada hari ied dan keyakinan bahwa hal itu disyariatkan, teranggap sebagai perbuatan bid’ah….” (kutipan dari Fatawa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin 17/286 pertanyaan no. 259).
- Ditanyakan pula kepada Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t, “Apa hukum mengkhususkan hari Jum’at untuk berziarah kubur?”. Beliau t menjawab, “Hal tersebut tidak ada asalnya dalam syariat. Yang disyariatkan adalah berziarah kubur kapan pun waktunya yang mudah bagi yang mau berziarah, baik malam maupun siang hari". Pengkhususan pagi atau malam tertentu (untuk berziarah) adalah perbuatan bid’ah yang tidak ada asalnya dalam syariat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah n:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan agama kami yang bukan darinya maka tertolak.” [1]. Dalam riwayat Muslim:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengamalkan satu amalan yang tidak ada padanya ajaran kami maka tertolak.” (HR. Muslim dari Aisyah x). (Fatawa asy-Syaikh Ibnu Baz, 13/336).
3. Membaca Al-Qur’an.
- Asy-Syaikh al-Albani berkata, “Membaca Al-Qur’an ketika ziarah kubur tidak ada dasarnya (contohnya) dalam sunnah Rasulullah n.”
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata dalam kitabnya Iqtidha Shirathil Mustaqim, “Tidak ada ucapan al-Imam asy-Syafi’i dalam masalah ini, karena amalan ini adalah bid’ah menurut beliau. Al-Imam Malik t berkata, ‘Aku tidak pernah tahu ada seorang pun melakukannya.’ Ini menunjukkan bahwa para sahabat dan tabi’in tidak melakukannya.” (Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 241—242).
4. Menabur bunga
Asy-Syaikh al-Albani berkata, “Tidak disyariatkan meletakkan daun wewangian dan bunga-bungaan di atas kuburan, karena hal ini tidak pernah dilakukan oleh salaf. Seandainya itu adalah baik, niscaya mereka melakukannya. Ibnu Umar z berkata, ‘Semua bid’ah adalah sesat, walaupun orang-orang menganggapnya baik’.” (Ahkamul Janaiz, hlm. 258).
5. Syaddu rihal (melakukan safar).
Rasulullah n pernah berkata,
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ، الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Tidak boleh melakukan bepergian jauh (demi ibadah di tempat tersebut dengan anggapan mulianya tempat tersebut) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidir Rasul, dan Masjidil Aqsha.” (HR. al-Bukhari). Asy-Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani menganggap safar untuk berziarah ke kuburan nabi atau orang saleh sebagai bid’ah. (Ahkamul Janaiz hlm. 229).
6. Membaca Surah Yasin di Kuburan
Asy-Syaikh al-Albani menyebutkan bahwa membacakan surah Yasin di kuburan termasuk salah satu bid’ah ziarah kubur. (Ahkamul Janaiz hlm. 225).
Adapun hadits, “Barang siapa yang masuk pekuburan dan membaca surat Yasin, Allah l akan meringankan mereka dan mereka mendapatkan kebaikan sebanyak yang terdapat dalam surat tersebut,” asy-Syaikh al-Albani memasukkanya dalam Silsilah adh-Dha’ifah (no. 1246).
7. Ikhtilath (campur-baur lelaki dan wanita yang bukan mahram)
Ini adalah sesuatu yang tidak bisa diingkari adanya, padahal Rasulullah n bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan fitnah (godaan) bagi laki-laki yang lebih berbahaya daripada wanita.” (HR. Muslim).
8. Tabaruj wanita
Allah l berfirman: “Dan hendaklah kalian (wahai para wanita) tetap tinggal di rumah kalian dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (al-Ahzab: 33). Asy-Syaikh Muhammad al-Imam t berkata, “Jika ikhtilath dan tabaruj berkumpul maka yang menyertainya adalah zina.” (Tahdzirus Shalihin minal Ghuluw fi Quburis Shalihin hlm. 46).
9. Seringnya wanita berziarah kubur
Seorang wanita dibolehkan berziarah kubur, namun tidak boleh sering-sering melakukannya. Alasan yang menunjukkan mereka boleh berziarah kubur adalah sebagai berikut.
- Keumuman sabda Rasulullah n
- Mereka juga butuh mengingat akhirat
- Nabi n memberikan rukhsah (keringanan) sebagaimana dalam hadits Aisyah x.
- Nabi n membiarkan seorang wanita yang sedang berada di kuburan.
Adapun dalil yang menunjukkan mereka tidak boleh sering berziarah kubur adalah sabda Rasulullah n:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ
“Rasulullah n melaknat (dalam lafadz lain: Allah l melaknat) wanita yang sering berziarah kubur.” (HR. Ahmad).
10. Wanita melakukan safar tanpa mahram
Seorang wanita tidak diperbolehkan melakukan safar sendirian walaupun untuk melaksanakan ibadah. Dari Ibnu Abbas z, Rasulullah n berkata dalam khutbahnya:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ. فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ امْرَأَتِي
خَرَجَتْ حَاجَّةً وَإِنِّي اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ
“Janganlah seorang lelaki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali bersama mahramnya, dan janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahramnya.” Seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku hendak pergi menunaikan haji, padahal aku telah ditulis hendak berangkat perang ini dan itu.” Rasulullah n bersabda, “Berangkatlah haji bersama istrimu.” [2] (Muttafaqun ‘alaih).
11. Meninggalkan shalat (lihat Tahdzir Muslimin)
12. Bertaubat kepada ahli kubur
13. Haji ke kuburan.
14. Meminta izin kepada penghuni kubur
Asy-Syaikh Muhammad al-Imam menerangkan, di antara praktik para dai kuburi yang mendorong umat mengagungkan kuburan adalah mengikat pengikut mereka dengan kuburan melalui cara:
- Bertaubat kepada penghuni kubur.
- Haji ke kuburan.
- Meminta izin kepada penghuni kubur ketika hendak melakukan satu amalan. (Tahdzirul Muslimin hlm. 43).
Mengagungkan Kubur adalah Muslihat Setan
Ibnul Qayim -rahimahullah- berkata, “Di antara tipudaya setan yang paling besar adalah memilihkan kuburan yang diagungkan manusia dan menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah l.” (Ighatsatul Lahafan hlm. 279).
Kemungkaran di Kuburan
Ibnu Taimiyah -rahimahullah- menerangkan bahwa perbuatan bid’ah di kuburan itu bertingkat-tingkat.
- Yang paling jauh dari syariat adalah meminta kebutuhan dan perlindungan kepada mayit, sebagaimana dilakukan banyak orang.
- Tingkatan kedua adalah meminta kepada Allah l melalui penghuni kubur (tawasul dengan mayit). Ini sering dilakukan oleh orang-orang belakangan. Amalan tersebut adalah bid’ah menurut kesepakatan kaum muslimin
- Tingkatan ketiga adalah sangkaan bahwa berdoa di sisi kubur itu mustajab atau lebih afdhal daripada di masjid. Ini juga kemungkaran yang bid’ah menurut kesepakatan muslimin. (Diringkas dari Ighatsatul Lahafan hlm. 287).
Sebab Terjadinya Penyembahan Kubur
Jika ditanyakan: Apa yang menyebabkan para penyembah kubur terjatuh dalam perbuatan mereka, padahal mereka tahu bahwa penghuninya adalah orang mati?. Jawabannya ada beberapa hal.
- Mereka tidak mengetahui hakikat syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad n dan seluruh rasul.
- Hadits-hadits palsu yang diatasnamakan Rasulullah n, seperti hadits, “Barang siapa yang tertimpa kesulitan hendaknya dia meminta kepada penghuni kubur.”
- Cerita dan kisah dusta yang dipromosikan untuk menarik orang datang ke kuburan tertentu. Misalnya, ada seseorang beristighatsah kepada kubur tertentu ketika tertimpa kesusahan, lalu dia pun mendapat jalan keluar. Demikian pula cerita-cerita dusta lainnya. (Lihat Ighatsatul Lahafan karya Ibnul Qayim).
Hati-hati dari Tipu Muslihat Penyeru Peribadatan kepada Kuburan
Di antara sebab terjadinya penyimpangan dalam ziarah kubur adalah ajaran yang didapatkan oleh sebagian orang dari para dai yang mengajak mengagungkan kuburan.
Secara global penyeru kepada kesesatan dalam masalah kubur ada dua, dari kalangan jin dan dari kalangan manusia. Yang dari kalangan manusia ada dua kelompok:
- Kelompok dari dalam umat Islam, - diantaranya- Tukang sihir, Dukun, Ahli nujum, Ahlul bid’ah dari kalangan kuburiyun.
- Kelompok dari luar umat, yaitu orang-orang kafir Yahudi, Majusi, Nasrani, Hindu, dan lainnya. (Diringkas dari Tahdzirul Muslimin hlm. 20—22).
Dengan Apa Kita Melawan Kesyirikan?
Bahaya syirik yang terus mengancam mengharuskan kita menjaga diri dan melakukan perlawanan terhadap kesyirikan. Lantas, apa yang harus dilakukan?.
Asy-Syaikh Muhammad al-Imam t menerangkan, “Yang paling wajib dilakukan oleh seorang muslim dan muslimah adalah menjauhkan diri dari kesyirikan dan faktor pendorong kepada kesyirikan. Hal ini tidak akan tercapai melainkan dengan menempuh beberapa hal berikut: mempelajari tauhid, menjauhi syirik, mengenal dai tauhid, membaca kitab-kitab yang bermanfaat (Diringkas dari Tahdzirul Muslimin hlm. 72—73).
Semoga Allah -subhanahu wataala- memberikan kekuatan dan hidayah kepada kita dalam menjauhkan diri dan memerangi berbagai kesyirikan serta kemaksiatan. Amin.
Catatan Kaki:
[1]. HR. al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718.
[2]. Dalam riwayat lain:
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ عَلَيْهَا
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan satu hari satu malam kecuali bersama mahramnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Asy-Syaikh Ahmad Syakir berkata, “Hadits ini adalah salah satu pokok Islam yang agung dalam menjaga dan memelihara wanita dari ancaman yang akan merusak akhlaknya dan mencacati kehormatannya, karena wanita itu lemah, mudah terpengaruh. Akalnya (mudah) dipermainkan sehingga terkalahkan oleh syahwatnya.” (Musnad Ahmad ta’liq hadits no. 4615).
Siapakah mahram yang boleh menemani wanita dalam safar? Al-Imam an-Nawawi t berkata dalam Syarh Shahih Muslim (9/112—113), “Seorang wanita boleh bepergian safar bersama mahramnya dari nasab seperti anak, saudara laki-laki, anak laki-laki (keponakan) dari saudaranya yang laki-laki, anak laki-laki (keponakan) dari saudaranya yang perempuan, paman dari bapak, dan paman dari ibu. Atau, bersama mahramnya karena susuan seperti saudara susu laki-laki, anak lelaki dari saudara sesusuan yang pria, anak lelaki dari saudara sesusuan yang wanita, dan semisalnya. Atau bersama mahram dari perkawinan seperti ayah suaminya (mertua) dan anak lelaki suaminya (anak tiri).
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 062.
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak.
0 komentar:
Posting Komentar