Alawi bin Abdul Qadir AS Saqaf.
Pertanyaan :
Apa dalil atas keharaman safar untuk menziarahi kubur Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam.? Padahal Hadits (لا تشد الرحال ..) bermakna umum, termasuk Safar untuk menuntut ilmu, berdagang, dll, Apakah keharamannya pernah dikatakan oleh ulama sebelum Ibnu Taimiyah? Apakah pendapat tersebut ditaklidi oleh Mutaakhirin selain ulama Nejd?.
Jawaban :
Alhamdulillah.
Pertama, harus dibedakan antara ziarah kubur dan Safar menuju kuburan. Begitu juga antara menziarahi kubur Nabi Shollallahu Alaihi Wa aalihi Wasallam dan Safar menuju kubur nabi Shollallahu Alaihi Wasallam yang diungkapkan dengan istilah شدّ الرحال . Ziarah kubur adalah adalah sebuah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza Wajalla dan merupakan sebuah perintah sesuai dengan Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. “Berziarah kuburlah kalian, Sesunggahnya Ziarah tersebut mengingatkan kalian kepada akhirat”. Dikeluaran Oleh Imam Muslim dalam Sohihnya.
Adapun kubur Nabi, sekalipun tidak ada satupun hadits sohih bahkan hadits Hasan yang menetapkan Fadhilah menziarahinya secara khusus, bahkan semua hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan Fadhilah menziarahi Kubur Nabi shollallahu Alaihi Wasallam adalah sangat Sangat dhoif atau maudhu yang tidak ada asalnya, Namun menziarahi kubur nabi Shollallaahu Alaihi Wasallam termasuk Prioritas keumuman utama dalam hadits-hadits Umum yang menerangkan tentang Fadhilah ziarah kubur.
Jika anda telah mengetahui hal tersebut, maka ketahuilah bahwasanya banyak ulama Mutaakhirin yang membolehkan dan menganjurkan untuk Safar dalam rangka berziarah kekubur Nabi Shollallahu Alaihi wa alihi Wasallam. Bahkan Sebagian dari mereka mewajibkannya. Tetapi para pendahulu mereka, terutama para Sahabat dan tabiin, tidak dinukil satupun dari mereka melakukannya atau membolehkannya.
Sumber perselisihan antar ulama Mutaakhirin adalah pemahaman mereka seputar hadits :
((لا تُشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد))
Artinya:” tidaklah suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid” diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dan Pada Riwayat lain “Janganlah kalian mempersiapkan perjalanan (bersafar)”.
Orang-orang yang membolehkan (Safar untuk berziarah,pent) mengatakan bahwa makna hadits tersebut adalah “Tidaklah suatu perjalanan kesuatu masjid diadakan kecuali ke tiga masjid ini”. Berdasarkan makna tersebut maka boleh melakukan safar ke tempat manapun seperti kubur wali atau Nabi untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wataala. Mereka juga menyamakannya dengan safar untuk tujuan menuntut ilmu atau apapun yang termasuk kepentingan duniawi dan Akhirat.
Adapun para Ulama yang melarangnya mengatakan bahwa makna hadits tersebut adalah “janganlah diadakan perjalanan ketempat apapun untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza Wajalla, kecuali menuju tiga masjid ini”. Hujjah mereka adalah jika bersafar ke masjid (selain tiga msjid,pent) yang merupakan tempat yang paling baik dibumi, rumah Allah, dan yang paling dicintai Allah itu dilarang, maka Tempat-tempat lain pasti lebih terlarang. Adapun jenis-jenis safar yang lain, baik untuk menuntut ilmu atau lainnya, maka hal itu tidak termasuk safar untuk menuju tempat tertentu, tetapi safar untuk tujuan (qasad) atau maksud tertentu.
Tidak diragukan lagi, bagi siapapun yang merenungkan dua pendapat diatas dengan adil dan jujur, maka akan jelaslah baginya kekuatan hujjah para Ulama yang melarang, dan juga kebenaran pemahaman mereka terhadap hadits tersebut. Kalaupun tidak, maka berdasarkan pemahaman ulama-ulama yang membolehkan, niscaya Safar menuju Masjid Quba terlarang, karena bukan termasuk Masjid yang tiga, tetapi jika ditakdirkan ada kuburan salah seorang yang sholeh disamping Masjid Quba, maka safar ke Masjid Quba menjadi boleh. Dan ini merupakan pemahaman yang tidak konsisten.
Adapun yang menunjukkan hal tersebut adalah pemahaman Ibnu Umar Radhiyallaahu anhuma. Dari Qaz’ah dia berkata: aku bertanya kepada Ibnu Umar Rodhiyallaahu. “ Apakah engkau mendatangi bukit thur? maka beliau menjawab: “tinggalkan bukit Thur dan janganlah engkau mendatanginya, Kemudian beliau berkata “:” tidaklah suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid”. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan Sanad yang Sohih. Sebagian dari mereka membatasi kebolehannya hanya untuk tujuan kubur Nabi Shollallaahu Alaihi Wasallam, namun mereka tidak memiliki dalil.
Adapun pertanyaaan anda, apakah hal tersebut pernah diharamkan oleh ulama Sebelum Ibnu Taimiyah? Maka Jawabannya adalah “yah”.
Syaikhul Islam Wafat tahun 728 Hijriah, sedangkan Safar untuk menziarahi kuburan telah diharamkan oleh :
Imam Malik bin Anas berkata: Barang Siapa bernazar untuk melakukan perjalanan ke suatu masjid untuk sholat didalamnya, maka aku membencinya, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “tidak diadakan perjalanan Kecuali menuju Tiga Masjid”. Berkata Ibnu Suraij -Termasuk pembesar mazhab Syafii- sesungguhnya Ziarah adalah amalan untuk mendekat diri (qurbah) yang bisa dinazarkan. Perbincangan ini ringan, yang tidak mentolerirnya merupakan orang-orang hasud dan fanatik buta.. lagipula, mencerca dalam masalah-masalah khilaf itu terlarang.
Adapun Imam Nawawi, Ibnu Hajar, Ibnu Qudamah, dan selain dari mereka telah berpendapat untuk memperbolehkan, dan banyak dari kalangan mutaakhirin yanag berpendapat demikian. Tetapi yang dibicarakan disini adalah jawaban terhadap pertanyaan anda “Apakah ada orang lain yang mengharamkan sebelum Ibnu Taimiyah? Dan Jawabannya telah anda ketahui.
Adapun pertanyaan anda, “Apakah Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut diikuti oleh selain Ulama Nejd? ”.
Aku yakin setelah anda mengetahui bahwa Ibnu Taimiyah bukan orang pertama yang mengatakan haramnya safar untuk berziarah kubur maka jelas bagi anda bahwa pointnya bukanlah taqlid kepada Ibnu Taimiyah, tetapi ittiba kepada dalil yang dipahami banyak ulama sebelum Ibnu Taimiyah. Namun ketenaran Ibnu Taimiyah dan kedudukannya, begitu pula keinginan musuh untuk mendeskreditkannya serta kampanye mereka bahwasanya ibnu Taimiyah adalah orang pertama yang berpendapat seperti itu, maka masyhurlah Ibnu Taimiyah sebagai pencetus fatwa Tersebut.
Oleh karena itu maka jawabannya adalah “Yah”.
Ada Ulama yang berpendapat Seperti Ibnu Taimiyah, dan itu banyak, diantaranya:
Jika anda telah mengetahui, maka ketahuilah bahwasanya aku telah menampilkan dalil-dalil yang dijadikan penguat oleh kedua belah pihak, namun tidak diterima oleh keduanya, dan daftar perbedaan sebagaimana yang telah aku sebutkan kepadamu.
Adapun dalil-dalill ulama yang membolehkan adalah Hadits-hadits seputar menziarahi kubur nabi kita Shallallahu Alaihi Wasallam sedangkan hadits tersebut Semuanya Dhaif yang sama sekali tidak sah, kalaupun Sah, hadits tersebut tidak Relevan dengan point perdebatan. Diantara hadits Tersebut adalah ” Bilal Radiyallahu anhu melihat nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dalam mimpinya, sedangkan ia di Syam. Dalam Mimpinya Rasulullah berkta padanya: kekasaran apa ini Wahai bilal? Bukankan tiba saatnya bagimu untuk mengunjungiku wahai bilal? Maka ia pun terbangun dengan sedih kemudian ia mengendarai kendaraanya menuju Madinah”.
Ibnu hajar berkata : Ini adalah kisah yang jelas kepalsuannya.
Adapun diantara dalil para pelarang yang aku tampilkan adalah Atsar Abu Basrah Al ghifari dan pengingkarannya terhadap Abu Khurairah Radhiyallahu anhu tentang kepergiannya ke Thur. Riwayat-riwayat atsar tersebut telah diteliti, aku mendapati tidak ada relevansi dengan point perdebatan. Kepergian Abu Khurairah hanya kesuatu masjid disana kemudian ia berpapasan dengan Abu Basrah setelah itu.
http://www.dorar.net/art/281
photo credit: creativsam @flickr.com.
sumber : http://syaikhulislam.wordpress.com/2009/07/31/hukum-safar-untuk-menziarahi-kubur-nabi-shollallahu-alaihi-wasallam/
Pertanyaan :
Apa dalil atas keharaman safar untuk menziarahi kubur Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam.? Padahal Hadits (لا تشد الرحال ..) bermakna umum, termasuk Safar untuk menuntut ilmu, berdagang, dll, Apakah keharamannya pernah dikatakan oleh ulama sebelum Ibnu Taimiyah? Apakah pendapat tersebut ditaklidi oleh Mutaakhirin selain ulama Nejd?.
Jawaban :
Alhamdulillah.
Pertama, harus dibedakan antara ziarah kubur dan Safar menuju kuburan. Begitu juga antara menziarahi kubur Nabi Shollallahu Alaihi Wa aalihi Wasallam dan Safar menuju kubur nabi Shollallahu Alaihi Wasallam yang diungkapkan dengan istilah شدّ الرحال . Ziarah kubur adalah adalah sebuah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza Wajalla dan merupakan sebuah perintah sesuai dengan Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. “Berziarah kuburlah kalian, Sesunggahnya Ziarah tersebut mengingatkan kalian kepada akhirat”. Dikeluaran Oleh Imam Muslim dalam Sohihnya.
Adapun kubur Nabi, sekalipun tidak ada satupun hadits sohih bahkan hadits Hasan yang menetapkan Fadhilah menziarahinya secara khusus, bahkan semua hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan Fadhilah menziarahi Kubur Nabi shollallahu Alaihi Wasallam adalah sangat Sangat dhoif atau maudhu yang tidak ada asalnya, Namun menziarahi kubur nabi Shollallaahu Alaihi Wasallam termasuk Prioritas keumuman utama dalam hadits-hadits Umum yang menerangkan tentang Fadhilah ziarah kubur.
Jika anda telah mengetahui hal tersebut, maka ketahuilah bahwasanya banyak ulama Mutaakhirin yang membolehkan dan menganjurkan untuk Safar dalam rangka berziarah kekubur Nabi Shollallahu Alaihi wa alihi Wasallam. Bahkan Sebagian dari mereka mewajibkannya. Tetapi para pendahulu mereka, terutama para Sahabat dan tabiin, tidak dinukil satupun dari mereka melakukannya atau membolehkannya.
Sumber perselisihan antar ulama Mutaakhirin adalah pemahaman mereka seputar hadits :
((لا تُشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد))
رواه البخاري ومسلم،
وفي رواية عند مسلم
وفي رواية عند مسلم
((لا تشدوا))
Artinya:” tidaklah suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid” diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dan Pada Riwayat lain “Janganlah kalian mempersiapkan perjalanan (bersafar)”.
Orang-orang yang membolehkan (Safar untuk berziarah,pent) mengatakan bahwa makna hadits tersebut adalah “Tidaklah suatu perjalanan kesuatu masjid diadakan kecuali ke tiga masjid ini”. Berdasarkan makna tersebut maka boleh melakukan safar ke tempat manapun seperti kubur wali atau Nabi untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wataala. Mereka juga menyamakannya dengan safar untuk tujuan menuntut ilmu atau apapun yang termasuk kepentingan duniawi dan Akhirat.
Adapun para Ulama yang melarangnya mengatakan bahwa makna hadits tersebut adalah “janganlah diadakan perjalanan ketempat apapun untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza Wajalla, kecuali menuju tiga masjid ini”. Hujjah mereka adalah jika bersafar ke masjid (selain tiga msjid,pent) yang merupakan tempat yang paling baik dibumi, rumah Allah, dan yang paling dicintai Allah itu dilarang, maka Tempat-tempat lain pasti lebih terlarang. Adapun jenis-jenis safar yang lain, baik untuk menuntut ilmu atau lainnya, maka hal itu tidak termasuk safar untuk menuju tempat tertentu, tetapi safar untuk tujuan (qasad) atau maksud tertentu.
Tidak diragukan lagi, bagi siapapun yang merenungkan dua pendapat diatas dengan adil dan jujur, maka akan jelaslah baginya kekuatan hujjah para Ulama yang melarang, dan juga kebenaran pemahaman mereka terhadap hadits tersebut. Kalaupun tidak, maka berdasarkan pemahaman ulama-ulama yang membolehkan, niscaya Safar menuju Masjid Quba terlarang, karena bukan termasuk Masjid yang tiga, tetapi jika ditakdirkan ada kuburan salah seorang yang sholeh disamping Masjid Quba, maka safar ke Masjid Quba menjadi boleh. Dan ini merupakan pemahaman yang tidak konsisten.
Adapun yang menunjukkan hal tersebut adalah pemahaman Ibnu Umar Radhiyallaahu anhuma. Dari Qaz’ah dia berkata: aku bertanya kepada Ibnu Umar Rodhiyallaahu. “ Apakah engkau mendatangi bukit thur? maka beliau menjawab: “tinggalkan bukit Thur dan janganlah engkau mendatanginya, Kemudian beliau berkata “:” tidaklah suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid”. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan Sanad yang Sohih. Sebagian dari mereka membatasi kebolehannya hanya untuk tujuan kubur Nabi Shollallaahu Alaihi Wasallam, namun mereka tidak memiliki dalil.
Adapun pertanyaaan anda, apakah hal tersebut pernah diharamkan oleh ulama Sebelum Ibnu Taimiyah? Maka Jawabannya adalah “yah”.
Syaikhul Islam Wafat tahun 728 Hijriah, sedangkan Safar untuk menziarahi kuburan telah diharamkan oleh :
- Malikiyah : Imam Malik (wafat tahun 179 Hijriah) dan Qadhi Iyadh (Wafat tahun 544 Hijriah)
- Syafiiyah : Abu Muhammad Al Juwaini (Wafat tahun 438 Hijriah), Ibnul Atsir pengarang kitab Jamiul ushul (wafat tahun 606 Hijriah)
- Hanabilah : Ibnu Batthah Al Akbari (wafat tahun 387 Hijriah), Ibnu Aqil (Wafat tahun 513 Hijriah) dan lain-lain.
- Al Manawi berkata didalam Syarahnya terhadap Jamius Shagir (6/140):”… apa yang dinukil dari Malik adalah pelarangan mengadakan Safar semata-mata hanya untuk menziarahi kubur tanpa tujuan mendatangi masjid untuk sholat didalamnya.”
- Ibnu Batthah berkata dalam Kitab Al Ibanah As Shugra hal.92 :”termasuk bid’ah adalah mendirikan bangunan diatas kubur, memplester, dan mengadakan perjalanan untuk menziarahinya.”
- Imam Nawawi berkata dalam Syarahnya terhadap Sohih Muslim (9/106) “ Para Ulama berselisih tentang mengadakan perjalanan menuju selain tiga masjid, seperti bepergian ke kubur orang-orang Soleh, tempat-tempat yang keramat, dll. Berkata Ashab kami Abu Muhammad AlJuwaini, yang demikian adalah haram Itulah yang diisyaratkan Oleh Qadhi Iyadh Sebagai Pilihannya. Selesai”
- Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 3/165 ketika ia menjelaskan Hadits ((لا تشد الرحال )) “Syaikh Abu Muhammad Al Juwaini berkata : diharamkan mengadakan Perjalanan menuju Selain tiga masjid berdasarkan pengamalan dzohir hadits. Qadhi Husain mengisyaratkan Pilihannya, dan berpendapat seperti itu juga Iyadh dan kelompoknya.”
- Ibnu Qudamah berkata didalam Kitab AlMughni 2/100 : “Sesungguhnya Safar untuk mengunjungi kuburan dan Pemandangan, maka berkata Ibnu Aqil “ tidak diperbolehkan mengambil keringanan karena hal tersebut terlarang , Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam bersabda “Janganlah kalian mengadakan Perjalanan kecuali menuju tiga masjid ini. Muttafaq alaih. Selesai”
- Ibnu Atsir berkata dalam Kitab Jamiul Ushul 9/283 pada syarah hadits “((لا تشد الرحال)) : “ini semisal perkataan seseorang (لا تعمل المطي) jangan melakukan perjalan , dinamai dengan hal tersebut rombongan dan kelompok, yang dimaksud adalah : janganlah mengunjungi suatu tempat dengan niat ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah kecuali ke tiga tempat karena mengagungkan dan memuliakan tempat-tempat tersebut.” Selesai
- Berkata Ulama sekaligus Mufti Hadramaut Sayyid Abdurrahman bin Ubaidillah As Saqqaf (wafat tahun 1300 Hijriah) didalam kitabnya Idaamul quut hal 584 : “Imam Haramain telah memutuskan -begitu juga Qadhi Husain- atas pengharaman safar dengan tujuan ziarah kubur, Pendapat ini juga telah dipilih oleh Qadhi Iyadh bin Musa bin Ayyash Pada kitab Ikmal . Dia adalah Mutaakhirin utama dari kalangan Malikiyah.”.
Imam Malik bin Anas berkata: Barang Siapa bernazar untuk melakukan perjalanan ke suatu masjid untuk sholat didalamnya, maka aku membencinya, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “tidak diadakan perjalanan Kecuali menuju Tiga Masjid”. Berkata Ibnu Suraij -Termasuk pembesar mazhab Syafii- sesungguhnya Ziarah adalah amalan untuk mendekat diri (qurbah) yang bisa dinazarkan. Perbincangan ini ringan, yang tidak mentolerirnya merupakan orang-orang hasud dan fanatik buta.. lagipula, mencerca dalam masalah-masalah khilaf itu terlarang.
Adapun Imam Nawawi, Ibnu Hajar, Ibnu Qudamah, dan selain dari mereka telah berpendapat untuk memperbolehkan, dan banyak dari kalangan mutaakhirin yanag berpendapat demikian. Tetapi yang dibicarakan disini adalah jawaban terhadap pertanyaan anda “Apakah ada orang lain yang mengharamkan sebelum Ibnu Taimiyah? Dan Jawabannya telah anda ketahui.
Adapun pertanyaan anda, “Apakah Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut diikuti oleh selain Ulama Nejd? ”.
Aku yakin setelah anda mengetahui bahwa Ibnu Taimiyah bukan orang pertama yang mengatakan haramnya safar untuk berziarah kubur maka jelas bagi anda bahwa pointnya bukanlah taqlid kepada Ibnu Taimiyah, tetapi ittiba kepada dalil yang dipahami banyak ulama sebelum Ibnu Taimiyah. Namun ketenaran Ibnu Taimiyah dan kedudukannya, begitu pula keinginan musuh untuk mendeskreditkannya serta kampanye mereka bahwasanya ibnu Taimiyah adalah orang pertama yang berpendapat seperti itu, maka masyhurlah Ibnu Taimiyah sebagai pencetus fatwa Tersebut.
Oleh karena itu maka jawabannya adalah “Yah”.
Ada Ulama yang berpendapat Seperti Ibnu Taimiyah, dan itu banyak, diantaranya:
- Allamatul Yaman Muhammad bin Ismail As Shan’ani (wafat:1182 Hijriah). Beliau berkata dalam Kitab Subulussalam (3/394) : ”Hadits Tersebut merupakan dalil keutamaan 3 masjid itu. Dan mafhum Hasr menunjukkan keharaman mengadakan perjalanan dengan tujuan selain 3 masjid tersebut seperti menziarahi orang Soleh yang hidup maupun mati untuk tabarruk dan juga dengan tempat-tempat yang memiliki keutamaan untuk tabarruk dengannya dan sholat didalamnya”.Selesai
- Allamatul Hindi Sayyid Muhammad Hasan Khan Alhusni (wafat:1307 Hijriah) berkata pada Syarah beliau terhadap Sohih Muslim (5/315): ”adapun safar selain dengan tujuan ziarah kubur seperti yang telah lalu pembahasannya, Sungguh telah tetap dengan dalil-dalil yang Sohih dan telah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan telah ditetapkan oleh nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, maka Tidak ada Jalan lain untuk mencegahnya dan melarangnya. Berbeda dengan Safar untuk menziarahi kuburan, hal tersebut tidak terjadi pada masa Rasulullah, tidak ditetapkan oleh Rasulullah, tidak ditetapkan oleh seorangpun dari Sahabat beliau, tidak diisyaratkan oleh satu haditspun bahwa beliau melakukan dan berusaha untuk itu, tidak disyariatkan kepada satupun dari ummatnya, baik perkataan maupun perbutatan. Sedangkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menziarahi penduduk Baqi’ dan selain dari mereka tanpa mengadakan Safar dan mengadakan perjalanan kekubur mereka. Maka sunnah yang tidak diperselisihkan adalah menziarahi kubur tanpa ikhtiar safar menuju kubur tersebut untuk mengingat akherat”.
- Allamatul Iraq As Sayyid Nu’man bin Mahmud Al Alusi Mufti Hanafiyah di Baghdad (Wafat:1317 Hijriah) berkata pada kitabnya Jalaul Ain hal. 518 setelah memenangkan pendapat Ibnu Taimiyah: “kesimpulan dalam masalah ini adalah bahwasanya Syaikhul Islam tidak sendirian dalam pendapat yang ia di deskreditkan karenanya. Tetapi pendapat tersebut telah dipilih oleh para Imam didunia”.
Jika anda telah mengetahui, maka ketahuilah bahwasanya aku telah menampilkan dalil-dalil yang dijadikan penguat oleh kedua belah pihak, namun tidak diterima oleh keduanya, dan daftar perbedaan sebagaimana yang telah aku sebutkan kepadamu.
Adapun dalil-dalill ulama yang membolehkan adalah Hadits-hadits seputar menziarahi kubur nabi kita Shallallahu Alaihi Wasallam sedangkan hadits tersebut Semuanya Dhaif yang sama sekali tidak sah, kalaupun Sah, hadits tersebut tidak Relevan dengan point perdebatan. Diantara hadits Tersebut adalah ” Bilal Radiyallahu anhu melihat nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dalam mimpinya, sedangkan ia di Syam. Dalam Mimpinya Rasulullah berkta padanya: kekasaran apa ini Wahai bilal? Bukankan tiba saatnya bagimu untuk mengunjungiku wahai bilal? Maka ia pun terbangun dengan sedih kemudian ia mengendarai kendaraanya menuju Madinah”.
Ibnu hajar berkata : Ini adalah kisah yang jelas kepalsuannya.
Adapun diantara dalil para pelarang yang aku tampilkan adalah Atsar Abu Basrah Al ghifari dan pengingkarannya terhadap Abu Khurairah Radhiyallahu anhu tentang kepergiannya ke Thur. Riwayat-riwayat atsar tersebut telah diteliti, aku mendapati tidak ada relevansi dengan point perdebatan. Kepergian Abu Khurairah hanya kesuatu masjid disana kemudian ia berpapasan dengan Abu Basrah setelah itu.
http://www.dorar.net/art/281
photo credit: creativsam @flickr.com.
sumber : http://syaikhulislam.wordpress.com/2009/07/31/hukum-safar-untuk-menziarahi-kubur-nabi-shollallahu-alaihi-wasallam/
0 komentar:
Posting Komentar