Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata [dalam Fatawa Mu'ashirah, hal. 52-53, dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin] : “Menjual dengan kredit artinya bahwa seseorang menjual sesuatu (barang) dengan harga tangguh yang dilunasi secara berjangka. Hukum asalnya adalah dibolehkan berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” [Al-Baqarah : 282].
Demikian pula, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah membolehkan jual beli As-Salam, yaitu membeli secara kredit terhadap barang yang dijual. Akan tetapi kredit (angsuran) yang dikenal di kalangan orang-orang saat ini adalah termasuk dalam bentuk pengelabuan terhadap riba.
Teknisnya ada beberapa cara, di antaranya :
Pertama:
Seseorang memerlukan sebuah mobil, lalu datang kepada si pedagang yang tidak memilikinya, sembari berkata, “Sesungguhnya saya memerlukan mobil begini”. Lantas si pedagang pergi dan membelinya kemudian menjual kepadanya secara kredit dengan harga yang lebih banyak. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa ini adalah bentuk pengelabuan tersebut karena si pedagang mau membelinya hanya karena permintaannya dan bukan membelikan untuknya karena kasihan terhadapnya tetapi karena demi mendapatkan keuntungan tambahan, seakan dia meminjamkan harganya kepada orang secara riba (memberikan bunga, pent), padahal para ulama berkata, “Setiap pinjaman yang diembel-embeli dengan tambahan, maka ia adalah riba”. Jadi, standarisasi dalam setiap urusan adalah terletak pada tujuan-tujuannya.
Kedua :
Bahwa sebagian orang ada yang memerlukan rumah tetapi tidak mempunyai uang, lalu pergi ke seorang pedagang yang membelikan rumah tersebut untuknya, kemudian menjual kepadanya dengan harga yang lebih besar secara tangguh (kredit). Ini juga termasuk bentuk pengelabuan terhadap riba sebab si pedagang ini tidak pernah menginginkan rumah tersebut, andaikata ditawarkan kepadanya dengan separuh harga, dia tidak akan membelinya akan tetapi dia membelinya hanya karena merasa ada jaminan riba bagi dirinya dengan menjualnnya kepada orang yang berhajat tersebut.
Gambaran yang lebih jelek lagi dari itu, ada orang yang membeli rumah atau barang apa saja dengan harga tertentu, kemudian dia memilih yang separuh harga, seperempat atau kurang dari itu padahal dia tidak memiliki cukup uang untuk melunasinya, lalu dia datang kepada si pedagang, sembari berkata, “Saya telah membeli barang anu dan telah membayar seperempat harganya, lebih kurang atau lebih banyak dari itu sementara saya tidak memiliki uang, untuk membayar sisanya”. Kemudian si pedagang berkata, “Saya akan pergi ke pemilik barang yang menjualkannya kepada anda dan akan melunasi harganya untuk anda, lalu saya mengkreditkannya kepada anda lebih besar dari harga itu. Dan banyak lagi gambaran-gambaran yang lain.
Akan tetapi yang menjadi dhabit (ketentuan yang lebih khusus) adalah bahwa setiap hal yang tujuannya untuk mendapatkan riba, maka ia adalah riba sekalipun dikemas dalam bentuk akad yang halal, sebab tindakan pengelabuan tidak akan mempengaruhi segala sesuatu. Mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah, hanya akan menambahnya menjadi semakin lebih buruk karena mengandung dampak negativ Dari hal yang diharamkan dan penipuan, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Janganlah kamu melakukan dosa sebagaimana dosa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi sehingga (karenanya) kemu menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah (sekalipun) dengan serendah-rendah (bentuk) pengelabuan (siasat licik)“. [Ibn Baththah dalam kitab Ibthalil Hiyal hal. 24. Irwa'ul Ghalil 1535].
Mengenai penjualan kredit dengan penambahan harga, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan [dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah V/419-427] : ”Barangsiapa menjual dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan, maka baginya (harga,-pent) yang paling sedikit atau (kalau tidak mau, maka harga yang lebih tinggi adalah, -pent) riba”.
Imam Ibnu Qutaibah juga menerangkannya dengan (keterangan) ini, beliau berkata di dalam “Gharib Al-Hadits (I/18) : “Diantara jual beli yang terlarang (ialah) dua syarat (harga) dalam satu penjualan, yaitu (misalnya) seseorang membeli barang seharga dua dinar jika temponya dua bulan, dan seharga tiga dinar jika temponya tiga bulan. Itulah makna “dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan".
Dan hadits itu dengan lafazh ini ["Dua syarat di dalam satu penjualan"] adalah ringkas dan shahih. Hadits ini tersebut didalam hadits Ibnu Umar dan Ibnu Amr, keduanya telah ditakhrij di dalam “Irwaa Al-Ghalil (V/150-151)”.
Dan semakna dengan hadits itu adalah ucapan Ibnu Mas’ud : “Satu akad jual beli di dalam dua akad jual beli adalah riba” [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq di dalam Al-Mushannaf (VIII/138-139), Ibnu Abi Syaibah (VI/199), Ibnu Hibban (163, 1111) dan Ath-Thabrani (41/1), sanadnya shahih].
Dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/393), dan ini juga merupakan riwayat Ibnu Hibban (1112) (dari Ibnu Mas’ud,-pent) dengan lafazh : “Tidak patut dua akad jual-beli di dalam satu akad jual-beli (menurut lafazh Ibnu Hibban : Tidak halal dua akad jual beli) dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Allah melaknat pemakan (riba) [Pemakan riba adalah orang yang mengambilnya walaupun tidak makan, diungkapkan dengan makan karena makan adalah kegunaan terbesar dari riba dan karena riba itu umumnya seputar makanan. Pemberi makan riba adalah orang yang memberikan riba kepada orang yang mengambilnya, walaupun yang mengambil tadi tidak memakannya,-pent. (Lihat Al-Fathur-Rabbani Ma'a Syarhihi Bulughul -Amani (XV/68) oleh Ahmad Abdur Rahman Al-Banna, Penerbit Dar Ihya At-Turots Al-Arabi, tanpa tahun], saksinya dan penulisnya“. Dan sanadnya juga shahih.
Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Nashr di dalam As-Sunnah (54), dia menambahkan dalam satu riwayat “Yaitu seseorang berkata : “Jika kontan maka (harganya) sekian dan sekian, dan jika tidak kontan maka (harganya) sekian dan sekian“.
Sedangkan para pelaku pendapat kedua berargumentasi bahwa larangan tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan harga, yaitu : ketidak pastian harga ; apakah harga kontan atau kredit. Al-Khaththabi berkata : "Apabila (pembeli) tidak tahu harga (maka) jual beli itu batal. Adapun apabila dia memastikan pada salah satu dari dua perkara (harga, -pent) itu dalam satu majlis akad, maka (jual-beli) itu sah".
Syaikh Al Albani berkata : "Alasan dilarangnya ‘dua (harga) penjualan dalam satu penjualan' disebabkan oleh ketidaktahuan harga, adalah alasan yang tertolak. Karena hal itu semata-mata pendapat yang bertentangan dengan nash yang jelas di dalam hadits Abu Hurairah dan Ibnu Mas'ud bahwa (penyebab larangan) itu adalah riba. Ini dari satu sisi, sedangkan dari sisi lain (yang menjadi pendapat ini tertolak, -pent) ialah karena alasan mereka ini dibangun di atas pendapat wajibnya ijab dan qabul dalam jual beli. Padahal (pendapat) ini tidak ada dalilnya, baik melalui Kitab Allah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan di dalam (jual-beli) itu cukup (dengan) saling rela dan senang hati. Maka selama ada rasa saling rela dan senang hati di dalam jual beli, dan ada petunjuk kearah sana, berarti itu merupakan jual-beli yang syar'i. Itulah yang dikenal oleh sebagian ulama dengan (istilah) jual beli Al-Mu'aathaah [Yaitu akad jual beli yang terjadi tanpa ucapan atau perkataan (ijab qabul) akan tetapi dengan perbuatan saling rela. Seperti pembeli mengambil barang dagangan dan memberikan (uang) harganya kepada penjual ; atau penjual memberikan barang dan pembeli memberikan (uang) harganya tanpa berbicara dan tanpa isyarat, baik barang itu remeh atau berharga. (Lihat "Al-Fihul Islami wa Adillatuhu IV/99 oleh DR Wahbah Az-Zuhaili)].
Asy-Syaukani berkata di dalam “As-Sail Al-Jarar (III/126)”. “Jual beli al-mu’aathaah ini, yang dengannya terwujud suasana saling rela dan senang hati adalah jual beli syar’i yang diijinkan oleh Allah, sedangkan menambahinya (dengan syarat-syarat lain, pent) adalah termasuk mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh syara (agama)”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga telah menjelaskan hal itu di dalam Al-Fatawa (XXIX/5-21) yang tidak memerlukan tambahan lagi, hendaklah orang yang ingin memperluas (masalah ini) melihat ke sana.
Syaikh Al-Albani berkata : “Apabila demikian, maka seorang pembeli sewaktu dia telah berpaling (membawa) apa yang dia beli, mungkin dia membayar kontan atau mungkin membayar kredit. Jual beli dengan cara yang pertama itu sah, sedangkan pada cara kedua yaitu pembeli membawa barang dengan menanggung harga kredit -dan inilah masalah yang sedang diperselisihkan-, lalu mana alasan tidak mengerti harga yang dikemukakan di atas ? Khususnya lagi apabila pembayaran itu dengan angsuran, maka angsuran yang pertama dia bayar dengan kontan sedang sisa angsurannya tergantung kesepakatan. Dengan demikian batallah illat (alasan/sebab) tidak mengertinya harga sebagai dalil, baik melalui atsar maupun melalui penelitian. Dalil pendapat yang ketiga adalah hadits bab ini (hadits yang dibicarakan ini ,-pent), ditambah atsar (hadits) Ibnu Mas’ud. Sesungguhnya kedua hadits tersebut sepakat bahwa : ‘dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan adalah riba”. Jadi riba itulah yang menjadi illat (alasan)nya. Dengan demikian maka larangan itu berjalan sesuai dengan illat (alasan)nya, baik larangan itu menjadi ada, ataupun menjadi tidak ada. Karenanya bila dia mengambil harga yang lebih tinggi, berarti itu riba. Tetapi bila mengambil harga yang lebih rendah, maka hal itu menjadi boleh. Sebagaimana keterangan dari para ulama, yang telah menyatakan bahwa boleh untuk mengambil yang lebih rendah harganya, dengan tempo yang lebih lama, karena sesungguhnya dengan demikian berarti dia tidak menjual dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan.
Bukankah anda lihat apabila (penjual) menjual barang dagangannya dengan harga pada hari itu, dan dia membebaskan pembeli untuk memilih antara membayar harga secara kontan atau hutang, maka dia tidak dikatakan : Telah menjual dengan dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan, sebagaimana hal itu jelas. Dan itulah yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya pada hadits yang bicarakan, “Maka baginya (harga) yang paling sedikit, atau (kalau tidak mau maka harga yang lebih tinggi adalah) riba” [lihat hadits yang menjadi pokok bahasan di atas, -pent]
Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensahkan penjualan itu karena hilangnya illat (alasan/sebab yang menjadikannya terlarang). Beliau membatalkan harga tambahan, karena hal itu adalah riba. Pendapat ini adalah juga pendapat Thawus, Ats-Tsauri, dan Al-Auza’i rahimahullah sebagaimana telah diterangkan di atas. Dari sinilah dapat diketahui gugurnya perkataan Al-Khaththabi di dalam “Ma’alimus Sunan (V/97)”.
Dan kesimpulannya ; bahwa pendapat yang kedua itu adalah pendapat yang paling lemah, karena tidak ada dalil padanya kecuali akal bertentangan dengan nash. Kemudian diiringi oleh pendapat yang pertama, karena Ibnu Hazm yang mempunyai pendapat itu mengklaim bahwa hadits bab ini telah dihapus (mansukh) oleh hadits-hadits yang melarang dua penjualan di dalam satu penjualan, dan klaim itu tertolak, karena bertentanan dengan ushul (fiqh,-pent).
Karena (di dalam ushul fiqh, sebuah hadits itu,-pent) tidak akan menjadi (pembicaraan) naskh (penghapusan hukum) kecuali apabila jama’ (penggabungan nash) sulit dilakukan, padahal jama’ bisa dilakukan dengan mudah disini.
Ketahuilah akhi (saudaraku) Muslim !
bahwa mu’amalah tersebut yang telah tersebar di kalangan para pedagang dewasa ini, yaitu jual beli kredit, dan mengambil tambahan (harga) sebagai ganti tempo, dan semakin panjang temponya ditambah pula harganya. Dari sisi lain itu hanyalah mu’amalah yang tidak syar’i karena meniadakan ruh Islam yang berdiri di atas (prinsip) memudahkan kepada manusia, kasih sayang terhadap mereka, sebagaimana di dalam sabda beliau “Mudah-mudahan Allah merahmati seorang hamba, yang mudah apabila dia menjual, mudah apabila dia membeli, mudah apabila dia menagih” [Hadits Riwayat Al-Bukhari].
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang dermawan, yang lemah lembut, yang dekat niscaya Allah haramkan dari neraka” [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan lainnya, dan telah disebutkan takhrijnya no. 938].
Maka seandainya salah seorang dari mereka (para pedagang ) bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjual (barang) dengan (sistim hutang atau kredit dengan harga kontan, sesunguhnya itu lebih menguntungkannya, hatta dari sisi materi. Karena hal itu akan menjadikan orang-orang ridha kepadanya dan mau membeli darinya serta akan diberkati di dalam rizkinya, sesuai dengan firmanNya Azza wa Jalla “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan jalan keluar baginya dan memberi rizki kepadanya dari arah yang tidak ia sangka” [Ath-Thalaq : 2].
Dan pada kesempatan ini aku nasehatkan kepada para pembaca untuk meruju kepada risalah al-akh Al-Fadhil Abdurrahman Abdul Khaliq (yang berjudul) : “Al-Quuluf Fashl Fii Bari’il Ajl”, karena risalah ini istimewa dalam masalah ini, bermanfaat dalam temanya, mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kepadanya.”.
Sumber :
Demikian pula, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah membolehkan jual beli As-Salam, yaitu membeli secara kredit terhadap barang yang dijual. Akan tetapi kredit (angsuran) yang dikenal di kalangan orang-orang saat ini adalah termasuk dalam bentuk pengelabuan terhadap riba.
Teknisnya ada beberapa cara, di antaranya :
Pertama:
Seseorang memerlukan sebuah mobil, lalu datang kepada si pedagang yang tidak memilikinya, sembari berkata, “Sesungguhnya saya memerlukan mobil begini”. Lantas si pedagang pergi dan membelinya kemudian menjual kepadanya secara kredit dengan harga yang lebih banyak. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa ini adalah bentuk pengelabuan tersebut karena si pedagang mau membelinya hanya karena permintaannya dan bukan membelikan untuknya karena kasihan terhadapnya tetapi karena demi mendapatkan keuntungan tambahan, seakan dia meminjamkan harganya kepada orang secara riba (memberikan bunga, pent), padahal para ulama berkata, “Setiap pinjaman yang diembel-embeli dengan tambahan, maka ia adalah riba”. Jadi, standarisasi dalam setiap urusan adalah terletak pada tujuan-tujuannya.
Kedua :
Bahwa sebagian orang ada yang memerlukan rumah tetapi tidak mempunyai uang, lalu pergi ke seorang pedagang yang membelikan rumah tersebut untuknya, kemudian menjual kepadanya dengan harga yang lebih besar secara tangguh (kredit). Ini juga termasuk bentuk pengelabuan terhadap riba sebab si pedagang ini tidak pernah menginginkan rumah tersebut, andaikata ditawarkan kepadanya dengan separuh harga, dia tidak akan membelinya akan tetapi dia membelinya hanya karena merasa ada jaminan riba bagi dirinya dengan menjualnnya kepada orang yang berhajat tersebut.
Gambaran yang lebih jelek lagi dari itu, ada orang yang membeli rumah atau barang apa saja dengan harga tertentu, kemudian dia memilih yang separuh harga, seperempat atau kurang dari itu padahal dia tidak memiliki cukup uang untuk melunasinya, lalu dia datang kepada si pedagang, sembari berkata, “Saya telah membeli barang anu dan telah membayar seperempat harganya, lebih kurang atau lebih banyak dari itu sementara saya tidak memiliki uang, untuk membayar sisanya”. Kemudian si pedagang berkata, “Saya akan pergi ke pemilik barang yang menjualkannya kepada anda dan akan melunasi harganya untuk anda, lalu saya mengkreditkannya kepada anda lebih besar dari harga itu. Dan banyak lagi gambaran-gambaran yang lain.
Akan tetapi yang menjadi dhabit (ketentuan yang lebih khusus) adalah bahwa setiap hal yang tujuannya untuk mendapatkan riba, maka ia adalah riba sekalipun dikemas dalam bentuk akad yang halal, sebab tindakan pengelabuan tidak akan mempengaruhi segala sesuatu. Mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah, hanya akan menambahnya menjadi semakin lebih buruk karena mengandung dampak negativ Dari hal yang diharamkan dan penipuan, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Janganlah kamu melakukan dosa sebagaimana dosa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi sehingga (karenanya) kemu menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah (sekalipun) dengan serendah-rendah (bentuk) pengelabuan (siasat licik)“. [Ibn Baththah dalam kitab Ibthalil Hiyal hal. 24. Irwa'ul Ghalil 1535].
Mengenai penjualan kredit dengan penambahan harga, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan [dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah V/419-427] : ”Barangsiapa menjual dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan, maka baginya (harga,-pent) yang paling sedikit atau (kalau tidak mau, maka harga yang lebih tinggi adalah, -pent) riba”.
- [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam "Al-Mushannaf (VI/120/502)", Abu Daud dari Ibnu Abi Syaibah (no. 3461), Ibnu Hibban di dalam "Shahihnya (1110)", Al-Hakim (II/45), dan Al-Baihaqi (V/343) kesemuanya meriwayatkan bawha telah becerita kepada kami Ibnu Abi Zaidah dari Muhammad bin Amir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara marfu, sanadnya hasan, bahkan telah dishahihkan oleh Al-Hakim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, juga oleh Ibnu Hazm di dalam "Al-Muhalla (IX/16). Juga diriwayatkan oleh An-Nasa'i (VII/296, cetakan baru), At-Tirmidzi (I/232), dia menshahihkannya, Ibnul Jarud (286), Ibnu Hibban (1109), Al-Baghawi di dalam "Syarh As-Sunnah (VIII/142/211)", ia juga menshahihkannya, Ahmad (II/342, 375, 503) dan Al-Baihaqi dari beberapa jalan dari Muhammad bin Amr dengan lafazh : "Beliau melarang dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan"].
Imam Ibnu Qutaibah juga menerangkannya dengan (keterangan) ini, beliau berkata di dalam “Gharib Al-Hadits (I/18) : “Diantara jual beli yang terlarang (ialah) dua syarat (harga) dalam satu penjualan, yaitu (misalnya) seseorang membeli barang seharga dua dinar jika temponya dua bulan, dan seharga tiga dinar jika temponya tiga bulan. Itulah makna “dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan".
Dan hadits itu dengan lafazh ini ["Dua syarat di dalam satu penjualan"] adalah ringkas dan shahih. Hadits ini tersebut didalam hadits Ibnu Umar dan Ibnu Amr, keduanya telah ditakhrij di dalam “Irwaa Al-Ghalil (V/150-151)”.
Dan semakna dengan hadits itu adalah ucapan Ibnu Mas’ud : “Satu akad jual beli di dalam dua akad jual beli adalah riba” [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq di dalam Al-Mushannaf (VIII/138-139), Ibnu Abi Syaibah (VI/199), Ibnu Hibban (163, 1111) dan Ath-Thabrani (41/1), sanadnya shahih].
Dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/393), dan ini juga merupakan riwayat Ibnu Hibban (1112) (dari Ibnu Mas’ud,-pent) dengan lafazh : “Tidak patut dua akad jual-beli di dalam satu akad jual-beli (menurut lafazh Ibnu Hibban : Tidak halal dua akad jual beli) dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Allah melaknat pemakan (riba) [Pemakan riba adalah orang yang mengambilnya walaupun tidak makan, diungkapkan dengan makan karena makan adalah kegunaan terbesar dari riba dan karena riba itu umumnya seputar makanan. Pemberi makan riba adalah orang yang memberikan riba kepada orang yang mengambilnya, walaupun yang mengambil tadi tidak memakannya,-pent. (Lihat Al-Fathur-Rabbani Ma'a Syarhihi Bulughul -Amani (XV/68) oleh Ahmad Abdur Rahman Al-Banna, Penerbit Dar Ihya At-Turots Al-Arabi, tanpa tahun], saksinya dan penulisnya“. Dan sanadnya juga shahih.
Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Nashr di dalam As-Sunnah (54), dia menambahkan dalam satu riwayat “Yaitu seseorang berkata : “Jika kontan maka (harganya) sekian dan sekian, dan jika tidak kontan maka (harganya) sekian dan sekian“.
Apalagi sekelompok ulama dan Fuqaha (para ahli fiqh) menyepakatinya atas hal itu. Mereka adalah :
- Ibnu Sirin Ayyub. Meriwayatkan darinya, bahwa Ibnu Sirin membenci seseorang berkata : “Aku menjual (barang,-pent) kepadamu seharga 10 dinar secara kontan, atau 15 dinar secara tempo” [Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq di dalam "Al-Mushannaf (VIII/138/14630)" dengan sanad yang shahih darinya (Ibnu Sirin)].
- Thawus. Dia berkata : “Apabila (penjual,-pent) mengatakan bahwa (barang) itu dengan (harga) sekian dan sekian jika temponya sekian dan sekian, tetapi dengan (harga) sekian jika temponya sekian dan sekian. Lalu terjadi jual beli atas (cara) ini, maka (penjual harus mengambil, -pent) harga yang lebih rendah sampai tempo yang lebih lama. [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq juga (14631) dengan sanad yang shahih juga. Abdur Razaq juga meriwayatkan (pada no 14626), demikian pula Ibnu Abu Syaibah (VI/120) dari jalan Laits dari Thawus dengannya (perkataan di atas,-pent) secara ringkas, tanpa perkataan : "Lalu terjadi jual beli..." tetapi dengan tambahan (riwayat) : "Kemudian (jika penjualnya, -pent) menjual dengan salah satu dari kedua harga itu sebelum (pembeli, -pent) berpisah dari (penjual), maka tidak mengapa". Akan tetapi ini tidak shahih dari Thawus, karena :Laits -yaitu Ibnu Abu Salim- telah berubah ingatan (karena tua)].
- Sufyan Ats-Tsauri. Mengatakan bahwa, jika engkau berkata : “Aku menjual kepadamu dengan kontan (seharga) sekian, dan dengan tidak kontan (seharga) sekian dan sekian”, kemudian pembeli membawanya pergi, maka dia berhak memilih di antara dua (harga) penjualan tadi, selama belum terjadi keputusan jual-beli atas salah satu harga. Dan jika telah terjadi jual-beli seperti ini, maka itu adalah dibenci. Itulah “dua penjualan di dalam satu penjualan”, dan itu tertolak serta terlarang. Maka jika engkau mendapati barangmu masih utuh, engkau dapat mengambil harga yang paling rendah dan waktu yang lebih lama. [Diriwayatkan oleh Abdur Razaq (14632) dari Sufyan Ats-Tsauri].
- Al-Auza’i. Riwayatnya secara ringkas senada dengan di atas. Dalam riwayat itu dikisahkan bahwa Al-Auza’i ditanya : “Jika (pembeli,-pent) membawa pergi dagangan itu (berdasarkan jual-beli dengan) dua syarat tadi?” Dia (Al-Auza’i) menjawab : “Harga barang itu dengan harga yang terendah dengan tempo yang lebih lama“. Al-Khaththabi menyebutkannya (riwayat ini, pent) di dalam “Ma’alimus Sunnah (V/99)”.
- Imam An-Nasa’i. Beliau berkata dibawah bab : Dua penjualan di dalam satu penjualan: “yaitu seseorang berkata : Aku menjual kepadamu barang ini seharga 100 dirham secara kontan, dan seharga 200 dirham secara tidak kontan”.Demikian juga An-Nasa’i menerangkan seperti itu pada hadits Ibnu Amr “Tidak halal dua persyaratan di dalam satu penjualan“. [Hadits ini ini telah ditakhrih didalam "Al-Irwaa (1305) dan lihatlah "Shahihul Jaami (7520)".
- Ibnu Hibban. Beliau berkata di dalam "Shahihnya (VII/225-Al-Ihsan)" : "Telah disebutkan larangan tentang menjual sesuatu dengan harga 100 dinar secara kredit, dan seharga 90 dinar secara kontan. Beliau menyebutkan hal itu dibawah hadits Abu Hurairah dengan lafazh yang ringkas.
- Ibnul Atsir. Di dalam "Gharibul Hadits" dia menyebutkannya di dalam penjelasan dua hadits yang telah diisyaratkan tadi.
Sesungguhnya telah disebutkan pendapat-pendapat yang lain mengenai tafsir "dua penjualan" itu, mungkin sebagiannya akan dijelaskan berikut ini. Namun tafsir yang telah lewat di atas adalah yang paling benar dan paling masyhur, dan itu persis dengan apa yang sekarang ini dikenal dengan (istilah) "Jual Beli Kredit".
Bagaimana hukumnya ?
Dalam hal ini, para ulama telah berselisih pendapat semenjak dahulu hingga sekarang dan menjadi tiga pendapat.- Bahwa hal itu adalah batil secara mutlak, dan ini adalah pendapat Ibnu Hazm
- Bahwa hal itu adalah tidak boleh kecuali apabila dua harga itu dipisah (ditetapkan) pada salah satu harga saja. Misalnya apabila hanya disebutkan harga kreditnya saja.
- Bahwa hal itu tidak boleh. Akan tetapi apabila telah terjadi dan harga yang lebih rendah dibayarkan maka boleh.
Sedangkan para pelaku pendapat kedua berargumentasi bahwa larangan tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan harga, yaitu : ketidak pastian harga ; apakah harga kontan atau kredit. Al-Khaththabi berkata : "Apabila (pembeli) tidak tahu harga (maka) jual beli itu batal. Adapun apabila dia memastikan pada salah satu dari dua perkara (harga, -pent) itu dalam satu majlis akad, maka (jual-beli) itu sah".
Syaikh Al Albani berkata : "Alasan dilarangnya ‘dua (harga) penjualan dalam satu penjualan' disebabkan oleh ketidaktahuan harga, adalah alasan yang tertolak. Karena hal itu semata-mata pendapat yang bertentangan dengan nash yang jelas di dalam hadits Abu Hurairah dan Ibnu Mas'ud bahwa (penyebab larangan) itu adalah riba. Ini dari satu sisi, sedangkan dari sisi lain (yang menjadi pendapat ini tertolak, -pent) ialah karena alasan mereka ini dibangun di atas pendapat wajibnya ijab dan qabul dalam jual beli. Padahal (pendapat) ini tidak ada dalilnya, baik melalui Kitab Allah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan di dalam (jual-beli) itu cukup (dengan) saling rela dan senang hati. Maka selama ada rasa saling rela dan senang hati di dalam jual beli, dan ada petunjuk kearah sana, berarti itu merupakan jual-beli yang syar'i. Itulah yang dikenal oleh sebagian ulama dengan (istilah) jual beli Al-Mu'aathaah [Yaitu akad jual beli yang terjadi tanpa ucapan atau perkataan (ijab qabul) akan tetapi dengan perbuatan saling rela. Seperti pembeli mengambil barang dagangan dan memberikan (uang) harganya kepada penjual ; atau penjual memberikan barang dan pembeli memberikan (uang) harganya tanpa berbicara dan tanpa isyarat, baik barang itu remeh atau berharga. (Lihat "Al-Fihul Islami wa Adillatuhu IV/99 oleh DR Wahbah Az-Zuhaili)].
Asy-Syaukani berkata di dalam “As-Sail Al-Jarar (III/126)”. “Jual beli al-mu’aathaah ini, yang dengannya terwujud suasana saling rela dan senang hati adalah jual beli syar’i yang diijinkan oleh Allah, sedangkan menambahinya (dengan syarat-syarat lain, pent) adalah termasuk mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh syara (agama)”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga telah menjelaskan hal itu di dalam Al-Fatawa (XXIX/5-21) yang tidak memerlukan tambahan lagi, hendaklah orang yang ingin memperluas (masalah ini) melihat ke sana.
Syaikh Al-Albani berkata : “Apabila demikian, maka seorang pembeli sewaktu dia telah berpaling (membawa) apa yang dia beli, mungkin dia membayar kontan atau mungkin membayar kredit. Jual beli dengan cara yang pertama itu sah, sedangkan pada cara kedua yaitu pembeli membawa barang dengan menanggung harga kredit -dan inilah masalah yang sedang diperselisihkan-, lalu mana alasan tidak mengerti harga yang dikemukakan di atas ? Khususnya lagi apabila pembayaran itu dengan angsuran, maka angsuran yang pertama dia bayar dengan kontan sedang sisa angsurannya tergantung kesepakatan. Dengan demikian batallah illat (alasan/sebab) tidak mengertinya harga sebagai dalil, baik melalui atsar maupun melalui penelitian. Dalil pendapat yang ketiga adalah hadits bab ini (hadits yang dibicarakan ini ,-pent), ditambah atsar (hadits) Ibnu Mas’ud. Sesungguhnya kedua hadits tersebut sepakat bahwa : ‘dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan adalah riba”. Jadi riba itulah yang menjadi illat (alasan)nya. Dengan demikian maka larangan itu berjalan sesuai dengan illat (alasan)nya, baik larangan itu menjadi ada, ataupun menjadi tidak ada. Karenanya bila dia mengambil harga yang lebih tinggi, berarti itu riba. Tetapi bila mengambil harga yang lebih rendah, maka hal itu menjadi boleh. Sebagaimana keterangan dari para ulama, yang telah menyatakan bahwa boleh untuk mengambil yang lebih rendah harganya, dengan tempo yang lebih lama, karena sesungguhnya dengan demikian berarti dia tidak menjual dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan.
Bukankah anda lihat apabila (penjual) menjual barang dagangannya dengan harga pada hari itu, dan dia membebaskan pembeli untuk memilih antara membayar harga secara kontan atau hutang, maka dia tidak dikatakan : Telah menjual dengan dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan, sebagaimana hal itu jelas. Dan itulah yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya pada hadits yang bicarakan, “Maka baginya (harga) yang paling sedikit, atau (kalau tidak mau maka harga yang lebih tinggi adalah) riba” [lihat hadits yang menjadi pokok bahasan di atas, -pent]
Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensahkan penjualan itu karena hilangnya illat (alasan/sebab yang menjadikannya terlarang). Beliau membatalkan harga tambahan, karena hal itu adalah riba. Pendapat ini adalah juga pendapat Thawus, Ats-Tsauri, dan Al-Auza’i rahimahullah sebagaimana telah diterangkan di atas. Dari sinilah dapat diketahui gugurnya perkataan Al-Khaththabi di dalam “Ma’alimus Sunan (V/97)”.
Dan kesimpulannya ; bahwa pendapat yang kedua itu adalah pendapat yang paling lemah, karena tidak ada dalil padanya kecuali akal bertentangan dengan nash. Kemudian diiringi oleh pendapat yang pertama, karena Ibnu Hazm yang mempunyai pendapat itu mengklaim bahwa hadits bab ini telah dihapus (mansukh) oleh hadits-hadits yang melarang dua penjualan di dalam satu penjualan, dan klaim itu tertolak, karena bertentanan dengan ushul (fiqh,-pent).
Karena (di dalam ushul fiqh, sebuah hadits itu,-pent) tidak akan menjadi (pembicaraan) naskh (penghapusan hukum) kecuali apabila jama’ (penggabungan nash) sulit dilakukan, padahal jama’ bisa dilakukan dengan mudah disini.
Ketahuilah akhi (saudaraku) Muslim !
bahwa mu’amalah tersebut yang telah tersebar di kalangan para pedagang dewasa ini, yaitu jual beli kredit, dan mengambil tambahan (harga) sebagai ganti tempo, dan semakin panjang temponya ditambah pula harganya. Dari sisi lain itu hanyalah mu’amalah yang tidak syar’i karena meniadakan ruh Islam yang berdiri di atas (prinsip) memudahkan kepada manusia, kasih sayang terhadap mereka, sebagaimana di dalam sabda beliau “Mudah-mudahan Allah merahmati seorang hamba, yang mudah apabila dia menjual, mudah apabila dia membeli, mudah apabila dia menagih” [Hadits Riwayat Al-Bukhari].
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang dermawan, yang lemah lembut, yang dekat niscaya Allah haramkan dari neraka” [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan lainnya, dan telah disebutkan takhrijnya no. 938].
Maka seandainya salah seorang dari mereka (para pedagang ) bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjual (barang) dengan (sistim hutang atau kredit dengan harga kontan, sesunguhnya itu lebih menguntungkannya, hatta dari sisi materi. Karena hal itu akan menjadikan orang-orang ridha kepadanya dan mau membeli darinya serta akan diberkati di dalam rizkinya, sesuai dengan firmanNya Azza wa Jalla “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan jalan keluar baginya dan memberi rizki kepadanya dari arah yang tidak ia sangka” [Ath-Thalaq : 2].
Dan pada kesempatan ini aku nasehatkan kepada para pembaca untuk meruju kepada risalah al-akh Al-Fadhil Abdurrahman Abdul Khaliq (yang berjudul) : “Al-Quuluf Fashl Fii Bari’il Ajl”, karena risalah ini istimewa dalam masalah ini, bermanfaat dalam temanya, mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kepadanya.”.
Sumber :
- Majalah As-Sunnah Edisi 12/Th III/1420-1999, Penjualan Kredit Dengan Tambahan Harga, Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Peneremah Abu Shalihah Muslim Al-Atsari, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah.
- Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq
0 komentar:
Posting Komentar