Melanjutkan pembahasan sebelumnya mengenai fikih nikah.
Saat ini kita memasuki serial ketiga dari pembahasan Al Qodhi Ahmad bin Husain Al Ashfahaniy Asy Syafi’i dalam kitab matan Al Ghoyah wat Taqrib (matan Abi Syuja). Yang dibahas kali ini adalah mengenai syarat nikah yang mesti terdapat wali dan saksi.
Abu Syuja’ rahimahullah berkata,
Akad nikah tidaklah sah melainkan dengan wali dan dua saksi yang ‘adil (bukan orang fasik) [1].
Wali dan dua saksi tadi harus memenuhi 6 syarat:
Urutan wali nikah [8] :
Demikian penjelasan Abu Syuja’ pada kesempatan kali ini. Selanjutnya akan berlanjut pada pembahasan khitbah (lamaran). Moga Allah mudahkan untuk membahasnya.
@ Pesantren Darush Sholihin, Warak-Girisekar, Panggang-GK, 6 Syawal 1433 H
www.rumaysho.com
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi”. (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya. Ibnu Hibban berkata bahwasanya tidak shahih penyebutan dua orang saksi kecuali dalam hadits ini) (Lihat Tuhfatul Labiib, 2: 747). Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Walaupun hadits ini munqothi’ (terputus) hanya sampai di bawah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kebanyakan para ulama mengamalkan hadits tersebut. Mereka berkata bahwa inilah bedanya antara nikah dan sesuatu yang hanya main-main yaitu dengan adanya saksi.” At Tirmidzi berkata, “Hadits ini diamalkan oleh para ulama dari sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in sesudahnya dan selain mereka. Mereka berpendapat bahwa tidak ada nikah kecuali dengan adanya saksi. Tidak ada ulama terdahulu yang berselisih pendapat mengenai hal ini kecuali sebagian ulama belakangan yang berbeda.” (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 149).
Syaikh Abu Malik berkata bahwa hadits yang membicarakan hal ini saling menguatkan satu dan lainnya. Jika dikatakan “tidak ada nikah”, maka itu menunjukkan bahwa adanya saksi merupakan syarat sahnya nikah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 150).
Syaikh Musthofa Al Bugho berkata, “Persaksian merupakan rukun di antara rukun akad nikah, berbeda dengan akad lainnya karena begitu agungnya dan konsekuensi besar yang ditimbulkan dari akad tersebut. Rukun ini mesti ada demi kehati-hatian dan menghindari pengingkaran. Konsekuensinya pun bisa berakibat pada pelalaian hak-hak dan nasab.” (Lihat At Tadzhib, 177).
[2] Tidak boleh non muslim menjadi wali atau menjadi saksi bagi orang muslim. Dalilnya,
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebahagian yang lain.” (QS. At Taubah: 71). Jadi wali hanyalah dari orang-orang beriman.
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’: 141). Jadi tidak ada kekuasaan (sulthon) dan kuasa (perwalian) bagi orang kafir. Saksi termasuk perwalian. Sehingga tidak diterima persaksian non muslim bagi orang muslim.
[3] Anak kecil tidak bisa menjadi wali atau saksi (Lihat Kifayatul Akhyar, 2: 75)
[4] Orang gila tidak menjadi wali atau saksi (Lihat Kifayatul Akhyar, 2: 75)
[5] Tidak sah wanita menjadi wali untuk wanita (Lihat Kifayatul Akhyar, 2: 76). Dalilnya,
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Ahmad Syakir).
[6] Kafir dzimmi yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin dan sebagai gantinya mereka mengeluarkan jizyah (semacam upeti) sebagai kompensasi perlindungan kaum muslimin terhadap mereka.
[7] Imam Syafi’i berkata, “Walinya wanita kafir adalah laki-laki kafir. Karena laki-laki kafir tersebut memperhatikan harta anaknya, maka demikian dalam urusan nikah.” (Lihat Tuhfatul Labiib, 2: 749).
[8] Asalnya, tidak boleh wali yang berada dalam urutan terjauh menjadi wali selama masih ada yang dekat dalam urutan. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 144).
[9] Jika tidak ada wali dari ashobah dan bekas budak, barulah beralih pada wali hakim, yaitu penguasa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Penguasa adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali” (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan).
sumber : http://rumaysho.com/belajar-islam/muslimah/4036-saksi-dan-wali-dalam-nikah.html
Saat ini kita memasuki serial ketiga dari pembahasan Al Qodhi Ahmad bin Husain Al Ashfahaniy Asy Syafi’i dalam kitab matan Al Ghoyah wat Taqrib (matan Abi Syuja). Yang dibahas kali ini adalah mengenai syarat nikah yang mesti terdapat wali dan saksi.
Abu Syuja’ rahimahullah berkata,
Akad nikah tidaklah sah melainkan dengan wali dan dua saksi yang ‘adil (bukan orang fasik) [1].
Wali dan dua saksi tadi harus memenuhi 6 syarat:
- Islam [2]
- Baligh (dewasa)[3]
- Berakal [4]
- Merdeka (bukan hamba sahaya)
- Laki-laki [5]
- ‘Adel (bukan orang yang fasik)
Urutan wali nikah [8] :
- Ayah
- Kakek (ayah dari ayah)
- Saudara laki-laki kandung
- Saudara laki-laki seayah
- Anak dari saudara laki-laki kandung (keponakan)
- Anak dari saudara laki-laki seayah (keponakan)
- Paman (saudara ayah)
- Anak dari paman (sepupu)
Demikian penjelasan Abu Syuja’ pada kesempatan kali ini. Selanjutnya akan berlanjut pada pembahasan khitbah (lamaran). Moga Allah mudahkan untuk membahasnya.
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Pesantren Darush Sholihin, Warak-Girisekar, Panggang-GK, 6 Syawal 1433 H
www.rumaysho.com
______________________________________________
[1] Dalil bahwasanya nikah mesti dengan wali dan dua orang saksi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi”. (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya. Ibnu Hibban berkata bahwasanya tidak shahih penyebutan dua orang saksi kecuali dalam hadits ini) (Lihat Tuhfatul Labiib, 2: 747). Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Walaupun hadits ini munqothi’ (terputus) hanya sampai di bawah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kebanyakan para ulama mengamalkan hadits tersebut. Mereka berkata bahwa inilah bedanya antara nikah dan sesuatu yang hanya main-main yaitu dengan adanya saksi.” At Tirmidzi berkata, “Hadits ini diamalkan oleh para ulama dari sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in sesudahnya dan selain mereka. Mereka berpendapat bahwa tidak ada nikah kecuali dengan adanya saksi. Tidak ada ulama terdahulu yang berselisih pendapat mengenai hal ini kecuali sebagian ulama belakangan yang berbeda.” (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 149).
Syaikh Abu Malik berkata bahwa hadits yang membicarakan hal ini saling menguatkan satu dan lainnya. Jika dikatakan “tidak ada nikah”, maka itu menunjukkan bahwa adanya saksi merupakan syarat sahnya nikah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 150).
Syaikh Musthofa Al Bugho berkata, “Persaksian merupakan rukun di antara rukun akad nikah, berbeda dengan akad lainnya karena begitu agungnya dan konsekuensi besar yang ditimbulkan dari akad tersebut. Rukun ini mesti ada demi kehati-hatian dan menghindari pengingkaran. Konsekuensinya pun bisa berakibat pada pelalaian hak-hak dan nasab.” (Lihat At Tadzhib, 177).
[2] Tidak boleh non muslim menjadi wali atau menjadi saksi bagi orang muslim. Dalilnya,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebahagian yang lain.” (QS. At Taubah: 71). Jadi wali hanyalah dari orang-orang beriman.
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’: 141). Jadi tidak ada kekuasaan (sulthon) dan kuasa (perwalian) bagi orang kafir. Saksi termasuk perwalian. Sehingga tidak diterima persaksian non muslim bagi orang muslim.
[3] Anak kecil tidak bisa menjadi wali atau saksi (Lihat Kifayatul Akhyar, 2: 75)
[4] Orang gila tidak menjadi wali atau saksi (Lihat Kifayatul Akhyar, 2: 75)
[5] Tidak sah wanita menjadi wali untuk wanita (Lihat Kifayatul Akhyar, 2: 76). Dalilnya,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Ahmad Syakir).
[6] Kafir dzimmi yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin dan sebagai gantinya mereka mengeluarkan jizyah (semacam upeti) sebagai kompensasi perlindungan kaum muslimin terhadap mereka.
[7] Imam Syafi’i berkata, “Walinya wanita kafir adalah laki-laki kafir. Karena laki-laki kafir tersebut memperhatikan harta anaknya, maka demikian dalam urusan nikah.” (Lihat Tuhfatul Labiib, 2: 749).
[8] Asalnya, tidak boleh wali yang berada dalam urutan terjauh menjadi wali selama masih ada yang dekat dalam urutan. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 144).
[9] Jika tidak ada wali dari ashobah dan bekas budak, barulah beralih pada wali hakim, yaitu penguasa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Penguasa adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali” (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan).
sumber : http://rumaysho.com/belajar-islam/muslimah/4036-saksi-dan-wali-dalam-nikah.html
0 komentar:
Posting Komentar