Oleh Ustadz Abu Muslihh Ari Wahyudi
Menopang tauhid dengan ilmu adalah kewajiban.
Ketika menjelaskan maksud ayat ke-19 dari surat Ali Imran di atas, Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, “Ilmu yang diperintahkan oleh Allah ini -yaitu ilmu tentang [bagaimana] mentauhidkan Allah- hukumnya fardhu 'ain bagi setiap orang. Kewajiban ini tidak gugur dari seorang pun. Siapa pun dan apa pun kedudukannya. Bahkan, semuanya sangat membutuhkan ilmu tersebut.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 787)
Seorang hamba tidak mungkin bisa beriman kepada Allah dengan benar kecuali terlebih dahulu dia membekali dirinya dengan ilmu tentangnya (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 23 dan 25 karya Syaikh Shalih al-Fauzan).
Dengan ilmu tauhid yang semakin kokoh maka seorang muslim akan dapat menegakkan ubudiyah/penghambaan kepada Allah di sepanjang waktu dan di segala kondisi. Hal ini mengingat ibadah memiliki cakupan yang sangat luas. Ibadah -dalam pengertian yang komprehensif- tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Sebab makna dari ibadah itu adalah 'segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak [lahir] ataupun yang tersembunyi [batin]' (lihat al-'Ubudiyah, hal. 6)
Allah ta'ala menyanjung orang-orang yang berilmu dan mengistimewakan mereka di atas selainnya.
Sungguh aneh, orang yang demikian bersemangat mempelajari berbagai macam ilmu akan tetapi melalaikan atau meremehkan ilmu tentang tauhid. Padahal, ilmu tauhid inilah yang akan mengantarkan seorang hamba untuk bisa merasakan manisnya iman dan lezatnya ketaatan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)
Dengan ilmu tauhid seorang hamba akan bisa mendulang sekian banyak pahala walaupun dengan amalan yang seolah tampak biasa dan sederhana. Karena ketakwaan yang menjadi mahkota kemuliaan seorang insan adalah ketakwaan yang ditegakkan di atas keikhlasan dan tumbuh dari jiwa yang bertauhid.
Dengan memahami ilmu tauhid itulah seorang hamba akan bisa memposisikan dirinya di hadapan Allah. Dia bisa merasakan betapa agung hak Allah atas dirinya dan betapa besar kebutuhan dirinya terhadap pertolongan dan bimbingan-Nya. Dia menyadari, ketaatan -sehebat apapun- yang dia lakukan tidak akan pernah sebanding dengan nikmat yang dicurahkan Allah kepada dirinya.
Sebagaimana ilmu-ilmu yang lain, ilmu tauhid pun diambil dari sumber mata air yang sama; yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah.
Resiko salah penafsiran atau penyimpangan pemahaman terhadap ilmu tauhid akan bisa ditanggulangi dengan senantiasa merujuk kepada pemahaman generasi terbaik umat ini.
Generasi yang memahami maksud firman Allah dan sabda rasul-Nya serta menerapkannya dengan bimbingan langsung dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah ta'ala berfirman tentang mereka (yang artinya),
“Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, beserta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya...” (QS. at-Taubah: 100).
Mereka itulah yang kita kenal dengan sebutan salafus shalih.
sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150382368456123
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, bahwa tidak ada ilah -yang benar- selain Allah,
dan mintalah ampunan untuk dosamu.” (QS. Muhammad: 19).
“Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan dimintai pertanggungjawabannya.”
(QS. al-Israa': 36).
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-'Ashr: 1-3).
Menopang tauhid dengan ilmu adalah kewajiban.
Ketika menjelaskan maksud ayat ke-19 dari surat Ali Imran di atas, Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, “Ilmu yang diperintahkan oleh Allah ini -yaitu ilmu tentang [bagaimana] mentauhidkan Allah- hukumnya fardhu 'ain bagi setiap orang. Kewajiban ini tidak gugur dari seorang pun. Siapa pun dan apa pun kedudukannya. Bahkan, semuanya sangat membutuhkan ilmu tersebut.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 787)
Seorang hamba tidak mungkin bisa beriman kepada Allah dengan benar kecuali terlebih dahulu dia membekali dirinya dengan ilmu tentangnya (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 23 dan 25 karya Syaikh Shalih al-Fauzan).
- Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, niscaya akan Allah pahamkan dirinya dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kita pun telah mengetahui, bahwa tauhid merupakan kunci segala kebaikan.
- Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, “Perkara paling agung yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid itu mengandung kebaikan bagi hati, memberikan kelapangan, cahaya, dan sikap lapang dada. Dan dengan tauhid itu pula akan lenyaplah berbagai kotoran yang menodainya. Pada tauhid itu terkandung kemaslahatan bagi badan, serta bagi [kehidupan] dunia dan akhirat. Adapun perkara paling besar yang dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang hal itu menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati, bagi badan, ketika di dunia maupun di akhirat. Segala kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua adalah buah dari tauhid. Demikian pula, semua keburukan di dunia dan di akhirat, maka itu semua adalah buah dari syirik.” (al-Qawa'id al-Fiqhiyah, hal. 18).
Dengan ilmu tauhid yang semakin kokoh maka seorang muslim akan dapat menegakkan ubudiyah/penghambaan kepada Allah di sepanjang waktu dan di segala kondisi. Hal ini mengingat ibadah memiliki cakupan yang sangat luas. Ibadah -dalam pengertian yang komprehensif- tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Sebab makna dari ibadah itu adalah 'segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak [lahir] ataupun yang tersembunyi [batin]' (lihat al-'Ubudiyah, hal. 6)
Allah ta'ala menyanjung orang-orang yang berilmu dan mengistimewakan mereka di atas selainnya.
- Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu/ulama.” (QS. Fathir: 28).
- Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman di antara kalian, dan yang diberikan ilmu [lebih tinggi lagi] berderajat-derajat.” (QS. al-Mujadilah: 11)
Sungguh aneh, orang yang demikian bersemangat mempelajari berbagai macam ilmu akan tetapi melalaikan atau meremehkan ilmu tentang tauhid. Padahal, ilmu tauhid inilah yang akan mengantarkan seorang hamba untuk bisa merasakan manisnya iman dan lezatnya ketaatan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)
Dengan ilmu tauhid seorang hamba akan bisa mendulang sekian banyak pahala walaupun dengan amalan yang seolah tampak biasa dan sederhana. Karena ketakwaan yang menjadi mahkota kemuliaan seorang insan adalah ketakwaan yang ditegakkan di atas keikhlasan dan tumbuh dari jiwa yang bertauhid.
- Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging-dagingnya, tidak juga darahnya, akan tetapi yang akan sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian.” (QS. al-Hajj: 37).
- Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Hal itu dikarenakan barangsiapa yang mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, sesungguhnya itu muncul dari ketakwaan [yang ada] di dalam hati.” (QS. al-Hajj: 32).
- Ibnul Mubarak pernah mengatakan, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak amalan yang besar justru menjadi kecil juga karena niat.” (lihat Jami' al-'Ulum wa al-Hikam karya Ibnu Rajab al-Hanbali).
- Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu akan dinilai berdasarkan niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan memahami ilmu tauhid itulah seorang hamba akan bisa memposisikan dirinya di hadapan Allah. Dia bisa merasakan betapa agung hak Allah atas dirinya dan betapa besar kebutuhan dirinya terhadap pertolongan dan bimbingan-Nya. Dia menyadari, ketaatan -sehebat apapun- yang dia lakukan tidak akan pernah sebanding dengan nikmat yang dicurahkan Allah kepada dirinya.
- Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu mengatakan, “Seorang mukmin akan melihat dosa-dosanya seolah-olah dia sedang duduk di bawah sebuah gunung. Dia khawatir gunung itu akan runtuh menimpanya.” (HR. Bukhari).
- Anas bin Malik radhiyallahu'anhu pun mengatakan, “Sesungguhnya kalian akan melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan kalian hal itu lebih ringan daripada rambut [sepele], akan tetapi di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kami menganggapnya sebagai perkara yang membinasakan.” (HR. Bukhari).
Sebagaimana ilmu-ilmu yang lain, ilmu tauhid pun diambil dari sumber mata air yang sama; yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah.
- Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami telah turunkan kepadamu adz-Dzikra [al-Qur'an] untuk kamu jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, dan mudah-mudahan mereka mau berpikir.” (QS. an-Nahl: 44).
- Allah ta'ala juga menegaskan (yang artinya), “Kemudian jika kalian berselisih tentang suatu perkara, kembalikanlah kepada Allah [al-Qur'an] dan Rasul [as-Sunnah], jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir...” (QS. an-Nisaa': 59).
- Allah ta'ala pun memperingatkan (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi perintah/tuntunan rasul itu, karena mereka akan tertimpa fitnah/petaka atau siksaan yang sangat pedih.” (QS. an-Nuur: 63).
Resiko salah penafsiran atau penyimpangan pemahaman terhadap ilmu tauhid akan bisa ditanggulangi dengan senantiasa merujuk kepada pemahaman generasi terbaik umat ini.
Generasi yang memahami maksud firman Allah dan sabda rasul-Nya serta menerapkannya dengan bimbingan langsung dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah ta'ala berfirman tentang mereka (yang artinya),
“Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, beserta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya...” (QS. at-Taubah: 100).
Mereka itulah yang kita kenal dengan sebutan salafus shalih.
sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150382368456123
0 komentar:
Posting Komentar