Oleh Ustadz Abu Muslih Ari Wahyudi.
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
Seandainya memang hal ini tauhid yang dimaksud niscaya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak perlu mendakwahi apalagi memerangi orang-orang musyrik ketika itu. Toh, mereka sudah mengakui dan mengimaninya.
Keyakinan semacam itu -yang biasa dikenal dengan istilah tauhid rububiyah- merupakan dalil atau landasan untuk menetapkan tauhid uluhiyah (mengesakan Allah dalam beribadah). Barangsiapa yang telah mengakui tauhid rububiyah maka wajib baginya untuk mengakui tauhid uluhiyah (lihat Syarh Kasyf asy-Syubuhat, hal. 19 karya Syaikh Shalih al-Fauzan)
Berdasarkan pemahaman yang keliru tentang tauhid inilah muncul anggapan bahwa tauhid sudah ada dalam dada-dada manusia.
Tentu saja penafsiran tauhid yang keliru memiliki dampak yang sangat berbahaya. Yang jelas, salah dalam memahami tauhid berarti salah dalam memahami tujuan hidup dan keliru dalam memaknai misi utama dakwah para nabi dan rasul. Ibarat sebuah bangunan, tauhid adalah pondasi agama. Tentu bangunan tersebut akan rapuh dan mudah roboh jika pondasinya tidak kuat. Amal -sebesar dan sebanyak- apapun menjadi tak bernilai jika tidak dilandasi dengan tauhid.
Padahal, kehidupan yang kita jalani ini adalah sebuah ujian untuk membuktikan siapakah di antara kita yang terbaik amalnya. Kalau suatu amal saja sudah tidak diterima -akibat terkotori syirik- bagaimana mungkin ia layak disebut sebagai amalan yang baik, apalagi mendapatkan predikat amalan yang terbaik?.
Bagaimana orang bisa mengerjakan soal ujian dengan sukses jika maksud soalnya saja tidak paham?!
Di sinilah letak pentingnya ilmu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, “Ilmu sebelum perkataan dan perbuatan.” Para orang tua tentu merasa resah jika anaknya tidak paham matematika. Namun, resahkah mereka ketika anaknya tidak memahami tauhid sebagaimana mestinya?
sumber : http://www.facebook.com/abumushlih?sk=notes&s=20#!/note.php?note_id=10150379891081123
“Sembahlah Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”
(QS. an-Nahl: 36).
(QS. an-Nahl: 36).
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru kepada selain Allah sesuatu apapun bersama-Nya.”
(QS. al-Jin: 19).
(QS. al-Jin: 19).
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Wahai umat manusia, sembahlah Rabb kalian,
yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian,
mudah-mudahan kalian bertakwa. Allah yang telah menjadikan bumi itu
sebagai hamparan untuk kalian dan langit sebagai atap.
Dan Allah turunkan dari langit air (hujan), kemudian dengan sebab air
itu Allah tumbuhkan berbagai jenis buah-buahan sebagai rizki untuk kalian. Maka janganlah kalian mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah
sedangkan kalian mengetahui.”
(QS. al-Baqarah: 21-22).
yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian,
mudah-mudahan kalian bertakwa. Allah yang telah menjadikan bumi itu
sebagai hamparan untuk kalian dan langit sebagai atap.
Dan Allah turunkan dari langit air (hujan), kemudian dengan sebab air
itu Allah tumbuhkan berbagai jenis buah-buahan sebagai rizki untuk kalian. Maka janganlah kalian mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah
sedangkan kalian mengetahui.”
(QS. al-Baqarah: 21-22).
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Dan sungguh, jika engkau (Muhammad) tanyakan kepada mereka
siapakah yang menciptakan langit dan bumi?
Tentu mereka akan menjawab, 'Allah'.”
siapakah yang menciptakan langit dan bumi?
Tentu mereka akan menjawab, 'Allah'.”
(QS. Luqman: 25).
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Dan sungguh, jika engkau (Muhammad) tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Tentu mereka akan menjawab,
'Yang menciptakannya adalah Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui'.”
(QS. az-Zukhruf: 9).
'Yang menciptakannya adalah Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui'.”
(QS. az-Zukhruf: 9).
- Ayat-ayat di atas menerangkan dengan gamblang tentang kandungan tauhid. Tauhid berarti mempersembahkan ibadah kepada Allah semata, bukan kepada selain-Nya. Inilah yang sering disebut dengan istilah tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Karena Allah semata yang menciptakan dan memberikan rizki, maka hanya Allah yang berhak diibadahi. Inilah tafsiran tauhid yang benar.
- Di samping itu, ayat-ayat di atas juga menegaskan bahwa orang-orang musyrik di masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam -demikian juga orang kafir secara umum- telah mengakui keesaan Allah dalam hal menciptakan alam semesta ini (biasa dikenal dengan istilah tauhid rububiyah). Walaupun pemeluk agama selain Islam terkadang menamai Allah dengan nama atau istilah yang lain. Pada hakikatnya mereka semua telah mengakui dan mengimani hal ini (lihat al-Min-hah al-Ilahiyah, hal. 38-39, Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 79-81 oleh Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi)
- Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi berkata, “Sesungguhnya orang-orang musyrik arab dahulu telah mengakui tauhid rububiyah. Mereka pun mengakui bahwa pencipta langit dan bumi ini hanya satu.” (Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 81, lihat juga Fath al-Majid, hal. 16, baca juga Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [6/201] [7/167] karya al-Hafizh Ibnu Katsir).
- Ikrimah berkata, “Tidaklah kebanyakan mereka -orang-orang musyrik- beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan berbuat syirik. Apabila kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Maka mereka akan menjawab, 'Allah'. Itulah keimanan mereka, namun di saat yang sama mereka juga beribadah kepada selain-Nya.” (Shahih Bukhari hal. 1494, Fath al-Bari [13/556]).
Seandainya memang hal ini tauhid yang dimaksud niscaya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak perlu mendakwahi apalagi memerangi orang-orang musyrik ketika itu. Toh, mereka sudah mengakui dan mengimaninya.
Keyakinan semacam itu -yang biasa dikenal dengan istilah tauhid rububiyah- merupakan dalil atau landasan untuk menetapkan tauhid uluhiyah (mengesakan Allah dalam beribadah). Barangsiapa yang telah mengakui tauhid rububiyah maka wajib baginya untuk mengakui tauhid uluhiyah (lihat Syarh Kasyf asy-Syubuhat, hal. 19 karya Syaikh Shalih al-Fauzan)
- Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Sebagaimana pula wajib diketahui bahwa pengakuan terhadap tauhid rububiyah saja tidaklah mencukupi dan tidak bermanfaat kecuali apabila disertai dengan pengakuan terhadap tauhid uluhiyah dan benar-benar merealisasikannya dengan ucapan, amalan, dan keyakinan...” (Syarh Kasyf asy-Syubuhat, hal. 24-25).
Berdasarkan pemahaman yang keliru tentang tauhid inilah muncul anggapan bahwa tauhid sudah ada dalam dada-dada manusia.
Tentu saja penafsiran tauhid yang keliru memiliki dampak yang sangat berbahaya. Yang jelas, salah dalam memahami tauhid berarti salah dalam memahami tujuan hidup dan keliru dalam memaknai misi utama dakwah para nabi dan rasul. Ibarat sebuah bangunan, tauhid adalah pondasi agama. Tentu bangunan tersebut akan rapuh dan mudah roboh jika pondasinya tidak kuat. Amal -sebesar dan sebanyak- apapun menjadi tak bernilai jika tidak dilandasi dengan tauhid.
Padahal, kehidupan yang kita jalani ini adalah sebuah ujian untuk membuktikan siapakah di antara kita yang terbaik amalnya. Kalau suatu amal saja sudah tidak diterima -akibat terkotori syirik- bagaimana mungkin ia layak disebut sebagai amalan yang baik, apalagi mendapatkan predikat amalan yang terbaik?.
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.”
(QS. al-Mulk: 2)
- al-Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Yang dimaksud -amal terbaik- adalah yang paling ikhlas dan paling benar.” Orang-orang pun bertanya kepadanya, “Wahai Abu Ali! Apa maksud amal yang paling ikhlas dan paling benar itu?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya suatu amalan itu jika ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak diterima. Demikian pula jika ia benar namun tidak ikhlas juga tidak diterima. Kecuali apabila amal itu ikhlas dan benar. Ikhlas yaitu apabila [ikhlas] karena Allah, sedangkan benar adalah apabila di atas Sunnah/tuntunan.” (dinukil dari adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [6/116] yang merupakan kumpulan tafsir Ibnul Qayyim).
Allah ta'ala juga menetapkan (yang artinya),
“Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya,
hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Tuhannya dengan sesuatu apapun.”
(QS. al-Kahfi: 110).
- Inilah yang dimaksud dengan ketakwaan yang menjadi syarat diterimanya amalan. Sebagaimana yang disebutkan Allah 'azza wa jalla dalam firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya Allah hanya akan menerima [amalan] dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Ma'idah: 27).
- Maksud ketakwaan di sini adalah melakukan amal tersebut dengan ikhlas mengharap wajah-Nya dan sesuai dengan tuntunan rasul-Nya. Itulah amalan yang akan diterima (lihat adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [6/116], Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 229).
Bagaimana orang bisa mengerjakan soal ujian dengan sukses jika maksud soalnya saja tidak paham?!
Di sinilah letak pentingnya ilmu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, “Ilmu sebelum perkataan dan perbuatan.” Para orang tua tentu merasa resah jika anaknya tidak paham matematika. Namun, resahkah mereka ketika anaknya tidak memahami tauhid sebagaimana mestinya?
sumber : http://www.facebook.com/abumushlih?sk=notes&s=20#!/note.php?note_id=10150379891081123
0 komentar:
Posting Komentar