Oleh Ustadz Abu Muslih Ari Wahyudi.
Ayat-ayat di atas dengan jelas menunjukkan kepada kita bahwa dakwah tauhid bukan saja dibutuhkan, bahkan ia menjadi ruh dakwah Islam dan misi utama dakwah para rasul 'alaihimush sholatu was salam. Tidak ada kebaikan bagi umat tanpa tauhid. Mendakwahkan tauhid berarti menyadarkan manusia tentang tujuan hidup mereka. Tauhid adalah syarat diterimanya amalan. Tidak akan diterima amal apa pun tanpa tauhid. Tidak ada ketentraman dan petunjuk tanpa tauhid. Surga pun diharamkan bagi orang-orang yang tidak bertauhid (baca juga al-Irsyad ila Shahih al-I'tiqad, hal. 19-23).
Sebagaimana hal itu pernah saya dengar langsung dalam sebuah acara kajian di salah satu musholla Fakultas sebuah perguruan tinggi ternama di Yogyakarta beberapa tahun yang silam. Yang lebih aneh lagi, beliau ini termasuk salah seorang alumni Universitas Islam Madinah Saudi Arabia. Sungguh menyedihkan!
Kejadian semacam itu tidak hanya sekali. Bahkan ia berulang kali terjadi, meskipun dengan pembicara, momen, dan ungkapan yang berlainan. Sampai-sampai terdengar cletukan di antara kader mereka tentang dakwah ini, mereka berkata, “Dari dulu tauhid melulu yang dibahas.”
Ada lagi sebagian kalangan yang menilai bahwa gencar mendakwahkan tauhid serta memperingatkan umat akan bahaya syirik termasuk tindakan berlebihan yang mencerminkan prasangka buruk/su'uzh zhan terhadap akidah kaum muslimin. Padahal, di saat yang sama mereka juga getol menyerukan penerapan sistem khilafah -sekarang juga- dengan alasan penerapan hukum-hukum buatan manusia -oleh negara- adalah bentuk kemusyrikan. Padahal, sebagaimana telah dikenal di kalangan ulama bahwa syirik dalam masalah hukum -besar ataupun kecil- adalah sebagian saja -tanpa bermaksud meremehkan- dari berbagai macam bentuk kemusyrikan yang ada. Tentu saja sikap semacam itu adalah sikap yang tidak objektif dan tidak bijak (silahkan baca juga keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan dalam Syarh Kitab Kasyfu asy-Syubuhat, hal. 46)
Yang menambah hati ini semakin tersayat adalah tatkala kesalahpahaman semacam ini -sengaja atau tidak sengaja- berusaha ditumbuhsuburkan di tengah-tengah kaum muslimin melalui berbagai macam cara. Tidak sedikit di antara guru agama atau pun sosok yang disebut sebagai da'i, ustadz ataupun kyai yang memahami tauhid dengan pengertian yang keliru. Mereka mengira bahwa pengakuan tentang keesaan wujud Allah, Allah sebagai satu-satunya pencipta, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, serta pengatur segala urusan itulah hakikat dari ajaran tauhid. Berikut ini contohnya.
Di dalam sebuah buku pelajaran akidah yang diajarkan di madrasah-madrasah Durus al-'Aqa'id ad-Diniyah li Talamidzati al-Madaris al-Islamiyah [Juz 2, hal. 4] disebutkan bahwa tauhid adalah: Ilmu untuk mengetahui sifat-sifat wajib, sifat mustahil, dan sifat yang boleh bagi diri Allah dan para rasul-Nya 'alaihimush sholatu was salam.
sumber : http://www.facebook.com/abumushlih?sk=notes&s=20#!/note.php?note_id=10150375765506123
“Katakanlah (Muhammad): Inilah jalanku. Aku menyeru kepada Allah di atas bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Dan Maha Suci Allah, aku bukan termasuk orang-orang musyrik.”
(QS. Yusuf: 108).
(QS. Yusuf: 108).
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Sungguh, Kami telah mengutus pada setiap umat, seorang rasul yang mengajak; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut itu.” (QS. an-Nahl: 36).
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang mengajak
kepada Allah, beramal salih, dan dia mengatakan;
Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang pasrah/muslim.”
kepada Allah, beramal salih, dan dia mengatakan;
Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang pasrah/muslim.”
(QS. Fushshilat: 33).
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “
Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku (semata).”
beribadah kepada-Ku (semata).”
(QS. adz-Dzariyat: 56).
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka Allah haramkan atasnya surga dan tempat kembalinya adalah neraka.
Dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.”
(QS. al-Ma'idah: 72).
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Sungguh telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan juga kepada
[nabi-nabi] yang sebelummu; Apabila kamu berbuat syirik maka seluruh amalmu benar-benar akan terhapus, dan kamu akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65).
[nabi-nabi] yang sebelummu; Apabila kamu berbuat syirik maka seluruh amalmu benar-benar akan terhapus, dan kamu akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65).
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka pula yang akan mendapatkan petunjuk.”
(QS. al-An'aam: 82).
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberikan nasehat kepadanya, 'Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah.
Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.”
(QS. Luqman: 13).
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Ya'qub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, 'Apa yang akan kalian sembah sepeninggalku nanti?'. Mereka menjawab, 'Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Isma'il dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha esa, dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.”
(QS. al-Baqarah: 133).
- Itu artinya, mati tidak di atas tauhid menjadi petaka yang sangat menakutkan. Jangankan manusia biasa seperti kita, Nabi Ibrahim 'alaihis salam saja -seorang imam dan teladan bagi kaum muwahhid bahkan mendapatkan gelar dari Allah sebagai khalilullah/kekasih Allah- sangat merasa khawatir akan bahaya syirik. Allah ta'ala berfirman menceritakan doa Ibrahim (yang artinya), “[Ya Allah] Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah berhala.” (QS. Ibrahim: 35).
- Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, bahwa Ibrahim at-Taimi mengomentari ayat ini, “Lantas, siapakah yang bisa merasa aman dari petaka ini setelah Ibrahim?” (Fath al-Majid, hal. 72).
- Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Aku telah berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka semuanya merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan.” (HR. Bukhari secara mu'allaq) (lihat al-Qaul al-Mufid [1/72] karya Syaikh Ibnu Utsaimin).
Sebagaimana hal itu pernah saya dengar langsung dalam sebuah acara kajian di salah satu musholla Fakultas sebuah perguruan tinggi ternama di Yogyakarta beberapa tahun yang silam. Yang lebih aneh lagi, beliau ini termasuk salah seorang alumni Universitas Islam Madinah Saudi Arabia. Sungguh menyedihkan!
Kejadian semacam itu tidak hanya sekali. Bahkan ia berulang kali terjadi, meskipun dengan pembicara, momen, dan ungkapan yang berlainan. Sampai-sampai terdengar cletukan di antara kader mereka tentang dakwah ini, mereka berkata, “Dari dulu tauhid melulu yang dibahas.”
Ada lagi sebagian kalangan yang menilai bahwa gencar mendakwahkan tauhid serta memperingatkan umat akan bahaya syirik termasuk tindakan berlebihan yang mencerminkan prasangka buruk/su'uzh zhan terhadap akidah kaum muslimin. Padahal, di saat yang sama mereka juga getol menyerukan penerapan sistem khilafah -sekarang juga- dengan alasan penerapan hukum-hukum buatan manusia -oleh negara- adalah bentuk kemusyrikan. Padahal, sebagaimana telah dikenal di kalangan ulama bahwa syirik dalam masalah hukum -besar ataupun kecil- adalah sebagian saja -tanpa bermaksud meremehkan- dari berbagai macam bentuk kemusyrikan yang ada. Tentu saja sikap semacam itu adalah sikap yang tidak objektif dan tidak bijak (silahkan baca juga keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan dalam Syarh Kitab Kasyfu asy-Syubuhat, hal. 46)
Yang menambah hati ini semakin tersayat adalah tatkala kesalahpahaman semacam ini -sengaja atau tidak sengaja- berusaha ditumbuhsuburkan di tengah-tengah kaum muslimin melalui berbagai macam cara. Tidak sedikit di antara guru agama atau pun sosok yang disebut sebagai da'i, ustadz ataupun kyai yang memahami tauhid dengan pengertian yang keliru. Mereka mengira bahwa pengakuan tentang keesaan wujud Allah, Allah sebagai satu-satunya pencipta, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, serta pengatur segala urusan itulah hakikat dari ajaran tauhid. Berikut ini contohnya.
Di dalam sebuah buku pelajaran akidah yang diajarkan di madrasah-madrasah Durus al-'Aqa'id ad-Diniyah li Talamidzati al-Madaris al-Islamiyah [Juz 2, hal. 4] disebutkan bahwa tauhid adalah: Ilmu untuk mengetahui sifat-sifat wajib, sifat mustahil, dan sifat yang boleh bagi diri Allah dan para rasul-Nya 'alaihimush sholatu was salam.
- Di dalam buku itu juga diterangkan makna iman kepada Allah: “Makna iman kepada Allah adalah kita meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta'ala yang telah menciptakan langit dan bumi serta seluruh alam, Allah itu ada dan tunggal, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah memiliki sifat-sifat yang wajib dan sifat yang boleh. Namun Allah tersucikan dari sifat-sifat yang mustahil dan dari segalacela/kekurangan.” (Durus al-'Aqa'id, hal. 5).
sumber : http://www.facebook.com/abumushlih?sk=notes&s=20#!/note.php?note_id=10150375765506123
0 komentar:
Posting Komentar