Millah Ibrahim

Oleh Ustadz Abu Muslih Ari Wahyudi.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“... Maka ikutilah millah Ibrahim yang lurus, dan tidaklah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 95).

Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu; hendaklah kamu mengikuti millah Ibrahim yang lurus itu, dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.”
(QS. an-Nahl: 123).

Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Katakanlah (Muhammad), 'Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku
petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama/millah Ibrahim
yang lurus. Dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik.'.”
(QS. al-An'am: 161).

Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Ibrahim bukanlah Yahudi, bukan pula Nasrani, akan tetapi dia adalah
seorang yang hanif/bertauhid dan seorang muslim, dan dia bukanlah
termasuk golongan orang-orang musyrik.”
(QS. Ali Imran: 67).

Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang pemimpin teladan yang mengajarkan kebaikan, seorang hamba yang patuh kepada Allah, seorang yang hanif/bertauhid, dan dia bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.”
(QS. an-Nahl: 120).
  • Ayat-ayat di atas secara gamblang menjelaskan kepada kita bahwa Ibrahim 'alaihis salam merupakan sosok teladan bagi umat manusia. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun diperintahkan untuk mengikuti ajarannya. Ajaran atau millah Ibrahim itu adalah tauhid.
Sebagai konsekuensinya, Ibrahim 'alaihis salam dan pengikut ajarannya menjadi orang-orang yang berlepas diri dari segala bentuk kemusyrikan. Dengan tegas Allah nyatakan bahwa Ibrahim seorang muslim, bukan Yahudi ataupun Nasrani. Tidak berhenti di situ saja, Allah juga berulang-kali menegaskan bahwa Ibrahim 'alaihis salam tidak termasuk orang-orang musyrik.

Hal ini akan semakin bertambah jelas dan gamblang apabila kita cermati ayat-ayat berikut ini dengan seksama:

Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Ingatlah, ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya,
sesungguhnya aku berlepas diri dari segala yang kalian sembah
kecuali Dzat yang menciptakanku...”
(QS. az-Zukhruf: 26).
 
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Sungguh telah ada teladan yang baik untuk kalian pada diri Ibrahim
 dan orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya, Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian, dan telah jelas antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya,
sampai kalian mau beriman kepada Allah saja...”
(QS. al-Mumtahanah: 4).
 
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“[Dan Ibrahim berdoa; Ya Allah] jauhkanlah aku dan anak keturunanku
dari penyembahan berhala.”
(QS. Ibrahim: 35).
  • Ayat-ayat tersebut kembali mengingatkan kita, bahwa hakikat ajaran Nabi Ibrahim 'alaihis salam adalah tauhid, yang di dalamnya terkandung dua unsur pokok yaitu nafi [penolakan] dan itsbat [penetapan].
  • Maksud dari nafi adalah menolak segala sesembahan selain Allah dan bentuk-bentuk peribadahan kepada selain-Nya.
  • Adapun itsbat adalah menetapkan bahwa hanya Allah yang berhak untuk diibadahi. Ini pula kandungan dari syahadat laa ilaaha illallaah yang senantiasa kita ucapkan.
Sungguh kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, bahwa masih banyak di antara kaum muslimin yang belum memahami hakikat ini. Sehingga kita dapati sebagian mereka -kalau tidak mau dikatakan banyak- yang terjerumus ke dalam praktek-praktek kemusyrikan -besar maupun kecil- dalam keadaan tidak menyadarinya.

Padahal, dalam setiap raka'at sholat kita senantiasa mengikrarkan keyakinan tauhid ini dengan membaca Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin. Hanya kepada-Mu ya Allah kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. Begitu lancar dan hafalnya kita mengucapkan kalimat ini. Namun di saat yang sama begitu banyak fenomena penyimpangan tauhid yang kita jumpai di negeri ini. Negeri yang dikatakan berpenduduk muslim terbesar di muka bumi...

Mengapa hal ini bisa terjadi, padahal jumlah kaum muslimin mayoritas?

Sedemikian bangganya dengan jumlah ini sampai-sampai seorang tokoh di negeri ini mengatakan, “Sebenarnya dari segi jumlah, tidak ada yang perlu dirisaukan tentang masa depan Islam di Indonesia. Sensus penduduk tahun 2000 mencatat bahwa jumlah umat Islam di negeri ini berada pada angka 88,22%, sebuah persentase yang tinggi sekali.” (lihat Ilusi Negara Islam, hal 7)

Ya, tentu saja kita merasa risau jika jumlah yang besar ini tidak dibarengi dengan pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam itu sendiri. Jumlah yang besar bukan standar kebenaran.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Jika kamu mengikuti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.”
(QS. al-An'aam: 116).

Bahkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya, “Islam itu datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing sebagaimana datangnya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing itu.” (HR. Muslim).

Dalam hadits Hudzaifah yang populer, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan tentang kondisi kaum muslimin yang dikerumuni oleh musuh-musuhnya ibarat hidangan makanan yang dikerumuni oleh orang-orang yang hendak menyantapnya. Seorang sahabat pun bertanya, “Apakah jumlah kami -umat Islam- ketika itu sedikit?”. Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam -yang berbicara dengan wahyu- menjawab, “Tidak, akan tetapi jumlah kalian ketika itu banyak. Hanya saja kalian ketika itu seperti buih banjir...” (HR. Abu Dawud).

Demikian pula, di dalam al-Qur'an Allah telah menggambarkan bahwa kemenangan pasukan umat Islam bukanlah karena jumlah mereka yang banyak. Kemenangan itu datang dengan pertolongan dan bantuan dari Allah kepada orang-orang yang beriman.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Dan (ingatlah) perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu
membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu,
kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang langgang.”
(QS. at-Taubah: 25)

Kembali pada pokok pembicaraan,
maka millah Ibrahim bukanlah berarti pembenaran terhadap agama-agama selain Islam. Millah Ibrahim tidak bisa dimaknakan dengan 'satu tuhan banyak jalan'.

Millah Ibrahim juga tidak bisa ditafsirkan dengan kebebasan beragama, berdalih bahwa semua agama walaupun secara penampilan berbeda akan tetapi hakikat dan tujuannya sama. Seperti ucapan, Bahwa setiap agama merupakan ekspresi keimanan kepada Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama".

Pendapat-pendapat semacam itu jelas bertentangan dengan al-Qur'an, sebagaimana sudah dipaparkan di depan. Alangkah sombongnya suatu kaum jika ayat-ayat yang sudah jelas dan gamblang ini pun ditolak.

sumber : http://www.facebook.com/abumushlih?sk=notes&s=20#!/note.php?note_id=10150373902826123


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger