“Menurut anda, apa sih parameter sukses itu?”
Akan muncul banyak jawaban untuk pertanyaan ini. Apalagi bagi kalangan para pendakwah dan penyeru kebangkitan Islam. Setiap orang akan mengajukan sesuatu yang menurut mereka sebagai simbol dan indikasi kesuksesan.
Sebagian memandang bahwa sukses itu diukur dengan jumlah kursi di parlemen yang berhasil mereka raih. Sebagian lagi menilai bahwa sukses itu ditandai dengan menjamurnya majelis-majelis dzikir ala sufi. Sebagian lagi menganggap bahwa parameter sukses itu adalah tegaknya khilafah. Dan mungkin masih banyak lagi pendapat yang akan dikemukakan oleh masing-masing kelompok..
Namun, tidak bijak rasanya jika kita mendengarkan pendapat mereka dengan mengabaikan pedoman utama kaum muslimin, yaitu al-Qur'an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Selidik punya selidik, ternyata apa yang diuraikan oleh al-Qur'an, demikian pula di dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jauh dari apa yang mereka bayangkan...
Pertama,
marilah kita lihat apa sebenarnya maksud dan hikmah diciptakannya jin dan manusia di alam dunia ini. Bukankah Allah ta'ala telah menerangkannya? Ya, Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56).
Lantas, apa hubungannya?
Kedua,
marilah kita cermati apa sebenarnya misi utama dakwah para nabi dan rasul di atas muka bumi ini. Tentu saja Allah juga sudah menjelaskannya...
Apa saja contoh thaghut itu?
Syaikh Ibnu Utsaimin menerangkan, contoh sosok yang disembah adalah berhala-berhala. Contoh sosok yang ditaati adalah para pemimpin yang melenceng dari ketaatan kepada Allah; yang mereka berani menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah ataupun sebaliknya. Adapun contoh sosok yang diikuti yaitu para dukun, tukang sihir dan para ulama yang jahat (lihat al-Qaul al-Mufid [1/14]).
Lantas, apa hubungannya?
Dari sini, kita mengetahui bahwa sesungguhnya menyempitkan makna thaghut kepada salah satu dari ketiga tafsiran tadi adalah bentuk pembodohan kepada umat. Dan orang yang pandai itu diberikan isyarat saja sudah cukup..
Ringkasnya, alangkah tidak bijak menjadikan banyaknya jumlah simpatisan, jumlah kursi di parlemen, banyaknya sekolah yang didirikan, banyaknya seminar dan daurah yang diadakan, deretan gelar akademis para lulusan, dan lain sebagainya sebagai ukuran keberhasilan. Padahal, ikhlas itulah sebenarnya yang menjadi ukuran... Allahu a'lam bish shawaab.
Oleh Ustadz Abu Muslih Ari Wahyudi
sumber : http://www.facebook.com/abumushlih?sk=notes&s=50#!/note.php?note_id=10150308812206123
Akan muncul banyak jawaban untuk pertanyaan ini. Apalagi bagi kalangan para pendakwah dan penyeru kebangkitan Islam. Setiap orang akan mengajukan sesuatu yang menurut mereka sebagai simbol dan indikasi kesuksesan.
Sebagian memandang bahwa sukses itu diukur dengan jumlah kursi di parlemen yang berhasil mereka raih. Sebagian lagi menilai bahwa sukses itu ditandai dengan menjamurnya majelis-majelis dzikir ala sufi. Sebagian lagi menganggap bahwa parameter sukses itu adalah tegaknya khilafah. Dan mungkin masih banyak lagi pendapat yang akan dikemukakan oleh masing-masing kelompok..
Namun, tidak bijak rasanya jika kita mendengarkan pendapat mereka dengan mengabaikan pedoman utama kaum muslimin, yaitu al-Qur'an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Selidik punya selidik, ternyata apa yang diuraikan oleh al-Qur'an, demikian pula di dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jauh dari apa yang mereka bayangkan...
Pertama,
marilah kita lihat apa sebenarnya maksud dan hikmah diciptakannya jin dan manusia di alam dunia ini. Bukankah Allah ta'ala telah menerangkannya? Ya, Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56).
Lantas, apa hubungannya?
- Ini artinya, tingkat keberhasilan dan kesuksesan seseorang itu diukur dengan sejauh mana kesuksesannya dalam menjalani ibadah. Yang tentu saja hal itu tidak akan pernah tercapai kecuali dengan keikhlasan. Oleh sebab itu para ulama kita menafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan ibadah di dalam ayat ini adalah tauhid (lihat al-Qaul al-Mufid [1/12]).
Kedua,
marilah kita cermati apa sebenarnya misi utama dakwah para nabi dan rasul di atas muka bumi ini. Tentu saja Allah juga sudah menjelaskannya...
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul -yang menyerukan- : Sembahlah Allah dan jauhi thaghut itu.”
(QS. an-Nahl: 36).
- Makna dari thaghut adalah segala sesuatu yang mengantarkan manusia kepada sikap melampaui batas -dengan menujukan ibadah kepada yang tidak berhak menerimanya- dalam bentuk sesembahan, orang yang ditaati ataupun sosok yang diikuti (lihat al-Qaul al-Mufid [1/13])
Apa saja contoh thaghut itu?
Syaikh Ibnu Utsaimin menerangkan, contoh sosok yang disembah adalah berhala-berhala. Contoh sosok yang ditaati adalah para pemimpin yang melenceng dari ketaatan kepada Allah; yang mereka berani menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah ataupun sebaliknya. Adapun contoh sosok yang diikuti yaitu para dukun, tukang sihir dan para ulama yang jahat (lihat al-Qaul al-Mufid [1/14]).
Lantas, apa hubungannya?
Dari sini, kita mengetahui bahwa sesungguhnya menyempitkan makna thaghut kepada salah satu dari ketiga tafsiran tadi adalah bentuk pembodohan kepada umat. Dan orang yang pandai itu diberikan isyarat saja sudah cukup..
Ringkasnya, alangkah tidak bijak menjadikan banyaknya jumlah simpatisan, jumlah kursi di parlemen, banyaknya sekolah yang didirikan, banyaknya seminar dan daurah yang diadakan, deretan gelar akademis para lulusan, dan lain sebagainya sebagai ukuran keberhasilan. Padahal, ikhlas itulah sebenarnya yang menjadi ukuran... Allahu a'lam bish shawaab.
Oleh Ustadz Abu Muslih Ari Wahyudi
sumber : http://www.facebook.com/abumushlih?sk=notes&s=50#!/note.php?note_id=10150308812206123
0 komentar:
Posting Komentar