Istiwa dan Duduk.
Sebuah rumor disebarkan oleh orang-orang tertentu bahwa Ibnu taimiyah memaknakan istiwa dengan duduk serta menetapkan sifat duduk kepada Allah layaknya makhluk. Lantaran persangkaan tersebut mereka mengatakan bahwa Ibnu taimiyah adalah seorang Mujassimah.
Dengan bermohon pertolongan dari Allah yang Dzatnya tinggi diatas Arsy, Saya akan membahas rumor ini agar hal yang samar menjadi jelas.
Rumor ini tersebar lewat perkataan seorang alim ahli Tafsir yang bernama Abu Hayyan al Andalusi. Beliau mengatakan:
وقد قرأت في كتاب لأحمد بن تيمية هذا الذي عاصرناه وهو بخطه سماه كتاب العرش: “إن الله يجلس على الكرسي وقد أخلى مكانا يقعد معه فيه رسول الله ”، تحيَّل عليه مح مد بن عبد الحق وكان أظهر أنه داعية له حتى أخذه منه وقرأنا ذلك فيه
Aku telah membaca sebuah kitab milik Ibnu Taimiyah yang sejaman denganku, kitab tersebut merupakan tulisannya yang dia namakan “kitab al Arsyi” : Sesungguhnya Allah duduk diatas kursi dan ia mengosongkan tempat untuk duduk Rasulullah bersamanya.
Makna Istiwa
Para ulama ahlussunnah mengatakan bahwa istiwa memiliki 4 makna.
Ibnul Qayyim menyebutkan dalam Nuniyahnya:
فلهم عبارات عليها أربع ** قد حصلت للفارس الطعان
وهي “استقر” ، وقد “علا” ، وكذلك “ار ** تفع” الذي ما فيه من نكران
وكذاك قد “صعد” الذي هو رابع ** وأبو عبيدة صاحب الشيباني
يختار هذا القول في تفسيره ** أدرى من الجهمي بالقرآن
Mereka memiliki beberapa ungkapan tentangnya
Sesungguhnya telah terjadi pada prajurit berkuda yang banyak menikam
Yaitu istaqarra, ála demikian juga irtafaa
Yang tidak ada penolakan padanya
Demikin pula shaida menjadi yang keempat
Sedang abu Ubaidah sahabat asy Syaibani
Memilih pendapat ini dalam tafsirnya
Dia lebih tahu tentang Alqur’an daripada Jahmi
Berdasarkan bait Nunniyah ini kita ketahui bahwa makan istiwa terkait sifat Allah ada 4. Secara rinci sifat-sifat tersebut adalah
- al-uluw (tinggi)
arti ini sesuai dengan tafsir dari Mujahid sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Kitabnya :وقال مجاهد: ﴿استوى على العرش﴾ أي: علا على العرش
- al Irtifa’ (meninggi)
arti ini sesuai dengan tafsir dari Abu Aliyah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya dan ia jadikan Judul bab:باب: ﴿وكان عرشه على الماء﴾، ﴿وهو رب العرش العظيم﴾: قال أبو العالية: ﴿استوى إلى السماء﴾ ارتفع ﴿فسواهن﴾ فخلقهن، وقال مجاهد: ﴿استوى﴾ علا ﴿على العرشal Imam al Baghawi ketika menafsirkan surat al Baqarah ayat 29 beliau menukil dari Ibnu Abbas dengan mengatakan:قال ابن عباس: وأكثر مفسري السلف أي ارتفع إلى السماءIbnu Abbas berkata: kebanyakan ahli tafsir dari kalangan Salaf mengartikan meninggi kelangit
- as Suud (naik)
makna ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas melalui al Farra’. Syaikh albani menerangkan bahwa sanad alfarra ke ibnu abbas melwati rijal-rijal yang Tsiqah
makna ini juga dipilih oleh abu Ubaidah sahabat Imam syaibani berdasarkan penuturan dari Ibnu Qayyim dan al Dzahabi
- Al istiqrar (menetap)
al Dzahabi mentolerir makna Ini sekalipun cenderung tidak menyetujuinya, beliau berkata:
قال الذهبي: ((قال الإمام محيي السنة أبو محمد الحسين بن مسعود البغوي الشافعي عن قوله تعالى ﴿ثم استوى على العرش﴾: ”قال الكبي ومقاتل: استقر، وقال أبو عبيدة: صعد“ قلتُ [أي الذهبي]: لا يعجبني قوله استقر، بل أقول كما قال مالك الإمام: الاستواء معلوم))
al Dzahabi berkata: berkata al Imam Penghidup Sunnah abu Muhammad al Husain bin Mas’ud al Baghawi al Syafii tentang firman Allah Taala ; ثم استوى على العرش berkata al Kabî dan Muqatil : menetap, berkata abu Ubaidah;Naik. aku (al Dzahabi) katakan: aku tidak heran kalau dia mengatakan maknanya menetap, tapi aku katakan seperti yang dikatakan Imam Malik: istiwa itu diketahui
kata istiwa dalam bahasa arab memiliki makna yang banyak hingga belasan, namun paling tidak makna tersebut bisa dibagi menjadi empat bagian:
- Jika kata Istiwa tersebut mujarrad (tidak disandarkan kepada huruf apapun setelahnya)
salah satu arti istiwa disini berarti: sempurna,lengkap. Allah berfirman: ولما بلغ أشده فاستوى dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya (QS. Al-Qhasas: 14)
- yang disandarkan dengan huruf (إلى) Maka artinya adalah إرتفع وعلا (naik dan tinggi). Sebagian ahli ilmu mengartikan dengan قصد (menuju) seperti yang disebutkan oleh Ibnu katsir ketika mentafsirkan Al baqarah ayat 29, namun makna yang pertama lebih banyak dipilih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas. Allah berfirman:
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap” (QS. Fushilat: 11)
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit” (QS. Al-Baqarah: 29)
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit” (QS. Al-Baqarah: 29)
- Yang terikat dengan huruh ( على ), maka tidak ada artian lain kecuali :’naik, tinggi, menetap’. Allah berfirman:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Yaitu Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS. Thaha: 5)
لِتَسْتَوُوا عَلَى ظُهُورِهِ
“Supaya kamu duduk di atas punggungnya” (QS. Az-Zukhruf: 13)
فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ
dan tegak lurus di atas pokoknya (QS. Al-Fath: 29)
وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ
dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi (QS. Hud: 44)
- yang terhubung dengan Wawu maiyah maka berarti sama atau rata, dalam kitab Mukhtashar jiddan disebutkan contoh Mauf’ul maah : استوى الماء و الخشبة
Ketinggian air dan kayu itu sudah sama atau rata
Demikianlah bahasan ringkas tentang makna istiwa berdasarkan pendapat para ulama
Sifat Duduk Allah
Permasalah tentang penetapan Julus dan quud bagi Allah Subhanahu Taala merupakan masalah rumit yang berkutat seputar tafsir dari firmanNya :
عسى أن يبعثك ربك مقاما محمودا
kebanyakan ahli tafsir memaknakan مقاما محمودا sebagai syafaat nabi kepada Ummatnya dihari akhir, Namun Imam Mujahid yang merupakan sayyidul Mufassirin memiliki pendapat lain sebagaimana dinukil Oleh para Ulama diantara oleh al imam At thabari ketika menafsirkan Surat al Isra ayat 79 setelah ia memaparkan pendapat kebanyakan ulama yang mengatakan ayat tersebut terkait dengan syafaat Rasulullah. Beliau berkata:
وهذا وإن كان هو الصحيح من القول في تأويل قوله ( عسى أن يبعثك ربك مقاما محمودا ) لما ذكرنا من الرواية عن رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحابه والتابعين ، فإن ما قاله مجاهد من أن الله يقعد محمدا صلى الله عليه وسلم على عرشه ، قول غير مدفوع صحته ، لا من جهة خبر ولا نظر ، وذلك لأنه لا خبر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، ولا عن أحد من أصحابه ، ولا عن التابعين بإحالة ذلك
Semua ini, sekalipun inilah yang benar dari tafsir firman Allah عسى أن يبعثك ربك مقاما محمودا berdasarkan apa riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan dari Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam, para sahabat, dan tabiin. Sesungguhnya apa yang dikatakan oleh Mujahid bahwa Allah mendudukkan Muhmmad shallallahu alaihi Wasallam diatas Arsy-Nya adalah perkataan yang tidak bisa ditolak kesosihannya baik dari segi khobar maupun nadzar. Hal itu karena tidak ada berita dari Rasulullah dan tidak satupun dari sahabat maupun tabiin tentang kemustahilannya.
Dari keterangan diatas, jelaslah bahwa at Thabari cenderung memilih pendapat bahwa ayat ini terkait dengan masalah Syafaat Rasulullah diakhirat kelak, namun begitu dia mentolerir pendapat Mujahid yang menyatakan bahwa مقاما محمودا adalah Allah mendudukkan Rasulullah diatas Arsyi-Nya.
Mengenai tafsir مقاما محمودا, para ahli tafsir banyak sekali yang membicarakan hal ini dan mereka ada membenarkan atau mentolerir seperti yang dilakukan Oleh at Thabari dan al Syaukani dalam Fathul Qadir. Sebagian mereka ada yang hanya menukil riwayat mujahid tersebut tanpa memberikan komentar sama sekali seperti yang dilakukan Oleh Imam Khozin dan al Baghawi.
Fakta paling mengherankan adalah Abu Hayyan al Andalusî juga menukil pendapat mujahid dan mendiamkannya. Hal berbeda yang dia lakukan hanyalah membawakan bantahan al Wahidi tentang pendapat Mujahid tersebut tanpa membenarkan Atau menyalahkan. beliau berkata:
الخامس : ما قالت فرقة منها مجاهد ، وقد روي أيضا عن ابن عباس أن المقام المحمود هو أن يجلسه الله معه على العرش . وذكر الطبري في ذلك حديثا وذكر النقاش عن أبي داود السجستاني أنه قال : من أنكر هذا الحديث فهو عندنا متهم ما زال أهل العلم يحدثون بهذا . قال ابن عطية : يعني من أنكر جوازه على تأويله .
Kelima: Apa yang dikatakan oleh sebuah firqah diantaran Mujahid, Da telah meriwayatkan juga bahwa مقاما محمودا bermakna Allah mendudukkan dia (Rasulullah, pent) bersamanya diatas Arsy. At Thabari menyebutkan beberapa hadits tentang hal tersebut dan menyebutkan An Nuqqas dari Abu Dawud al Sijistanî bahwa beliau berkata: siapapun yang mengingkari hadits ini maka disisi kami termasuk orang yang tertuduh selama ahli ilmu tetap membicarakan hal ini. Berkata Ibnu Athiyyah: yaitu mengingkari kebolehan penakwilannya. (mengingkari bahwa takwil مقاما محمودا adalah Allah mendudukkan Rasulullah bersamanya diatas Arsyi-Nya, pent).
Ibnu katsir menyebutkan sebuah cerita yang terjadi pada tahun 317 Hijriah[1].
وفي سنة 317 وقعت فتنة ببغداد بين أصحاب أبي بكر المروذي الحنبلي وبين طائفة من العامة اختلفوا في تفسير قوله تعالى
عسى أن يبعثك ربك مقاما محمودا فقالت الحنابلة يجلسه معه على العرش وقال الآخرون المراد بذلك الشفاعة العظمى فاقتتلوا بسبب ذلك وقتل بينهم قتلى فإنا لله وإليه راجعون
وقد ثبت في صحيح البخاري أن المراد بذلك الشفاعة العظمى
Pada tahun 317 hijriah terjadi fitnah di Baghdad antara pengikut Abu Bakr al Marwadzi al Hambali dan sekelompok orang. Mereka berselisih tentang firman Allah Taala عسى أن يبعثك ربك مقاما محمودا Hanabilah (pengikuat Al Marwadzi, pent) berpendapat Bahwa Allah mendudukkannya diatas Arsy sedangkan yang lain berkata bahwa maksud ayat tersebut adalah Syafaatul Udzma. Mereka kemudian saling bunuh dan jatuhlah Korba. Innalillaahi Wainna ilaihi Rajiun. Sungguh telah valid didalam sohih Bukhari bahwasanya yang dimaksud adalah Syafaatul udzma yang merupakan Syafaat.
Imam Marwadzi merupakan orang yang amat Fanatik terhadap pendapatnya ini dan bahkan mengarang kitab khusus untuk membela pendapat mujahid ini.
Terlalu banyak riwayat dari para ulama yang mengungkapkan dalil tentang didudukkannya Rasulullah Shallallaahu alaihi Wasallam diatas Arsy-nya. Orang yang paling banyak mengungkapkan dalil-dalil tersebut adalah al Imam Al Khallal dalam kitabnya Assunnah. Beliau membawakan Puluhan[2] riwayat yang mendukung pendapat beliau tersebut
Beberapa riwayat tersebut antara lain:
وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ , قَالَ : حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ حَمَّادٍ الْمُقْرِئُ صَاحِبُ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ قَالَ : حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ الْمِصْرِيُّ , قَالَ : حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ , قَالَ : حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ , عَنْ لَيْثٍ , عَنْ مُجَاهِدٍ : {عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبَّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا} قَالَ : يُقْعِدُهُ عَلَى الْعَرْشِ , قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ حَمَّادٍ : مَنْ ذُكِرَتْ عِنْدَهُ هَذِهِ الأَحَادِيثُ فَسَكَتَ عَنْهَا فَهُوَ مُتَّهَمٌ , فَكَيْفَ مَنْ رَدَّهَا وَطَعَنَ فِيهَا , أَوْ تَكَلَّمَ فِيهَا
telah bercerita kepada kami Abu bakr, dia berkata: telah menceritakan kepadaku Hammad al Muqri sahabat Abu Abdillah Ahmad Bin Hambal dia berkata: telah menceritakan kepada kami Ahmad bin solih al Mishri, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hassan, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudhail dari Laits dari Mujahid : {عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبَّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا} dia berkata: Dia mendudukkannya diatas Arsy, berkata abu Bakr Hammad: Siapapun yang disebutkan hadits ini kepadanya kemudian diam, maka dia tertuduh, apalagi yang menolak dan mencelanya atau membicarakan (penolaknnya, pent).
وَذَكَرَ أَبُو بكر المروذي فِي مختصر كتاب الرد عَلَى من رد حديث مجاهد، سألت أَبَا عبد اللَّه عَن
الأحاديث الَّتِي تردها الجهمية فِي الصفات والرؤية والإسراء وقصة العرش، فصححها أَبُو عبد اللَّه وَقَالَ: قد تلقتها الأمة بالقبول تمر الأخبار كَمَا جائت
Abu Bakr al Marwadzi menyebutkan pada Mukhtashar kitab bantahan terhadap siapapunyang membantah hadits Mujahid, aku bertanya kepada Abu Abdillah (imam Ahmad, pent) tentang hadits-hadits yang ditolak oleh Jahmiyah tentang Sifat, ru’yah, isra’, dan cerita tentang Arsy, Maka Abu Abdillah mensohihkannya dan berkata: Sungguh Umat telah sepakat untuk menerima dan perlakukanlah khobar tersebut sebagaimana dia datang.
Syaikh Albani dan al Imam al Dzahabi mendhoifkan semua riwayat tentang didudukkannya Nabi diatas Arsy. Ketika membawakan biografi Muhammad bin Mush’ab yang merupakan syiakhnya ulama Baghdad bernomor 461 dalam kitabnya Al uluw Al Dzahabi mengatakan:
وقال المروذي سمعت أبا عبد الله الخفاف سمعت ابن مصعب وتلا عسى أن يبعثك ربك مقاما محمودا قال نعم يقعده على العرش ذكر الإمام أحمد محمد بن مصعب فقال قد كتبت عنه وأي رجل هو
فأما قضية قعود نبينا على العرش فلم يثبت في ذلك نص بل في الباب حديث واه وما فسر به مجاهد الآية كما ذكرناه
فقد أنكر بعض أهل الكلام فقام المروذي وقعد وبالغ في الإنتصار لذلك وجمع فيه كتابا وطرق قول مجاهد من رواية ليث بن أبي سليم وعطاء بن السائب وأبي يحيى القتات وجابر بن يزيد
فممن أفتى في ذلك العصر بأن هذا الأثر يسلم ولا يعارض أبو داود السجستاني صاحب السنن وإبراهيم الحربي وخلق بحيث أن ابن الإمام أحمد قال عقيب قول مجاهد أنا منكر على كل من رد هذا الحديث وهو عندي رجل سوء متهم سمعته من جماعة وما رأيت محدثا ينكره وعندنا إنما تنكره الجهمية وقد حدثنا هارون بن معروف حدثنا محمد بن فضيل عن ليث عن مجاهد في قوله عسى أن يبعثك ربك مقاما محمودا قال يقعده عن العرش فحدثت به أبي رحمه الله فقال
لم يقدر لي أن أسمعه من ابن فضيل بحيث أن المروذي روى حكاية بنزول عن إبراهيم بن عرفة سمعت ابن عمير يقول سمعت أحمد بن حنبل يقول هذا قد تلقته العلماء بالقبول
Berkata al Marwadzi: aku mendengar Abu Abdillah al Khoffaf aku mendengar Ibnu Mush’ab dan ia membaca ayat عسى أن يبعثك ربك مقاما ia berkata ‘yah’ Dia mendudukkannya diatas arsy. Imam Ahmad menyebutkan Muhammad bin Mush’ab kemudian ia berkata: aku telah menulis darinya dan memangnya dia siapa?”
Adapun permasalah terkait didudukannya nabi kita diatas Arsy, maka tidak ada satupun Nash yang valid, bahkan dalam bab tersebut terdapat hadits yang lemah. Apa yang ditafsirkan oleh Mujahid tentang ayat ini sebagaimana yang telah diingkari oleh ahli kalam. Maka al Marwadzi bersikeras membela dan mengumpulkan tulisan terkait hal tersebut dan memasukkan qaul Mujahid dari riwayat Laits bin abi Sulaim dan Atha bin Saib dan Abi Yahya al Quttat dan jabir bin Yazid.
Termasuk yang berfatwa pada masa itu bahwa atsar tersebut diterima dan tidak boleh ditentang adalah Abu Daud Al Sijistanî pemiliki kitab sunan dan Ibrahim al Harbi dan lain-lain dimana anak Imam Ahmad berkata setelahi perkataan Mujahid: saya mengingkari setiap orang yang menolak hadits ini, menurutku pengingkar hadits ini adalah orang yang buruk lagi tertuduh. Aku mendengarnya dari banyak orang dan aku tidak mendapati satupun Muhaddits yang mengingkarinya. Disisiku pengingkarnya adalah jahmiyah. Sungguh telah bercerita kepada kami Harun bin Ma’ruf, telah bercerita kepada kami Muhammad bin fudhail dari laits dari Mujahid tentang FirmanNya عسى أن يبعثك ربك مقاما dia berkata: Ia mendudukkanya di Arsy, maka aku ceritakan kepada ayahku (Imam Ahmad) Rahimahullah, kemudian beliau berkata: aku tidak ditakdirkan untuk mendengar dari ibnu fudhail.
al Marwadzi meriwayatkan cerita tentang Nuzul dari Ibrahim bin Arafah, aku mendengar ibnu Umair berkata, aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata: Para ulama telah sepakat menerima ini [3].
Ibnu taimiyah adalah orang yang cenderung menetapkan riwayat tentang didudukkannya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam diatas Arsy meskipun tidak menetapkan persetujuan dan penolakan maupun menakwilnya.
Beliau berkata:
وقد صنف القاضي أبو يعلى كتابه في إبطال التأويل ردا لكتاب ابن فورك وهو وإن كان أسند الأحاديث التي ذكرها وذكر من رواها ففيها عدة أحاديث موضوعة كحديث الرؤية عيانا ليلة المعراج ونحوه وفيها اشياء عن بعض السلف رواها بعض الناس مرفوعة كحديث قعود الرسول صلى الله عليه وسلم على العرش رواه بعض الناس من طرق كثيرة مرفوعة وهي كلها موضوعة وإنما الثابت أنه عن مجاهد وغيره من السلف وكان السلف والأئمة يروونه ولا ينكرونه ويتلقونه بالقبول
وقد يقال إن مثل هذا لا يقال إلا توقيفا لكن لا بد من الفرق بين ما ثبت من ألفاظ الرسول وما ثبت من كلام غيره سواء كان من المقبول أو المردود
Sungguh Qadhi Abu Ya’la telah mengarang sebuah kitab yang bernama Ibthal al Ta’wil sebagai bantahan terhadap Ibnu Fawraq, sekalipun dalam kitab tersebut ia memberikan sanad hadits-hadits yang dan menyebutkan rawinya, namun didalam kitab tersebut banyak sekali hadits-hadits maudhu. Misalnya hadits melihat Allah dengan mata telanjang di malam Mi’raj dan semisalnya. ada beberapa perkara dari sebagian Salaf yang diriwayatkan oleh sebagian orang secara marfu seperti hadits duduknya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam diatas Arsy, hadits tersebut diriwayatkan oleh sebagian orang dari banyak jalan yang marfu namun semuanya Maudhu. Hadits yang Valid hanya dari Mujahid dan selain beliau dari kalangan Salaf dan mereka serta para imam meriwayatkannya, tidak mengingkarinya dan sepakat menerimanya [4].
Kadang-kadang dikatakan bahwa hal semacam ini bersifat tauqifi, namun perlu dibedakan antara apa yang valid dengan lafadz-lafadz dari Rasulullah dengan yang valid dari perkataan orang lain dalam masalah penerimaan dan penolakan. [5].
Namun demikian, beliau memberikan rambu-rambu dalam hal ini dengan mengatakan:
فما جاءت به الأثار عن النبي من لفظ القعود و الجلوس في حق الله تعالى كحديث جفعر ابن ابي طالب و حديث عمر أولى أن لا يماثل صفات أجسام العباد
Semua atsar yang datang tentang nabi dengan lafadz quud dan julus yang terkait dengan Allah Taala seperti hadits Ja’far bin abi Thalib dan hadits Umar lebih utama untuk dikatakan tidak menyerupai Sifat Jism Hamba.
Dari riwayat-riwayat yang telah saya sebutkan baik dari yang menyetujui maupun tidak, adalah jelas bahwa Ibnu Taimiyah tidak mengada-ngada apalagi terjerumus kedalam bid’ah Tajsim.
Beliau hanya mengikuti pendahulunya dari kalangan Salaf Seperti At thabari, al Marwadzi, Imah Ahmad, Abdullah Bin Ahmad, Abu Daud al Sijistani pemilik sunan Abu Daud, al Khallal, Ibrahim bin Harbi, Muhammad bin Mush’ab dan bahkan dikatakan hal itu juga menjadi pendapat Imam Syafii seperti yang dituturkan oleh Al Dzahabi dalam Biografi Muhammad bin Mush’ab dan banyak lagi. Al Ajurri Juga membuat bab khusus tentang hal ini dalam kitab beliau ‘al syariah’.
Jika kita mau jujur, kenapa kita tidak bersikap seperti At thabari yang mentolerir pemahaman sebagian orang tentang makna مقاما محمودا yang berarti Allah mendudukkan Muhammad diatas Arsy-Nya atau kalau mau bersikeras mengkafirkan Ibnu Taimiyah, lakukanlah itu juga pada ulama-ulama yang membela Mujahid. Naudzubillah Min dzalik.
Perlu Saya tekankan bahwa disini saya tidak mentarjih pendapat manapun terkait tafsir ayat tersebut. Tulisan ini hanya untuk membela ibnu Taimiyah dari tuduhan orang yang menuduh Ibnu Taimiyah Mujassimah karena mengabarkan riwayat-riwayat yang telah saya sebutkan.
Antara Istiwa dan duduk
Masalah lain muncul terkait riwayat-riwayat didudukkannya nabi diatas arsy, yaitu apakah istiwa juga bermakna duduk?.
Ibnu Utsaimin pernah mendapat pertanyaan tentang hal ini:
سئل العلامة ابن عثيمين رحمه الله في لقاء الباب المفتوح
فضيلة الشيخ : عثمان الدارمي في رده على بشر المريسي أورد أن الاستواء يأتي بمعنى الجلوس ، مارأي فضيلتكم ؟
الجواب : الاستواء على الشيء في اللغة العربية يأتي بمعنى الاستقرار والجلوس قال تعالى (لتستووا على ظهوره ) الزخرف: 13
والانسان على ظهر الدابة جالس أم واقف ؟
هو جالس ، لكن هل يصح أن نثبته في استواء الله على العرش ؟ هذا محل نظر
فإن ثبت عن السلف أنهم فسروا ذلك بالجلوس فهم أعلم منا بهذا والا ففيه نظر
والا نقول : الكيف ـ أعني ـ الاستواء مجهول ، ومن جملة الجهل ألاّ ندري أهو جالس أم غير جالس ، ولكن نقول : معنى الاستواء : العلو ، هذا أمر لاشك فيه
Dalam sebuah acara pertemuan terbuka, al Allamah Ibnu Utsaimin pernah ditanya:
Fadhilatus Syaikh: Utsman al Darimi ketika membatah Bisyr al Muraisy mengatakan bahwa salah satu makna istiwa adalah duduk, bagaimana pendapatmu?
Jawab :
Istiwa diatas sesuatu dalam bahasa arab bermakna menetap dan duduk. Allah berfirman
لِتَسْتَوُوا عَلَى ظُهُورِهِ
“Supaya kamu duduk di atas punggungnya” (QS. Az-Zukhruf: 13)
Manusia diatas punggung hewan tunggangan duduk atau berdiri?
Dia duduk. Tetapi apakah boleh kita menetapkan makna tersebut pada istiwa Allah diatas Arsy? Inilah objek penelitiannya. Namun demikian kita katakan bahwa kaif (bagaimana) istiwanya Allah itu adalah majhul, termasuk dalam konsep majhul tersebut adalah kita tidak tahu apakah dia duduk atau bukan duduk. Tapi kita katakan makna istiwa adalah “tinggi”. Inilah yang tidak diragukan. [6].
Mungkin wacana atau tersebarnya istiwa dengan makna Julus atau quud terkait dengan riwayat dari Kharijah bin Mush’ab yang mengatakan:
روى الإمام عبد الله عن أحمد بن سعيد الدارمي عن أبيه قال: سمعت خارجة يقول ))الجهمية كفار، بلغوا نساءهم أنهن طوالق وأنهن لا يحللن لأزواجهن، لا تعودوا مرضاهم، ولا تشهدوا جنائزهم. ثم تلا {طه ، ما أنزلنا عليك القرآن لتشقى} إلى قوله عز وجل: {الرحمن على العرش استوى} وهل يكون الاستواء إلا بجلوس
Imam Abdullah meriwayatkan dari Ahmad bin Said Al Darimi dari bapaknya dia berkata: aku mendengar Khorijah berkata (jahmiyah itu kafir, Sampaikan oleh kalian bahwa isteri-iseri mereka telah terthalaq dan mereka tidak halal bagi suami mereka, jangan dijenguk ketika sakit,dan janganlah jenazah mereka disaksikan (dianggap baik) kemudian beliau membaca,
{طه ، ما أنزلنا عليك القرآن لتشقى} إلى قوله عز وجل: {الرحمن على العرش استوى}
bukankah istiwa itu dengan duduk!
Perlu diketahui bahwa, Ibnu Taimiyah begitu juga muridnya Ibnul Qayyim al Jauziyah hanya menyebutkan kata duduk terkait tafsir dari Mujahid tentang surat al isra ayat 79, bukan memaknakan Istiwa dengan duduk. Yang paling mungkin duduk adalah sifat fi’liyah Allah tersendiri bukan sekedar makna dari Istiwa.
Jalan yang saya tempuh adalah seperti syaikh Utsaimin yang cenderung tawaquf dalam masalah istiwa bermakna duduk. Yang jelas penetapan makna-makna istiwa adalah tatabbu’ dan istiqra, bukan hal yang Qathi’.
Jika hal itu benar, maka al Imam utsman al Darimi lebih alim dari kita. Lagipula tujuan utama tulisan ini dibuat adalah untuk memberikan informasi tentang kelirunya orang-orang itu mencela ibnu taimiyah untuk hal yang secara jelas dan meyakinkan terdapat dalam riwayat-riwayat para ulama-ulama terdahulu.
Semoga bermanfaat.
Saudaramu: dobdob
[1] Lihat peristiwa-peristwa yang terjadi pada tahun tersebut dalam Bidayah Wan nihayah
[2] Silahkan membaca As sunnah karya beliau bab Dzikru al Maqam al Mahmud mulai riwayat no. 236
[3] al Uluw lil aliyyil Ghaffar hal.170 riwayat no 461 Maktabah Adhwa al Salaf
[4] Kata-kata ini mirip dengan yang diucapkan Imam Ahmad terkait riwayat semacam ini
[5] Dar’ut taarudh aql Wa al naql 3/19
[6] Liqa’ bab al Maftuh pertanyaan nomor 450.
0 komentar:
Posting Komentar