Dzikir Dan syukur


DZIKIR DAN SYUKUR

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya adalah seperti perumpamaan orang yang hidup dengan orang yang sudah mati.”
(HR. Bukhari dan Muslim).

Allah ta’ala berfirman,
“Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.”
(Qs. Al Baqarah [2]: 152)

Dzikir yang paling utama adalah dengan menyesuaikan isi hati dengan dzikir yang diucapkan oleh lisan. Itulah dzikir yang membuahkan pengenalan kepada Allah, rasa cinta kepada-Nya, dan pahala yang melimpah dari-Nya. Dzikir adalah bagian terpenting dari syukur. Oleh sebab itu Allah memerintahkannya secara khusus, kemudian sesudahnya Allah memerintahkan untuk bersyukur secara umum. Allah berfirman yang artinya, “Maka bersyukurlah kepada-Ku.” Yaitu bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmat ini yang telah Aku karuniakan kepada kalian dan atas berbagai macam bencana yang telah Aku singkirkan

Penyebutan perintah bersyukur setelah berbagai macam nikmat diniyah yang berupa ilmu, penyucian akhlak, dan taufik untuk beramal, maka itu menjelaskan bahwa sesungguhnya nikmat diniyah adalah nikmat yang paling agung. Bahkan, itulah nikmat yang sesungguhnya. Apabila nikmat yang lain lenyap, nikmat tersebut masih tetap ada. Sudah selayaknya setiap orang yang telah mendapatkan taufik (dari Allah) untuk berilmu atau beramal untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat itu. Hal itu supaya Allah menambahkan karunia-Nya kepada mereka. Dan juga, supaya lenyap perasaan ujub (kagum diri) dari diri mereka. Dengan demikian, mereka akan terus disibukkan dengan bersyukur.
  • Karena lawan dari syukur adalah ingkar/kufur, maka Allah melarangnya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian kufur”. Yang dimaksud dengan kata ‘kufur’ di sini adalah yang menjadi lawan dari kata syukur. Maka, itu berarti kufur di sini bermakna tindakan mengingkari nikmat dan menentangnya, tidak menggunakannya dengan baik. Dan bisa jadi maknanya lebih luas daripada itu, sehingga ia mencakup banyak bentuk pengingkaran. Pengingkaran yang paling besar adalah kekafiran kepada Allah, kemudian diikuti oleh berbagai macam perbuatan kemaksiatan yang beraneka ragam jenisnya dari yang berupa kemusyrikan sampai yang ada di bawah-bawahnya (Taisir Karimir Rahman, hal. 74)
  • Adh Dhahak bin Qais mengatakan, “Ingatlah kepada Allah di saat senang, niscaya Dia akan mengingat kalian di saat sulit.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 248)
  • Ada lelaki berkata kepada Abud Darda’, “Berilah saya wasiat.” Beliau menjawab, “Ingatlah Allah di waktu senang, niscaya Allah ‘azza wa jalla akan mengingatmu di waktu susah.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 248)

Penopang Tegaknya Agama

Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Bangunan agama ini ditopang oleh dua kaidah: Dzikir dan syukur. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (QS. Al Baqarah [2] : 152).”.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz,
“Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah kamu lupa untuk membaca doa di setiap akhir shalat: ‘Allahumma a’innii ‘ala dzikrika
 wa syukrika, wa husni ‘ibaadatik.’ (Ya Allah, bantulah aku
untuk mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu,
serta agar bisa beribadah dengan baik kepada-Mu).”
(HR. An Nasa’i )

Bukanlah yang dimaksud dengan dzikir di sini sekedar berdzikir dengan lisan. Namun, dzikir dengan hati sekaligus dengan lisan. Berdzikir/mengingat Allah mencakup mengingat nama-nama dan sifat-sifat-Nya, mengingat perintah dan larangan-Nya, mengingat-Nya dengan membaca firman-firman-Nya. Itu semua tentunya akan melahirkan ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah), keimanan kepada-Nya, serta keimanan kepada kesempurnaan dan keagungan sifat-sifat-Nya.

Selain itu, ia akan membuahkan berbagai macam sanjungan yang tertuju kepada-Nya. Sementara itu semua tidak akan sempurna apabila tidak dilandasi dengan ketauhidan kepada-Nya. Maka dzikir yang hakiki pasti akan melahirkan itu semuanya. Dan ia juga akan melahirkan kesadaran mengingat berbagai macam kenikmatan, anugerah, serta perbuatan baik-Nya kepada makhluk-Nya.

Adapun syukur adalah mengabdi kepada Allah dengan menaati-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya dengan hal-hal yang dicintai-Nya, baik yang bersifat lahir ataupun batin. Dua perkara inilah simpul ajaran agama. Mengingat-Nya akan melahirkan pengenalan (hamba) kepada-Nya. Dalam bersyukur kepada-Nya terkandung ketaatan kepada-Nya. Kedua perkara inilah tujuan diciptakannya jin dan manusia, langit dan bumi serta segala sesuatu yang berada di antara keduanya. Lawan dari tujuan ini adalah berupa kebatilan (kesia-siaan) dan main-main belaka. Allah Maha tinggi dan Maha suci dari perbuatan semacam itu. Seperti itulah anggapan buruk yang ada pada diri musuh-musuh-Nya.

Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi serta apa-apa yang ada
di antara keduanya sia-sia, itulah yang disangka oleh orang-orang kafir itu.”
(Qs. Shad [38]: 27).

Allah berfirman yang artinya,
“Apakah manusia mengira dia ditinggalkan begitu saja.”
(Qs. Al Qiyamah [75]: 36).

Allah berfirman yang artinya,
“Dan tidaklah Kami menciptkan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(Qs. Adz Dzariyat [51]: 56).
  • Maka dengan disebutkannya ayat-ayat tersebut telah terbukti bahwasanya tujuan penciptaan dan perintah ialah agar Allah diingat dan disyukuri. Sehingga Dia akan selalu diingat dan tidak dilupakan. Akan selalu disyukuri dan tidak diingkari. Allah Yang Maha suci akan mengingat siapa saja yang mengingat diri-Nya. Dan Allah juga akan berterima kasih (membalas kebaikan) kepada siapa saja yang bersyukur kepada-Nya.

Mengingat Allah adalah sebab Allah mengingat hamba.
Dan bersyukur kepada-Nya adalah sebab Allah menambahkan nikmat-Nya. Maka dzikir lebih terfokus untuk kebaikan hati dan lisan. Syukur dari hati dalam bentuk rasa cinta dan taubat yang disertai ketaatan. Adapun di lisan, syukur itu akan tampak dalam bentuk pujian dan sanjungan. Dan syukur juga akan muncul dalam bentuk ketaatan dan pengabdian oleh segenap anggota badan (Al Fawa’id, hal. 124-125)

[diringkas dari tulisan Ari Wahyudi di situs www.muslim.or.id ]

Oleh Ustadz Abu Muslih Ari Wahyudi

sumber : http://www.facebook.com/abumushlih?sk=notes&s=50#!/note.php?note_id=10150250297411123


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger