Benarkah Tahlilan di adakan karena Roh yang meninggal Gentayangan ?

Oleh Anwar Baru Belajar.

Roh Gentayangan Dan Selamatan Kematian ["Tahlilan" : istilah Islam] Berasal Dari Ajaran Hindu



Tirta Pengentas, Mahluk Gaib, dan Roh Gentayangan.
Tirta Pengentas pada upacara Pitra Yadnya, gunanya memberi petunjuk arah tujuan roh atau atma yaitu Sunia Loka. Dibuat oleh Pandita/Sulinggih yang memimpin upacara atau lazim disebut yang “Ngentas Atma”. Di samping tirta pengentas, ada tirta panembak yaitu tirta yang gunanya membebaskan halangan-halangan dalam perjalanan atma, misalnya gangguan-gangguan dari roh gentayangan. Mahluk gaib di Bali dikenal dengan nama BHUTA.

Menurut Lontar Kala Tattwa, Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Bhatara Siwa, mempunyai “putra” bernama Bhatara Kala. Bhatara Kala juga bermanifestasi sebagai Bhuta, yang bertugas mengontrol manusia di bumi.

Manusia perlu diawasi karena kemampuan “idep” (daya pikir)-nya luar biasa. Jika tidak diawasi dunia bisa hancur karena ulah manusia. Karena itu Bhuta juga dinamakan Bhuta-Kala. Selain itu bhuta-kala juga bertugas menguji keyakinan dan kebulatan tekad manusia dalam meyadnya. Ia menggoda manusia yang ingin mendekatkan diri kepada Hyang Widhi. Dites dulu apa benar-benar mau berbakti.

Bhuta-kala bisa berwujud godaan menggiurkan, bisa yang menakutkan atau membahayakan. Seperti contoh berita ngaben berdarah di Ketewel (?), saya menduga itu godaan Bhuta-Kala kepada kelompok warga, sehingga rupanya mereka kalah pada godaan yang bersumber dari kata-kata, sampai terjadi peristiwa yang memilukan itu.

Atma (roh manusia yang mati) yang masih terikat oleh belenggu Panca Mahabhuta (badan kasar) dan Panca Tanmatra (pengaruh indria), ada dalam situasi “Neraka”. Bila lebih dari setahun tidak di-”aben” maka tulang belulangnya dikuasai Bhuta Cuil yang gentayangan mencari preti sentana menimbulkan mala petaka dengan tujuan mengingatkan preti sentana untuk mengurus/ membebaskan roh leluhurnya dengan upacara Pitra Yadnya. (Sumber: Lontar Yama Purana Tattwa).

Kematian yang baik adalah seperti kematian Panca Pandawa. Dimulai dari kematian Nakula-Sadewa (analogi kaki), disusul kematian Bimasena (analogi tenaga), disusul Arjuna (analogi sinar mata) dan terakhir Yudistira (analogi atma meninggalkan badan melalui siwadwara/ ubun-ubun). Artinya orang yang mati secara baik, kematiannya mulai dari kaki yang lumpuh, tenaga/ energi panas badan yang hilang (makanya terasa dingin), sinar mata yang hilang (tidak cemerlang), dan terakhir detak jantung hilang karena atma sebagai motor penggerak sudah pergi.

Orang yang mati karena kecelakaan atau bunuh diri prosedur kematiannya tidak seperti itu. Semua terjadi seketika. Itu sebabnya dinamakan “salah pati” atau “ngulah pati”. Oleh karena itu rohnya perlu disadarkan bahwa “dia” sudah tidak punya badan lagi, dengan upacara “ngulapin”. Bila tidak demikian inilah menjadi roh gentayangan, ke sana kemari mengira masih punya badan/ tubuh. [Ditulis oleh : Bhagawan Dwija].

Mantan Pandita Hindu ditanya :
Menurut pemahaman sebagian ummat Islam, orang yang meninggal jika tidak diadakan selamatan (kenduri) maka rohnya akan gentayangan. Apakah pemahaman seperti itu ada dalam agama Hindu ?
Jawab :

Kepercayaan yang ada pada sebagian ummat Islam, orang yang meninggal jika tidak diadakan selamatan (kenduri: 1 hari, 3 hari, 7 hari, 40 hari dst, /red ) maka rohnya akan gentayangan adalah jelas-jelas berasal dari ajaran agama Hindu. Dalam agama Hindu ada syahadat yang dikenal dengan Panca Sradha (Lima Keyakinan). Lima keyakinan itu meliputi percaya kepada Sang Hyang Widhi, Roh leluhur, Karma Pala, Samskara, dan Moksa. Dalam keyakinan Hindu roh leluhur (orang mati) harus dihormati karena bisa menjadi dewa terdekat dari manusia [Kitab Weda Smerti Hal. 99 No. 192]. Selain itu dikenal juga dalam Hindu adanya Samskara (menitis/reinkarnasi).

Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti hal. 99, 192, 193 yang berbunyi : "Termashurlah selamatan yang diadakan pada hari pertama, ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu.
Dalam buku media Hindu yang berjudul : "Nilai-nilai Hindu dalam budaya Jawa, serpihan yang tertinggal" karya : Ida Bedande Adi Suripto, ia mengatakan : "Upacara selamatan untuk memperingati hari kematian orang Jawa hari ke 1, 7, 40, 100, dan 1000 hari, jelas adalah ajaran Hindu."
__________________________________________________

PANDANGAN ISLAM


وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا


"Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS Al Israa' : 85)


قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ
لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُون


.."Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding [Barzakh] sampai hari mereka dibangkitkan. (QS. Al Mu'minun : 99-100)

_________________________


MASAIL DINIYAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDATUL ULAMA Ke 5 Di Pekalongan Pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1349 H/ 7 September 1930. No. 101.

Pertanyaan :
Apakah roh orang mukmin pada tiap-tiap malam Jum'at, Hari Raya, Hari Asyura atau malam Nisfu Sya'ban, datang dan berdiri di muka pintu rumah keluarganya ? Bersadaqahlah untuk si mayit tersebut sesudah menguburnya, pahalanya berlaku sampai 3 hari. Bersadaqahlah dihari 3 itu, maka pahalanya sampai 7 hari. Bersadaqahlah di hari ke 7 itu, maka pahalanya sampai 40 hari. Bersadaqahlah dihari ke 40 itu, maka pahalanya sampai 100 hari dan dari 100 sampai setahun !.

Jawab :
Keterangan seperti itu adalah KEDUSTAAN dan tidak terdapat dalam hadits-hadits yang shahih.
  • MASAIL DINIYAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDATUL ULAMA Ke 5 Di Pekalongan Pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1349 H/ 7 September 1930. No. 101, [dengan keterangan yang disingkat dari teks aslinya, selengkapnya silahkan dilihat pada hasil scan halaman buku di bawah ini; discan oleh Anwar Baru Belajar].
____________________________________________________






KEPUTUSAN MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU) Ke-1 di Surabaya MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 M. Lihat halaman : 11.

TENTANG KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH.

TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya ?


JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu.....dst.


KETERANGAN :
Dalam kitab: 1. I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz, 
2. Al Fatawa al Kubra.

---------------------------------------------------


Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
 
TEMPAT ARWAH SETELAH MENINGGAL, ARWAH GENTAYANGAN DAN BERKOMUNIKASI DENGAN MANUSIA SERTA CARA BEBAS DARI GANGGUAN ARWAH JAHAT.
 
Pertanyaan Dari:
Nama dan alamat diketahui redaksi
(disidangkan pada hari Jum'at, 29 Muharram 1431 H / 15 Januari 2010)

Pertanyaan:
Di manakah tempat arwah manusia setelah meninggal? Benarkah ada arwah manusia bergentayangan di bumi, bahkan berkomunikasi dengan manusia yang masih hidup? Bagaimana kita bisa terbebas dari gangguan-ganguan arwah jahat?

Terima kasih.

Jawaban :

Majlis Tarjih dan Tajdid Divisi Fatwa mengucapkan terima kasih atas pertanyaannya. Sebelum menjawab pertanyaan Saudara tentang posisi ruh (arwah) manusia yang telah meninggal, terlebih dulu ingin kami paparkan beberapa hal yang ada hubungannya dengan masalah itu.

Pertama, tentang alam, bahwa alam itu terbagi menjadi tiga, yaitu alam dunia, alam barzakh dan alam akhirat. Ketiga jenis alam itu memiliki status dan aturan sendiri. Alam dunia adalah refieksi dari jasad sedangkan ruh sebagai bagiannya, namun sebaliknya alam barzakh adalah refleksi dari ruh sedangkan jasad sebagai bagiannya. Dan terakhir alam akhirat atau Dar al-Qarar adalah alam setelah kebangkitan manusia dari kuburnya untuk mendapatkan balasan, di mana jasad dan ruh digabungkan kembali.

Kedua, kematian atau maut adalah berpisahnya ruh dengan jasad, dan ketika pemisahan tersebut terjadi, ruh berada di alam barzakh atau alam kubur. Ibarat perjalanan waktu, manusia yang sudah pindah ke alam lain itu tidak akan kembali ke alam semula. Ruh manusia yang sudah pindah ke alam barzakh juga tidak akan kembali ke alam dunia. Ketiga, barzakh secara bahasa berarti pembatas antara dua hal, dan di sini maksudnya pembatas antara alam dunia dengan alam akhirat.

Dengan demikian, ketika seorang meninggal (mati, berpisah jasad dari ruhnya), maka ia tidak akan kembali ke alam dunia. Pada hari kiamat nanti, orang-orang kafir akan memohon kepada Allah agar dikembalikan lagi ke dunia untuk beramal shalih, tetapi permintaan itu tidak dikabulkan oleh Allah. Ada beberapa pendapat tentang keberadaan ruh setelah meninggal hingga hari kiamat. Dari sekian banyak pendapat yang ada, tidak satu pun yang menerangkan bahwa ada ruh yang gentayangan. Ruh orang-orang beriman berada di alam barzakh yang luas, yang di dalamnya ada ketenteraman dan rezeki serta kenikmatan, sedangkan ruh orang-orang kafir berada di barzakh yang sempit, yang di dalamnya hanya ada kesusahan dan siksa. Allah berfirman:


حَتَّى إِذَا جَاء أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ . لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحاً فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِن وَرَائِهِم بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ [المؤمنون (23): 99-100]

Artinya: “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia). agar aku berbuat amal yang shaleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja, dan di hadapan mereka ada barzakh (dinding) sampai hari mereka dibangkitkan".” [QS. al-Mukminun (23): 100]. 
Memang ada sebagian kalangan yang berkeyakinan dan menyatakan bahwa ruh orang Islam yang meninggal akan berputar-putar di sekitar rumahnya selama satu bulan sejak meninggalnya dan setelah itu berputar-putar sekitar makamnya selama satu tahun. Keyakinan tersebut berdasarkan pada hadits yang bersumber dari Abu Hurairah r.a.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا مَاتَ الْمُؤْمِنُ حَامَ رُوْحُهُ حَوْلَ دَارِهِ شَهْرًا فَيَنْظُرُ إِلَى مَنْ خَلَفَ مِنْ عِيَالِهِ كَيْفَ يَقْسِمُ مَالَهُ وَكَيْفَ يُؤَدِّيْ دُيُوْنَهُ فَإِذَا أَتَمَّ شَهْرًا رُدَّ إِلَى حَفْرَتِهِ فَيَحُوْمُ حَوْلَ قُبْرِهِ وَيَنْظُرُ مَنْ يَأْتِيْهِ وَيَدْعُوْلَهُ وَيَحْزِنُ عَلَيْهِ فَإِذَا أَتَمَّ سَنَةً رُفِعَ رُوْحُهُ إِلَى حَيْثُ يَجْتَمِعُ فِيْهِ اْلأَرْوَاحُ إِلَى يَوْمِ يُنْفَخُ فِى الصُّوْرِ .

Artinya : (Diriwayatkan) dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah saw bahwa apabila seorang mukmin meninggal dunia, maka arwahnya berkeliling-keliling diseputar rumahnya selama satu bulan. Ia memperhatikan keluarga yang ditinggalkannya bagaimana mereka membagi hartanya dan membayarkan hutangnya. Apabila telah sampai satu bulan, maka arwahnya itu dikembalikan ke makamnya dan ia berkeliling –keliling di seputar kuburannya selama satu tahun, sambil memperhatikan orang yang mendatanginya dan mendoakannya serta yang bersedih atasnya. Apabila telah sampai satu tahun, maka arwahnya dinaikkan ditempat dimana para arwah berkumpul menanti hari ditiupnya sangkakala. 
Namun setelah ditelusuri dan diteliti, yaitu menggunakan Program al-Maktabah asy-Syamilah (edisi 2), Program al-Jami’ al-Akbar (edisi 2), dan Program al-Jami’ al-Kabir (edisis 4, 2007-2008) kami tidak menemukan sumber hadits yang dinyatakan di atas. Dapat dinyatakan bahwa hadits yang sedang kita selidiki ini tidak tercantum dalam satupun dari sumber-sumber orisinal hadits yang ada.

Oleh karena itu, apa yang ditanyakan, bahwa ada ruh-ruh yang bergentayangan itu adalah setan yang melakukan tipu daya dengan menyerupai orang yang sudah meninggal. Dan ketika ruh akan dibangkitkan dari alam barzakh (alam kubur) ke alam akhirat, ruh itu dikembalikan ke jasad yang baru yang diciptakan untuk alam akhirat. Begitu juga kaitannya dengan Jin, bahwa Jin itu makhluk yang dapat menjelma atau merubah fisiknya menyerupai bentuk manusia atau makhluk-makhluk yang lain. Setan yang berasal dari Jin, ingin menyebarkan tipu daya dan keraguan pada keimanan manusia, maka salah satu caranya adalah dengan menjelma menyerupai seseorang yang telah meninggal. Akibat dari penjelmaan tersebut, orang-orang yang melihat menganggap dan berkeyakinan bahwa yang mereka lihat adalah ruh dari orang yang mereka kenal sebelumnya. Oleh karena itu, apa yang dikatakan oleh kaum awam tentang adanya ruh gentayangan tidaklah benar menurut ajaran Islam.

Tentunya agar kita bisa terbebas dari gangguan-ganguan arwah jahat yang itu merupakan setan yang melakukan tipu daya, yaitu dengan senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt, dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhkan segala larangan-Nya yang merupakan jalan setan, serta senantiasa berdzikir dan mengingat Allah. Bukankah dengan senantiasa berdzikir hati kita akan tenang, sebagaimana dalam firman-Nya:

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ [الرعد (13): 28]
 
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” [QS. ar-Ra’d (13): 28]. 
Adapun mengenai kemungkinan adanya komunikasi antara manusia yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal juga tidak benar, sampai para Nabi dan wali yang telah meninggal sekalipun, tidak bisa berkomunikasi dengan manusia yang masih hidup. Memang ada firman Allah:

وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أَمْوَاتاً بَلْ أَحْيَاء عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ [ال عمران (3): 169]
Artinya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” [QS. Ali Imran (3): 169].


Demikian juga hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya, Hayat al-Anbiya fi Quburihim, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلْأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ. [رواه البيهقى]
Artinya: “Para Nabi itu hidup di dalam kubur mereka senantiasa dalam keadaan shalat.” [HR. al-Baihaqi].


Namun demikian, maksud ayat di atas adalah menjelaskan tentang adanya bentuk kehidupan yang dialami para Syuhada dan para Nabi setelah mereka meninggal. Kehidupan yang dimaksud adalah kehidupan secara khusus yang tidak dapat diketahui hakikatnya kecuali oleh Allah swt. Dan mengenai hadits di atas, setelah diteliti dan ditelusuri sumber haditsnya, kami menemukan ada rawi yang dinilai bermasalah yaitu Hasan bin Qutaibah dan Husain bin ‘Arafah yang mengakibatkan kedha'ifan kualitas hadits diatas.Wallahu a’lam.


Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com http://tarjihmuhammadiyah.blogspot.com

Sumber :
http://tarjihmuhammadiyah.blogspot.com/2011/07/masalah-arwah-gentayangan.html/


*************
Wallahu a'lam.
Sahabatmu : Anwar Baru Belajar.

sumber : http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2010/06/roh-gentayangan-sudut-pandang-hindu-dan.html



3 komentar:

Hidayat jho mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Anonim mengatakan...

terima kasih atas penjelasannya

Unknown mengatakan...

Tahlilan buat kirim doa kang, bukan yg lain2. Kami diajarkan dr kecil tahlilan terutama anak2nya jika ortu meninggal. Dikit2 disalahin, lakum dinukum waliyadin

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger