Berkenalan Dengan Kata Bid'ah

Oleh Abu Muhammad Herman.
 
Dalam Islam, setiap KATA memiliki makna secara etimologis (bahasa) dan terminologis (istilah/syari’at Islam). Sebagaimana dalam kata DZIKIR, SHALAT, BID'AH, dan banyak lagi yang lainnya.
DZIKIR
Kata “dzikir”, secara etimologis bisa berarti “menghapal” atau bisa juga berarti “ingat”.
 
Adz-Dzikru berarti sesuatu yang mengalir melalui lisan [Lihat Lisanul Arab (V/48), oleh Ibnu Manzhur). Terkadang diartikan dengan makna menyimpan sesuatu.
 
Ar-Raaghib dalam Al-Mufradat menjelaskan:
Terkadang Dzikir diartikan sebagai kondisi jiwa yang memungkinkannya menghapal pengetahuan yang didapatkannya. Pengertian ini mirip dengan menghapal. Hanya saja, menghapal biasanya lebih berkonotasi pada penjagaan terhadap pengetahuan, sementara kata dzikr lebih berkonotasi pada kemampuan mengingatnya kembali. Terkadang kata ini diartikan sebagai upaya untuk menghadirkan ingatan." [Mufradat (328), oleh Ar-Raaghib].

Adapun definisi “Dzikr” secara terminologis (syari’at) adalah setiap ucapan yang dirangkai untuk tujuan memuji dan berdo’a. Yakni lafal yang digunakan untuk beribadah kepada Allah, berkaitan dengan pengagungan dan pujian terhadap-Nya dengan menyebut nama-nama atau sifat-Nya, dengan memuliakan dan mentauhidkan-Nya, dengan bersyukur dan mengagungkan dzat-Nya, dengan membaca Kitab-Nya, dengan memohon kepada-Nya atau berdo’a kepada-Nya." [Lihat Al-Mausuu’ah Al-Fiqhiyyah (XXI/220) dan Al-Futuuhat Ar-Rabbaniyyah (I/18)].
 
SHALAT
Kata "shalat", secara bahasa (etimologis) berarti doa dengan kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ

“Shalatlah (berdo'alah) untuk mereka karena sesungguhnya shalatmu adalah ketenangan1 bagi mereka.” (At-Taubah: 103)
Makna “bershalatlah untuk mereka” adalah berdoalah untuk mereka. (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 589).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ، وَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ

“Apabila salah seorang dari kalian diundang (untuk makan) maka hendaklah ia memenuhi undangan tersebut. Bila ia dalam keadaan tidak berpuasa, hendaklah ia makan (jamuan yang disediakan oleh tuan rumah, pen.). Namun bila ia sedang berpuasa maka hendaknya ia MENDO'AKAN tuan rumah.” (HR. Muslim no. 1431)
Adapun makna shalat secara terminologis (syariat) adalah peribadatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ucapan dan perbuatan yang telah diketahui, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai syarat-syarat yang khusus dan dengan niat. [Al-Fiqhu ‘Alal Madzhabil Arba’ah (1/160), Subulus Salam (1/169), Asy-Syarhul Mumti’ (1/343), Taudhihul Ahkam (1/469), Taisirul ‘Allam (/109)]

Ibnu Qudamah rahimahullahu menyatakan, bila dalam syariat disebutkan perkara shalat atau hukum yang berkaitan dengan shalat maka shalat ini dipalingkan dari maknanya secara bahasa kepada pengertian shalat secara syar’i. (Sehingga dalam hal ini, batil dan sesatlah bila ada yang memaknakan shalat dengan doa. Akibatnya ia enggan mengerjakan shalat sebagaimana yang dituntunkan, sembari mengatakan, “Cukup bagi kita berdoa, tanpa melakukan gerakan-gerakan berdiri, rukuk, dan sujud serta tanpa membaca bacaan-bacaan shalat.”). Shalat ini hukumnya wajib menurut Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.
 
Dari Al-Qur`an, kita dapatkan kewajibannya antara lain dalam:
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ

Tidaklah mereka itu diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuknya dalam keadaan hanif (condong kepada tauhid dan meninggalkan kesyirikan) dan agar mereka menegakkan shalat serta membayar zakat. Yang demikian itu adalah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)

BID'AH
Demikian halnya kata “bid’ah”, memiliki makna secara etimologis dan terminologis.

Kata "bid’ah" secara etimologis, dijelaskan oleh Ibnu Mandzur (Muhammad bin Mukarram bin Ali Abu Al-Fahl Jamaludin bin Mandzur, penulis kamus Lisanul Arab, seorang ahli bahasa terpercaya dari keturunan Ruwaifa’ bin Tsabit Al-Anshari), bahwa bada’a asy-syai’ berarti ‘menciptakan sesuatu’ dan ‘memulainya’. Bada’a ar-rakiyyata berarti ‘membuat sumur’. Al-Badi’ wa al-bid’u berarti ‘sesuatu yang pertama’, seperti disebutkan di dalam Al-Qur’an,:
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ

“Katakanlah, ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul…” (Al-Ahqaf: 9).
Jika dikatakan fulanan bada’a fi hadza al-amr, berarti ‘orang yang pertama kali melakukannya dan belum pernah ada orang lain yang melakukannya’. Adapun kata abda’a wa ibtada’a wa tabadda’a berarti ‘mengada-adakan suatu bid’ah’, seperti difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an, “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah…” (Al-Hadid: 27)

Kata al-badi’ juga berarti ‘pencipta yang menakjubkan’. Al-Badi’ berarti sama dengan al-Mubdi’. Jika dikatakan abda’tu sya’ian, berarti ‘aku menciptakannya tanpa ada contoh’. Kata al-badi’ adalah salah satu asma Allah, karena Dialah yang menciptakan segala sesuatu. Dialah pencipta yang pertama sebelum segala sesuatu ada. Bisa juga dikatakan al-mubdi’ adalah ‘yang pertama kali menciptakan makhluk’ dan Dialah Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an,
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ

“Pencipta langit dan bumi…” (Al-Baqarah: 117)
Kata badi’ juga berarti ‘baru’. Kata abda’at al-ibil berarti ‘onta itu menderum (berlutut) di tengah jalan’ karena letih, sakit, atau lapar. Abda’at al-ibil juga berarti ‘lemah’ atau ‘letih’. Kata ibda’ al-ibil yang berarti ‘onta yang letih’ juga berarti ‘sesuatu yang baru’ karena kebiasaan onta adalah berjalan terus. Dari sini jelaslah bahwa makna bada’a secara garis besar berarti ‘menciptakan’ atau ‘membuat sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya’.
Kata bid’ah, adalah kata benda dari kata ibtida’ (seperti kata rif’ah dari kata irtifa’), yaitu ‘segala sesuatu yang diadakan tanpa contoh sebelumnya’.

Adapun makna bid’ah secara terminologis, disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:

“Kami telah menetapkan kaidah tentang sunnah dan bid’ah. Bid’ah dalam agama adalah apa yang TIDAK DISYARI'ATKAN oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu perkara yang TIDAK DIWAJIBKAN dan TIDAK DISUNNAHKAN (tidak ada sunnahnya) untuk mengerjakannya. Adapun perkara yang diperintahkan, baik secara wajib maupun sunnah dengan dalil-dalil syar’i, berarti termasuk agama yang disyari’atkan oleh Allah, walaupun ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam sebagian perkara, baik itu yang telah dikerjakan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun yang belum dikerjakan.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, IV, 107-108).

Di antara manusia ada yang berkata bahwa BID'AH TERBAGI DUA, yaitu ada bid’ah yang baik dan ada bid’ah yang tercela, dengan alasan yang disandarkan kepada perkataan Umar radhiyallahu 'anhu dalam shalat tarawih, “.

Ini adalah bid’ah yang baik.” Maka mereka ini lalu mengatakan, “Tidak semua bid’ah itu sesat.”

Sanggahan atas perkataan tersebut adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah yang baru, setiap yang baru (dalam agama yang tidak ada contohnya) itu sesat, dan setiap kesesatan berada di neraka.”
Ini adalah nash Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak diperkenankan bagi siapa pun untuk membelokkan dhalalahnya yang mengecam bid’ah; dan barangsiapa yang membelokkan dalalahnya maka dia telah mengikuti hawa nafsunya.

Tidak diperkenankan bagi siapa pun untuk menerima kalimat yang umum dari Rasulullah, yaitu ‘Setiap bid’ah adalah sesat’ dengan menghilangkan keumumannya sehingga mengatakan bahwa tidak setiap bid’ah itu sesat. Dikarenakan pernyataan ini lebih bersifat memojokkan Rasulullah daripada menakwilkannya. (Iqtidhau Ash-Shirath Al-Mustaqim, II, 5832-588, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).

Adapun shalat tarawih, bukanlah bid’ah dalam syari’at. Tetapi sunnah yang disabdakan dan dikerjakan oleh Rasulullah secara berjama’ah pada tiga hari pertama pada bulan Ramadhan. Lalu pada hari keempat beliau bersabda, “Amma ba’du. Sesungguhnya aku tidak khawatir dengan keteguhan kalian, tetapi aku takut ibadah ini diwajibkan atas kalian, lalu kalian tidak kuasa melaksanakannya.” (HR. Bukhari). Beliau tidak keluar ke masjid pada malam keempat bulan Ramadhan karena takut shalat tarawih diwajibkan. Seandainya beliau tidak khawatir, pasti beliau keluar untuk shalat bersama mereka.

Adapun pada masa Umar radhiyallahu 'anhu mereka disatukan kembali dalam bentuk shalat jama’ah yang dipimpin oleh seorang imam (Ubay bin Ka’ab) hingga masjid menjadi ramai. Memang tindakan ini disebut bid’ah, karena secara etimologis dinamakan demikian. Akan tetapi secara terminologis, bukan termasuk bid’ah yang dilarang oleh syari’at atau bukan bid’ah syar’iyyah, karena shalat tarawih secara berjama’ah itu sendiri juga pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (sudah ada contohnya). Kekhawatiran bahwa shalat tarawih akan diwajibkan, telah hilang setelah wafatnya Rasulullah (karena wahyu sudah tidak akan turun lagi).

Umar radhiyallahu 'anhu menamakan shalat tarawih dengan bid’ah HANYA SEKEDAR UNGKAPAN ETIMOLOGIS (secara bahasa) SAJA, bukan penamaan secara syar’i, karena kata bid’ah secara etimologis bersifat umum, mencakup segala perbuatan yang dikerjakan tanpa ada contoh sebelumnya. Adapun bid’ah syar’iyyah (bid’ah menurut terminologi) adalah bid’ah yang tidak ada dalil syara’nya dan tidak ada contohnya dalam hal ibadah, inilah yang dilarang.

Sebagian kaum Muslimin ada yang bersikukuh dengan bid’ah-nya karena beranggapan bahwa apa yang dilakukannya termasuk BID'AH HASANAH yang boleh dilakukan, dengan menyandarkan kepada perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah yang berkata:
“Bid’ah itu ada dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela). YANG SESUAI dengan As-Sunnah adalah yang TERPUJI dan YANG MENYALAHI As-Sunnah itu adalah yang TERCELA.”

(Dikutip dari buku Mengapa Anda Menolak Bid’ah Hasanah, Abdul Qayyum Muhammad As-Sahibany. Ditulis atas permintaan Maktabah Al-Khudhairy Madinah An-Nabawiyah).
Padahal, apabila perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah tersebut kita perhatikan dengan teliti, maka TIDAK DIRAGUKAN LAGI bahwa yang beliau maksud dengan “bid’ah mahmudah”, adalah MAKNA SECARA ETIMOLOGIS (BAHASA) dan bukan menurut syara’ (istilah agama).

Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
“Yang dimaksudkan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah adalah seperti yang telah kami kemukakan, bahwasanya “bid’ah madzmumah” adalah APA-APA YANG TIDAK MEMPUNYAI ASAL (tidak ada contohnya) dalam syari’at sebagai tempat kembali kepadanya, dan inilah yang dimaksud dengan bid’ah menurut syari’at. Adapun “bid’ah mahmudah” yakni yang sesuai dengan As-Sunnah, yaitu apa-apa YANG ADA ASALNYA (ada contohnya) berupa sunnah sebagai tempat merujuk kepadanya.” (Ibid).

Dengan penjelasan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa yang dimaksud dalam perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah:
“Yang sesuai dengan As-Sunnah adalah yang terpuji”
yaitu yang “ada asalnya (contohnya)” dalam As-Sunnah.
Dan yang dimaksud dengan:
“yang menyalahi As-Sunnah itu adalah yang tercela”, yaitu yang “tidak ada asalnya” (tidak ada contohnya) dalam As-Sunnah. Jadi, yang dimaksud oleh beliau bahwa bid’ah itu terbagi dua, tidak lain adalah pembagian bid’ah menurut etimologi (bahasa) dan terminology (istilah).
Apa-apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang belum ada di zaman Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, selama hal tersebut membawa kebaikan dan TIDAK ADA KAITANNYA DENGAN AGAMA, maka ia termasuk dalam pengertian bid’ah secara bahasa yang BOLEH DILAKUKAN selama tidak ada dalil yang melarangnya, dan inilah yang dimaksud dengan “bid’ah hasanah”.

Adapun segala sesuatu yang diada-adakan DALAM AGAMA, maka ia termasuk bid’ah yang secara mutlak dilarang dalam Islam sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:Barangsiapa yang mengerjakan satu amalan yang diada-adakan dalam ajaran (agama) kami padahal amalan itu bukan berasal dari agama ini (tidak ada contohnya), maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa BID'AH yang dilarang adalah hal-hal baru dalam agama. Adapun hal-hal baru (bid'ah) dalam hal duniawi, seperti penggunaan HP, komputer, mobil, pesawat terbang, speaker, dan lain-lain, maka bukanlah bid'ah yang dimaksud dalam larangan agama.

Dalil yang dapat memperjelas permasalahan ini adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika para Sahabat radhiyallahu 'anhum akan melakukan penyerbukan silang pada tanaman kurma (yang termasuk perkara duniawi), yang mana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membolehkannya:
إِذَا كَانَ شَىْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر دِينِكُمْ فَإِلَىَّ

“Apabila itu adalah PERKARA DUNIA KALIAN, KALIAN TENTU LEBIH MENGETAHUINYA. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan. Dikutip dari artikel yang berjudul "Berbagai Alasan Dalam Membela Bid’ah", karya Muhammad Abduh Tuasikal, ST, www.muslim.or.id/)
Apabila ada yang berkata:
"Tidak setiap bid'ah itu sesat, sebab MENURUT PANDANGAN KAMI ada juga yang baik."

Maka cukuplah kita bandingkan perkatan mereka itu dengan perkataan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu yang berkata:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ إِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

"Setiap bid'ah adalah sesat, MESKIPUN MANUSIA MEMANDANGNYA BAIK."

[Diriwayatkan oleh Lalikai dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah (no. 126), Ibnu Baththah dalam Ibanah (no. 205), al-Baihaqi dalam Madkhal Ila Sunan (no. 191), dan Ibnu Nashr dalam as-Sunnah (no. 70) dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Ahkam Janaiz (hlm. 258). Lihat Ilmu Ushul Bida', Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hafizhahullah dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah]
Semoga Allah Ta'ala mengampuni seluruh kesalahan dan dosa-dosa kita, dosa-dosa kedua orang tua kita, dan juga dosa-dosa seluruh kaum muslimin, serta meliputi kita semua dengan hidayah taufik-Nya, amin.

Semoga bermanfaat....

-Sahabatmu-
Abu Muhammad Herman

Sumber: http://www.facebook.com/groups/115813878445038/#!/note.php?note_id=10150648756595175


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger