Syarat Taubat Sejati

Ada beberapa buah persyaratan yang harus dipenuhi agar taubat itu bisa menjadi taubat yang sejati. Tidak sah taubat seseorang dan tidak akan diterima kecuali apabila syarat-syarat ini terpenuhi, yaitu :
Pertama : Beragama Islam.
Taubat tidak sah dari orang yang kafir. Karena kekafirannya adalah bukti yang menunjukkan kedustaan pengakuan taubatnya. Taubat orang kafir ialah dengan cara masuk agama Islam terlebih dahulu. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan taubat bukanlah bagi orang yang melakukan kejahatan sehingga ketika sudah tiba kematian kepada mereka dia mengatakan, “Aku akan bertaubat sekarang” dan bukan juga bagi orang yang meninggal dalam keadaan kafir. Mereka itulah orang-orang yang kami siapkan siksa yang sangat pedih” (QS. An Nisaa’ : 18)
Kedua : Ikhlas karena Allah
Allah ta’ala tidak menerima amal kecuali yang ikhlas untuk-Nya saja bukan yang diperuntukkan bagi selain-Nya. Terkadang orang bertaubat dari suatu kemaksiatan karena dia tidak bisa melakukannya. Seperti karena tidak memiliki uang untuk membeli khamr kemudian dia bertaubat dan tidak meminumnya lagi akan tetapi sebenarnya di dalam lubuk hatinya masih terdapat keinginan apabila suatu saat dia sudah punya uang niscaya dia akan membeli dan meneguknya kembali. Maka orang seperti ini taubatnya tidak diterima dan tidak sah karena dia tidak ikhlas untuk Allah ta’ala dalam melakukannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan amal untuk-Nya. Ingatlah, agama yang murni hanya untuk Allah” (QS. Az Zumar : 2,3)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya dan bagi setiap orang balasan berdasarkan apa yang diniatkannya” (Muttafaq ‘alaih). Salah satu do’a yang dipanjatkan oleh Al Faruq ‘Umar bin Al Khaththaab adalah, “Ya Allah, jadikanlah seluruh amalku shalih. Jadikanlah amal itu untuk mengharap wajah-Mu saja dan jangan jadikan sedikitpun amal itu untuk selain-Mu, siapa pun dia”.
Ketiga : Meninggalkan kemaksiatan
Tidaklah bisa digambarkan adanya taubat sementara pelakunya masih terus melakukan dosa kemaksiatannya ketika dia bertaubat. Adapun apabila dia mengulangi dosanya sesudah bertaubat sedangkan syarat taubat sudah terpenuhi -yaitu termasuk di antaranya adalah meninggalkan maksiat itu- maka taubatnya yang dahulu tidak menjadi batal. Akan tetapi dia harus bertaubat lagi, demikian seterusnya.
Imam Nawawi mengatakan, “Apabila seseorang sudah bertaubat dengan benar dengan memenuhi syarat-syaratnya kemudian dia mengulanginya maka hal itu ditulis sebagai dosanya yang kedua dan taubatnya (terdahulu) tidak menjadi batal” (Syarh Shahih Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila seseorang bertaubat dengan benar niscaya dosa-dosanya diampuni. Dan apabila dia mengulangi dosa maka wajib baginya untuk bertaubat lagi. Apabila dia sudah bertaubat maka Allah juga akan menerima taubatnya itu” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam)
Keempat : Mengakui dosa
Karena tidaklah bisa tergambar ada seorang yang bertaubat dari suatu dosa sementara dia tidak menganggapnya sebagai dosa. Hal ini seperti keadaan orang yang menciptakan bid’ah di dalam ajaran agama Allah ‘azza wa jalla yang ajaran itu bukan termasuk bagiannya. Sebab dia tidak menilai perbuatan bid’ahnya itu sebagai dosa. Bahkan dengan cara itulah dia mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.
Di dalam hadits Ifk [kabar bohong tentang perselingkuhan Istri Nabi], Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Amma ba’du, wahai ‘Aisyah. Sesungguhnya telah sampai berita kepadaku bahwa engkau begini dan begitu. Apabila engkau terlepas dari tuduhan itu maka Allah pasti akan membebaskan dirimu darinya. Dan apabila engkau benar berbuat dosa maka mintalah ampunan kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya. Karena sesungguhnya apabila seorang hamba mengakui dosa kemudian bertaubat maka Allah pasti akan menerima taubatnya” (Muttafaq ‘alaih). Dengan demikian apabila dilihat dari sisi ini maka kemaksiatan lebih ringan bahayanya dibandingkan dengan bid’ah. Karena perbuatan maksiat secara umum bisa diharapkan taubatnya. Sedangkan perbuatan bid’ah secara umum orangnya sulit sekali diharapkan untuk bisa bertaubat.
Kelima : Menyesali dosa-dosa yang dilakukan
Tidak pernah tergambar adanya taubat kecuali dari orang yang merasa menyesal, takut dan khawatir akan nasib dirinya akibat dosa yang dilakukannya. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘laihi wa sallam bersabda, “Penyesalan adalah taubat” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dishahihkan Al Albani)
Keenam : Mengembalikan hak kepada orang yang dizhalimi
Ini apabila maksiat itu berkaitan dengan hak anak Adam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memiliki tanggungan terhadap orang yang dizhalimi baik berupa kehormatan atau apapun maka hendaklah dia meminta halal kepadanya di suatu hari sebelum datangnya hari dimana tidak berharga lagi dinar dan dirham. Apabila dia punya amal shalih maka akan diambil darinya semisal kezhaliman yang dilakukannya. Apabila dia tidak memiliki amal kebaikan maka dosa-dosa sahabatnya itu akan dipikulkan kepada dirinya” (HR. Bukhari)
Ketujuh : Bertaubat sebelum nyawa di tenggorokan
Nyawa di tenggorokan adalah tanda datangnya kematian yaitu ketika ruh sudah mencapai tenggorokan. Maka taubat itu harus dilakukan sebelum terjadinya kematian. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah subhanahu, “Dan bukanlah taubat itu diperuntukkan bagi orang-orang yang melakukan kejahatan di saat kematian datang menghampiri mereka barulah dia mengatakan, “Aku bertaubat sekarang” Dan taubat juga bukan untuk orang-orang yang mati dalam keadaan kafir. Mereka itulah orang-orang yang sudah Kami siapkan siksa pedih untuk mereka”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima taubat seorang hamba selama nyawa belum sampai di tenggorokan” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan dishahihkan An Nawawi)
Saudaraku yang kucintai, Manfaatkanlah masa mudamu sebelum kematian menghampiri dan pikun kau alami, Segeralah bertaubat sebelum hilang kesempatan dan tersisa penyesalan.
Ketahuilah, engkau pasti dibalas dan ditagih, Dekatkan dirimu kepada Allah dan waspadalah dari ketergelinciran.
Kedelapan : Sebelum terbitnya matahari dari arah barat
Karena apabila matahari sudah terbit dari arah barat maka seluruh manusia pasti akan beriman dan mereka yakin akan dekatnya hari kiamat. Akan tetapi di saat itu taubat dan iman sudah tidak bermanfaat lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menjadikan sebuah pintu di sebelah barat yang lebarnya sejauh perjalanan 70 tahun untuk menerima taubat. Pintu itu tidak akan tertutup kecuali jika matahari terbit dari arah sana. Itulah makna dari firman Allah ‘azza wa jalla, “Pada hari datangnya sebagian ayat Tuhanmu. Ketika itu keimanan seseorang sudah tidak lagi berguna yaitu bagi orang yang sebelumnya belum beriman, atau belum pernah berbuat baik tatkala beriman” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di waktu malam untuk menerima taubatnya orang yang berbuat dosa di siang hari dan Allah membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima tauabt orang yang berbuat dosa di malam hari, hal itu terjadi terus hingga matahari terbit dari arah barat” (HR. Muslim)
Tulisan ini diambil dari buku mungil ‘Ayyuhal muqashshir mata tatuubu’.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger