Islam Saling Berselisih Tafsir Alquran Sebagaimana Nasrani dalam Kitab Suci Injil ?

Syubhat :

Mengapa Anda sekalian berselisih pendapat dalam tafsir al-Qur’an? Dan bersamaan dengan itu Anda mengklaim bahwa Injil itu berselisih, bukankah ini adalah sebuah kontradiksi? Sebagaimana bahwa orang yang meneliti Injil dengan ikhlas, dia tidak akan mendapati perselisihan di dalamnya?.

Jawab :

Pertama, Anda harus mengetahui bahwa terdapat perbedaan antara perselisihan dalam tafsir dengan perselisihan dalam Kitab Suci al-Qur’an. Tidak pernah ditemukan perselisihan pada diri kaum muslimin atas al-Qur’anul Karim. Al-Qur’an itu satu, tidak berselisih, dan tidak akan berubah pada seluruh tempat di dunia ini sejak turunnya 1400 tahun yang lalu. Al-Qur’an terjaga dengan janji Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr: 9).

Berbeda dengan Kitab “Suci” Injil yang kita temukan bahwa dia berbeda-beda. Jadi tidak termasuk keadilan Anda membandingkan antara perselisihan dalam tafsir al-Qur’an dengan perselisihan dalam Injil. Bahkan yang wajib adalah Anda bandingkan antara kitab suci al-Qur’an dengan kitab Injil. Akan tetapi karena Anda mengetahui bahwa Anda akan masuk dalam peperangan yang merugikan, Anda mengambil cara tersebut untuk melemparkan syubhat (keraguan) yang dengan karunia Allah hal itu bukanlah perkara samar bagi kami.

Kemudian, Anda harus mengetahui bahwa tidak pernah terjadi perselisihan antara para ulama dalam tafsir keseluruhan al-Qur’an. Akan tetapi yang ada hanyalah bahwa mereka berselisih pendapat dalam tafsir sebagian ayat dari al-Qur’an. Dan tidak diragukan lagi bahwa mayoritas ayat, tidak pernah terjadi perselisihan dalam tafsirnya. Bahkan para ahli tafsir yang salaf (klasik) maupun yang khalaf (kontemporer) bersepakat dengan para ulama atas tafsirnya. Yang demikian itu adalah satu perkara nyata bagi setiap orang yang membaca al-Qur’an, dan membaca kitab-kitab tafsir. Tidak henti-hentinya kaum muslimin secara umum membaca al-Qur’an, mendengar ayat-ayatnya, dan tidak merasa kesulitan akan banyaknya ayat tersebut, bahkan mereka mengetahui maksudnya. Ini sudah cukup dalam merealisasikan hidayah al-Qur’an.

Adapun ayat-ayat, yang jumlahnya sedikit, yang terdapat perselisihan pendapat dalam tafsirnya, maka ayat-ayat tersebut terbagi menjadi beberapa pembagian:

Pertama, khilaf (perselisihan) di dalamnya adalah khilaf tanawwu’ (perselisihan yang bersifat variatif), bukan khilaf tadhot (kontradiksi, berseberangan). Itu adalah khilaf lafzhi (redaksi) dan tidak berpengaruh pada esensi makna. Khilaf tanawwu’ pada hakikatnya bukanlah sebuah perselisihan. Dimana di antara syarat perselisihan adalah kontradiksinya dua ucapan. Ini tidak terjadi dalam pembagian khilaf ini.

Contoh yang demikian adalah tafsir shiratul mustaqim (jalan yang lurus). Sebagian mereka mengatakan: “yaitu al-Qur’an, yakni mengikutinya.”

Sebagian lagi mengatakan, ‘Yaitu agama Islam.’

Maka kedua pendapat ini saling bersesuaian, karena agama Islam adalah mengikuti al-Qur’an. Akan tetapi masing-masing dari keduanya, memberikan perhatian atas satu sifat tidak pada sifat lain.

Sebagaimana bahwa lafazh shirat juga memberikan isyarat kepada sifat yang ketiga. Demikian pula pendapat orang yang mengatakan bahwa ia adalah, ‘as-Sunnah wal-Jama’ah’, dan pendapat yang mengatakan, ‘ia adalah jalan peribadatan kepada Allah.’ Juga ucapan orang yang mengatakan, ‘Itu adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan contoh-contoh yang lain. Maka mereka semua memberikan isyarat kepada satu makna dari shirathal mustaqim, akan tetapi masing-masing memberikan sifat dari sifat-sifatnya.

Kedua
, masing-masing dari mereka menyebut dari nama yang bersifat umum sebagian macamnya demi memberikan perumpamaan, dan memberikan peringatan kepada yang mendengar atas satu macam makna. Bukan untuk memberikan satu batasan yang sesuai dengan apa yang dibatasi dalam keumuman dan kekhususannya.

Contoh yang demikian adalah apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawanya (13/232-238), tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.” (QS. Fathir: 32).

Maka telah diketahui bahwa azh-zhalim linafsihi (orang yang menganiaya diri sendiri) mencakup orang yang menyia-nyiakan kewajiban dan meremehkan perkara-perkara yang diharamkan; dan al-muqtashid (yang pertengahan) mencakup pelaku kewajiban, dan orang yang meninggalkan yang diharamkan; serta as-sabiq (yang terdepan dalam berbuat kebaikan) masuk di dalamnya orang yang bersegera lebih dulu, maka dia mendekatkan diri kepada Allah dengan segala kebaikan disertai dengan menjalankan segenap kewajiban.

Kemudian sesungguhnya masing-masing diantara mereka – yaitu dari kalangan ahli tafsir – menyebutkan perkara ini dalam satu macam dari berbagai macam ketaatan:

Seperti ucapan, ‘as-sabiq adalah orang yang shalat di awal waktunya, al-muqtashid adalah orang yang shalat di tengah waktunya, dan zhalim linafsihi adalah yang mengakhirkan waktu ashar hingga matahari telah menguning.’

Yang lain berkata, ‘ as-sabiq, al-muqtashid, dan az-zhalim telah disebutkan di akhir surat al-Baqarah, maka sesungguhnya penyebutan itu adalah penyebutan orang yang berbuat baik dengan shadaqah, penyebutan orang zhalim dengan memakan riba, dan penyebutan orang ‘adil dengan jual beli.’

Maka tidak boleh menjadikan bagian kedua ini sebagai khilaf tadhot (perselisihan yang bersidat kontradiksi), pencelaan dan peragu-raguan terhadap al-Quran yang mulia, karena beberapa sebab:

1. Sesungguhnya perselisihan itu tidak pada ayat-ayat yang berkaitan dengan i’tiqad (keyakinan) Islam, atau tujuan-tujuan syari’at. Akan tetapi perselisihan itu terjadi pada ayat-ayat ahkam (hukum-hukum), seperti perselisihan para ulama dalam tafsir firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” (QS. al-Baqarah: 228)

Apakah quru’ itu suci dari haidh ataukah haidh?

Atau juga perselisihan itu terjadi pada sebagian ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan kisah-kisah atau nasihat dan semacamnya. Seperti perselisihan mereka dalam tafsir firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا 

“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” (QS. Maryam: 24).

Apakah yang menyeru itu Jibril ataukah Isa ‘Alaihi Salam?

Perselisihan ini, sebagaimana Anda lihat, tidak berkaitan dengan tulang punggung (penopang) aqidah dan syari’at. Akan tetapi perselisihan itu ada pada perkara fiqih yang Allah menginginkan hal itu terjadi sebagai bentuk rahmat terhadap umat ini, serta ujian juga. Atau perselisihan itu terjadi pada perkara yang pemahaman ayat tersebut tidak bergantung pada pengetahuan tentang maknanya.

2. Perselisihan ini – sekalipun sedikit – kebanyakan terjadi pada abad terakhir. Dan seandainya kita kembali pada tafsir salaf dari para sahabat dan tabi’in pastilah kita tidak akan mendapatinya. Mayoritas perselisihan itu ada pada kitab-kitab tafsir kontemporer.

3. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hikmat dalam menyamarkan makna sebagian ayat-ayat, agar para mujtahid bersungguh-sungguh dan membahas ilmu tersebut dalam kitab-kitab dan akal-akal mereka.

Adapun klaim tidak adanya perselisihan dalam Injil atau dalam tafsir Injil, maka ini adalah klaim aneh, yang seorang Nasrani tidak mengklaimnya sendiri. Karena banyaknya kontradiksi di dalamnya. Dimana naskah-naskah Injil, periwayatannya, penerjemahannya berbeda-beda dengan perbedaan yang banyak dan kontradiksi. Sebagaimana banyak sekali sekte-sekte Nasrani dan perselisihan agama mereka.

Perselisihan mereka dalam menafsirkan Injil terjadi pada tulang punggung aqidah (keyakinan) mereka; dalam penafsiran trinitas, keEsaan, dan tiga oknum. Dimana itu semua adalah perselisihan kontradiksi yang membuat terbentuknya banyak sekte di tengah mereka yang mereka berselisih dalam pandangan agama dan aqidah mereka.

Adapun Islam dan al-Qur’an, maka tidak ada perselisihan dalam rukum agama dan hakikat yang terpenting di antara ulama Islam Ahlussunnah, yang merupakan mayoritas umat ini dari kalangan para sahabat, dan tabi’in hingga hari ini.*

http://alhilyahblog.wordpress.com/2012/01/23/jawaban-tuduhan-tuduhan-buruk-kaum-nasrani-dan-orang-orang-kafir-terhadap-islam-bag-1/


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger