Oleh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memotifasi umat Islam untuk tinggal di Madinah, dan memberi semangat untuk melakukannya. Beliau pun memberitahukan bahwa tidaklah seseorang keluar darinya karena benci kepadanya kecuali Allah akan menggantikannya dengan orang yang lebih baik.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Akan datang satu zaman kepada manusia, di mana seseorang berseru kepada keponakannya dan karib kerabatnya, ‘Mari kita menuju kepada kemegahan! Mari kita menuju kepada kemegahan!’ Sementara Madinah lebih baik bagi mereka jika mereka mengetahuinya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari mereka keluar darinya karena benci kepadanya melainkan Allah akan menggantikannya dengan orang yang lebih baik darinya. Ingatlah, sesungguhnya Madinah bagaikan ubupan (alat peniup api yang digunakan tukang besi) yang mengelurkan kotoran. Kiamat tidak akan tiba sehingga Madinah me-ngeluarkan orang-orang jeleknya sebagaimana ubupan menghilangkan kotoran besi.”[1].
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah memahami bahwa peristiwa Madinah yang mengeluarkan orang-orang jeleknya terjadi pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena tidak ada orang yang bersabar melakukan hijrah dan berdiam di Madinah kecuali orang yang tetap dalam keimanan. Adapun orang-orang munafik dan orang-orang bodoh dari kalangan Arab sama sekali tidak bersabar atas sulitnya hidup di Madinah dan tidak tulus dalam mengharapkan pahala dari Allah.
Sementara an-Nawawi rahimahullah memahami bahwa peristiwa tersebut terjadi pada masa Dajjal. Beliau menganggap bahwa pendapat al-Qadhi ‘Iyad tidak mungkin, dan beliau menuturkan bahwa bisa saja hal itu terjadi pada masa yang berbeda-beda. [2].
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menuturkan bahwa bisa saja dua zaman tersebutlah yang dimaksud (di dalam hadits):
Pertama adalah pada masa Nabi dengan dalil kisah seorang Arab badui, sebagaimana dijelaskan dalam Shahiih al-Bukhari dari Jabir Radhiyallahu anhu:
“Seorang Arab badui datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berbai’at kepadanya untuk masuk Islam, kemudian keesokan harinya dia datang dalam keadaan demam, dia berkata, ‘Batalkanlah (bai’atku)!’ Lalu beliau menolaknya, hal itu berlangsung tiga kali, beliau berkata, ‘Madinah bagaikan abu panasyang menghilangkan kotorannya dan memisahkan (menghasilkan) yang baiknya.’” [3].
Kedua adalah pada masa Dajjal, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau menyebutkan Dajjal, kemudian bersabda:
“Kemudian Madinah menggetarkan penghuninya sebanyak tiga kali, lalu Allah mengeluarkan setiap orang kafir dan munafik darinya.” [HR. Al-Bukhari][4].
Adapun di antara kedua zaman tersebut, maka itu tidak terjadi. Karena banyak tokoh-tokoh dari para Sahabat yang mulia telah keluar dari Madinah setelah zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti Mu’adz bin Jabal, Abu ‘Ubaidah, Ibnu Mas’ud, satu kelompok dari mereka, lalu ‘Ali, Thalhah, az-Zubair, ‘Ammar juga yang lainnya. Sementara mereka termasuk makhluk yang paling mulia, sehingga hal itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dalam hadits adalah mengkhususkan satu kelompok manusia dari yang lainnya, dan mengkhususkan satu masa dari masa lainnya, dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“... Dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya...” [At-Taubah: 101]. Dan tidak diragukan bahwa orang munafik adalah orang-orang jelek. [5].
Adapun keluarnya manusia secara keseluruhan dari Madinah akan terjadi pada akhir zaman menjelang terjadinya Kiamat. Dijelaskan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
‘Kalian meninggalkan Madinah dalam keadaan yang paling baik, tidak ada yang mendatanginya kecuali al-‘Awaafi -maksudnya binatang buas dan burung (yang mencari makan)- dan orang terakhir yang diwafatkan adalah dua orang penggembala dari Muzainah yang hendak ke Madinah, menggiringkan kambing-kambingnya (mencari makan), kemudian keduanya mendapati penghuninya adalah binatang buas, sehingga ketika keduanya sampai di bukit al-Wada’, keduanya pun wafat.’” [6] [HR. Al-Bukhari].
Imam Malik meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Kalian akan meninggalkan Madinah dalam keadaan yang paling baik sehingga anjing atau serigala masuk ke dalamnya, kemudian kencing di sebagian tiang masjid atau mimbar.” Selanjutnya para Sahabat bertanya, “Maka untuk siapakah buah-buahan saat itu?” Beliau menjawab, “Untuk al-‘Awaafi, yaitu burung dan binatang buas.” [7].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksudnya bahwa Madinah akan tetap ada dan dihuni sampai masa Dajjal, demikian pula pada masa ‘Isa bin Maryam Alaihissallam sebagai utusan Allah, sampai beliau wafat di sana, dan dimakamkan di sana, kemudian Madinah hancur setelah itu.” [8]. Kemudian beliau menyebutkan hadits Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “‘Umar bin al-Khaththab mengabarkan kepadaku, beliau berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
‘Sesungguhnya seorang yang berkendaraan akan berjalan di sisi-sisi Madinah, kemudian akan berkata, ‘Dahulu banyak kaum muslimin yang tinggal di sini.’” [HR. Imam Ahmad][9].
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “‘Umar bin Syabbah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari ‘Auf bin Malik, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid, lalu menatap (Madinah), beliau berkata, ‘Demi Allah, sungguh penghuninya akan meninggalkannya (Madinah) dalam keadaan terabaikan selama waktu empat puluh tahun untuk al-‘Awaafi, tahukah kalian apakah al-‘Awaafi itu? Burung dan binatang buas.”. Selanjutnya Ibnu Hajar berkata, “Ini menunjukkan bahwa hal itu tidak terputus selama-lamanya.” [10].
Hal ini menunjukkan bahwa keluarnya manusia secara keseluruhan terjadi di akhir zaman, setelah keluarnya Dajjal dan turunnya Nabi ‘Isa bin Maryam Alaihissallam. Mungkin juga terjadi ketika keluarnya api yang mengumpulkan manusia, yaitu tanda-tanda Kiamat yang terakhir, dan tanda pertama yang menunjukkan terjadinya Kiamat, maka tidak ada lagi setelah itu kecuali terjadinya Kiamat.
Hal ini diperkuat bahwa orang yang terakhir kali dikumpulkan berasal darinya (Madinah), sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:
“… dan orang terakhir yang dikumpulkan adalah dua orang penggembala dari Muzainah yang hendak ke Madinah yang menggiring kambing-kambingnya, kemudian keduanya mendapati penghuninya (Madinah) adalah binatang buas.” [11].
Maknanya bahwa daerah tersebut telah kosong atau binatang-binatang liarlah yang menghuninya waktu itu, wallaahu a’lam.
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir].
55. MADINAH MENGUSIR ORANG-ORANG JELEK YANG ADA DI DALAMMNYA KEMUDIAN AKAN HANCUR DI AKHIR ZAMAN.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memotifasi umat Islam untuk tinggal di Madinah, dan memberi semangat untuk melakukannya. Beliau pun memberitahukan bahwa tidaklah seseorang keluar darinya karena benci kepadanya kecuali Allah akan menggantikannya dengan orang yang lebih baik.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، يَدْعُو الرَّجُلُ ابْنَ عَمِّهِ وَقَرِيبَهُ: هَلُمَّ إِلَى الرَّخَاءِ! هَلُمَّ إِلَى الرَّخَاءِ! وَالْمَدِينَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لاَ يَخْرُجُ مِنْهُمْ أَحَدٌ رَغْبَةً عَنْهَا إِلاَّ أَخْلَفَ اللهُ فِيْهَا خَيْرًا مِنْهُ، أَلاَ إِنَّ الْمَدِيْنَةَ كَالْكِيْرِ تُخْرِجُ الْخَبِيْثَ، لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّـى تَنْفِيَ الْمَدِينَةُ شِرَارَهَا كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ.
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah memahami bahwa peristiwa Madinah yang mengeluarkan orang-orang jeleknya terjadi pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena tidak ada orang yang bersabar melakukan hijrah dan berdiam di Madinah kecuali orang yang tetap dalam keimanan. Adapun orang-orang munafik dan orang-orang bodoh dari kalangan Arab sama sekali tidak bersabar atas sulitnya hidup di Madinah dan tidak tulus dalam mengharapkan pahala dari Allah.
Sementara an-Nawawi rahimahullah memahami bahwa peristiwa tersebut terjadi pada masa Dajjal. Beliau menganggap bahwa pendapat al-Qadhi ‘Iyad tidak mungkin, dan beliau menuturkan bahwa bisa saja hal itu terjadi pada masa yang berbeda-beda. [2].
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menuturkan bahwa bisa saja dua zaman tersebutlah yang dimaksud (di dalam hadits):
Pertama adalah pada masa Nabi dengan dalil kisah seorang Arab badui, sebagaimana dijelaskan dalam Shahiih al-Bukhari dari Jabir Radhiyallahu anhu:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَبَايَعَهُ عَلَى اْلإِسْلاَمِ فَجَاءَ مِنَ الْغَدِ مَحْمُومًا، فَقَالَ: أَقِلْنِي. فَأَبَى؛ ثَلاَثَ مِرَارٍ. فَقَالَ: الْمَدِينَةُ كَالْكِيرِ تَنْفِي خَبَثَهَا وَيَنْصَعُ طَيِّبُهَا.
Kedua adalah pada masa Dajjal, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau menyebutkan Dajjal, kemudian bersabda:
ثُمَّ تَرْجُفُ الْمَدِينَةُ بِأَهْلِهَا ثَلاَثَ رَجَفَاتٍ، فَيُخْـرِجُ اللهُ كُلَّ كَافِـرٍ وَمُنَافِقٍ.
Adapun di antara kedua zaman tersebut, maka itu tidak terjadi. Karena banyak tokoh-tokoh dari para Sahabat yang mulia telah keluar dari Madinah setelah zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti Mu’adz bin Jabal, Abu ‘Ubaidah, Ibnu Mas’ud, satu kelompok dari mereka, lalu ‘Ali, Thalhah, az-Zubair, ‘Ammar juga yang lainnya. Sementara mereka termasuk makhluk yang paling mulia, sehingga hal itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dalam hadits adalah mengkhususkan satu kelompok manusia dari yang lainnya, dan mengkhususkan satu masa dari masa lainnya, dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ ۖ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ
Adapun keluarnya manusia secara keseluruhan dari Madinah akan terjadi pada akhir zaman menjelang terjadinya Kiamat. Dijelaskan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَتْرُكُونَ الْمَدِينَةَ عَلَى خَيْرِ مَا كَانَتْ، لاَ يَغْشَاهَا إِلاَّ الْعَوَافِـي -يُرِيدُ عَوَافِيَ السِّبَاعِ وَالطَّيْرِ- وَآخِرُ مَنْ يُحْشَرُ رَاعِيَانِ مِنْ مُزَيْنَةَ، يُرِيدَانِ الْمَدِينَةَ، يَنْعِقَانِ بِغَنَمِهِمَا، فَيَجِدَانِهَا وَحْشًا، حَتَّى إِذَا بَلَغَا ثَنِيَّةَ الْوَدَاعِ، خَرَّا عَلَى وُجُوهِهِمَا.
Imam Malik meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَتُتْرَكَنَّ الْمَدِينَةُ عَلَى أَحْسَنِ مَا كَانَتْ حَتَّى يَدْخُلَ الْكَلْبُ أَوِ الذِّئْبُ فَيُغَذِّي عَلَى بَعْضِ سَوَارِي الْمَسْجِدِ أَوْ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ فَلِمَنْ تَكُونُ الثِّمَارُ ذَلِكَ الزَّمَانَ؟ قَالَ: لِلْعَوَافِي؛ الطَّيْرِ وَالسِّبَاعِ.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksudnya bahwa Madinah akan tetap ada dan dihuni sampai masa Dajjal, demikian pula pada masa ‘Isa bin Maryam Alaihissallam sebagai utusan Allah, sampai beliau wafat di sana, dan dimakamkan di sana, kemudian Madinah hancur setelah itu.” [8]. Kemudian beliau menyebutkan hadits Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “‘Umar bin al-Khaththab mengabarkan kepadaku, beliau berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيَسِيرَنَّ الرَّاكِبُ بِجَنَبَاتِ الْمَدِينَةِ، ثُمَّ لَيَقُولَنَّ: لَقَدْ كَانَ فِي هَذاَ حَاضِرٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ كَثِيرٌ.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “‘Umar bin Syabbah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari ‘Auf bin Malik, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid, lalu menatap (Madinah), beliau berkata, ‘Demi Allah, sungguh penghuninya akan meninggalkannya (Madinah) dalam keadaan terabaikan selama waktu empat puluh tahun untuk al-‘Awaafi, tahukah kalian apakah al-‘Awaafi itu? Burung dan binatang buas.”. Selanjutnya Ibnu Hajar berkata, “Ini menunjukkan bahwa hal itu tidak terputus selama-lamanya.” [10].
Hal ini menunjukkan bahwa keluarnya manusia secara keseluruhan terjadi di akhir zaman, setelah keluarnya Dajjal dan turunnya Nabi ‘Isa bin Maryam Alaihissallam. Mungkin juga terjadi ketika keluarnya api yang mengumpulkan manusia, yaitu tanda-tanda Kiamat yang terakhir, dan tanda pertama yang menunjukkan terjadinya Kiamat, maka tidak ada lagi setelah itu kecuali terjadinya Kiamat.
Hal ini diperkuat bahwa orang yang terakhir kali dikumpulkan berasal darinya (Madinah), sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:
وَآخِرُ مَنْ يُحْشَرُ رَاعِيَانِ مِنْ مُزَيْنَةَ، يُرِيدَانِ الْمَدِينَةَ، يَنْعِقَانِ بِغَنَمِهِمَا، فَيَجِدَانِهَا وَحْشًا.
Maknanya bahwa daerah tersebut telah kosong atau binatang-binatang liarlah yang menghuninya waktu itu, wallaahu a’lam.
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir].
_______
Footnote
[1]. Shahiih Muslim, kitab al-Hajj bab al-Madiinah Tanfi Khabatsaha wa Tusamma Thaabah wa Thayyibah (IX/153, Syarh an-Nawawi).
[2]. Lihat Syarh Shahiih Muslim, karya an-Nawawi (IX/154).
[3]. Shahiih al-Bukhari, kitab Fadhaa-ilul Madiinah, bab al-Madiinah tanfil Khabats (IV/96, al-Fat-h).
[4]. Shahiih al-Bukhari, kitab Fadhaa-ilul Madiinah, bab La Yadkhulud Dajjal al-Madiinata (IV/95, al-Fat-h).
[5]. Lihat Fat-hul Baari (IV/88).
[6]. Shahiih al-Bukhari, kitab Fadhaa-ilul Madiinah, bab Man Raghghaba ‘anil Madiinah (V/89-90, al-Fat-h).
[7]. Al-Muwaththa' (II/888), karya Imam Malik, tash-hih dan tahkrij Muhammad Fu-ad al-Baqi, cet. ‘Isa al-Bab al-Halabi, Daar Ihya-ul Kutub al-‘Arabiyyah.
Hadits ini dijadikan penguat oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (IV/90), beliau berkata, “Diriwayatkan oleh sekelompok perawi yang tsiqah selain perawi al-Muwaththa.”
[8]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/158) tahqiq Dr. Thaha Zaini.
[9]. Musnad Imam Ahmad (I/124) (no. 124) syarah dan ta’liq Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
[10]. Fat-hul Baari (IV/90).
[11]. Shahiih al-Bukhari, kitab Fadhaa-ilul Madiinah, bab Man Raghghaba ‘anil Madiinah (IV/89-90, al-Fat-h).
Footnote
[1]. Shahiih Muslim, kitab al-Hajj bab al-Madiinah Tanfi Khabatsaha wa Tusamma Thaabah wa Thayyibah (IX/153, Syarh an-Nawawi).
[2]. Lihat Syarh Shahiih Muslim, karya an-Nawawi (IX/154).
[3]. Shahiih al-Bukhari, kitab Fadhaa-ilul Madiinah, bab al-Madiinah tanfil Khabats (IV/96, al-Fat-h).
[4]. Shahiih al-Bukhari, kitab Fadhaa-ilul Madiinah, bab La Yadkhulud Dajjal al-Madiinata (IV/95, al-Fat-h).
[5]. Lihat Fat-hul Baari (IV/88).
[6]. Shahiih al-Bukhari, kitab Fadhaa-ilul Madiinah, bab Man Raghghaba ‘anil Madiinah (V/89-90, al-Fat-h).
[7]. Al-Muwaththa' (II/888), karya Imam Malik, tash-hih dan tahkrij Muhammad Fu-ad al-Baqi, cet. ‘Isa al-Bab al-Halabi, Daar Ihya-ul Kutub al-‘Arabiyyah.
Hadits ini dijadikan penguat oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (IV/90), beliau berkata, “Diriwayatkan oleh sekelompok perawi yang tsiqah selain perawi al-Muwaththa.”
[8]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/158) tahqiq Dr. Thaha Zaini.
[9]. Musnad Imam Ahmad (I/124) (no. 124) syarah dan ta’liq Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
[10]. Fat-hul Baari (IV/90).
[11]. Shahiih al-Bukhari, kitab Fadhaa-ilul Madiinah, bab Man Raghghaba ‘anil Madiinah (IV/89-90, al-Fat-h).
0 komentar:
Posting Komentar