At Tauhid edisi VII/21
Oleh: dr. M. Saifudin Hakim.
Tidak semua praktik ruqyah yang dilakukan ternyata sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, meskipun yang melakukan ruqyah tersebut bergelar ustadz, kyai, atau yang lainnya.
Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala, kalau kita melihat apa yang terjadi pada dewasa ini, maka kita jumpai bahwa pengobatan dengan metode ruqyah menjadi semakin marak, bahkan di sejumlah kota telah muncul “klinik ruqyah”.
Akan tetapi, maraknya praktik ruqyah tersebut menuntut kaum muslimin untuk lebih bersikap jeli dan teliti karena tidak semua praktik ruqyah yang dilakukan ternyata sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, meskipun yang melakukan ruqyah tersebut bergelar ustadz, kyai, atau yang lainnya. Bagaimana mungkin kita mengharapkan kesembuhan dari Allah Ta’ala, namun di sisi lain kita justru melanggar syariat dan ketentuan Allah Ta’ala? Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini kita akan membahas sedikit tentang metode pengobatan ruqyah ditinjau dari Al Qur’an dan As-Sunnah.
Pengertian Ruqyah
Ruqyah adalah bacaan-bacaan untuk pengobatan yang syar’i (berdasarkan nash-nash yang pasti dan shahih yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah) sesuai dengan ketentuan-ketentuan serta tata cara yang telah disepakati oleh para ulama. Hakikat dari ruqyah adalah seseorang berdoa kepada Allah Ta’ala untuk meminta kesembuhan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Ruqyah merupakan salah satu bentuk doa”. (Majmu’ Fataawa).
Dalil-Dalil yang Menunjukkan Bolehnya Pengobatan dengan Ruqyah
Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bahwa ruqyah merupakan di antara sebab kesembuhan seseorang dari penyakit yang diderita. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya),“Dan kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. (QS. Al-Isra’ [17]: 82).
- Ketika menjelaskan ayat ini, seorang ulama ahli tafsir, Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullah, mengatakan, ”Firman Allah dalam ayat ini (yaitu),’suatu yang menjadi obat’ mencakup obat bagi penyakit hati, seperti keragu-raguan, nifaq, dan lain sebagainya. Dan juga obat bagi penyakit badan (penyakit jasmani) dengan dibacakan ruqyah kepada penyakit tersebut. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh kisah diruqyahnya orang yang disengat kalajengking dengan surat Al-Fatihah. Kisah ini merupakan kisah yang shahih dan terkenal”. (Tafsir Adhwa’ul Bayaan, hal. 598)
- Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan, ”Obat yang terkandung dalam Al-Qur’an bersifat umum, yaitu mencakup obat bagi penyakit hati dari syubhat, kebodohan, pemikiran yang rusak, penyimpangan, dan maksud-maksud yang jelek. Al-Qur’an mengandung ilmu yang dapat menghilangkan setiap syubhat dan kebodohan, mengandung nasihat dan peringatan yang dapat menghilangkan hawa nafsu yang menyelisihi perintah Allah. Al-Qur’an juga mengandung obat bagi badan dari penyakit yang menimpanya”. (Tafsir Taisiir Karimir Rahman, hal. 465).
Adapun dalil dari As-Sunnah, di antaranya adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika beliau berkata, ”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meniupkan kepada dirinya (bacaan) mu’awwidzatain (yaitu surat Al-Falaq dan An-Naas, pen.) ketika sakit yang menyebabkan beliau meninggal dunia. Ketika beliau sudah lemah, maka saya meniupkan (bacaan) mu’awwidzatain untuknya dan saya mengusap dengan menggunakan tangan beliau, karena mengharapkan berkahnya.” (HR. Bukhari).
Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menceritakan bahwa apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi atau didatangi orang sakit, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Hilangkan penyakit, wahai Rabb manusia, sembuhkanlah, Engkau Maha menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Pengobatan dengan ruqyah juga telah dipraktikkan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah meruqyah Tsabit ketika sakit dengan berdoa, ”Ya Allah, Rabb manusia, Penghilang sakit, sembuhkanlah, Engkaulah Yang Maha penyembuh, tidak ada Penyembuh kecuali Engkau, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit”. (HR. Bukhari).
Syarat-Syarat Ruqyah yang Diperbolehkan
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa para ulama bersepakat tentang bolehnya ruqyah jika terpenuhi tiga syarat berikut ini. Pertama, dengan menggunakan kalamullah (Al-Qur’an), nama-nama, atau sifat-sifat Allah Ta’ala. Kedua, dengan menggunakan bahasa Arab atau bahasa lain yang dapat difahami maknanya. Ketiga, berkeyakinan bahwa ruqyah tersebut tidak dapat memberikan pengaruh (menyembuhkan penyakit) dengan sendirinya, tetapi karena Allah Ta’ala. (Fathul Baari, 10/220).
Apabila tidak memenuhi syarat-syarat di atas, maka ruqyah tersebut tidak diperbolehkan. Termasuk di dalamnya yaitu ruqyah-ruqyah yang mengantarkan kepada kemusyrikan dan juga ruqyah dengan menggunakan bahasa yang tidak dapat difahami maknanya (baca: mantra-mantra atau jampi-jampi) karena dikhawatirkan akan mengantarkan kepada syirik sehingga tidak diperbolehkan sebagai bentuk kehati-hatian. Dan apabila ruqyah tersebut mengandung unsur istighatsah (meminta bantuan) kepada jin, maka termasuk syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Ruqyah model inilah yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,”Sesungguhnya ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud, shahih).
Di antara dalil yang menunjukkan tidak diperbolehkannya ruqyah kalau mengandung unsur kemusyrikan adalah hadits yang diriwayatkan dari Auf bin Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, ”Kami melakukan ruqyah pada masa jahiliyah. Maka kami berkata,’Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda tentang hal tersebut?’” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Tunjukkanlah kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak mengapa dengan suatu ruqyah selama tidak mengandung unsur kemusyrikan”. (HR. Muslim).
- Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata, ”Mereka (para ulama) bersepakat bahwa tidak boleh mengucapkan segala bentuk mantra-mantra, jampi-jampi, dan sumpah yang mengandung unsur kemusyrikan kepada Allah. Meskipun dengan cara itu mereka bisa menundukkan jin dan yang lainnya. Demikian pula, tidak boleh mengucapkan perkataan yang mengandung unsur kekafiran, atau ucapan yang tidak diketahui maknanya. Karena adanya kemungkinan bahwa di dalamnya terkandung unsur kemusyrikan tanpa kita ketahui”. (Syarh Al ‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, 2/769)
- Ringkasnya, hakikat dari ruqyah yang tidak syar’i adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Baghawi rahimahullah, ”Dan yang terlarang darinya adalah ruqyah yang terkandung kemusyrikan, atau disebutkan (nama) setan yang durhaka, atau tanpa menggunakan bahasa Arab serta tidak diketahui maknanya. Barangkali (jika tidak diketahui maknanya) ada unsur sihir atau kekufuran di dalamnya”. (Syarhus Sunnah, 12/159).
Praktik Ruqyah yang Menyimpang
Seringkali kita jumpai di majalah atau tabloid tertentu, adanya pihak-pihak yang menawarkan metode pengobatan dengan ruqyah ini. Namun, apabila kita mencermati lafadz-nya (baca: mantra), kita tidak bisa memahami maknanya karena menggunakan bahasa-bahasa yang terasa amat asing bagi kita. Kita tidak mengerti bahasa apa yang digunakan. Bahkan terkadang kita jumpai model ruqyah yang menggunakan kumpulan huruf yang tidak bermakna atau kumpulan huruf yang terpotong-potong. Model ruqyah lainnya menggunakan lafadz-lafadz ruqyah yang mereka klaim terdapat pada sayap malaikat Jibril, atau tertulis pada pintu surga, atau kepercayaan-kepercayaan khurafat yang lainnya.
Oleh karena itu, hendaklah kaum muslimin waspada dari hal ini. Meskipun mereka menyatakan bahwa mantra-mantra yang mereka miliki sangat ampuh untuk mengobati berbagai macam penyakit. Apalagi di kemudian hari kita mengetahui bahwa kalimat-kalimat dalam mantra tersebut mengandung unsur permintaan tolong kepada setan, jin, atau wali, serta mengandung unsur pengagungan dan penyembahan kepada setan atau pelecehan terhadap Allah Ta’ala, pelecehan terhadap Al-Qur’an, atau kalimat-kalimat kekafiran. Inilah model ruqyah atau mantra yang telah diperingatkan oleh para ulama rahimahumullah di atas.
Praktik ruqyah yang lainnya adalah tipu daya yang dilakukan dengan menggunakan surat atau ayat Al-Qur’an, akan tetapi dengan membolak-balik ayatnya. Bagian awal dijadikan akhir, yang akhir dijadikan pertengahan, yang tengah dijadikan di awal, dan seterusnya. Mereka meyakini bahwa ayat dengan dimodel seperti ini memiliki kesaktian tertentu yang dapat menyembuhkan penyakit. Orang awam yang tidak memahami hal ini, dia akan menyangka bahwa dirinya sedang diruqyah dengan bacaan Al-Qur’an.
Kewaspadaan ini harus semakin ditingkatkan apabila mantra-mantra tersebut harus dibaca dengan melakukan suatu ritual tertentu, misalnya harus dibaca dengan mengunyah bawang merah atau ditiupkan ke dalam air. Bahkan harus dibaca dengan melakukan ritual penyembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala, nadzar kepada selain Allah Ta’ala, atau perbuatan syirik lainnya. Praktik ini seringkali dilakukan oleh tukang ruqyah yang juga seorang dukun atau paranormal yang melakukan pengkaburan kepada kaum muslimin dengan mengatasnamakan pengobatan alternatif atau yang semisalnya.
Inilah beberapa penjelasan terkait dengan ruqyah yang dapat kami sampaikan. Karena banyaknya praktik ruqyah yang menyimpang di tengah-tengah kaum muslimin, maka semoga tulisan ini bisa menjadi perhatian dan peringatan kepada kaum muslimin untuk lebih berhati-hati dari para peruqyah gadungan yang tidak sesuai dengan syariat Allah Ta’ala. Kami berharap kepada Allah Ta’ala semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin yang membacanya dengan harapan dapat meraih ilmu dan kebaikan dunia dan akhirat. [dr. M. Saifudin Hakim*].
*Penulis adalah staf pengajar Ma’had Al-‘Ilmi Putri, aktif menulis buku, dan mengelola kegiatan dakwah untuk muslimah di sekitar kampus UGM.
0 komentar:
Posting Komentar