Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
“Rasulallah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang berjual beli 2 harga dalam 1 transaksi jual beli.” (HR. Ahmad, Nasa’i dishahihkan Tirmidzi dan Ibnu Hibban Isnadnya hasan).
Dan di riwayat Abu Daud, “Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.” (hadits syadz diriwayatkan Abu Daud no. 3461).
Masalah-Masalah Dan Hukum-Hukum Yang Dapat Diambil Faedah Dari Hadits Ini.
Masalah yang pertama:
Arti dari 2 harga dalam satu transaksi.
Dikatakan: Itu adalah membayar dengan kredit dengan harga ini dan membayar tunai dengan harga ini, dan kebanyakan ulama telah menafsirkan dengan itu, dan dari mereka adalah Ahmad, Malik, Syafi’i, Tsauri, Abu Hanifah, Auza’i, Nasa’i, Ibnu Hibban dan lainnya.
Tetapi mereka memberikan kait tentang keharamannya jika barang jualan itu diambil pembeli dengan tanpa menetapkan salah satu harga, dan mereka berpendapat jika dia mengambil barang jualan secara tunai atau kredit maka tidak masuk di dalam pengertian hadits ini.
Dan dikatakan: Dengan mengatakan aku menjual buku ini kepada dengan harga 1000 tetapi kamu menjual tape rekaman ini dengan harga 800, dan jama’ah Ahlul ‘Ilm telah menafsirkan seperti itu, dan di antara mereka Syafi’i, Ahmad dan itu salah satu tafsiran di sisi madzhab Hanafiyyah.
Dan dikatakan: Seseorang berkata kepada yang lainnya ini 10.000 dengan harga 100 takaran gandum dengan cara jual beli salam (yaitu dengan cara membayar dahulu dan mengakhirkan barang- pent) sampai 6 bulan, maka ketika datang waktu yang telah dijanjikan untuk menyerahkan barang, dan orang yang telah dibayar dengan cara jual beli salam tidak bisa menunaikan 100 takaran gandum, dan dia berkata kepada orang yang membayar, “Aku tidak bisa menunaikan permintaanmu, tetapi jual-lah kepadaku 100 takaran gandum dengan 120 takaran gandum dengan jangka waktu 1 bulan.” Dan tafsiran ini telah disebutkan Al-Khaththabi dan tidak diragukan lagi keharamannya, karena sesungguhnya itu adalah riba yang nyata.
Dan dikatakan: Maksudnya itu adalah jual beli dengan cara ‘inah, dan gambarannya, seseorang berkata kepada pedagang, jual-lah barang dagangan ini kepadaku dengan harga 5.000 dengan cara hutang selama 1 bulan, kemudian dia menerima barangnya, dan berkata kepada penjual, “Beli-lah barang ini dariku dengan harga 4000 dengan tunai, lalu penjual itu ridha, dan dia telah mendapatkan 1.000 real dan barang dagangan masih tetap ada, dan ini adalah pilihan Syaikh Islam dan Ibnul Qayyim dan rajihkan Syaikh Al-Utsaimin rahimahumullah.
Abu ‘Abdillah (Syaikh Muhammad bin Hizam -semoga Allah memaafkannya-) berkata, “ Seluruh pendapat ini memungkinkan dan yang lebih mendekatinya adalah pendapat yang ke-empat kemudian yang nomor satu kemudian yang nomor dua, wallahu a’lam.”.
Lihat-lah Fathul Qadhir ( 6/410), Jawahirul Iklil (2/24), Tahdzibus Sunan (5/148), Majmu’ Al-Fatawa (28/74, 29/447), Al-Inshaf (4/337), Ikhtilaful Fuqaha hal (32-33).
Masalah yang Kedua:
Jual Beli Kredit dengan Tambahan Harga.
Kebanyakan Ahlul Ilmi berpendapat tentang bolehnya jual beli yang seperti itu, dan itu adalah pendapatnya Ahmad, Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Al-’Auza’i, Tirmidzi dan selain mereka.
Dan mereka berdalilkan sebagai berikut:
- Firman Allah Ta’ala
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya, “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) maka asalnya adalah halal, dan tidak diketahui dalil yang mengharamkan itu.
- Firman Allah Ta’ala
إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Artinya, “Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29).- Ahlul ‘Ilm membolehkan jual beli salam (yaitu dengan cara membayar dahulu dan mengakhirkan barang- pent), dan di dalamnya bahwasanya harga seringnya lebih sedikit dikarenakan di dahulukan pembayarannya dengan keridha’an kedua belah pihak, maka tidak ada larangan bagi siapa saja yang menyelisihi pembelian itu (yaitu dengan cara kredit-pent).
- Tambahan harga sebagai ganti imbalan dengan cara kredit, karena sesungguhnya penjual jika dia membiarkan barang dagangannya dan dijual dengan cara tunai, maka dia akan mendapatkan faedah harta untuk menaikkan perniagaannya.
- Seperti halnya dibolehkannya bagi seorang penjual untuk menjual barang dagangannya di atas rata-rata harga pasaran dengan keridhaan pembeli walaupun tanpa kredit, maka lebih utama lagi dibolehkan hal yang seperti itu atas imbalan kredit.
Dan mereka berdalil dengan hadits yang ada di bab ini, “Rasulallah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang berjual beli 2 harga dalam 1 transaksi jual beli.” dan mereka berkata, “Dan jual beli yang seperti ini adalah jual beli riba.”. Dan jawaban tentang hadits ini: Bahwasanya itu seperti yang telah lalu, hadits ini tidaklah berbenturan dengan masalah ini, karena mereka yang telah menafsirkan (berjual beli 2 harga dalam 1 transaksi jual beli) dengan secara tunai atau dengan kredit, mereka mengharamkannya di dalam keadaan seorang pembeli tidak menentukan salah satu harga, maka terjadilah ketidak-tahuan (al-jahalah), dan diantara mereka yang telah menjelaskan seperti itu adalah At-Tirmidzi, Ath-Thabari, Abu ‘Ubaid, Ibnu ‘Abdil Barr, An-Nawawi, Ibnu Qudamah, Al-Baghawi, Ibnu Rusyed dan selainnya.
Adapun perkataan mereka, “Bahwasanya jual beli yang seperti ini adalah jual beli riba.” Maka patokan di dalam mu’amalah akad itu dengan lafadz-lafzadznya bersamaan niat-niatnya, dan yang dimaksud di sini adalah berjual beli dengan tempo (kredit), dan bukan maksudnya dia berhutang harta kepadanya kemudian dia mengembalikannya dengan sesuatu yang lebih banyak, dan mereka telah menyebutkan sebab-sebab yang lain untuk pelarangan ini yang tidak memberikan manfaat untuk pengharamannya, tetapi sesungguhnya memberikan manfaat, bahwasanya yang lebih utama adalah agar tolong menolong kepada kaum muslimin dengan kemudahan, dan kebaikan.
Dan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah telah menisbatkan perkataan ini kepada, Ibnu Sirin, Simak, Thawus, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Ibnu Hibban, An-Nasa’i dan selainnya. Tetapi setelah mengulang kembali perkataan para imam-imam itu dari sumbernya, maka jelaslah bahwasanya maksud mereka, “Seorang pembeli mengambil barang dagangan tanpa menentukan salah satu harga dari dua harga yang ditawarkan, maka itu menjadi dua harga di dalam satu transaksi jual beli, dan adapun jika seorang pembeli mengambil barang dagangan dengan tunai atau dengan kredit, sesungguhnya itu adalah satu harga dalam satu transaksi, sebagaimana ini telah dijelaskan oleh Thawus, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, dan para imam yang sekarang yang mengambil perkataan ulama yang terdahulu, dan mereka menjelaskan bahwasanya maksudnya mereka adalah jika seorang pembeli belum memilih salah satu dari dua harga yang ditawarkan.
Dan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah telah mengemukakan dan berkata, “Tidak ada ketidaktahuan (al-jahalah) di dalamnya, karena seorang pembeli, entah dia akan menunaikan harga barang itu maka terjadilah pembelian secara tunai atau dia akan mengambil barang itu lalu dia diam dan pergi, maka dia telah mengambil kredit, maka di manakah letak ketidaktahuannya (al-jahalah)?”
Jawabannya, “Bahwasanya uang kadang diserahkan di tempat akad, atau diberikan uangnya setelah perpisahan dan disebut dengan hutang, dan masih saja ketidaktahuan (al-jahalah) itu masih ada".
Dan Al-’Allamah Al-Albani rahimahullah berkata, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan di dalam pelarangan berjual beli 2 harga dalam 1 transaksi jual beli bahwasanya sebabnya adalah riba, seperti riwayat Abu Daud yang telah disebutkan di dalam bab ini, dan telah datang riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Dua akad di dalam satu akad jual beli adalah riba. dan tidak menyebutkan bahwasanya sebabnya adalah ketidaktahuan (al-jahalah).
Dan jawaban dari itu adalah bahwasanya gambaran riba di dalam tafsiran yang ke-tiga dan ke-empat itu adalah jelas, dan adapun gambaran riba di dalam tafsiran yang pertama maka di dalamnya terdapat kerancuan, dan jawabannya atas itu adalah, “Bahwasanya lafadz Abu Daud tidak terjaga, dan bagi pendapat yang menshahihkan riwayat itu, maka sesungguhnya ulama mengithlaqkan riba kepada setiap transaksi jual beli yang diharamkan, seperti yang telah disebutkan oleh Ibnu An-Nashr Al-Marwazi di dalam As-Sunnah dan dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam keterangan hadits (2083), dan selain mereka dari Ahlil Ilm dan termasuk dari itu adalah hadits Ibnu ‘Abbas di dalam Sunan An-Nasa’i secara marfu’ (dinisbatkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam), “Mendahulukan pembayaran sampai lahirnya unta yang dikandung itu termasuk riba.” Dan sebab larangan jual beli seperti ini dikarenakan waktunya yang tidak diketahui dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan ini adalah riba,bukan karena unsur ketidak tahuan. (al-jahalah -pent).
Aku berkata (Syaikh Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Al-Ba’dani hafidzahullaah berkata, “Pendapat Jumhur itu adalah yang benar dan itu adalah tarjih Al-’Allamah bin Baz, Al-’Allamah Al-’Utsaimin, dan Al-Fauzan rahmatullah ‘alaihim.” Lihat-lah Al-Mughni (6/332), Al-Majmuu’ (9/340), Sunan At-Tirmidzi (1231), Ma’alim As-Sunan Lil Khaththaabi (3/103), Ash-Shahihah (2326), Mushannaf ’Abdurrazzaq (8/136), Mushannaf Ibn Abi Syaibah (6/119), Sunan Al-Baihaqi (5/343, Ikhtilaful Fuqaha Lith-Thabari (hal 32-33), Syarh Sunan An-Nasa’i (35/130-132), Fiqh dan Fatawa Al-Buyu’ (hal 405), Nailul Authar (2179), Ba’i At-Taqsid wa Ahkamuh Li Sulaiman At-Turki ( hal 208-252) (Fathul ‘Allam fi Dirasati Ahaditsil Bulughil Maram Lisy Syaikh Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Al-Ba’dani hafizhahullah 3/330-333).
Dan ulama menambahkan syarat-syarat bermu’amalah secara kredit setelah terpenuhi syarat-syarat jual beli sebagai berikut.
- Jual beli secara kredit tidak mengarah kepada riba.
- Penjual mempunyai barang jualan tersebut, maka tidak boleh bagi penjual menjual barang dagangannya yang tidak dimilikinya. Adapun meminta seseorang untuk membeli barang yang tidak dimilikinya untuk dimilikinya, dan kemudian dia menjualnya kepada orang yang memintanya dengan suatu keuntungan, maka ini diperbolehkan, jika seandainya delegasi tersebut membeli barang untuk dirinya dan dia miliki dengan hak milik yang benar, dan tanpa mengharuskan orang yang meminta barang tersebut untuk memenuhi apa-apa yang telah dia janjikan untuk membeli barang tersebut.
- Barang dagangan tersebut berada di tangan si penjual sebelum dia menjual barang tersebut.
- Barang dagangan tersebut langsung diserahkan kepada pembeli dan tidak diakhirkan, karena syari’at melarang jual beli yang seperti ini.
- Waktu kredit yang telah diketahui, maka haruslah diterangkan berapa kali angsuran, dan jangka waktu kredit tersebut.
- Jual beli tersebut sudah terpenuhi, maka tidak boleh menggantungkan akad jual beli tersebut sampai selesai seluruh angsuran.
- Bagi penjual tidak boleh memberikan denda uang atas keterlambatan pembayarannya, dan bagi pembeli diharamkan menunda pembayaran angsuran yang telah ditentukan (Ba’i At-Taqsid wa Ahkamuh Li Sulaiman At-Turki dengan sedikit perubahan)
Abu Bakr Fahmi Abu Bakar Jawwas
Yang mengharapkan rahmat dan ridho Rabbnya
Al-Madinah An-Nabawiyyah, Kamis 5 Jumadats Tsaaniyah 1433 atau bertepatan dengan Tanggal 26 April 2012.
0 komentar:
Posting Komentar