Mahar Dalam Pandangan Syariat

Wajibnya Mahar.
Dalam pernikahan merupakan pemberian yang wajib dari mempelai lelaki kepada mempelai wanita. Dengan adanya mahar ini akan terbedakan antara pernikahan dengan perzinaan. Hal ini tampak dari firman Allah k: “Kalian mencari istri-istri dengan harta kalian untuk dinikahi bukan untuk berzina.” (An-Nisa’: 24).

Dalil wajibnya mahar ditunjukkan antara lain dalam firman Allah k: “Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa’: 4)

Dalam ayat lain, Allah k berfirman: “Dan tidak ada
dosa bagi kalian menikahi mereka apabila kalian membayar kepada mereka mahar-mahar mereka.” (Al-Mumtahanah: 10).

Nabi -shalallahu 'alaihi wasallam- tidak membolehkan terjadinya pernikahan tanpa adanya mahar sama sekali. Hal ini ditunjukkan dengan sangat jelas dalam hadits Sahl bin Sa’d z tentang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Rasulullah n, namun beliau tidak menginginkan wanita tersebut. Hingga ada salah seorang lelaki yang hadir dalam majelis tersebut meminta agar beliau menikahkannya dengan wanita tersebut. Rasulullah n bertanya:

هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقالَ: اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ، فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ n: انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ، فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ، وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي – قَالَ سَهْلٌ: مَا لَهُ رِدَاءٌ– فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ n: مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ، إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ مِنْهُ شَيْءٌ. فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسَهُ قَامَ، فَرَآهُ رَسُوْلُ للهِ n مُوَالِيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ: مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ؟ قال: مَعِيْ سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَة كَذَا –عَدَّدَهَا- فَقاَلَ: تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: اذْهَبْ، فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?” “Tidak demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya. “Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” kata Rasulullah n. Laki-laki itu pun pergi, tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun,” ujarnya. Rasulullah n bersabda: “Lihatlah lagi dan carilah walaupun hanya berupa cincin dari besi.” Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Saya tidak mendapatkan walaupun cincin dari besi, tapi ini izar (sarung) saya –kata Sahl, “Laki-laki itu tidak memiliki rida (kain penutup tubuh bagian atas)”– setengahnya untuk wanita yang ingin kuperistri itu.” Kata Rasulullah n, “Apa yang dapat kau perbuat dengan izarmu? Jika engkau memakainya berarti tidak ada sama sekali izar tersebut pada istrimu. Jika ia memakainya berarti tidak ada sama sekali izar tersebut padamu.” Laki-laki itu pun duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah n melihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut. Ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah n, beliau bertanya, “Apa yang kau hafal dari Al-Qur`an?” “Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya. “Benar-benar engkau menghafalnya di dalam hatimu?” tegas Rasulullah n. “Iya,” jawabnya. “Bila demikian, pergilah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur`an yang engkau hafal,” kata Rasulullah n. (HR. Al-Bukhari no.5087 dan Muslim no.3472).

Ibnu Abbas c mengabarkan bahwa ketika Nabi n menikahkan ‘Ali bin Abi Thalib z dengan putri beliau Fathimah x, beliau meminta ‘Ali agar memberikan sesuatu kepada Fathimah sebagai mahar. Ketika Ali mengatakan, “Saya tidak memiliki apa-apa.” Rasulullah n bertanya, “Mana pakaian besi Al-Huthamiyyah-mu?” Ali pun memberikan pakaian besi tersebut sebagai mahar pernikahannya dengan Fathimah. (HR. Abu Dawud no. 2125, Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud mengatakan hadits ini hasan shahih).

Hadits di atas menunjukkan disenanginya penyerahan mahar sebelum dukhul.

Tidak Disukai Berlebih-lebihan dalam Mahar.
‘Uqbah bin ‘Amir z mengatakan bahwa Rasulullah n bersabda:



خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرُهَا

“Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.” (HR. Abu Dawud no. 2117 dan selainnya. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa’ no. 1924).

Umar ibnul Khaththab z menasihatkan, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam menetapkan mahar para wanita, karena kalau mahar itu dianggap sebagai pemuliaan di dunia atau tanda takwa kepada Allah l, tentunya Rasulullah n lebih dahulu daripada kalian untuk berbuat demikian.” (HR. Abu Dawud no. 2106 dan selainnya. Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud mengatakan hadits ini hasan shahih).

Tidak ada ketentuan mahar harus berupa barang/benda tertentu. Bahkan mengajarkan surah-surah Al-Qur`an dapat dijadikan mahar, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Sahl bin Sa’d z yang telah disebutkan. Demikian pula memerdekakan istri yang semula berstatus budak dapat dijadikan mahar sebagaimana Rasulullah n menjadikan kemerdekaan Shafiyyah bintu Huyai x dari perbudakan sebagai maharnya [1].

Seorang wanita dapat pula menerima keislaman calon suaminya yang semula kafir sebagai mahar, sebagaimana mahar Ummu Sulaim x ketika menikah dengan Abu Thalhah z [2].

Tidak ada pula ketentuan jumlah minimal dan maksimal dari sebuah mahar. Hanya saja tidaklah disukai bila mahar itu berlebih-lebihan sehingga memberatkan pihak laki-laki dan menghambat pernikahan. Karena mematok mahar yang tinggi, menjadikan banyak wanita memasuki usia tua tanpa sempat menikah. Bagaimana tidak, setiap lelaki yang datang ditolak dengan alasan tidak mampu memberikan mahar yang tinggi, atau lelaki itu yang mundur teratur karena tidak bisa memenuhi tuntutan yang ada. Wallahul musta’an.

Seharusnya hal ini menjadi perhatian, agar tidak menuntut mahar yang terlalu tinggi. Toh mahar ini merupakan hak si wanita. Ia yang seharusnya secara pribadi memiliki mahar tersebut. Adapun ayah atau keluarganya yang lain tidak punya hak. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Mahar dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Kompilasi Hukum Islam mengatur mahar secara panjang lebar dalam Pasal 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, yang hampir keseluruhannya mengadopsi dari kitab fiqih menurut jumhur ulama. Lengkapnya adalah sebagai berikut:

Pasal 30.
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Sebenarnya yang wajib membayar mahar itu bukan calon mempelai laki-laki, tetapi mempelai laki-laki karena kewajiban itu baru ada setelah berlangsung akad nikah. Demikian pula yang menerima bukan calon mempelai wanita, tetapi mempelai wanita karena dia baru berhak menerima mahar setelah adanya akad nikah.

Pasal 31.
Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Pasal 32.
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.

Pasal 33.
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan menjadi utang (calon) mempelai pria.


Pasal 34.
(1) Kewajiban penyerahan mahar bukan merupakan rukun dalam pernikahan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya pernikahan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi sahnya pernikahan.


Pasal 35.
(1) Suami yang menalak istrinya qobla al-dukhul (yakni sebelum ‘berhubungan’, ed.) wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al-dukhul seluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh istrinya.
(3) Apabila perceraian terjadi qobla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsl.

Pasal 36.
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.

Pasal 37.
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.

Pasal 38.
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi (calon) mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.
(2) Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.


Wallahu a’lam.
_______
[1]. Seperti tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dalam Shahihain dari Anas bin Malik z.
[2]. Diriwayatkan haditsnya oleh An-Nasa`i dalam Sunan-nya no. 3340, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih An-Nasa`i.


Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari.
Kategori:
Majalah AsySyariah Edisi 039

sumber : http://asysyariah.com/mahar-dalam-pandangan-syariat.html


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger