Kaum moderat adalah sebuah madzhab baru di abad ini. Mereka bertujuan menghidupkan kembali pemikiran-pemikiran Khawarij dan Mu’tazilah.
Selanjutnya dia menafsirkan pula hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan membagi :
Modernisasi dan ‘Aqidah
Bahaya yang secara langsung mengancam Islam, yakni datang dari mereka yang bersembunyi di balik dakwah modernisasi. Dakwah yang dilancarkan oleh mereka tertipu oleh kepalsuan paham itu sendiri yang menyesatkan kaum muslimin dari jalan yang lurus.
Orang-orang yang kagum dengan pemikiran “modern” berkiblat dan mencintai kebudayaan Barat. Mereka memalingkan nash-nash agar mencocoki keadaan masyarakat Barat yang mereka puja tersebut. Di satu sisi, pemikiran Barat itu sendiri terkontaminasi oleh berbagai teori pemikiran, diantaranya teori Darwin.
Selanjutnya, Durkhaim memunculkan teori sosiologisnya, Sigmund Freud dengan libido seksual-nya dalam bidang psikologi, dan Karl Marx dengan paham materialismenya.
Paham demikian tersebar dengan begitu saja di kalangan kaum muslimin tanpa ada perlawanan berarti. Sesungguhnya penyebaran ide semacam itu dengan kedok modernisasi merupakan ancaman yang sangat berbahaya bagi masa depan umat. Untuk itu, wajib untuk senantiasa waspada terhadap ‘modernisasi’ sebelum bertambah parah keadaannya. Dan pula gelombang materialisme Barat pun senantiasa menerjang hingga bisa menghapuskan keimanan dan keislaman seseorang. Dalam keadaan yang menyedihkan seperti ini, sungguh sangat disayangkan terhadap sebagian umat Islam yang mengambil ilmu serta budaya Barat dengan tanpa mempertimbangkan baik buruknya, sementara di sisi lain dia meninggalkan warisan Islam nan luhur.
Di antara mereka ada yang menafsirkan bahwa malaikat adalah kekuatan alami. Pendapat demikian dilontarkan semata-mata agar bisa diterima secara akal. Mereka juga ada yang menghalalkan riba dan khamr hanya dengan alasan darurat. Dengan demikian, tanpa disadari mereka sebenarnya telah hanyut ke dalam budaya Barat yang menghalalkan segala cara. Pada akhirnya, tak ada lagi Islam di hati mereka kecuali hanya tinggal nama.
Berikut, salah satu contoh pemikiran berbahaya dari aliran yang berkedok ‘modernis’ yang tak lain menyadap pemahaman kaum Mu’tazilah. Seperti, dalam menafsirkan ayat :
وَقُلْنَا يَا آَدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ * فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ.
“Dan Kami berfirman : "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan" [QS. Al-Baqarah : 35-36].
Syaikh Muhammad ‘Abduh menafsirkan ayat ini, bahwa yang dimaksud surga di situ adalah sebuah kebun yang berada di sebuah bukit [Al-A’malu Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh]. Penafsiran semacam ini adalah penafsiran model Mu’tazilah dan Qadariyyah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qurthubi [Lihat Tafsir Ibni Katsir I, hal 116].
Begitu pula dalam menafsirkan surat Al-Fiil, Muhammad ‘Abduh masih memakai pola yang sama. Katanya : “….Di hari kedua, tentara Abrahah terjangkiti penyakit cacar. ‘Ikrimah mengatakan, bahwa penyakit ini pertama kali muncul di negeri ‘Arab. Ya’qub bin ‘Uthbah menyatakan tentang kejadian ini, bahwa pada tahun itu cacar menyerang ke seluruh tubuh mereka hingga hancur tubuh itu. Kemudian Abrahah dan sebagian tentaranya menyingkir dari tempat tersebut dan banyak diantaranya yang mati” [Al-A’malu Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh, jilid III, hal 473].
Latar belakang penafsiran semacam ini dalam rangka agar diterima oleh pola pikir masyarakat Barat. Padahal, Allah ta’ala telah secara jelas menyebutkan pengertian ayat tersebut yang tentu saja tidak memerlukan kepada ta’wil. Firman-Nya :
تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ.
“Yang melempari mereka dengan batu dari tanah yang terbakar”[QS. Al-Fiil : 4].
Bila dilihat dalam kutab tafsirnya, niscaya akan banyak ditemukan pemikiran Muhammad ‘Abduh yang semacam itu. Hal itu tak mengherankan, sebab pemikirannya banyak dipengaruhi oleh orientalis, yakni saat dirinya menetap di Perancis. Hubungan tersebut tetap terjalin meski dirinya telah berpindah ke Mesir, baik melalui surat-menyurat atau saling kunjung-mengunjungi. Tatkala dirinya menjabat sebagai mufti di Mesir, dia pernah pula dikunjungi oleh orientalis. Dia juga menjalin hubungan yang cukup erat dengan seorang hakim berkebangsaan Inggris di Mesir, yaitu Lord Kramer. Hal itu bukan merupakan sesuatu yang rahasia lagi. [Lihat Waqi’unal-Mu’ashir, Muhammad Quthb, hal. 310-315].
Sebagaimana telah diketahui, bahwa pada masa itu masyarakat Barat merupakan masyarakat yang masih dalam suasana keterlepasan dari pengaruh kediktatoran gereja. Pada masa itu, di masyarakat Barat, akal tengah diagungkan. Oleh karenanya, Muhammad ‘Abduh berusaha membuktikan bahwa Islam selaras dengan akal. Atau dengan kata lain Islam itu rasional. Adapun jika terdapat pertentangan akal dengan naql (Al-Qur’an dan As-Sunnah), Muhammad ‘Abduh mengatakan : “Kaum muslimin telah bersepakat – dan hanya sedikit yang menyelisihi – apabila akal bertentangan dengan naql, maka akallah yang didahulukan” [Al-A’mal Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh, jilid 3, hal. 282]. Dengan kaidah dan pemikiran seperti ini, Syaikh Muhammad ‘Abduh menolak seluruh mukjizat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali Al-Qur’an Al-Kariim.
Sedang tokoh lainnya saat ini adalah Dr. Muhammad ‘Imarah yang mengatakan dalam bukunya Tayyaaraat Al-Fikr Al-Islamiy, halaman 87-88, bahwa secara kelompok dan golongan, Mu’tazilah telah sirna di muka bumi. Akan tetapi, secara pemikiran, Mu’tazilah telah begitu berpengaruh terhadap kelompok atau golongan lainnya. Hingga, pemikirannya sangat melekat dan berkembang di benak orang-orang Arab dan kaum muslimin. Dia juga mengetengahkan, bahwa akal di kalangan mereka mempunyai kedudukan yangs sangat tinggi. Kemudian dia mengatakan : “Demikianlah Mu’tazilah, mereka adalah para bintangnya ahli-ahli pikir, agama, dan revolusi ! Sesungguhnya mereka telah menjadikan filsafat, pikiran, dan kemajuan sebagai landasan ilmu pengetahuan dan sebagai pengganti warisan kuno…”.
Kita akan menjumpai pula seorang penulis, seperti Syaikh Muhammad Al-Ghazali, yang telah menjadikan manhaj ‘aqlaniy (mengutamakan akal daripada nash) dalam buku karangannya. Nampak dalam banyak tulisannya, ia memberikan kebebasan pada akal secara berlebih. Tidak cukup banginya, jika akan hanyalah sebagai tempat untuk ber-istinbath saja. Akan tetapi, ia menjadikan akal sebagai alat untuk mempengaruhi dan membantah (hadits shahih – Red.). Hal ini menyerupai manhaj Mu’tazilah. [Al-Ghazali fii Majlisi Al-Inshaaf, hal. 83, oleh Syaikh ‘Aidl Al-Qarniy [1]].
Manhaj ‘aqlaniy ini benar-benar tersebar di berbagai bukunya, terutama dalam bukunya yang mendhalimi ilmu dan ahlinya, yaitu yang berjudul As-Sunnah An-Nabawiyyah Baina Ahli Fiqh wa Ahli Hadiits. Telah nampak secara jelas bahwa ia telah melakukan kedhaliman terhadap sunnah dan ahlinya. Hal ini dapat diketahui dari buku-buku bantahannya, seperti Hiwarun Hadi Ma’a Al-Ghazaliy oleh Syaikh Salman Al-Audah. [2].
Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya ini Nampak dengan jelas bahwa ia telah meletakkan manhaj baru dalam pemikiran keislaman, yakni menjadikan akal sebagai madzhab baru. Pemikiran Al-Ghazali ini telah merusak dan menghancurkan kaidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dalam menyeimbangkan akal dan naql [Azmah Hiwar Ad-Diin, Jamal Sulthan, hal. 29]. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala member petunjuk kepadanya. Adapun kesimpulan dari pemikirannya : “Jika ada sebuah hadits yang menyelisihi (bertentangan) dengan pemikiran manusia, maka ia berhak menolak dan melempar sejauh-jauhnya, bagaimanapun sanadnya dan siapapun yang menshahihkannya serta menguatkannya, walaupun para ulama dan para imam kaum muslimin sekalipun” [Azmah Al-Hiwar Ad-Diin, Jamal Sulthan, hal. 29].
Al-Ghazali mengatakan : “Hendaklah diketahui, apabila akal menghakimi sesuatu itu batil, maka hal itu mustahil untuk menjadi agama…. Agama yang benar adalah kemanusiaan yang sempurna. Kemanusiaan yang sempurna adalah akal yang mengendalikan kebenaran, ilmu yang cemerlang, yang benci kepada khurafat, yang menjauhi khayalan…. Dan kita selalu mengokohkan pendapat, bahwasannya setiap hukum yang ditolak akal, setiap perbuatan yang tidak diterima oleh seorang yang sehat akan ditentang oleh fitrah yang lurus, mustahil untuk menjadi agama ! [Majalah Adl-Dlaha’, Qatar, edisi 101/Rajab 1404 H].
Inilah kalimat-kalimat yang sangat membahayakan.
Bukan hanya muncul dari manhaj ‘aqlaniy, akan tetapi lebih jauh dari itu. Oleh karena itu, kita sering jumpai Al-Ghazali menolak (dengan penuh keberanian) hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dan tsabit, hanya karena tidak sesuai dengan akalnya !.
Di antara hadits-hadits shahih yang ditolak ialah : menangisnya seseorang kepada si mayit, hadits-hadits yang berkenaan kisah malaikat maut dan Musa, hadits tentang shalat wanita di masjid, dan hadits terputusnya shalat. [Lihat Kasyfu Mauqif Al-Ghazali minas-Sunnah wa Ahluha, Syaikh Rabi’ bin Hadi].
Seluruh hadits yang ditolaknya merupakan hadits shahih dan sebagian besar tercantum dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Masih banyak lagi penolakannya terhadap hadits-hadits shahih seperti ini.
Kita berpindah kepada seorang yang bernama Muhammad Ahmad Khalfullah. Ia mengatakan : “Sesungguhnya kehidupan manusia di atas bumi tidak memerlukan lagi peraturan yang datangnya dari langit (wahyu) sebab manusia sudah sampai pada tingkat kedewasaan berpikir. Selain itu, manusia telah dapat mengatur dirinya sendiri”[Ghazwun min Ad-Dakhil, Jamal Sulthan, hal 51].
Dia berpendapat bahwa wahyu dan kenabian itu mengekang dan membekukan akal manusia. Oleh karena itu dengan berakhirnya peraturan kenabian adalah sebagai sarana untuk memberikan kebebasan akal manusia dari belenggu peraturan yang datangnya dari langit. [Lihat bukunya yang berjudul Al-Usus Al-Qur’aniyyah li At-Taqaddum, hal. 4].
Selain nama tokoh-tokoh di muka, ada pula seorang penulis yang bernama Dr. Husain Ahmad Amin. Dia anak dari Ahmad Amin, pengarang Fajr Al-Islam dan Dluha Al-Islam dan lain-lain. Ayahnya mengirimnya ke Barat untuk menimba ilmu. Jadiia dibesarkan dalam pangkuan Barat. Tatkala kembali ke negara asalnya, dia membawa pemikiran Barat dan berkeinginan untuk menghancurkan agama.
Dia banyak menulis banyak artikel beracun, diantaranya artikel-artikel yang ditulis di Majalah Al-‘Arabi yang terbit di Kuwait. Dia mengatakan dalam salah satu artikelnya, bahwa hukuman bagi seorang pencuri di jaman ini berbeda dengan hukuman di lingkungan Baduwi. Selain itu, dia katakan juga, bahwa perintah wajib hijab hanya turun di Madinah, dan saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan kota Kairo abad ke-20; sedangkan hukuman potong tangan bagi pencuri sebagaimana ditetapkan Al-Qur’an adalah syari’at badawiyyah, seperti halnya meyakini qadla dan qadar ! [Dinukil dari Asatir Al-Mu’ashirin, Ahmad ‘Abdurrahman. Hal. 152].
Begitu pula dengan Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Dia memakai pula istilah fiqh al-Badui dalam bukunya As-Sunnah An-Nabawiyyah Baina Ahli Fiqh wa Ahli Hadits. Tujuannya : mengejek ulama sunnah yang memegang teguh manhaj Islam yang benar. Slogan-slogan seperti ruh keislaman, toleransi, tidak fanatik, merupakan slogan yang selalu digembar-gemborkan oleh orang-orang ‘aqlani. Slogan-slogan di atas memang bisa dibenarkan, akan tetapi disalahgunakan oleh mereka !.
Dr. Hasan At-Turabi, yang namanya sedang melambung lantaran pengaruhnya dalam pemerintahan Sudan yang menerapkan syari’at Allah. Dalam hal ini (keinginan untuk menegakkan hukum Allah di tanah Sudan) merupakan kabar gembira bagi kaum muslimin. Akan tetapi, pemikiran At-Turabi melalui ceramah dan karya-karyanya sangat menyimpang dari ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dia mengatakan – semoga Allah memberi petunjuk padanya – dalam bukunya Tajdid Al-Fikr Al-Islamiy hal. 26 : “Satu-satunya marja’ (rujukan) asasi yang harus dikembalikan kedudukannya sebagai landasan yang penting adalah akal…!”.
Dengan pemikiran ‘aqlaniy seperti ini, secara tidak langsung dia mengatakan bahwa menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnha sebagai satu-satunya pedoman tidaklah cukup untuk memenuhi kehidupan manusia. Dalam buku yang sama, hal. 25, dikatakan : “Di antara yang menghambat kemajuan kaum muslimin saat ini lantaran adanya orang yang mengatakan : ‘Cukup bagi kami Al-Qur’an dan As-Sunnah’. Inilah khayalan. Untuk itu para ulama dan fuqahaa harus bangkit untuk menghasilkan fiqh baru untuk keadaan yang baru”.
Apa yang dimaksud At-Turabi dengan fiqh baru ?
Apakah keluar dari Al-Qur’an dan As-Sunah serta tidak ada ikatan dengan keduanya ? Atau fiqh baru tersebut bersumber dari keduanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah) ? Jika yang pertama yang diinginkan, maka harus ditolak secara mentah-mentah ! Sebab, hal itu merupakan pintu menuju kemurtadan. Kita memhon kepada Allah keselamatan. Jika yang kedua yang dimaksud, yakni bersumber padakitab Allah dan Rasul-Nya, maka hal itu akan membatalkan ucapannya yang terdahulu. [Lihat Al-‘Aqlaniyyun Afrakhu Al-Mu’tazilah Al-‘Ashriyyun, hal. 68-69, Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Atsary].
Saat ceramah di Universitas Khartoum, Sudan, dengan tema Tahkim Asy-Syari’ah, ia mengatakan : “Saya ingin menyampaikan bahwa dalam lingkup negara yang telah bersatu dibolehkan bagi seorang muslim dan juga seorang Masehi (Nashrani) untuk merubah agamanya” [Lihat buku Ash-Sharim Al-Maslul fii Radd ‘alaa At-Turabi Syaatimu Ar-Rasul, hal. 12, Ahmad bin Malik]. Na’udzu billahi min dzaalik.
At-Turabi juga telah mengingkari dengan uslub-nya yang ‘aqlaniy mengenai hukum rajam. Dia menetapkan bagi seorang yang mnum khamr antara 20-40 kali cambukan. Atau orang tersebut dipenjara tidak lebih dari satu bulan dan didenda dengan denda yang tidak ada artinya. [Idem].
Al-‘Allamah Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdil-Hamid Al-Halabi Al-Atsary dalam Al-‘Aqlaniyyun Afrakhul-Mu’tazilah Al-‘Ashriyyun hal. 71, mengatakan : “…..dan untuk menguatkan pernyataan terdahulu, guna menyingkap rahasia serta menambah keterangan seperti apa yang dikatakan Muhammad Surur Zainal-‘Abidin dalam bukunya Dirasaat fii Sirah Nabawiyyah hal. 308, yakni berkenaan pengalaman dirinya bersama At-Turabi (yang mengatakan dalam buku tersebut), bahwa Dr. Hasan At-Turabi telah mengingkari turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihis-salaam di akhir jaman nanti. Saya katakan kepadanya, ketika saya berada di satu majelis lebih dari sebelas tahun yang lalu : ‘Bagaimana bisa engkau mengingkari hadits mutawatir ?’. At-Turabi menjawab : ‘Saya tidak meragukan hadits ini dari sisi sanadnya, tetapi saya berpendapat, hadits ini bertentangan dengan akal, sehingga akal harus didahulukan dari nash bila terjadi pertentangan !”.
Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Atsary mengatakan dalam bukunya di muka (hal. 72-74) berkenaan Dr. Yusuf Al-Qaradlawi : “Dengan menyesal saya katakan, bahwa pemikiran ‘aqlaniy terkadang Nampak di sebagian karya Yusuf Al-Qatadlawi meski disampaikan dengan uslub (cara) terselubung dan kata-kata yang halus, seperti halnya Muhammad Al-Ghazali. Walaupun, hadits-hadits yang disebutkan Al-Qaradlawi, kadang ditolak dan diingkari Muhammad Al-Ghazali. Dalam hal ini keduanya mempunyai perbedaan dalam dua sisi :
Uslub ‘aqlaniy Dr. Yusuf Al-Qaradlawi bisa dilihat dalam bukunya Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah Nabawiyyah ?.
Salah satu contoh pemikiran ‘aqlani-nya adalah sikap tawaquf-nya berkenaan dengan hadits yang tercantum dalam kitab Shahih Muslim dari Anas, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada seorang lelaki : “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di dalam neraka” [Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah Nabawiyyah, hal 97].
Kadang, pendapatnya condong kepada ta’wil yang menyimpang dari nash itu sendiri, seperti yang dilakukannya ketika menyikapi hadits riwayat muttafaqun ‘alaihi, yaitu :
الْمَوْتُ يُؤْتَى عَلَى هَيْئَةِ كَبْشٍ أَمْلَحٍ.
“Kematian itu didatangkan dalam bentuk seekor domba yang berwarna kehitaman…”. [Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah Nabawiyyah, hal. 160].
Dia pun masih menyatakan keheranannya kepada orang-orang yang selalu membawa-bawa hadits tentang lalat atau tentang Nabi Musa ‘alaihis-salaam yang telah menempeleng Malaikat Maut. Dan masih banyak lagi hal yang seperti ini di dalam bukunya.
Demikianlah beberapa contoh pemikiran Mu’tazilah yang telah dikemukakan beberapa pemikir dari Timur Tengah.
Adapun di Indonesia, Nurcholis Madjid, bisa disebut sebagai salah seorang tokohnya. Berikut ini di antara beberapa pemikirannya :
Masih banyak lagi pemikiran-pemikiran yang dinilai, menurut kacamata Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, sangat menyimpang sehingga tidak heran jika ia mendapat kecaman keras serta tuduhan berbagai macam dari seluruh lapisan masyarakat.
Dengan demikian hendaknya kita selalu waspada agar jangan sampai terjerumus ke dalam pemikiran-pemikiran sesat seperti ini. Jangan terkecoh hanya dengan kemasan“intelektualisme”. Jadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai timbangan dalam menerima dan menolak (setiap pemikiran – Red.).
Mata rantai generasi ‘aqlaniy ini terus berlangsung sampai saat ini. Sedang nama-nama mereka banyak sekali yang belum terungkap. Walau demikian, mereka bersifat congkak, tajam lisannya, dan kasar perkataannya. Apabila mereka membaca atau menulis, seakan-akan tidak ada kebenaran sama sekali kecuali datang dari mereka. [Kitab ‘Aqlaniyyun Afrakhu Al-Mu’tazilah Al-‘Ashriyyun].
Sesungguhnya Rabb-ku Mewahyukan Kebenaran
Orang-orang moderat tidak berpegang teguh pada ushul yang merupakan manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah di dalam masalah tafsir, hadits, dan fiqh. Mereka menafsirkan Al-Qur’an berbeda dengan penafsiran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa dalam menafsirkan Al-Qur’an harus selaras dengan beliau ?.
Karena beliau lah satu-satunya orang yang paling mengerti tentang Al-Qur’an; dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri berfungsi sebagai penafsir Al-Qur’an. Barangsiapa yang memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan yang diajarkan Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka dia tergolong orang-orang salaf (salafy). Barangsiapa yang berpegang kepada jalan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, yang menjaga keutuhan pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah, berarti dia sunniy salafiy. Adapun kaum yang mengaku dirinya moderat, tidaklah mereka berpegang teguh kepada Al-Qur’an, kecuali dengan pemahaman yang bersifat umum. Satu-satunya pedoman mereka adalah akal untuk menyesuaikan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan keadaan jaman. Mereka tidak meletakkan As-Sunnah sebagai suatu landasan dalam membuat undang-undang, hukum, dan ketetapan dengan landasan bahwa hal ini produk Muhammad selaku manusia biasa yang tidak ma’shum. Oleh karena itu, tidak patut diteladani, kecuali dalam perkara yang sumbernya dari wahyu. Sungguh, tidak ada individu atau kelompok yang menolak hadits (hadits ahad, khususnya) sejak dahulu kala, kecuali Khawarij dan Mu’tazilah.
Dahulu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus para shahabat secara ahad (individu), dan perintah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dalam masalah puasa Ramadlan pada suatu kaum dengan riwayat ahad. Kaum muslimin pada saat itu pun menerima berita tanpa disertai keraguan dan pengingkaran terhadap kabar tersebut. Mereka menjadikan perintah tersebut sebagai sesuatu yang harus dilakukan. Adapun Imam Ahmad berpendapat, bahwa hadits ahad memberikan pengetahuan yang meyakinkan dan tidak ada yang menyelisihinya, kecuali Mu’tazilah dan Khawarij pada kurun waktu seratus tahun setelah hijrah.
Seperti kita ketahui bahwa Mu’tazilah adalah suatu kelompok yang mendahulukan akal daripada nash. Hal ini tidaklah luput dari peran seta yang menghiasi pemikiran mereka dengan kebudayaan Yunani yang bercampur dengan kebudayaan Nashrani. Mereka mengatakan, berdasarkan ucapan Aristoteles bahwa Tuhan telah menciptakan alam semesta ini, kemudian dibiarkan begitu saja dan tanpa campur tangan dari-Nya.
Dari pengaruh itu mereka mengutamakan akal daripada nash dan mena’wilkan nash-nash hingga rusak. Gerakan mereka dilakukan secara diam-diam. Hal itu dilakukan hingga mereka mendapat kekuasaan di jaman Ma’mun bin Harun Al-Rasyid. Ma’mun Harun Al-Rasyid ini pun merupakan penganut Mu’tazilah. Dia turut andil bagi tersebarnya fitnah tentang pemahaman bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Hingga, dari fitnah tersebut, berakibat timbulnya berbagai intimadasi terhadap para penganut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Termasuk di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal yang mengalami siksaan dan meringkuk dalam penjara selama kurang lebih tujuh belas tahun.
Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam Teladan Kita
Menjadikan sunnah sebagai hujjah dalam urusan dunia adalah dalil mutawatir dalam Al-Qur’an. Allah berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”[QS. Al-Hasyr : 7].
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ.
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”[QS. An-Nuur : 65].
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ.
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah” [QS. An-Nisaa’ : 80].
‘Umar radliyallaahu ‘anhu mengatakan : “Akan datang pada kalian suatu kaum yang mendebatkan syubhat yang ada di dalam Al-Qur’an. Maka bantahlah mereka dengan sunnah, karena orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah, mereka lah yang paling mengerti tentang Kitab Allah”.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Mereka yang mengukur Kitab Allah dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan akalnya, niscaya akan menjerumuskannya ke dalam perbuatan yang sia-sia. Yakni, dengan cara melakukan pengingkaran terhadap kebenaran-kebenaran yang ada di dalamnya melalui pemalsuan dan penyelewengan. Sesungguhnya pembicaraan mereka adalah omong kosong belaka, dan perbuatan mereka adalah perbuatan orang-orang zindiq” [Bayan Talbis Jahmiyyah, 1/105, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Lihatlah Al-‘Ashriyyun Mu’tazilah Al-Yaum, Yusuf Kamal, hal. 111-115].
[‘Abdurrahman At-Tamimi & Hanan Bahanan – Majalah As-Sunnah Edisi 15/Th. Ke-2/1416 H-1996 M, hal. 29-38 – ditulis ulang oleh Abul-Jauzaa’ 14 tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 24 Rabi’ul-Awal 1430 H].
[2] Sama seperti ‘Aidl Al-Qarniy, Salman Al-Audah kemudian banyak terpengaruh dengan paham melawan kepada pemerintah yang menyimpang dari manhaj Ahlus-Sunnah, sehingga di-tahdzir oleh para ulama. – Abu Al-Jauzaa’.
Kelompok yang satu ini dipelopori oleh sekelompok penulis muslim yang memusatkan kemampuannya untuk menyelisihi para ulama dan imam salaf. Mereka menganggap bahwa diri mereka mempunyai hak untuk berijtihan dalam menafsirkan dan mena’wil. Mereka mengatakan : “Jika orang-orang terdahulu adalah ulama, maka kami pun ulama juga”.
Pemikiran-pemikiran semacam ini, semenjak permulaan abad ini, muncul secara tidak terang-terangan. Sebab, mereka khawatir mendapat pertentangan yang teramat berat. Namun, untuk masa sekarang ini, setelah mendapat dukungan dana dan kekuasaan, mereka berani melontarkan beragam pemikiran busuknya. Kelompok ini merupakan segolongan orang yang memiliki berbagai pemikiran yang tidak ada kaitan serta ikatan antara satu dengan lainnya. Mereka terdiri dari para da’i, pemikir, intelektual, budayawan, dan wartawan.
Timbulnya pemikiran kaum moderat ini bermula pada pertengahan abad ke-19 di India. Pelopornya Sir Ahmad Khan, seorang pegawai pada pemerintahan Inggris. Dia seorang pengagum berat terhadap tradisi, budaya, dan akhlaq bangsa Inggris. Dakwahnya di dasarkan pada 3 faktor berikut :
- Menafsirkan Al-Qur’an selaras ilmu modern dan filsafat.
- Menjauhkan sunnah nabawiyyah dan menolak semua sunnah yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
- Menghancurkan dan melecehkan ilmu ushul-fiqh dan membuka pintu ijtihad dengan hanya menggunakan akal semata.
Selanjutnya dia menafsirkan pula hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan membagi :
- Khusus hanya untuk urusan agama.
- Khusus hanya untuk urusan dunia.
Modernisasi dan ‘Aqidah
Bahaya yang secara langsung mengancam Islam, yakni datang dari mereka yang bersembunyi di balik dakwah modernisasi. Dakwah yang dilancarkan oleh mereka tertipu oleh kepalsuan paham itu sendiri yang menyesatkan kaum muslimin dari jalan yang lurus.
Orang-orang yang kagum dengan pemikiran “modern” berkiblat dan mencintai kebudayaan Barat. Mereka memalingkan nash-nash agar mencocoki keadaan masyarakat Barat yang mereka puja tersebut. Di satu sisi, pemikiran Barat itu sendiri terkontaminasi oleh berbagai teori pemikiran, diantaranya teori Darwin.
Selanjutnya, Durkhaim memunculkan teori sosiologisnya, Sigmund Freud dengan libido seksual-nya dalam bidang psikologi, dan Karl Marx dengan paham materialismenya.
Paham demikian tersebar dengan begitu saja di kalangan kaum muslimin tanpa ada perlawanan berarti. Sesungguhnya penyebaran ide semacam itu dengan kedok modernisasi merupakan ancaman yang sangat berbahaya bagi masa depan umat. Untuk itu, wajib untuk senantiasa waspada terhadap ‘modernisasi’ sebelum bertambah parah keadaannya. Dan pula gelombang materialisme Barat pun senantiasa menerjang hingga bisa menghapuskan keimanan dan keislaman seseorang. Dalam keadaan yang menyedihkan seperti ini, sungguh sangat disayangkan terhadap sebagian umat Islam yang mengambil ilmu serta budaya Barat dengan tanpa mempertimbangkan baik buruknya, sementara di sisi lain dia meninggalkan warisan Islam nan luhur.
Di antara mereka ada yang menafsirkan bahwa malaikat adalah kekuatan alami. Pendapat demikian dilontarkan semata-mata agar bisa diterima secara akal. Mereka juga ada yang menghalalkan riba dan khamr hanya dengan alasan darurat. Dengan demikian, tanpa disadari mereka sebenarnya telah hanyut ke dalam budaya Barat yang menghalalkan segala cara. Pada akhirnya, tak ada lagi Islam di hati mereka kecuali hanya tinggal nama.
Berikut, salah satu contoh pemikiran berbahaya dari aliran yang berkedok ‘modernis’ yang tak lain menyadap pemahaman kaum Mu’tazilah. Seperti, dalam menafsirkan ayat :
وَقُلْنَا يَا آَدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ * فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ.
“Dan Kami berfirman : "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan" [QS. Al-Baqarah : 35-36].
Syaikh Muhammad ‘Abduh menafsirkan ayat ini, bahwa yang dimaksud surga di situ adalah sebuah kebun yang berada di sebuah bukit [Al-A’malu Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh]. Penafsiran semacam ini adalah penafsiran model Mu’tazilah dan Qadariyyah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qurthubi [Lihat Tafsir Ibni Katsir I, hal 116].
Begitu pula dengan Muhammad Iqbal, dia terpengaruh pemikiran semacam ini dengan menafsirkan surga Nabi Adam yang ada di dalam Al-Qur’an dalah suatu tempat kehidupan sederhana yang terputus dari lingkungan sekitar, namun terpenuhi segala fasilitasnya. Dari penafsiran ini dikatakannya, bahwa kisah turunnya Adam ke bumi, dalam Al-Qur’an, tidak ada hubungannya dengan munculnya manusia pertama di muka bumi [Tajdiid Al-Fikr Ad-Diin fil-Islaam, Muhammad Iqbal].
Begitu pula dalam menafsirkan surat Al-Fiil, Muhammad ‘Abduh masih memakai pola yang sama. Katanya : “….Di hari kedua, tentara Abrahah terjangkiti penyakit cacar. ‘Ikrimah mengatakan, bahwa penyakit ini pertama kali muncul di negeri ‘Arab. Ya’qub bin ‘Uthbah menyatakan tentang kejadian ini, bahwa pada tahun itu cacar menyerang ke seluruh tubuh mereka hingga hancur tubuh itu. Kemudian Abrahah dan sebagian tentaranya menyingkir dari tempat tersebut dan banyak diantaranya yang mati” [Al-A’malu Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh, jilid III, hal 473].
Latar belakang penafsiran semacam ini dalam rangka agar diterima oleh pola pikir masyarakat Barat. Padahal, Allah ta’ala telah secara jelas menyebutkan pengertian ayat tersebut yang tentu saja tidak memerlukan kepada ta’wil. Firman-Nya :
تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ.
“Yang melempari mereka dengan batu dari tanah yang terbakar”[QS. Al-Fiil : 4].
Bila dilihat dalam kutab tafsirnya, niscaya akan banyak ditemukan pemikiran Muhammad ‘Abduh yang semacam itu. Hal itu tak mengherankan, sebab pemikirannya banyak dipengaruhi oleh orientalis, yakni saat dirinya menetap di Perancis. Hubungan tersebut tetap terjalin meski dirinya telah berpindah ke Mesir, baik melalui surat-menyurat atau saling kunjung-mengunjungi. Tatkala dirinya menjabat sebagai mufti di Mesir, dia pernah pula dikunjungi oleh orientalis. Dia juga menjalin hubungan yang cukup erat dengan seorang hakim berkebangsaan Inggris di Mesir, yaitu Lord Kramer. Hal itu bukan merupakan sesuatu yang rahasia lagi. [Lihat Waqi’unal-Mu’ashir, Muhammad Quthb, hal. 310-315].
Sebagaimana telah diketahui, bahwa pada masa itu masyarakat Barat merupakan masyarakat yang masih dalam suasana keterlepasan dari pengaruh kediktatoran gereja. Pada masa itu, di masyarakat Barat, akal tengah diagungkan. Oleh karenanya, Muhammad ‘Abduh berusaha membuktikan bahwa Islam selaras dengan akal. Atau dengan kata lain Islam itu rasional. Adapun jika terdapat pertentangan akal dengan naql (Al-Qur’an dan As-Sunnah), Muhammad ‘Abduh mengatakan : “Kaum muslimin telah bersepakat – dan hanya sedikit yang menyelisihi – apabila akal bertentangan dengan naql, maka akallah yang didahulukan” [Al-A’mal Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh, jilid 3, hal. 282]. Dengan kaidah dan pemikiran seperti ini, Syaikh Muhammad ‘Abduh menolak seluruh mukjizat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali Al-Qur’an Al-Kariim.
Sedang tokoh lainnya saat ini adalah Dr. Muhammad ‘Imarah yang mengatakan dalam bukunya Tayyaaraat Al-Fikr Al-Islamiy, halaman 87-88, bahwa secara kelompok dan golongan, Mu’tazilah telah sirna di muka bumi. Akan tetapi, secara pemikiran, Mu’tazilah telah begitu berpengaruh terhadap kelompok atau golongan lainnya. Hingga, pemikirannya sangat melekat dan berkembang di benak orang-orang Arab dan kaum muslimin. Dia juga mengetengahkan, bahwa akal di kalangan mereka mempunyai kedudukan yangs sangat tinggi. Kemudian dia mengatakan : “Demikianlah Mu’tazilah, mereka adalah para bintangnya ahli-ahli pikir, agama, dan revolusi ! Sesungguhnya mereka telah menjadikan filsafat, pikiran, dan kemajuan sebagai landasan ilmu pengetahuan dan sebagai pengganti warisan kuno…”.
Kita akan menjumpai pula seorang penulis, seperti Syaikh Muhammad Al-Ghazali, yang telah menjadikan manhaj ‘aqlaniy (mengutamakan akal daripada nash) dalam buku karangannya. Nampak dalam banyak tulisannya, ia memberikan kebebasan pada akal secara berlebih. Tidak cukup banginya, jika akan hanyalah sebagai tempat untuk ber-istinbath saja. Akan tetapi, ia menjadikan akal sebagai alat untuk mempengaruhi dan membantah (hadits shahih – Red.). Hal ini menyerupai manhaj Mu’tazilah. [Al-Ghazali fii Majlisi Al-Inshaaf, hal. 83, oleh Syaikh ‘Aidl Al-Qarniy [1]].
Manhaj ‘aqlaniy ini benar-benar tersebar di berbagai bukunya, terutama dalam bukunya yang mendhalimi ilmu dan ahlinya, yaitu yang berjudul As-Sunnah An-Nabawiyyah Baina Ahli Fiqh wa Ahli Hadiits. Telah nampak secara jelas bahwa ia telah melakukan kedhaliman terhadap sunnah dan ahlinya. Hal ini dapat diketahui dari buku-buku bantahannya, seperti Hiwarun Hadi Ma’a Al-Ghazaliy oleh Syaikh Salman Al-Audah. [2].
Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya ini Nampak dengan jelas bahwa ia telah meletakkan manhaj baru dalam pemikiran keislaman, yakni menjadikan akal sebagai madzhab baru. Pemikiran Al-Ghazali ini telah merusak dan menghancurkan kaidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dalam menyeimbangkan akal dan naql [Azmah Hiwar Ad-Diin, Jamal Sulthan, hal. 29]. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala member petunjuk kepadanya. Adapun kesimpulan dari pemikirannya : “Jika ada sebuah hadits yang menyelisihi (bertentangan) dengan pemikiran manusia, maka ia berhak menolak dan melempar sejauh-jauhnya, bagaimanapun sanadnya dan siapapun yang menshahihkannya serta menguatkannya, walaupun para ulama dan para imam kaum muslimin sekalipun” [Azmah Al-Hiwar Ad-Diin, Jamal Sulthan, hal. 29].
Al-Ghazali mengatakan : “Hendaklah diketahui, apabila akal menghakimi sesuatu itu batil, maka hal itu mustahil untuk menjadi agama…. Agama yang benar adalah kemanusiaan yang sempurna. Kemanusiaan yang sempurna adalah akal yang mengendalikan kebenaran, ilmu yang cemerlang, yang benci kepada khurafat, yang menjauhi khayalan…. Dan kita selalu mengokohkan pendapat, bahwasannya setiap hukum yang ditolak akal, setiap perbuatan yang tidak diterima oleh seorang yang sehat akan ditentang oleh fitrah yang lurus, mustahil untuk menjadi agama ! [Majalah Adl-Dlaha’, Qatar, edisi 101/Rajab 1404 H].
Inilah kalimat-kalimat yang sangat membahayakan.
Bukan hanya muncul dari manhaj ‘aqlaniy, akan tetapi lebih jauh dari itu. Oleh karena itu, kita sering jumpai Al-Ghazali menolak (dengan penuh keberanian) hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dan tsabit, hanya karena tidak sesuai dengan akalnya !.
Di antara hadits-hadits shahih yang ditolak ialah : menangisnya seseorang kepada si mayit, hadits-hadits yang berkenaan kisah malaikat maut dan Musa, hadits tentang shalat wanita di masjid, dan hadits terputusnya shalat. [Lihat Kasyfu Mauqif Al-Ghazali minas-Sunnah wa Ahluha, Syaikh Rabi’ bin Hadi].
Seluruh hadits yang ditolaknya merupakan hadits shahih dan sebagian besar tercantum dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Masih banyak lagi penolakannya terhadap hadits-hadits shahih seperti ini.
Kita berpindah kepada seorang yang bernama Muhammad Ahmad Khalfullah. Ia mengatakan : “Sesungguhnya kehidupan manusia di atas bumi tidak memerlukan lagi peraturan yang datangnya dari langit (wahyu) sebab manusia sudah sampai pada tingkat kedewasaan berpikir. Selain itu, manusia telah dapat mengatur dirinya sendiri”[Ghazwun min Ad-Dakhil, Jamal Sulthan, hal 51].
Dia berpendapat bahwa wahyu dan kenabian itu mengekang dan membekukan akal manusia. Oleh karena itu dengan berakhirnya peraturan kenabian adalah sebagai sarana untuk memberikan kebebasan akal manusia dari belenggu peraturan yang datangnya dari langit. [Lihat bukunya yang berjudul Al-Usus Al-Qur’aniyyah li At-Taqaddum, hal. 4].
Selain nama tokoh-tokoh di muka, ada pula seorang penulis yang bernama Dr. Husain Ahmad Amin. Dia anak dari Ahmad Amin, pengarang Fajr Al-Islam dan Dluha Al-Islam dan lain-lain. Ayahnya mengirimnya ke Barat untuk menimba ilmu. Jadiia dibesarkan dalam pangkuan Barat. Tatkala kembali ke negara asalnya, dia membawa pemikiran Barat dan berkeinginan untuk menghancurkan agama.
Dia banyak menulis banyak artikel beracun, diantaranya artikel-artikel yang ditulis di Majalah Al-‘Arabi yang terbit di Kuwait. Dia mengatakan dalam salah satu artikelnya, bahwa hukuman bagi seorang pencuri di jaman ini berbeda dengan hukuman di lingkungan Baduwi. Selain itu, dia katakan juga, bahwa perintah wajib hijab hanya turun di Madinah, dan saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan kota Kairo abad ke-20; sedangkan hukuman potong tangan bagi pencuri sebagaimana ditetapkan Al-Qur’an adalah syari’at badawiyyah, seperti halnya meyakini qadla dan qadar ! [Dinukil dari Asatir Al-Mu’ashirin, Ahmad ‘Abdurrahman. Hal. 152].
Begitu pula dengan Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Dia memakai pula istilah fiqh al-Badui dalam bukunya As-Sunnah An-Nabawiyyah Baina Ahli Fiqh wa Ahli Hadits. Tujuannya : mengejek ulama sunnah yang memegang teguh manhaj Islam yang benar. Slogan-slogan seperti ruh keislaman, toleransi, tidak fanatik, merupakan slogan yang selalu digembar-gemborkan oleh orang-orang ‘aqlani. Slogan-slogan di atas memang bisa dibenarkan, akan tetapi disalahgunakan oleh mereka !.
Dr. Hasan At-Turabi, yang namanya sedang melambung lantaran pengaruhnya dalam pemerintahan Sudan yang menerapkan syari’at Allah. Dalam hal ini (keinginan untuk menegakkan hukum Allah di tanah Sudan) merupakan kabar gembira bagi kaum muslimin. Akan tetapi, pemikiran At-Turabi melalui ceramah dan karya-karyanya sangat menyimpang dari ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dia mengatakan – semoga Allah memberi petunjuk padanya – dalam bukunya Tajdid Al-Fikr Al-Islamiy hal. 26 : “Satu-satunya marja’ (rujukan) asasi yang harus dikembalikan kedudukannya sebagai landasan yang penting adalah akal…!”.
Dengan pemikiran ‘aqlaniy seperti ini, secara tidak langsung dia mengatakan bahwa menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnha sebagai satu-satunya pedoman tidaklah cukup untuk memenuhi kehidupan manusia. Dalam buku yang sama, hal. 25, dikatakan : “Di antara yang menghambat kemajuan kaum muslimin saat ini lantaran adanya orang yang mengatakan : ‘Cukup bagi kami Al-Qur’an dan As-Sunnah’. Inilah khayalan. Untuk itu para ulama dan fuqahaa harus bangkit untuk menghasilkan fiqh baru untuk keadaan yang baru”.
Apa yang dimaksud At-Turabi dengan fiqh baru ?
Apakah keluar dari Al-Qur’an dan As-Sunah serta tidak ada ikatan dengan keduanya ? Atau fiqh baru tersebut bersumber dari keduanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah) ? Jika yang pertama yang diinginkan, maka harus ditolak secara mentah-mentah ! Sebab, hal itu merupakan pintu menuju kemurtadan. Kita memhon kepada Allah keselamatan. Jika yang kedua yang dimaksud, yakni bersumber padakitab Allah dan Rasul-Nya, maka hal itu akan membatalkan ucapannya yang terdahulu. [Lihat Al-‘Aqlaniyyun Afrakhu Al-Mu’tazilah Al-‘Ashriyyun, hal. 68-69, Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Atsary].
Saat ceramah di Universitas Khartoum, Sudan, dengan tema Tahkim Asy-Syari’ah, ia mengatakan : “Saya ingin menyampaikan bahwa dalam lingkup negara yang telah bersatu dibolehkan bagi seorang muslim dan juga seorang Masehi (Nashrani) untuk merubah agamanya” [Lihat buku Ash-Sharim Al-Maslul fii Radd ‘alaa At-Turabi Syaatimu Ar-Rasul, hal. 12, Ahmad bin Malik]. Na’udzu billahi min dzaalik.
At-Turabi juga telah mengingkari dengan uslub-nya yang ‘aqlaniy mengenai hukum rajam. Dia menetapkan bagi seorang yang mnum khamr antara 20-40 kali cambukan. Atau orang tersebut dipenjara tidak lebih dari satu bulan dan didenda dengan denda yang tidak ada artinya. [Idem].
Al-‘Allamah Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdil-Hamid Al-Halabi Al-Atsary dalam Al-‘Aqlaniyyun Afrakhul-Mu’tazilah Al-‘Ashriyyun hal. 71, mengatakan : “…..dan untuk menguatkan pernyataan terdahulu, guna menyingkap rahasia serta menambah keterangan seperti apa yang dikatakan Muhammad Surur Zainal-‘Abidin dalam bukunya Dirasaat fii Sirah Nabawiyyah hal. 308, yakni berkenaan pengalaman dirinya bersama At-Turabi (yang mengatakan dalam buku tersebut), bahwa Dr. Hasan At-Turabi telah mengingkari turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihis-salaam di akhir jaman nanti. Saya katakan kepadanya, ketika saya berada di satu majelis lebih dari sebelas tahun yang lalu : ‘Bagaimana bisa engkau mengingkari hadits mutawatir ?’. At-Turabi menjawab : ‘Saya tidak meragukan hadits ini dari sisi sanadnya, tetapi saya berpendapat, hadits ini bertentangan dengan akal, sehingga akal harus didahulukan dari nash bila terjadi pertentangan !”.
Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Atsary mengatakan dalam bukunya di muka (hal. 72-74) berkenaan Dr. Yusuf Al-Qaradlawi : “Dengan menyesal saya katakan, bahwa pemikiran ‘aqlaniy terkadang Nampak di sebagian karya Yusuf Al-Qatadlawi meski disampaikan dengan uslub (cara) terselubung dan kata-kata yang halus, seperti halnya Muhammad Al-Ghazali. Walaupun, hadits-hadits yang disebutkan Al-Qaradlawi, kadang ditolak dan diingkari Muhammad Al-Ghazali. Dalam hal ini keduanya mempunyai perbedaan dalam dua sisi :
- Yusuf Al-Qaradlawi lebih berilmu dan lebih mengerti tentang kaidah-kaidah fiqhiyyah daripada Al-Ghazali, dan dia lebih dekat kepada mahaj ilmiah yang benar.
- Hadits-hadits yang secara terang-terangan ditolak oleh Al-Ghazali, maka Al-Qaradlawi hanya bersikap tawaquf (mendiamkannya), kemudian ia menyebutkan haditsnya.
Uslub ‘aqlaniy Dr. Yusuf Al-Qaradlawi bisa dilihat dalam bukunya Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah Nabawiyyah ?.
Salah satu contoh pemikiran ‘aqlani-nya adalah sikap tawaquf-nya berkenaan dengan hadits yang tercantum dalam kitab Shahih Muslim dari Anas, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada seorang lelaki : “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di dalam neraka” [Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah Nabawiyyah, hal 97].
Kadang, pendapatnya condong kepada ta’wil yang menyimpang dari nash itu sendiri, seperti yang dilakukannya ketika menyikapi hadits riwayat muttafaqun ‘alaihi, yaitu :
الْمَوْتُ يُؤْتَى عَلَى هَيْئَةِ كَبْشٍ أَمْلَحٍ.
“Kematian itu didatangkan dalam bentuk seekor domba yang berwarna kehitaman…”. [Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah Nabawiyyah, hal. 160].
Dia pun masih menyatakan keheranannya kepada orang-orang yang selalu membawa-bawa hadits tentang lalat atau tentang Nabi Musa ‘alaihis-salaam yang telah menempeleng Malaikat Maut. Dan masih banyak lagi hal yang seperti ini di dalam bukunya.
Demikianlah beberapa contoh pemikiran Mu’tazilah yang telah dikemukakan beberapa pemikir dari Timur Tengah.
Adapun di Indonesia, Nurcholis Madjid, bisa disebut sebagai salah seorang tokohnya. Berikut ini di antara beberapa pemikirannya :
- Alumnus Chicago ini mengklaim bahwa Islam yang disebutkan dalam Al-Qur’an bukan nama suatu agama, tapi maksudnya berserah diri kepada Tuhan.
- Sikap sangat keberatannya terhadap kalimat haniifan musliman (tentang Nabi Ibrahim) untuk diartikan Nabi Ibrahim ‘alaihis-salaam adalah seorang muslim, kendati ayat itu dengan tegas menyebut musliman. [Dinukil dari dokumentasi kliping Paramadina Cak Nur in Fokus pasca ceramah budaya di Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober 1992. Sumber : Tempo, Editor, Amanah, Panjimas, Matra, Media Dakwah, Pelita, Harian Terbit, Salam, Fokus].
Masih banyak lagi pemikiran-pemikiran yang dinilai, menurut kacamata Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, sangat menyimpang sehingga tidak heran jika ia mendapat kecaman keras serta tuduhan berbagai macam dari seluruh lapisan masyarakat.
Dengan demikian hendaknya kita selalu waspada agar jangan sampai terjerumus ke dalam pemikiran-pemikiran sesat seperti ini. Jangan terkecoh hanya dengan kemasan“intelektualisme”. Jadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai timbangan dalam menerima dan menolak (setiap pemikiran – Red.).
Mata rantai generasi ‘aqlaniy ini terus berlangsung sampai saat ini. Sedang nama-nama mereka banyak sekali yang belum terungkap. Walau demikian, mereka bersifat congkak, tajam lisannya, dan kasar perkataannya. Apabila mereka membaca atau menulis, seakan-akan tidak ada kebenaran sama sekali kecuali datang dari mereka. [Kitab ‘Aqlaniyyun Afrakhu Al-Mu’tazilah Al-‘Ashriyyun].
Sesungguhnya Rabb-ku Mewahyukan Kebenaran
Orang-orang moderat tidak berpegang teguh pada ushul yang merupakan manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah di dalam masalah tafsir, hadits, dan fiqh. Mereka menafsirkan Al-Qur’an berbeda dengan penafsiran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa dalam menafsirkan Al-Qur’an harus selaras dengan beliau ?.
Karena beliau lah satu-satunya orang yang paling mengerti tentang Al-Qur’an; dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri berfungsi sebagai penafsir Al-Qur’an. Barangsiapa yang memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan yang diajarkan Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka dia tergolong orang-orang salaf (salafy). Barangsiapa yang berpegang kepada jalan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, yang menjaga keutuhan pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah, berarti dia sunniy salafiy. Adapun kaum yang mengaku dirinya moderat, tidaklah mereka berpegang teguh kepada Al-Qur’an, kecuali dengan pemahaman yang bersifat umum. Satu-satunya pedoman mereka adalah akal untuk menyesuaikan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan keadaan jaman. Mereka tidak meletakkan As-Sunnah sebagai suatu landasan dalam membuat undang-undang, hukum, dan ketetapan dengan landasan bahwa hal ini produk Muhammad selaku manusia biasa yang tidak ma’shum. Oleh karena itu, tidak patut diteladani, kecuali dalam perkara yang sumbernya dari wahyu. Sungguh, tidak ada individu atau kelompok yang menolak hadits (hadits ahad, khususnya) sejak dahulu kala, kecuali Khawarij dan Mu’tazilah.
Dahulu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus para shahabat secara ahad (individu), dan perintah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dalam masalah puasa Ramadlan pada suatu kaum dengan riwayat ahad. Kaum muslimin pada saat itu pun menerima berita tanpa disertai keraguan dan pengingkaran terhadap kabar tersebut. Mereka menjadikan perintah tersebut sebagai sesuatu yang harus dilakukan. Adapun Imam Ahmad berpendapat, bahwa hadits ahad memberikan pengetahuan yang meyakinkan dan tidak ada yang menyelisihinya, kecuali Mu’tazilah dan Khawarij pada kurun waktu seratus tahun setelah hijrah.
Seperti kita ketahui bahwa Mu’tazilah adalah suatu kelompok yang mendahulukan akal daripada nash. Hal ini tidaklah luput dari peran seta yang menghiasi pemikiran mereka dengan kebudayaan Yunani yang bercampur dengan kebudayaan Nashrani. Mereka mengatakan, berdasarkan ucapan Aristoteles bahwa Tuhan telah menciptakan alam semesta ini, kemudian dibiarkan begitu saja dan tanpa campur tangan dari-Nya.
Dari pengaruh itu mereka mengutamakan akal daripada nash dan mena’wilkan nash-nash hingga rusak. Gerakan mereka dilakukan secara diam-diam. Hal itu dilakukan hingga mereka mendapat kekuasaan di jaman Ma’mun bin Harun Al-Rasyid. Ma’mun Harun Al-Rasyid ini pun merupakan penganut Mu’tazilah. Dia turut andil bagi tersebarnya fitnah tentang pemahaman bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Hingga, dari fitnah tersebut, berakibat timbulnya berbagai intimadasi terhadap para penganut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Termasuk di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal yang mengalami siksaan dan meringkuk dalam penjara selama kurang lebih tujuh belas tahun.
Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam Teladan Kita
Menjadikan sunnah sebagai hujjah dalam urusan dunia adalah dalil mutawatir dalam Al-Qur’an. Allah berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”[QS. Al-Hasyr : 7].
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ.
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”[QS. An-Nuur : 65].
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ.
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah” [QS. An-Nisaa’ : 80].
‘Umar radliyallaahu ‘anhu mengatakan : “Akan datang pada kalian suatu kaum yang mendebatkan syubhat yang ada di dalam Al-Qur’an. Maka bantahlah mereka dengan sunnah, karena orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah, mereka lah yang paling mengerti tentang Kitab Allah”.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Mereka yang mengukur Kitab Allah dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan akalnya, niscaya akan menjerumuskannya ke dalam perbuatan yang sia-sia. Yakni, dengan cara melakukan pengingkaran terhadap kebenaran-kebenaran yang ada di dalamnya melalui pemalsuan dan penyelewengan. Sesungguhnya pembicaraan mereka adalah omong kosong belaka, dan perbuatan mereka adalah perbuatan orang-orang zindiq” [Bayan Talbis Jahmiyyah, 1/105, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Lihatlah Al-‘Ashriyyun Mu’tazilah Al-Yaum, Yusuf Kamal, hal. 111-115].
[‘Abdurrahman At-Tamimi & Hanan Bahanan – Majalah As-Sunnah Edisi 15/Th. Ke-2/1416 H-1996 M, hal. 29-38 – ditulis ulang oleh Abul-Jauzaa’ 14 tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 24 Rabi’ul-Awal 1430 H].
___________________
[1] Orang ini kemudian banyak di-tahdzir oleh para ulama karena pemikirannya yang menyimpang dari manhaj Ahlus-Sunnah. - Abu Al-Jauzaa’.
[1] Orang ini kemudian banyak di-tahdzir oleh para ulama karena pemikirannya yang menyimpang dari manhaj Ahlus-Sunnah. - Abu Al-Jauzaa’.
[2] Sama seperti ‘Aidl Al-Qarniy, Salman Al-Audah kemudian banyak terpengaruh dengan paham melawan kepada pemerintah yang menyimpang dari manhaj Ahlus-Sunnah, sehingga di-tahdzir oleh para ulama. – Abu Al-Jauzaa’.
0 komentar:
Posting Komentar