Prof. Dr. Harun Nasution, Neo Mu’tazilah dan Paham Inkar Sunnah di Indonesia
Oleh : Ustadz Zaenal Abidin Syamsudin, Lc.
Dia termasuk kaum Rasionalis di Indonesia dan pencutas gagasan sekuler di Lembaga IAIN. Sejak diangkat menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beliau berkonsentrasi menanamkan benih pemikiran Mu’tazilah di tengah mahasiswa karena ia sangat kagum dan memuja pemikiran Mu’tazilah, maka dalam waktu sekejap kampus IAIN berubah menjadi lading subur bagi penyebaran benih pemikiran Mu’tazilah. Bahkan beliau menganggap bahwa kemunduran umat Islam akibat sikap pasif dan engan mempelajari pemikiran Mu’tazilah, karena kemajuan peradaban Islam abad pertengahan dianggab sebagai hasil metode rasional yang dikembangkan kelompok tersebut.
Setelah tamat dari tingkat SMA di al-Azhar maka beliau mlanjutkan studinya di Universitas al-Azhar di Fakultas Usuluddin hanya 2 tahun karena ia kurang betah dengan system pelajaran al-Azhar yang klasik dan mengandalkan hafalan, kemudian ia pindah ke Universitas Amerika di Cairo (AUC), yang menurutnya mengagumkan dalam metode pengajaran dan system yang digunakan hingga S1. Kemudian atas bantuan Prof. Dr H.M Rasyidi beliau mampu melanjutkan pendidikan di Universitas Mc. Hill, Kanada. Dengan harapan agar Harun Nasution menjadi Mahasiswa yang kritis dan cerdas terhadap apa yanag ia terima dari kaum orientalis namun yang terjadi sebaliknya Harun justru menjadi murid yang terpengaruh dengan pemikiran dan metode kaum orientalis dan sangat kagum dan memuja mereka. Ketika kembali ke Indonesia ia membawa dan menebarkan pemikiran kaum orientalis. Ia meninggalkan beberapa karya tulis yang pada umumnya membahas masalah filsafat, rasionalis, dan tasawuf, sementara semua hasil karyanya tidak lepas dari syubhat dan kesesatan sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Prof. Dr. Rasyidi dalam bukunya ”Koreksi Terhadap Harun Nasution”. (Fenomena Sunnah di Indonesia, hal. 104-105 karya Dawud Rasyid).
Pokok-pokok Pemikirannya
- Harun mengingkari penulisan da penghafalan hadits pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mutlak, dengan alasan Umar bin Khaththab yang mengurungkan niat menyusun hadits yang telah ia kumpulkan.
- Kondifikasi hadits baru dimulai pada abad kedua Hujriyah, sehinga sebelum periode itu, antara hadits shahih dan hadits palsu tidak dapat dibedakan disebabkan karena usaha pembukuan yang terlambat.
- Para Shahabat bersikap sangat ketat dalam menerima hadits, hal ini dibuktikan oleh sikap Abu Bakar yang meminta saksi terhadap kebenaran perawi dan Ali bin Abu Thalib yang menyuruh beberapa perawi bersumpah. Secara implisit dan tidak langsung Harun menganggap bahwa para Shahabat meragukan kejujuran para perawi hadits, karena banyak kasus pemalsuan hadits.
- Pembukuan dalam skala besar dilakukan di abad ketiga Hijriyah melalui para penulis Kutubus Sittah.
- Imam Bukhari menyaring 3.000 hadits dari 600.000 hadits yang telah ia kumpulkan.
- Tidak ada ijma kaum muslimin tentang keshahihan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
- Sebagai konsekwensinya, kedudukan Sunnah sebagai hujjah tidak sama dengan al-Qur’an.
- Yang disepakati tentang kehujahannya hanya hadits mutawatir saja. Adapun hadits masyur dan ahad keduanya masih diperselisihkan.
- Karena sibuk mencari solusi atas berbagai persoalan yang menimpa umat Islam, para Shahabat menerima segala macam hadits, sekalipun maudhu. (Fenomena Sunnah di Indonesia, hal. 28-29 karya Dawud Rasyid).
Benar apa yang ditegaskan Dr. Muhammad Abu Syuhbah:
”Sesungguhnya kesalahan utama kaum orientalis dari kalangan Yahudi dan para Pendeta Kristiani dalam mempelajari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan sengaja mereka ingin merusak agama Islam dan melucutinya aqidah kaum muslimin sehingga mereka tidak percaya lagi terhadap kebenaran agama mereka. Dengan cara menghujat dua sumber agama, al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka berharap memetik hasil yang dimaksud. Gagasan yang digulirkan kaum orientalis asalnya bukan bertujuan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan penelitian Islam bahkan murni untuk sebuah target politik dalam rangka menghancurkan Islam dan memalingkan kaum muslimin dari agama mereka, karena mereka paham bahwa tidak akan mampu menguasai negeri Islam kecuali dengan cara melemahkan ajaran jihad yang terukur indah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika mereka mampu mendistrosi kedua sumber agama tersebut terutama yang mengupas tentang ajaran jihad, maka kesemangatan kaum muslimin dalam berjihad akan lemah dan akhirnya gampang ditaklukkan. (Difaaun Anis Sunnah, hal.372 karya Dr.Muhammad Abu Syuhbah).
Disalin dari : Ensiklopedi Penghujatan Terhadap Sunnah, hal 399-401 karya Zaenal Abidin Syamsudin, Lc
0 komentar:
Posting Komentar