Peringatan Dari Bahaya Syirik (2/2)


Macam-macam Syirik dalam Uluhiyah (Ibadah)

Syirik dalam uluhiyah atau ibadah adalah mempersembahkan satu bentuk ibadah kepada selain Allah Ta’ala, baik ibadah yang zhahir maupun ibadah hati (batin). Inilah kesyirikan yang paling banyak tersebar di masyarakat. Macamnya pun sangat beragam, sebanyak bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Maka berikut ini kami akan memberikan sebagian contoh dari macam-macam syirik kepada Allah Ta’ala dalam ibadah.

1. Berdoa kepada selain Allah Ta’ala
Berdoa kepada selain Allah Ta’ala termasuk perbuatan syirik besar yang telah dilarang oleh Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ
 وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu seru (berdoa) kepada mereka, maka mereka tidak mendengar seruanmu, dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang memberikan keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh (Allah) Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13-14).

Orang yang berdoa kepada selain Allah Ta’ala juga termasuk dalam golongan orang-orang yang zhalim karena telah melakukan kezhaliman terbesar (syirik), sebagaimana firman-Nya:

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan janganlah kamu menyembah (berdoa) kepada apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” (Yunus: 106)
  • Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam Kitab Tauhid menyebutkan ayat di atas pada bab, “Termasuk perbuatan syirik, seorang yang ber- Istighotsah (meminta tolong ketika musibah) atau berdoa kepada selain Allah.” (Kitabut Tauhid, Bab ke-13)
  • Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat nash bahwa berdoa dan istighotsah kepada selain Allah Ta’ala merupakan syirik besar. Oleh karenanya Allah Ta’ala berfirman (pada ayat setelahnya): “Apabila Allah menimpakan suatu bahaya kepadamu maka tidak ada yang mampu menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah ingin memberikan kebaikan kepadamu maka tidak ada yang sanggup menolak keutamaannya”. (Yunus: 107).” (Taysirul ‘Azizil Hamid fi Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 237)
  • Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa setiap yang dipanjatkan doa kepadanya adalah sesembahan (ilah). Sedangkan penyembahan itu hanyalah hak Allah Ta’ala yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain-Nya sedikit pun.” (Fathul Majid li Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 164)
  • Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah berkata: “Ayat ini menunjukkan larangan berdoa kepada selain Allah Ta’ala, baik doa permohonan maupun doa ibadah. Allah Ta’ala telah melarang Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berdoa kepada selain Allah Ta’ala dengan larangan yang keras, padahal beliau adalah pemimpin orang-orang yang bertakwa dan bertauhid.” (At-Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 249).

Para Ulama menjelaskan bahwa doa ada dua bentuk:

Pertama: Doa ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Karena seorang yang melakukan ibadah-ibadah tersebut berarti ia memohon rahmat dan ampunan kepada Allah Ta’ala dengan ibadah yang ia lakukan. Bentuk pertama ini apabila dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala adalah termasuk perbuatan syirik besar (secara mutlak).

Kedua: Doa permohonan (tholab), seperti memohon suatu kemanfaatan atau terhindar dari suatu kemudharatan. Bentuk yang kedua ini apabila dipersembahkan atau diminta kepada selain Allah Ta’ala termasuk perbuatan syirik besar jika tidak terpenuhi padanya tiga syarat:
  1. Permohonan tersebut mampu dikabulkan oleh orang yang diminta
  2. Orang tersebut masih hidup
  3. Orang tersebut hadir dan atau mampu mendengarkan permohonan kepadanya
(lihat Syarh Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, dicetak dalam Jami’ Syarah Tsalatsatil Ushul, hal. 141-142).

Juga termasuk syirik dalam doa adalah:
  • Isti’anah (minta tolang) kepada selain Allah Ta’ala
  • Istighotsah (meminta tolong ketika musibah) kepada selain Allah Ta’ala
  • Isti’adzah (mohon perlindungan) kepada selain Allah Ta’ala
  • Memohon syafa’at kepada selain Allah Ta’ala
Semua dengan perincian sebagaimana dalam doa tholab di atas.

Berdoa kepada para wali yang sudah meninggal dengan dalih tawassul
Yakni ia menjadikan wali tersebut sebagai perantara untuk berdoa kepada Allah Ta’ala. Tawassul seperti ini bukanlah tawassul yang sesuai dengan sunnah, bahkan ia termasuk syirik menurut kesepakatan (ijma’) Ulama.
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menjadikan makhluq sebagai perantara antara dirinya dengan Allah Ta’ala, sehingga ia berdoa kepada para perantara tersebut, memohon dan bertawakkal kepada mereka, maka ia kafir berdasarkan ijma’.” (Al-Mulakhkhosul Fiqhi, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 2/450).

Tabarruk (memohon berkah atau mengharapkannya) kepada selain Allah Ta’ala juga termasuk syirik besar
  • Perbuatan ini termasuk syirik karena seorang yang melakukannya telah bergantung kepada selain Allah Ta’ala dalam meraih suatu keberkahan sebagaimana para penyembah berhala memohon berkah kepada berhala-berhala mereka. Maka seorang yang ber-tabarruk dengan kuburan para wali atau dengan pohon-pohon dan batu-batuan, sama halnya dengan para penyembah berhala yang ber-tabarruk dengan Lata, Uzza dan Manat (lihat Al-Irsyad ila Shahihil I’tiqod, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 74-75).
  • Sahabat yang mulia, Al-Harits bin ‘Auf Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu’anhu pernah menceritakan:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما خرج إلى غزوة حنين مر بشجرة للمشركين كانوا يعلقون عليها أسلحتهم يقال لها : ذات أنواط . فقالوا : يا رسول الله اجعل لنا ذات أنواط كما لهم ذات أنواط فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” سبحان الله هذا كما قال قوم موسى ( اجعل لنا إلها كما لهم آلهة ) والذي نفسي بيده لتركبن سنن من كان قبلكم “

“Bahwa ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berangkat menuju perang Hunain, beliau melewati sebuah pohon yang dijadikan tempat menggantungkan senjata-senjata oleh kaum musyrikin (untuk meminta berkah dari pohon tersebut). Pohon tersebut dinamakan dzatu amwath, maka kaum muslimin pun berkata, “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami dzatu amwath sebagaimana milik mereka”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Subhanallah, perkataan kalian sama dengan perkataan kaumnya Musa, “Buatkanlah kami sesembahan sebagaimana sesembahan mereka”, demi (Allah) yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan kaum sebelum kalian”.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2335, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Misykah, no. 5408).

2. Menyembelih untuk dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala
Menyembelih untuk selain Allah Ta’ala termasuk perbuatan syirik sebab menyembelih adalah ibadah yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah: “Sesungguhnya salat, ibadah (sembelihan), hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam”.” (Al-An’am: 162)
  • Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Makna ayat ini seperti firman Allah Ta’ala: Maka dirikanlah shalat dan sembelihlah qurban karena Rabbmu.” (Al-Kautsar: 2), yakni, ikhlaskan shalatmu dan sembelihanmu hanya untuk Allah semata.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/381)
Demikian pula termasuk syirik apabila seorang ber-taqarrub kepada selain Allah Ta’ala dengan mempersembahkan sesajen, apakah bentuk sesajen itu hewan qurban atau selainnya. Dan biasanya mereka lakukan hal tersebut untuk meminta pertolongan kepada jin. Seperti sesajen yang sering dipersembahkan kepada jin ratu laut selatan adalah termasuk syirik kepada Allah Ta’ala yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.

3. Bernazar untuk selain Allah Ta’ala
Nazar termasuk ibadah, sehingga tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala. Bahkan Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang beriman karena nazar yang mereka tunaikan, sebagaimana firman-Nya:

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ

Mereka menunaikan nazar.” (Al-Insan: 7)
  • Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang beriman karena telah menunaikan nazar mereka dan menjadikan hal tersebut sebagai sebab masuknya mereka ke dalam surga. Dan suatu amalan yang bisa menjadi sebab masuknya seseorang ke dalam surga adalah ibadah, maka mempersembahkan ibadah tersebut kepada selain Allah Ta’ala adalah syirik.” (Al-Qoulul Mufid, 1/317).

4. Syirik dalam Cinta
Fenomena syirik dalam cinta telah dijelaskan Allah Ta’ala dalam al-Qur’an:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya, sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat kuat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165).
  • Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Cinta kepada Allah Ta’ala ada empat tingkatan: Pertama: Seorang mencintai Allah melebihi selain-Nya. Inilah tauhid. Kedua: Seorang mencintai Allah seperti mencintai selain-Nya. Ini adalah syirik. Ketiga: Seorang mencintai selain Allah melebihi cintanya kepada Allah. Ini lebih besar dosa kesyirikannya dari yang sebelumnya. Keempat: Seorang mencintai selain Allah Ta’ala dan tidak ada sedikit pun kecintaan kepada Allah dalam hatinya. Ini lebih besar lagi dosa kesyirikannya dan lebih jelek lagi.” (Al-Qaulul Mufid, 1/200-201).

5. Takut kepada selain Allah Ta’ala
Takut kepada selain Allah Ta’ala terbagi menjadi tiga bentuk:

Pertama: Takut yang tersembunyi (dalam hati manusia), yakni takut dari suatu kemampuan khusus yang mereka yakini dimiliki oleh selain Allah Ta’ala, padahal kemampuan tersebut hanya dimiliki oleh Allah Ta’ala. Seperti keyakinan para penyembah kubur bahwa wali-wali yang mereka sembah memiliki kemampuan untuk menimpakan bahaya kepada mereka atau menghilangkannya dari mereka. Bahkan mereka berani bersumpah bohong atas nama Allah, tetapi tidak berani bersumpah bohong atas nama wali karena takut kepada wali tersebut. Maka takut seperti ini adalah termasuk perbuatan syirik kepada Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala:

فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran: 175).

Kedua: Takut karena sebab-sebab yang dapat dirasakan atau dilihat oleh panca indera, seperti takut kepada pencuri atau musuh. Takut seperti ini tidaklah termasuk syirik, dengan syarat tidak mengantarkan seseorang untuk meninggalkan perintah Allah Ta’ala.

Ketiga: Takut yang sifatnya tabiat, seperti takut dari binatang buas, takut terbakar, takut tenggelam dan lain-lain. Takut seperti ini juga tidak termasuk bentuk syirik kepada Allah Ta’ala atau maksiat kepada-Nya.
  • (lihat Syarh Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, dicetak dalam Jami’ Syarah Tsalatsatil Ushul, hal. 129-130).

6. Harap kepada selain Allah Ta’ala.
yaitu apabila seorang mengharap kepada selain Allah Ta’ala disertai dengan merendahkan diri dan ketundukan maka termasuk syirik, sebab hal tersebut termasuk ibadah yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala (lihat Syarh Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, dicetak dalam Jami’ Syarah Tsalatsatil Ushul, hal. 143).

7. Tawakkal kepada selain Allah Ta’ala
Allah Ta’ala telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk selalu bertawakkal kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23)
  • Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa tawakkal kepada Allah adalah ibadah dan hukumnya wajib, maka mempersembahkannya kepada selain Allah Ta’ala adalah syirik.” (Taysirul ‘Azizil Hamid, hal. 497)
  • Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Tawakkal kepada Allah, serta benarnya penyandaran dan ketergantungan hati kepada-Nya adalah puncak pengamalan tauhid.” (Fathul Majid, hal. 60).

8. Taat kepada selain Allah dalam perkara maksiat kepada-Nya
Allah Ta’ala berfirman:

اتخذُواْ أَحْبَـارَهُمْ وَرُهْبَـانَهُمْ أَرْبَاباً مّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً واحِداً لاَّ إله إِلاَّ
هُوَ سُبْحَـانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan ulama dan ahli ibadah mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31).
  • Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Tafsir ayat ini telah jelas, yaitu tentang ketaatan kepada ulama dan kepada ahli-ahli ibadah dalam perkara maksiat kepada Allah. Jadi, bukanlah maksud ayat ini mereka berdoa kepada ulama dan kepada ahli-ahli ibadah tersebut. Dan hal ini sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Adi bin Hatim. “ (Ad-Durarus Saniyyah, 2/70). Maksud beliau adalah sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu (seorang sahabat yang dahulunya beragama Kristen), ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan makna ayat dalam surat at-taubah ayat 31 di atas, beliau bersabda:

أما إنهم لم يكونوا يعبدونهم، ولكنهم كانوا إذا أحلوا لهم شيئاً استحلوه، وإذا حرموا عليهم شيئاً حرموه

“Sesungguhnya orang-orang Kristen tidaklah beribadah kepada mereka (ulama dan ahli ibadah), akan tetapi mereka mentaati mereka dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan (maka itulah yang dimaksud beribadah kepada mereka).” (HR. At-Tirmidzi, no. 3095, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah, no. 3293 dan Ghayatul Marom, no. 6).
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Mereka yang menjadikan ulama dan ahli ibadah sebagai tandingan-tandingan selain Allah dengan mentaati mereka dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan, dari dua sisi: Pertama: Mereka tahu bahwa ulama dan ahli ibadah mereka telah merubah agama Allah, lalu mereka ikuti agama yang telah dirubah tersebut. Sehinnga mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan demi mengikuti pemimpin-pemimpin (agama) mereka, padahal mereka tahu bahwa pemimpin-pemimpin tersebut telah menyelisihi agama Rasul. Maka ini adalah kekafiran. Allah dan Rasul-Nya telah menjadikan perbuatan ini termasuk syirik, meskipun mereka tidak shalat dan sujud kepada ulama dan ahli ibadah mereka. Maka seorang yang mengikuti orang lain dalam perkara yang bertentangan dengan agama padahal ia mengetahui bahwa perkara tersebut bertentangan dengan agama dan ia meyakini kebenaran perkataannya bukan perkataan Allah dan Rasul-Nya, ia pun musyrik seperti mereka. Kedua: Mereka tetap meyakini dan mengimani bahwa yang diharamkan para ulama dan ahli ibadah mereka adalah halal dan yang dihalalkannya adalah haram, namun mereka tetap mentaati para ulama dan ahli ibadah tersebut dalam perkara maksiat kepada Allah, sebagaimana seorang muslim yang melakukan maksiat dan ia tetap meyakini bahwa perbuatannya itu adalah maksiat, maka yang seperti ini hukumnya sama dengan hukum bagi pelaku dosa besar (tidak sampai kafir).” (Majmu’ al-Fatawa, 7/70).

Bagaimana dengan seorang ulama mujtahid yang ijtihadnya salah dan bagaimana pula hukum orang yang mengikuti ijtihad tersebut?
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Kemudian orang yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram apabila ia seorang mujtahid yang bertujuan untuk mengikuti Rasul namun ia belum mengetahui kebenaran dalam perkara tersebut dan ia telah bertakwa kepada Allah sesuai kemampuannya, maka yang seperti ini tidaklah Allah mengadzabnya karena kesalahannya, bahkan Allah akan membalas dengan kebaikan atas kesungguhannya dalam mentaati Rabbnya. Akan tetapi orang yang mengetahui bahwa sang ulama mujtahid tersebut telah salah, tidak sesuai dengan petunjuk Rasul, lalu kemudian ia tetap mengikuti kesalahan tersebut dan berpaling dari perkataan Rasul, maka orang seperti ini telah melakukan satu bentuk syirik yang dicela oleh Allah Ta’ala. Terlebih lagi jika ia mengikuti ulama mujtahid tersebut hanya karena hawa nafsunya sendiri dan ia mendukung kesalahan tersebut dengan lisan dan tangannya, padahal ia tahu bahwa hal itu bertentangan dengan petunjuk Rasul, maka ini termasuk syirik yang mengharuskan pelakunya dihukum.” (Majmu’ al-Fatawa, 7/71).

9. Syirik dalam Niat: Riya’ dan Sum’ah
Riya’ adalah seorang yang memperlihatkan ibadahnya kepada orang lain demi mendapat pujian. Termasuk juga dalam makna ini adalah sum’ah, yakni seorang memperdengarkan atau menceritakan amalannya kepada orang lain demi mendapat pujian.

Berdasarkan tingkatannya, riya’ terbagi dua:
  • Pertama: Syirik besar, apabila seorang beribadah dengan niat semata-mata untuk mempertontonkan amalannya demi mendapat pujian, tidak ada sedikitpun dalam hatinya niat karena Allah. Hal ini seperti syiriknya orang-orang munafik yang disebutkan oleh Allah Ta’ala:

وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa’: 142)
  • Kedua: Syirik kecil, apabila seorang beribadah karena Allah namun niatnya tercampuri dengan riya’, maka yang seperti ini termasuk syirik kecil yang menyebabkan tertolaknya ibadah seseorang. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan:

إن أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر قالوا وما الشرك الأصغر يا رسول الله قال الرياء يقول الله عز و جل لهم يوم القيامة إذا جزى الناس بأعمالهم اذهبوا إلى الذين كنتم تراؤون في الدنيا فانظروا هل تجدون عندهم جزاء

“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil”, para sahabat bertanya, “apa yang dimaksud syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik kecil itu) riya’, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada mereka (orang-orang yang riya’ dalam beramal), yaitu ketika Allah Ta’ala telah membalas amal-amal manusia, (maka Allah katakan kepada mereka), “pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan (riya’) amalan-amalan kalian ketika di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!” (HR. Ahmad, dihasankan Asy-Syaikh Syu’aib al-Arnauth, no. 23680 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 32).

Peringatan: Meninggalkan amal karena takut dibilang riya’ juga riya’
Seorang yang meninggalkan suatu amalan karena takut dibilang riya’ juga termasuk perbuatan riya’, sebab ia meninggalkan amalan karena manusia bukan karena Allah.
  • Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’ dan beramal karena manusia adalah syirik. Sedang ikhlas, jika Allah Ta’ala menyelamatkanmu dari keduanya.” (Riwayat Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 6879)
  • Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Makna perkataan beliau, barangsiapa yang telah bertekad melakukan suatu amalan, kemudian ia meninggalkan amalan tersebut karena khawatir dilihat orang, maka ia telah melakukan riya’, sebab ia meninggalkan amalan karena manusia. Adapun jika ia meninggalkan shalat sunnah di keramaian untuk kemudian mengerjakannya saat tidak dilihat orang, maka yang seperti ini disunnahkan. Kecuali shalat wajib, atau zakat wajib, atau ia seorang ulama yang menjadi panutan, maka lebih afdhal dikerjakan secara terang-terangan.” (Syarhul Arba’in, Al-Imam An-Nawawi, hal. 11).

Apakah mendapat pujian manusia tanpa menginginkannya termasuk riya’?
Apabila seorang telah berusaha untuk ikhlas dan senantiasa menjauhi riya’ lalu ia mendapat pujian manusia atas amal-amal shalih yang ia kerjakan, maka pujian tersebut tidak termasuk riya’, bahkan ia adalah kabar gembira yang dipercepat bagi seorang mukmin. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang yang melakukan kebaikan kemudian dipuji oleh manusia, maka beliu bersabda:

تلك عاجل بشرى المؤمن

“Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim, no. 6891). Akan tetapi, janganlah sampai pujian-pujian manusia tersebut membawa seseorang kepada sifat ujub (bangga diri, merasa lebih dari yang lain). Karena hakikat sifat ujub adalah bentuk lain dari riya’.
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Riya’ adalah seorang menyekutukan Allah dengan makhluq, sedang ujub adalah menyekutukan Allah dangan dirinya sendiri.” (Majmu’ Al-Fatawa, 10/277).

Bahaya sifat ujub telah diperingatkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:

ثلاث مهلكات : شح مطاع وهوى متبع وإعجاب المرء بنفسه

Tiga perkara yang membinasakan; kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan kekaguman seseorang terhadap dirinya (ujub). (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 731, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah, no. 1802).

10. Syirik dalam Niat: Beramal karena dunia
Bentuk yang kedua dari syirik dalam niat adalah seorang yang beribadah karena dunia, seperti karena harta, pangkat, status sosial, wanita, kehormatan, dan lain-lain.
  • Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan salah satu bab dalam Kitabut Tauhid, “Termasuk kesyirikan, seorang yang beramal karena dunia”, kemudian beliau menyebutkan firman Allah Ta’ala:

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَواةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ
 فِى الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (Hud: 15, 16).

Pengecualian:
  • Diperkecualikan dalam masalah ini, amalan-amalan tertentu yang diizinkan oleh Allah Ta’ala untuk seorang berniat karena Allah dan juga berniat untuk mendapatkan ganjaran dari Allah di dunia. Yakni yang disebutkan dalam nash tentang amalan tertentu, seperti berjihad karena Allah dan juga untuk mendapatkan ghanimah, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

من قتل قتيلا فله سلبه

“Barangsiapa yang membunuh musuh (di medan jihad), maka harta orang tersebut menjadi miliknya.” (HR. Malik dalam Al-Muwattho’, no. 1656, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam tahqiq kitab Al-Ayat Al-Bayyinat karya al-Imam Al-Alusi rahimahullah, hal. 56).
  • Contoh lain, seorang yang menyambung silaturrahim karena Allah dan juga untuk mendapatkan keluasan rezeki. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

من سره أن يبسط له في رزقه وأن ينسأ له في أثره فليصل رحمه

“Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung kekerabatan.” (HR. Al-Bukhari, no. 5639).

Hal ini diperkecualikan karena telah disebutkan ganjaran-ganjaran tersebut dalam nash, adapun yang tidak disebutkan dalam nash maka tidak boleh. Namun tentunya, jika niat seseorang ikhlas hanya karena Allah semata dalam beramal, itu yang lebih utama.

Bagaimana membedakan tauhid dengan syirik besar dan syirik kecil dalam niat?
  • Asy-Syaikh Hafiz al-Hakami rahimahullah berkata, “(Pertama): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat karena Allah dan kehidupan akhirat (surga Allah), selamat dari riya’ dan sesuai dengan petunjuk syari’at maka itulah amal shalih yang diterima (tauhid). (Kedua): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat selain karena Allah maka termasuk kemunafikan besar (syirik besar), sama saja apakah seorang beramal karena kedudukan, kepemimpinan dan mengejar dunia, maupun seorang yang beramal demi menjaga keselamatan jiwa dan hartanya, dan selainnya.” (Ma’arijul Qabul, 2/493).“(Ketiga): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat karena Allah dan surga-Nya namun dimasuki oleh riya’ dalam menghiasi dan membaguskannya, maka inilah yang dinamakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan syirik kecil.” (Ma’arijul Qabul, 2/494).

Bagaimana dengan orang-orang yang belajar di universitas atau di tempat lainnya untuk meraih ijazah atau gelar?
  • Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Termasuk perbuatan syirik jika mereka tidak meniatkannya untuk meraih tujuan-tujuan yang syar’i. Maka kami katakan kepada mereka, “Jangan kalian niatkan hal tersebut untuk meraih kedudukan duniawi, tapi niatkan ijazah-ijazah tersebut sebagai sarana untuk bisa bekerja dalam bidang-bidang yang bisa memberi manfaat untuk sesama”, karena untuk bekerja di masa sekarang ini (pada umumnya) dipersyaratkan adanya ijazah, sedang mereka tidak bisa memberi manfaat kepada yang lainnya kecuali dengan sarana ini. Maka dengan itu niat menjadi selamat (dari syirik).” (Al-Qaulul Mufid, 2/91-92).

Bagaimana dengan seorang mujahid yang berperang dan mendapatkan ghanimah atau seorang ustadz yang mengajar dan mendapat gaji?
  • Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Adapun orang yang beramal hanya karena Allah saja dan senantiasa menyempurnakan keikhlasannya, akan tetapi ia masih mengambil upah yang telah ditetapkan atas amalannya, yang dengan upah tersebut ia bekerja (untuk dunia) dan agama, seperti upah para pekerja sosial, mujahid yang mendapatkan ghanimah atau rezeki (gaji), pengelola masjid, pengajar sekolah dan berbagai macam kegiatan agama lainnya. Jika seseorang mengambil upah tersebut maka tidaklah berdampak pada iman dan tauhidnya, karena ia tidak bermaksud untuk mencari dunia dalam amalannya. Akan tetapi ia niatkan untuk agama, dan upah yang ia hasilkan pun diniatkan untuk tegaknya agama.” (Al-Qoulus Sadid, hal. 133).

Wallahu A’la wa A’lam.




0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger