Penjelasan Kaidah Dalam Memahami Tauhid Dan Syirik (3)

فإذا عرفت أن الله خلقك لعبادته فاعلم أن العبادة لا تسمى عبادة إلا مع التوحيد،

 كما أن الصلاة لا تسمى صلاة إلا مع الطهارة فإذا دخل الشرك في العبادة فسدت،

 كالحدث إذا دخل في الطهارة.

"Maka, jika kamu sudah mengetahui bahwa Alloh -subhanahu wa ta’ala- menciptakanmu untuk beribadah kepadaNya [3], ketahuilah! Sesungguhnya ibadah itu tidak dinamakan ibadah, kecuali dengan tauhid, sebagaimana shalat itu tidak dinamakan shalat kecuali bersama thaharah (bersuci).[4].

[3] SYARAH :

“Maka jika kamu sudah mengetahui bahwa allah -subhanahu wa ta’ala- menciptakanmu untuk beribadah kepadaNya”.

Yaitu jika kamu mengetahui dari ayat ini :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu” (Adz Dzariyat : 56).

Maka kamu termasuk manusia yang ada dalam ayat ini. Kamu mengetahui pula bahwa Allah -subhanahu wa ta’ala- tidaklah menciptakanmu dengan sia-sia atau untuk menciptakanmu untuk makan dan minum saja, serta hidup didunia bebas dan gembira, tidaklah demikian. Akan tetapi Allah -subhanahu wa ta’ala- menciptakanmu untuk beribadah kepadaNya, hanya saja ditundukkan bagimu yang ada ini untuk membantumu dalam beribadah kepadaNya, karena engkau tidak akan mampu hidup kecuali dengannya. Kamu tidak akan sampai untuk beribadah kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- kecuali dengan hal-hal tersebut. Allah -subhanahu wa ta’ala- menundukkannya bagimu agar engkau dapat beribadah kepadaNya, bukan agar kamu bergembira, bersukaria, bebas berbuat fasik dan cabul, serta makan dan minum sesukamu, karena ini adalah keadaan binatang. Adapun manusia, Allah -subhanahu wa ta’ala- menciptakan mereka dengan tujuan yang besar dan hikmah yang agung, yaitu ibadah. Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezaki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.” (Adz Dzariyat : 56-57).

Allah -subhanahu wa ta’ala- tidak menciptakanmu agar kamu mencari rezeki untuk-Nya, bekerja dan mengumpulkan harta untuk-Nya sebagaimana dikerjakan oleh sebagian manusia dengan sebagian lainnya, yang menjadikan pekerja untuk mengumpulkan kekayaan bagi mereka. Sungguh, Allah -subhanahu wa ta’ala- tidak butuh dengan itu, dan tidak membutuhkan alam semesta ini. Oleh karena itu Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman :

مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ

“Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan” (Adz Dzariyat : 57).

Allah -subhanahu wa ta’ala- memberi makan dan tidak diberi makan, serta tidak butuh pada makanan. Ketidak butuhan Allah -subhanahu wa ta’ala- itu (sesuai) sesuai dengan Dzat-Nya. Tidaklah dia membutuhkan ibadahmu. Seandainya kamu kufur, tidak akan berkurang kerajaan Allah -subhanahu wa ta’ala-. Akan tetapi kamulah yang butuh kepadaNya, yaitu butuh untuk beribadah kepada-Nya. Dan termasuk Rahmat-Nya adalah Allah -subhanahu wa ta’ala- memerintahkanmu untuk beribadah kepadaNya demi kebaikanmu. Karena jika kamu mengibadahi-Nya, sesungguhnya Allah -subhanahu wa ta’ala- akan memuliakanmu dengan balasan dan pahala. Dengan sebab itulah engkau dimuliakan oleh Allah -subhanahu wa ta’ala- di dunia dan akherat. Maka siapakah yang mendapat faedah dari ibadah? Yang mendapat faedah dari ibadah adalah hamba sendiri. Adapun Allah -subhanahu wa ta’ala-, sesungguhnya Dia tidak butuh kepada mahluk-Nya.


[4] SYARAH :

Jika kamu telah mengetahui bahwa Allah -subhanahu wa ta’ala- menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya, maka sesungguhnya ibadah itu tidak menjadi benar dan diridhai oleh Allah -subhanahu wa ta’ala- kecuali jika terpenuhi dua syarat di dalamnya. Apabila salah satu dari dua syarat tersebut tidak ada, maka batallah ibadahnya.
  1. Syarat pertama : Menjadikan amalan tersebut ikhlas untuk wajah Allah -subhanahu wa ta’ala-, sehingga tidak ada kesyirikan didalamnya. Jika dicampur dengan kesyirikan, maka batallah (amalan tersebut), sebagaimana halnya bersuci jika dicampur dengan hadats, maka akan batal. Demikian pula jika kamu beribadah kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- kemudian menyekutukanNya, maka batallah ibadahmu.
  2. Syarat kedua : Mengikuti Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-. Ibadah apapun yang tidak datang dari Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- maka ibadah tersebut batal dan tertolak, karena termasuk bid’ah dan khurafat. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallah bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah kami maka perbuatan itu tertolak”. Dalam riwayat yang lain disebutkan :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang membuat hal yang baru dalam urusan (agama) kami, maka perbuatan itu tertolak”.

Maka ibadah itu harus sesuai dengan apa yang datang dari Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- dan bukan dengan istihsanat (anggapan baik) manusia, niat, serta tujuan mereka. Selama ibadah tersebut tidak ada dalilnya dari syariat, maka hal itu adalah bid’ah dan tidak bermanfaat bagi pelakunya bahkan membahayakannya, karena merupakan kemaksiatan meskipun dia beranggapan dengan hal itu akan mendekatkan dirinya kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-.

Dalam ibadah harus ada dua syarat ini, yakni ikhlas dan mengikuti Rasul -shallallahu’alaihi wa sallam-. Sehingga jadilah ibadah tersebut benar dan bermanfaat bagi pelakunya. Jika kesyirikan masuk kedalamnya, maka batallah ibadah tersebut, dan jika ibadah itu telah menjadi bid’ah dimana tidak ada dalil atasnya, maka menjadi batal pula. Tanpa dua syarat ini, tidak ada faedahnya suatu ibadah, karena ibadah itu tidak di atas apa yang disyariatkan Allah -subhanahu wa ta’ala-. Dan Allah -subhanahu wa ta’ala- tidak menerima, kecuali apa yang disyariatkan dalam kitab-Nya atau atas lisan Rasul-Nya -shallallahu’alaihi wa sallam-.

Tidak ada seorangpun dari mahluk Allah -subhanahu wa ta’ala- yang wajib kita ikuti kecuali rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-. Adapun selain Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- maka dia diikuti dan ditaati jika mengikuti beliau -shallallahu’alaihi wa sallam-. Jika menyelisihi Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-, maka tidak ada ketaatan kepadanya. Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman :

أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

“Ta’atilah Allah dan taatilah rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” (An Nisaa’ : 59).

Ulil amri adalah para pemimpin dan para ulama. Jika mereka mentaati Allah -subhanahu wa ta’ala- maka wajib bagi kita mentaati dan mengikuti mereka. Adapun jika mereka menyelisihi perintah Allah -subhanahu wa ta’ala-, maka tidak boleh mentaati dan mengikuti penyimpangan mereka. Karena tidak ada seorangpun yang boleh ditaati secara mutlak dari mahluk yang ada ini kecuali Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-. Dan yang selain Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-, maka dia diikuti dan ditaati jika mentaati beliau -shallallahu’alaihi wa sallam-. Inilah ibadah yang benar.



0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger