• Saya (Syaikh Abul ‘Abbas ‘Imad Thariq al-Iraqi) berkata : Sesungguhnya, wajib bagi para pemuda tersebut agar memahami bahwa perselisihan yang terjadi di tengah para ulama adalah berangkat di atas niat yang baik dan di atas ijtihad, serta memberikan udzur kepada mereka yang tersalah di dalamnya. Tidaklah mengapa berdiskusi dengan mereka (para ulama) tentang hal yang mereka yakini tersebut adalah sebuah kekeliruan, dalam rangka untuk menjelaskan apakah benar kekeliruan tersebut memang kekeliruan dari mereka ataukah dari ulama lain yang mengatakan bahwa mereka telah bersalah?! Karena terkadang, seseorang memahami gambaran bahwa ucapan si ulama tersebut keliru, namun setelah berdiskusi dengannya, maka menjadi jelaslah bahwa ucapannyalah yang benar. Sesungguhnya mereka adalah manusia biasa (yang bisa benar dan keliru, pent.).
Nabi ‘Alaihi ash-Sholatu was Salam bersabda :

كل ابن آدم خطاء، وخير الخطائين التوابون

“Setiap anak keturunan Adam pasti melakukan kesalahan, dan sebaik-baik mereka yang melakukan kesalahan adalah mereka yang bertaubat.”

Adapun merasa senang dengan ketergelinciran dan kesalahan ulama, lalu memperburuk citra mereka di hadapan umat sehingga menimbulkan perpecahan, maka ini bukanlah termasuk thoriqoh (manhaj) salaf.

Demikian pula (menyikapi) kesalahan para penguasa, tidak boleh bagi kita menjadikan kesalahan mereka sebagai sarana untuk mencela mereka dalam segala hal dan mengabaikan kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka. Karena Alloh Ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا

““Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Alloh, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.”
  • Yaitu, janganlah dengan sebab kebencian terhadap suatu kaum menyebabkan kalian tidak adil, karena bersikap adil itu wajib. Untuk itu, tidaklah diperbolehkan bagi seseorang untuk menggunakan ketergelinciran penguasa, ulama atau selain mereka untuk memburukkan citra mereka di hadapan manusia, kemudian mengabaikan kebaikan-kebaikan mereka, karena sesungguhnya hal ini bukanlah termasuk sikap adil.
Coba bayangkan apabila hal ini terjadi kepada Anda.
Sekiranya ada seseorang yang berbuat lancang kepada Anda, dia menyebarkan kesalahan dan keburukan Anda serta menyembunyikan kebaikan dan kebenaran yang ada pada Anda, maka pasti lah Anda akan menganggapnya sebagai perbuatan kriminal/kejahatan terhadap diri Anda. Apabila Anda melihat bahwa hal seperti ini ada pada diri Anda, maka seharusnya Anda juga wajib berempati kepada orang lain.

Seperti yang telah Saya sebutkan sebelumnya, bahwa solusi untuk menyelesaikan sesuatu yang Anda anggap salah, hendaknya Anda menghubungi orang yang Anda anggap keliru tersebut, kemudian Anda ajak dia berdiskusi sehingga menjadi terang bagaimana sikap (yang benar) setelah diskusi. Betapa banyak orang yang setelah berdiskusi, dia rujuk dari pendapatnya kepada pendapat yang lebih benar, yang acap kali kita duga (pendapat tersebut) yang salah.

Karena seorang mukmin yang satu dengan mukmin yang lainnya itu bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan satu dengan lainnya.
  • Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
من أحب أن يزحزح عن النار ويدخل الجنة فلتأته منيته وهو يؤمن بالله واليوم الآخر، وليأت إلى الناس
 ما يحب أن يؤتى إليه

“Barang siapa yang senang dirinya dijauhkan dari api neraka, dan dimasukkan ke dalam surga, hendaknya ia ketika wafatnya dalam keadaan beriman kepada Alloh dan hari akhir. Serta hendaknya ia memperlakukan orang lain dengan perilaku yang ia suka untuk diperlakukan dengannya.” Dan yang dimaksud adalah perilaku adil dan istiqomah.

Sumber :
Makalah berjudul “الفرح بزلة العالم وإشاعتها ليس من طريقة السلف , والسكوت عن حسناتهم ليس من العدل” (http://kulalsalafiyeen.com/vb)

sumber : http://abusalma.net/?p=1123