Menghormati dan Memuliakan Ulama



Allah -subhanahu wa taala- dengan hikmah dan keadilan-Nya yang sempurna memuliakan sebagian hamba-Nya. Di antara sebab Allah memuliakan hamba-Nya adalah ilmu, amal, kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.

Oleh karena itulah, Allah -subhanahu wa taala- memuliakan para ulama, yaitu orang-orang yang berilmu tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman sahabat, serta mengamalkannya.

Di antara dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan keutamaan mereka disebabkan ilmu, amal, kesabaran, keikhlasan, dan keimanan mereka, adalah sebagai berikut.

Allah -subhanahu wa taala- berfirman:

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(Al-Mujadilah: 11).

“(Apakah kamu, wahai orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah
orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri,
sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya?
Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”
(Az-Zumar: 9).

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28).

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.”
(As-Sajdah: 24).
  • Rasulullah sholallohu alaihi wasallam bersabda tentang keutamaan mereka:

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham (harta). Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak (menguntungkan).” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Abu Dawud. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan sanadnya hasan dalam Shahih at-Targhib wat Tarhib 1/139).
  • Ibnu Mas’ud rodhialllohu anhu mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ؛ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Tidak boleh ada hasad (berkeinginan mendapatkan) kecuali terhadap dua golongan: orang yang Allah-subhanahu wa taala- limpahkan harta kepadanya lalu dia belanjakan di jalan yang benar, serta orang yang Allah l karuniakan hikmah (ilmu) lalu dia tunaikan (amalkan) dan ajarkan.”
(Muttafaqun ‘alaih).
  • Dalam hadits yang lain, Rasulullah n bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan untuknya, Dia jadikan orang tersebut paham akan agama.” (HR. Al-Bukhari no. 69 dari Mu’awiyah z).

Para ulama adalah orang-orang berilmu dan dimuliakan oleh Allah , sehingga kita wajib menghormati dan memuliakan mereka sebagai bukti kebenaran keimanan serta kecintaan kita kepada Allah dan Rasul-Nya .

Allah subhanahu wataala berfirman:

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.”
(Al-Hajj: 32).

Rasulullah n bersada:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ؛ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ،
 وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

“Ada tiga hal, yang apabila dimiliki seseorang tentu dia merasakan
manisnya iman:
(1) Allah l dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada yang selain keduanya,
(2) dia tidaklah mencintai seseorang melainkan karena Allah l,
(3) dia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya
dari kekafiran itu sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam api.”
(Muttafaqun ‘alaih dari Anas bin Malik z).


Kita dapat merealisasikan sikap menghormati dan memuliakan para ulama dengan beberapa hal berikut.

1. Bersyukur (berterima kasih) kepada mereka karena Allah -subhanahu wa taala-  Karena keikhlasan dan kesabaran mereka dalam berdakwah, ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah pun tersebar hingga sampai kepada kita. Kita bisa mengetahui akidah yang benar, manhaj yang lurus, dan beribadah dengan tata cara yang bersih dari bid’ah. Oleh karena itu, sudah semestinya kita berterima kasih kepada mereka karena Allah l saja.
  • Allah berfirman: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman: 60)
  • Rasulullah bersabda:
لَا يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ

Tidak akan bersyukur kepada Allah ,
orang yang tidak berterima kasih kepada orang lain.”
(HR. Abu Dawud no. 4177, lihat Ash-Shahihah no. 416).
  • Yahya bin Mu’adz Ar-Razi t (wafat 258 H) berkata, “Para ulama lebih mengasihi dan menyayangi umat Muhammad n daripada ayah dan ibu mereka.” Beliau ditanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Beliau n menjawab, “Bapak dan ibu mereka melindungi mereka dari api dunia, sedangkan para ulama melindungi mereka dari api akhirat.” (Mukhtashar Nashihat Ahlil Hadits hlm. 167).
2. Menaati mereka dalam hal yang baik.

Allah -subhanahu wa taala- berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya),
 dan ulil amri di antara kalian.” (An-Nisa’: 59).
  • Asy-Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul hafizhahullah mengatakan, “Yang dimaksud ulil amri adalah umara (para penguasa) dan ulama. Karena itu, ketaatan kepada ulama itu mengikuti ketaatan kepada Allah l dan Rasul-Nya, sedangkan ketaatan kepada para penguasa mengikuti ketaatan kepada para ulama. Pintu ketidaktaatan terhadap para penguasa dan pemimpin tergantung kepada para ulama, sehingga apabila hak-hak para ulama ditelantarkan niscaya hak-hak para penguasa akan hilang pula. Bila hak-hak para ulama dan umara hilang, umat manusia tidak akan menaati mereka, padahal hidup dan baiknya ulama adalah penentu kehidupan dan kebaikan alam ini. Apabila hak-hak para ulama tidak dipedulikan, akan hilang hak-hak para umara. Dan ketika hak-hak para ulama dan umara hilang, hancurlah kehidupan alam semesta!” (Makanatul ‘Ilmi wal ‘Ulama, hlm. 16—17)
  • Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t mengatakan, “Bila para ulama dihormati, syariat pun akan dimuliakan, karena mereka adalah pembawa syariat tersebut. Namun, bila para ulama direndahkan, syariat juga akan dihinakan, karena apabila kewibawaan para ulama telah direndahkan dan dijatuhkan di mata umat, syariat yang mereka bawa akan dihinakan dan tidak bernilai. Setiap orang akan meremehkan dan merendahkan mereka. Akibatnya, syariat pun akan hilang.Para penguasa pun demikian keadaannya: wajib dimuliakan, dihormati dan ditaati, sesuai dengan ketentuan syariat-Nya. Apabila kewibawaan penguasa direndahkan, dihinakan, dan dijatuhkan, hilanglah keamanan (ketenteraman) masyarakat. Negara menjadi kacau, sementara penguasa tidak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan. Oleh karena itu, apabila kedua golongan ini, ulama dan umara, direndahkan di mata umat, syariat akan rusak dan keamanan akan hilang. Segala urusan menjadi kacau-balau.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 2/110).
3. Mengikuti bimbingan dan arahan mereka

Allah subhanahu wataala berfirman menceritakan dialog Nabi Ibrahim
dengan ayahnya:
“Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuanyang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku,
niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.”
(Maryam: 42)

Ibnu Mas’ud z berkata:
Rasulullah n membuat sebuah garis yang lurus lalu bersabda,
Ini adalah jalan Allah.”

Kemudian beliau membuat beberapa garis di sebelah kanan dan kiri garis
lurus itu, lalu bersabda, Ini adalah jalan-jalan yang bercabang (darinya).
Pada setiap jalan ini ada setan yang mengajak kepadanya.”

Beliau n lalu membaca firman Allah -subhanahu wa taala- ,
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus,
maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
 karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya….”
(Al-An’am: 153) [HR. Ahmad no. 3928]
  • Asy-Syaikh Muhammad Bazmul hafizhahullah mengatakan, “Barang siapa yang mengikuti para ulama berarti dia mengikuti jalan yang lurus. Adapun yang menyelisihi ulama dan tidak memedulikan hak-hak mereka berarti dia telah keluar (dan mengikuti) jalan setan. Dia telah memisahkan diri dari jalan yang lurus, yaitu jalan Rasul-Nya n dan yang ditempuh para sahabat g.” (Makanatul ‘Ilmi wal ‘Ulama, hlm. 18)
  • Al-Imam Al-Ajurri t berkata, “Apa pendapat kalian tentang sebuah jalan yang mengandung banyak rintangan, sementara orang-orang harus melaluinya di malam yang gelap; apabila tidak ada penerang maka mereka akan kebingungan? Kemudian Allah l mengaruniakan penerang-penerang jalan mereka, sehingga mereka pun dapat melaluinya dengan selamat. Lalu datanglah beberapa rombongan yang harus melewati jalan itu. Ketika berada di tengah perjalanan, tiba-tiba penerang itu padam. Mereka pun tertinggal di tempat yang gelap tersebut. Apa pendapat kalian tentang mereka ini?
Demikianlah kedudukan para ulama. Mayoritas umat manusia tidak mengetahui cara menunaikan kewajiban, meninggalkan keharaman, dan beribadah kepada Allah l melainkan dengan perantaraan para ulama. Dengan meninggalnya para ulama, umat akan bingung, ilmu akan hilang, dan kebodohan pun semakin merebak. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Alangkah dahsyatnya musibah ini.” (Akhlaqul ‘Ulama, hlm. 28—29).

4. Mengembalikan urusan umat kepada mereka

Allah subhanahu wataala berfirman:
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui.”
(An-Nahl: 43)

Allah juga berfirman:
“Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri).
Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian,
tentulah kalian mengikuti setan kecuali sebagian kecil saja
(di antara kalian).”
(An-Nisa: 83).
  • Asy-Syaikh As-Sa’di t berkata, “Ini adalah bimbingan adab dari Allah kepada hamba-hamba-Nya terkait sikap mereka yang tidak pantas ini. Selayaknya apabila ada sebuah urusan penting dan menyangkut orang banyak—terkait keamanan dan kebahagiaan orang-orang beriman, ataupun kekhawatiran akan sebuah musibah yang menimpa mereka— hendaknya mereka menelitinya dan tidak tergesa-gesa menyebarkannya. Bahkan, semestinya mereka mengembalikannya kepada Rasulullah n (semasa hidup beliau n) dan kepada ulil amri, yaitu orang-orang yang ahli dalam menentukan pendapat, berilmu, peduli, dan tenang. Mereka adalah orang-orang yang memahami urusan dan kepentingan umat maupun hal-hal yang sebaliknya. Apabila mereka memandang ada kebaikan, kemaslahatan, kebahagiaan, dan sesuatu yang membangkitkan kewaspadaan orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuhnya, niscaya mereka akan menyebarkannya. Akan tetapi, bila mereka memandang tidak ada kebaikan dan kemaslahatannya, atau ada kebaikan dan kemaslahatan tetapi dampak negatifnya lebih besar, niscaya mereka tidak akan menyebarkannya….” Beliau t melanjutkan, “Firman Allah -subhanahu wa taala- ini mengandung dalil yang membenarkan kaidah adab, yaitu apabila terjadi pembahasan suatu urusan yang penting, sepantasnya yang terlibat adalah orang-orang yang ahli dalam urusan tersebut. Urusan tersebut diserahkan kepada mereka, sedangkan orang lain tidak boleh mendahului mereka, karena sikap ini lebih mendekati kebenaran dan lebih selamat. Ayat ini juga mengandung larangan untuk tergesa-gesa menyebarkan sebuah berita ketika mendapatkannya. Bahkan, seseorang diperintahkan untuk meneliti dahulu sebelum menyampaikannya. (Tafsir As-Sa’di hlm. 190).
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t mengatakan, “Para ulama ahlul hadits lebih mengetahui maksud Rasulullah n daripada pengetahuan para pengikut imam-imam (mazhab) terhadap maksud imam-imam mereka.” (Minhajus Sunnah).
Oleh karena itu, pendapat mereka lebih mendekati kebenaran dan nasihat mereka lebih berhak didengarkan.

Ketika para ulama tidak dihormati dan urusan umat tidak dikembalikan kepada mereka, akan timbul beberapa akibat buruk sebagai berikut.

1. Umat akan ditimpa kehinaan dan kerendahan.
  • Ibnu Umar mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

‘Apabila kalian berjual-beli dengan sistem ‘inah,
telah mengambil ekor-ekor sapi, dan lebih senang dengan pertanian
kalian hingga kalian meninggalkan jihad (di jalan Allah),
niscaya Allah akan menimpakan kehinaan terhadap kalian.
Allah tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama
kalian’.” (HR. Abu Dawud no. 3003).
  • Asy-Syaikh Muhammad Bazmul mengatakan, “Tidak ada jalan untuk kembali kepada agama yang mulia ini melainkan dengan bimbingan ulama. Apabila umat tidak memedulikan hak-hak ulama dan tidak merujuk kepada mereka, bahkan merasa tidak membutuhkan mereka, mereka akan mengangkat orang-orang yang bodoh sebagai pemimpin. Bagaimana mereka akan kembali kepada agama mereka? Bagaimana pula mereka bisa keluar dari kehinaan dan kerendahan tanpa bimbingan ulama?” (Makanatul ‘Ilmi wal ‘Ulama, hlm. 26).
2. Menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya.
Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita memuliakan para ulama, menjaga hak-hak mereka, tidak menyakiti mereka, dan mengembalikan urusan umat kepada mereka. Ketika kita tidak mengembalikan urusan umat kepada para ulama, berarti kita telah menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya.
  • Allah telah memberikan ancaman dalam firman-Nya:“Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63).
Salah satu musibah yang menimpa umat ini dan memilukan hati adalah terjadinya perselisihan pendapat di antara para dai yang menyeret kepada perpecahan, karena mereka tidak mengembalikan perbedaan pendapat yang terjadi kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan bimbingan para ulama.
  • Perhatikanlah ucapan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i t, “Akan tetapi, beberapa penuntut ilmu merasa cukup dengan sedikit ilmu yang mereka miliki, kemudian mereka siap membantah setiap orang yang menyelisihi pendapatnya. Ini adalah salah satu sebab terjadinya perselisihan dan perpecahan.” (At-Tarjamah, hlm. 201)
  • Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah mengatakan, “Para ulama—orang-orang yang mendalam ilmunya—telah menjelaskan berbagai celah dan sumber munculnya penyakit (yang menimpa umat ini). Di antara yang mereka sebutkan adalah adanya orang-orang yang tidak mapan dalam mempelajari ilmu syariat namun tidak mau mengikuti orang-orang yang sudah mendalam ilmunya (para ulama). Bahkan, dia merasa puas dengan ilmunya. Kemudian ia mendahului para ulama dalam menghadapi berbagai masalah, padahal jika masalah itu dihadapkan kepada Umar bin al-Khaththab z, beliau tentu akan mengumpulkan ahli Badr (para sahabat yang mengikuti perang Badr) untuk memusyawarahkannya.” (Bidayatul Inhiraf, hlm. 432).
3. Menyerupai ahlul bid’ah
  • Asy-Syaikh Muhammad Bazmul hafizhahullah mengatakan, Menjatuhkan kedudukan para ulama termasuk perilaku ahlul bid’ah dan pengekor hawa nafsu. Perhatikanlah berbagai kelompok sesat yang menyelisihi petunjuk Rasulullah n dan amalan para sahabat g, niscaya Anda akan menemukan sikap ini….” Beliau melanjutkan, “Demikianlah. Anda tidak akan menemukan satu pun golongan yang menyimpang dari jalan yang lurus dan keluar dari jalan orang-orang beriman melainkan mereka membicarakan (baca: menggunjing), mencela, menjatuhkan, dan tidak memedulikan hak-hak para ulama. Bahkan, mereka mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka.” (Makanatul ‘Ilmi wal ‘Ulama, hlm. 28)
  • Al-Imam Asy-Syathibi t mengatakan, “Dikisahkan bahwa ada seorang tokoh ahlul bid’ah yang hendak mengutamakan ilmu kalam (filsafat) daripada ilmu fiqih. Dia mengatakan, ‘Ilmu Asy-Sya’fi’i dan ilmu Abu Hanifah secara global tidak keluar dari pakaian bawah perempuan.’ Maknanya, ilmu kedua imam tersebut terbatas pada hukum-hukum haid dan nifas. Inilah ucapan orang-orang yang menyimpang. Semoga Allah memerangi mereka.” (Al-I’tisham, 2/239).
Sebagai penutup,
kita memohon kepada Allah subhanahu wataala saja agar membimbing kita dan seluruh kaum muslimin untuk memuliakan, menghormati, dan memberikan hak-hak para ulama, serta mengembalikan urusan umat kepada mereka, karena hal inilah yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya sholalllohu alaihi wasallam. Kita juga memohon kepada Allah untuk memperbaiki keadaan dan menyelesaikan berbagai masalah yang menimpa umat.

Amin, ya Rabbal ‘alamin.

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 061


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger