Umat Yang Jujur

Oleh Ustadz Abu Muslih Ari Wahyudi.

Di dalam Shahih-nya, Imam Muslim rahimahullah membawakan hadits-hadits yang menganjurkan kejujuran kepada umat Islam. Bahkan, kejujuran menjadi ciri kesempurnaan iman seseorang. Oleh sebab itu hadits-hadits tersebut dibawakan oleh Imam Muslim di dalam pembahasan (kitab) Iman.

Berikut ini, salah satu hadits yang beliau bawakan -beserta sanadnya- semoga bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Imam Muslim berkata:

Yahya bin Ayyub, Qutaibah, dan Ibnu Hujr -mereka semua- menuturkan hadits kepadaku dari Isma'il bin Ja'far. Ibnu Ayyub berkata: Isma'il menuturkan kepada kami. [dia berkata] al-'Alaa' mengabarkan kepadaku dari bapaknya. Dari Abu Hurairah -radhiyallahu'anhu-: [Suatu saat] Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melewati sebuah tumpukan makanan -yang dijual- kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalamnya. Ternyata jari-jari beliau menemukan ada makanan yang basah. Beliau bersabda, “Apa gerangan ini wahai penjual makanan?”. Dia menjawab, “Ia terkena hujan ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak menaruhnya di atas tumpukan makanan itu sehingga orang-orang [konsumen] bisa melihatnya? Barangsiapa yang menipu maka dia bukan termasuk golonganku.” (Syarh Nawawi [2/178] cet. Dar Ibn al-Haitsam, Kairo)

Ghisyy atau menipu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan sikap menasehati dan keinginan baik kepada orang lain. Orang yang membersihkan ucapannya dari dusta dan penipuan diserupakan dengan orang yang membersihkan madu dari kotoran yang mencampurinya (lihat Syarh Nawawi [2/116], ad-Dibaj 'ala Shahih al-Muslim [1/73] karya Imam as-Suyuthi).

Seorang pedagang muslim hendaknya secara jujur menerangkan kondisi barang dagangannya dan tidak menyembunyikan cacat barang tersebut dari konsumen. Perdagangan yang dibangun di atas sikap jujur semacam inilah yang akan mendapat keberkahan dari Allah. Inilah keindahan ajaran Islam.

Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Penjual dan pembeli memiliki hak memilih (khiyar) selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua bersikap jujur dan mau menerangkan -apa adanya- niscaya jual-beli mereka berdua akan diberkahi. Akan tetapi apabila mereka berdua berdusta/menipu dan menyembunyikan [cacat barangnya], maka akan dicabut keberkahan jual-beli mereka berdua.” (HR. Bukhari dan Muslim, Lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 117-118 karya Syaikh as-Sa'di)

Oleh sebab itu alangkah bijaknya para pedagang yang berusaha meneliti dan mengawasi keadaan barang dagangannya. Apabila ternyata barang dagangannya itu sudah kadaluarsa (expired), hendaklah dia menarik barang tersebut. Bukan justru mengobral barang tersebut -meskipun dengan harga murah- kepada konsumen. Apalagi, jika barang tersebut hendak disalurkan bagi para korban bencana [?!].

Dimanakah kejujuran itu..., wahai para pedagang?

Tegakah kalian, jika barang/makanan yang sudah kadaluarsa dibeli dan dikonsumsi oleh anak-istri kalian, kemudian mereka teracuni olehnya?

Kejujuran. Tidak hanya dibutuhkan oleh pedagang. Kejujuran itu dibutuhkan oleh setiap orang yang menginginkan kebaikan diri dan agamanya. Seorang da'i, penuntut ilmu, pengajar, guru, penulis, teman, karyawan, pemimpin, pejabat, ibu rumah tangga, bahkan seorang tukang becak sekalipun. Umat Islam adalah umat yang menjunjung tinggi kejujuran.

Tidak sebagaimana kaum Syi'ah yang menjadikan taqiyyah (penipuan) sebagai bagian dari agama mereka!! Allahul musta'aan...

sumber : http://www.facebook.com/notes/abu-mushlih-ari-wahyudi/bermanfaatkah-ayat-dan-hadits-bagiku/10150433681476123#!/note.php?note_id=10150435958516123


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger