Menghadiri Tahlilan Kematian

(Soal-Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV).

PERTANYAAN :

Assalamu’alaikum.
Ada hadits yang menerangkan bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah akan mendoakan ayahnya yang sudah meninggal, tapi dilarang oleh Allâh Ta'ala. Kenapa banyak orang-orang mengadakan yasinan, tahlilan dengan alasan mendo’akan orang tua yang sudah meninggal. Mereka juga mengatakan bahwa ini merupakan sebentuk perwujudan anak shaleh mendo’akan orang tua. Dan kyai-nya menyebutkan bahwa ini acara tradisi.

Bolehkah menghadiri acara tersebut ? Kalau tidak, dimana kemungkarannya ?
Bagaimana cara mendoakan yang sesuai sunnah.

Terima kasih, wasalam. 0812344xxxx.

JAWABAN :

Wa’alaikumussalam.
Yang kami ketahui, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam akan memohonkan ampun untuk ibunya tetapi beliau tidak diidzinkan, sebagaimana hadits di bawah ini:
 
 
 
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, dia berkata,
“Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis dan membuat orang-orang di sekitarnya menangis juga. Lalu beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,'Aku meminta idzin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi aku tidak diberi idzin. Dan aku meminta idzin kepada-Nya untuk menziarahi kuburnya, maka aku diberi idzin. Maka hendaklah kamu berziarah kubur, karena ziarah kubur itu bisa mengingatkan kepada kematian.' (HR. Muslim).

Adapun tentang ayah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam terdapat hadits sebagai berikut :
 
 
 
 
Dari Anas radhiyallâhu'anhu bahwa seorang laki-laki berkata,
“Wahai Rasulullah, dimanakah ayahku?” beliau menjawab, “Di dalam neraka”.
Ketika dia berpaling,beliau memanggilnya lalu bersabda,
Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di dalam neraka”.
(HR. Muslim).


Untuk menjawab pertanyaan saudara, kami akan membaginya dalam tiga hal yaitu :

a. Bolehkah menghadiri acara ini yasinan atau tahlilan untuk mendoakan orang yang telah mati?

Jawaban kami untuk pertanyaan ini adalah tidak boleh menghadirinya. Karena hal ini tidak dituntunkan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Kecuali jika dia hadir dalam rangka menjelaskan kemungkarannya, lalu meninggalkannya. Anggapan bahwa itu sebagai aktualisasi dari kebaikan anak yang shalih untuk orang tua, tidak lantas bisa dijadikan legitimasi bagi amalan ini. Karena cara mewujudkan bakti kepada orang tua yang sudah meninggal telah dijelaskan caranya-caranya dalam Islam seperti memohon ampun atau menyambung tali silaturrahim dengan teman dekatnya.

Begitu juga klaim, bahwa acara ini sebagai tradisi semata, tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan amalan ini. Karena faktanya mereka yang melakukan itu berharap pahala dari Allâh Ta'ala ketika melaksanakannya bahkan disebagian tempat orang yang tidak melaksanakannya dianggap tidak mau melaksanakan sunnah. Bukankah ini berarti ibadah ?

Padahal yang namanya ibadah harus berlandaskan dalil. Kalaupun dianggap sebagai tradisi, maka dalam Islam, tradisi itu boleh dipertahankan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Sementara yasinan yang mereka klaim sebagai tradisi ini ternyata menyelisihi agama Islam yang telah sempurna yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
 
 
 
"Barangsiapa yang membuat suatu yang baru dalam ajaran kami yang tidak berasal darinya, maka perkara itu tertolak." [1].
 

b. Dimanakah letak kemungkarannya ?
Kemungkaran-kemungkaran amalan ini banyak, diantaranya:
  • Yasinan atau tahlilan merupakan bentuk ibadah yang tidak dituntunkan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Berkumpul di rumah orang yang kena musibah kematian dan apalagi disertai dengan penghidangan makanan dari tuan rumah setelah penguburan merupakan bentuk niyâhah (meratap) yang dilarang oleh agama.
  • Jamuan yang diberikan tuan rumah kepada tetamu bertentangan dengan Sunnah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang memerintahkan para tetangga untuk memberi makan kepada keluarga mayit, bukan keluarga mayit yang menghidangkan makanan kepada tetangga.
  • Bertentangan dengan akal. Karena orang yang sedang didera kesusahan dengan sebab kematian anggota keluarganya sepantasnya dihibur. Bukan ditambahi beban dengan menghidangkan jamuan buat para tamu, baik tetangga maupun kerabat atau dengan membayar orang yang membacakan al- Qur’ân, tahlil atau doa. Mengadakan perayaan untuk kematian, seperti perayaan pada hari ketiga, kesembilan dan seterusnya adalah kebiasaan yang berasal dari ajaran agama Hindu. Oleh karena itu, selayaknya umat Islam meninggalkannya. Dan berbagai kemungkaran lainnya yang tidak mungkin disebutkan di sini, karena terkadang jenis kemungkaran ini berbeda-beda sesuai dengan daerahnya.

c. Bagaimana cara yang benar dalam mendo’akan mayit ?
Sebatas yang kami tahu, cara mendo’akan mayit menurut Sunnah adalah sebagai berikut :
  • Mendo’akan dan memohonkan ampunan ketika mendengar berita atau mengetahui kematian seorang muslim.
  • Mendo’akan dan memohonkan ampunan saat shalat jenazah.
  • Mendo’akan dan memohonkan ampunan ketika ziarah kubur.
  • Mendoakan dan memohonkan ampunan di setiap ada waktu dan kesempatan, dengan tanpa menentukan waktu, tempat dan tata-cara khusus yang tidak diajarkan oleh Allâh dan Rasul-Nya.

Inilah jawaban kami secara ringkas. Bagi para pembaca yang ingin mendapatkan penjelasan secara rinci bisa meruju’ ke kitab-kitab Ulama yang membahas masalah hukum-hukum jenazah, seperti kitab Ahkâmul Janâ’iz karya syaikh al-Albâni rahimahullâh, dan kitab-kitab yang lain.

______
[1] HR Bukhari dan Muslim.

sumber : http://majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=218&Itemid=140


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger