Oleh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak akan tiba hari Kiamat hingga seseorang melewati kubur seseorang, lalu dia berkata, ‘Andaikata aku ada di tempatnya.’” [1].
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, dunia ini tidak akan lenyap hingga seseorang melewati kuburan, lalu ia berhenti padanya, dan berkata, ‘Andaikata aku berada di tempat penghuni kuburan ini,’ (dia mengatakannya) bukan karena agama tetapi karena dahsyatnya cobaan.” [2].
Mengharapkan kematian terjadi ketika banyaknya fitnah, berubahnya keadaan dan ketika ajaran-ajaran syari’at banyak diselewengkan. Hal ini jika memang belum terjadi, maka pasti terjadi.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Akan datang kepada kalian suatu zaman, di mana jika salah seorang di antara kalian mendapati, seandainya kematian bisa dijual, niscaya dia akan membelinya, sebagaimana dikatakan:
Tidak ada kebaikan pada kehidupan ini, adakah kematian yang dijual sehingga aku dapat membelinya. [3].
Al-Hafizh al-‘Iraqi rahimahullah [4] berkata, “Hal itu tidak mesti terjadi pada setiap negeri, tidak juga pada segenap zaman, atau pada setiap manusia, bahkan bisa saja terjadi untuk sebagian orang di sebagian negeri pada sebagian zaman. Menggantungkan harapan untuk mati dengan melewati kuburan mengandung isyarat akan besarnya kerusakan manusia saat itu. Karena terkadang seseorang mengharapkan kematian ketika dia tidak membayangkan kematian tersebut. Jika dia menyaksikan orang mati dan melihat kuburan, maka secara otomatis tabiatnya akan lari dari mengharapkan kematian. Akan tetapi, karena besarnya malapetaka (yang dirasakan saat itu), maka segala hal yang ia saksikan berupa seramnya keadaan kuburan tidak menjadikan dirinya berpaling darinya. Hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan larangan mengharapkan kematian. Karena, makna hadits ini hanya sebagai kabar terhadap sesuatu yang akan terjadi, di dalamnya sama sekali tidak ada pertentangan dengan hukum syar’i mengenai (larangan ini).” [5].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan akan terjadi kesengsaraan dan kepedihan yang menimpa manusia, sehingga mereka mengharapkan kedatangan Dajjal. Dijelaskan dalam sebuah hadits dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
‘Akan datang kepada manusia satu zaman di mana mereka mengharapkan (kedatangan) Dajjal.” Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku sebagai tebusan, (karena apa) hal itu terjadi?” Beliau menjawab, “Karena kepedihan dan kepedihan yang mereka rasakan.” [6].
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir].
50. MENGHARAPKAN KEMATIAN KARENA BERATNYA COBAAN.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ بِقَبْرِ الرَّجُلِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي مَكَانَهُ.
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ عَلَى الْقَبْرِ فَيَتَمَرَّغُ عَلَيْهِ، وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي كُنْتُ مَكَانَ صَاحِبِ هَذَا الْقَبْرِ وَلَيْسَ بِهِ الدِّيْنُ إِلاَّ الْبَلاَءُ.
Mengharapkan kematian terjadi ketika banyaknya fitnah, berubahnya keadaan dan ketika ajaran-ajaran syari’at banyak diselewengkan. Hal ini jika memang belum terjadi, maka pasti terjadi.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Akan datang kepada kalian suatu zaman, di mana jika salah seorang di antara kalian mendapati, seandainya kematian bisa dijual, niscaya dia akan membelinya, sebagaimana dikatakan:
وَهذَا الْعَيْشُ مَا لاَ خَيْرَ فِيْهِ أَلاَ مَوْتٌ يُبَاعُ فَأَشْتَرِيْهِ.
Al-Hafizh al-‘Iraqi rahimahullah [4] berkata, “Hal itu tidak mesti terjadi pada setiap negeri, tidak juga pada segenap zaman, atau pada setiap manusia, bahkan bisa saja terjadi untuk sebagian orang di sebagian negeri pada sebagian zaman. Menggantungkan harapan untuk mati dengan melewati kuburan mengandung isyarat akan besarnya kerusakan manusia saat itu. Karena terkadang seseorang mengharapkan kematian ketika dia tidak membayangkan kematian tersebut. Jika dia menyaksikan orang mati dan melihat kuburan, maka secara otomatis tabiatnya akan lari dari mengharapkan kematian. Akan tetapi, karena besarnya malapetaka (yang dirasakan saat itu), maka segala hal yang ia saksikan berupa seramnya keadaan kuburan tidak menjadikan dirinya berpaling darinya. Hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan larangan mengharapkan kematian. Karena, makna hadits ini hanya sebagai kabar terhadap sesuatu yang akan terjadi, di dalamnya sama sekali tidak ada pertentangan dengan hukum syar’i mengenai (larangan ini).” [5].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan akan terjadi kesengsaraan dan kepedihan yang menimpa manusia, sehingga mereka mengharapkan kedatangan Dajjal. Dijelaskan dalam sebuah hadits dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَتَمَنَّوْنَ فِيْهِ الدَّجَّالَ، قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! بِأَبِيْ وَأُمِّيْ مِمَّ ذَاكَ؟ قَالَ: مِمَّا يَلْقَوْنَ مِنَ الْعَنَاءِ وَالْعَنَاءِ.
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir].
_______
Footnote
[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan (XIII/81-82, al-Fat-h), dan Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah (XVIII/34, Syarh an-Nawawi).
[2]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraatus Saa’ah (XVIII/34, Syarh an-Nawawi).
[3]. Faidhul Qadiir (VI/418).
[4]. Beliau adalah Zainuddin ‘Abdurrahman bin al-Hasan bin ‘Abdirrahman al-‘Iraqi al-Kurdi asy-Syafi’i. Lahir pada tahun 725 H. Beliau termasuk al-Huffazh (penghafal hadits), beliau safar untuk mencari hadits ke Dimasyqa, Haleb, Hijaz, dan Iskandariah. Beliau mengambil hadits dari ulama-ulama besar. Beliau memiliki banyak karya tulis dalam bidang hadits, di antaranya: al-Mughni ‘an Hamlil Asfaari fil Asfaari fii Takhriiji maa fil Ihyaa' minal Akhbaari, Taq-riibul Asaaniid dan syaratnya Tharhut Tatsriib. Beliau wafat pada tahun 806 H.
Lihat biografi beliau dalam Syadzaraatudz Dzahab (VIII/55-56) dan Muqaddimah kitab Tharhut Tatsriib (I/2-9) karya Syaikh Mahmud Hasan Rabi’.
[5]. Faidhul Qadiir (VI/418), lihat Fat-hul Baari (XIII/75-76).
[6]. HR. Ath-Thabrani di dalam al-Ausath, dan al-Bazzar dengan yang semisalnya, perawi keduanya adalah tsiqah, lihat Majma’uz Zawaadi (VII/284-285).
http://almanhaj.or.id/content/736/slash/0/50-51-mengharapkan-kematian-karena-beratnya-cobaan-banyaknya-jumlah-bangsa-romawi/
Footnote
[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan (XIII/81-82, al-Fat-h), dan Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah (XVIII/34, Syarh an-Nawawi).
[2]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraatus Saa’ah (XVIII/34, Syarh an-Nawawi).
[3]. Faidhul Qadiir (VI/418).
[4]. Beliau adalah Zainuddin ‘Abdurrahman bin al-Hasan bin ‘Abdirrahman al-‘Iraqi al-Kurdi asy-Syafi’i. Lahir pada tahun 725 H. Beliau termasuk al-Huffazh (penghafal hadits), beliau safar untuk mencari hadits ke Dimasyqa, Haleb, Hijaz, dan Iskandariah. Beliau mengambil hadits dari ulama-ulama besar. Beliau memiliki banyak karya tulis dalam bidang hadits, di antaranya: al-Mughni ‘an Hamlil Asfaari fil Asfaari fii Takhriiji maa fil Ihyaa' minal Akhbaari, Taq-riibul Asaaniid dan syaratnya Tharhut Tatsriib. Beliau wafat pada tahun 806 H.
Lihat biografi beliau dalam Syadzaraatudz Dzahab (VIII/55-56) dan Muqaddimah kitab Tharhut Tatsriib (I/2-9) karya Syaikh Mahmud Hasan Rabi’.
[5]. Faidhul Qadiir (VI/418), lihat Fat-hul Baari (XIII/75-76).
[6]. HR. Ath-Thabrani di dalam al-Ausath, dan al-Bazzar dengan yang semisalnya, perawi keduanya adalah tsiqah, lihat Majma’uz Zawaadi (VII/284-285).
http://almanhaj.or.id/content/736/slash/0/50-51-mengharapkan-kematian-karena-beratnya-cobaan-banyaknya-jumlah-bangsa-romawi/
0 komentar:
Posting Komentar