Oleh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil.
27. ORANG TUA BERLAGAK SEPERTI ANAK MUDA.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa allam bersabda:
‘Akan ada di akhir zaman satu kaum yang menyemir rambut mereka dengan warna hitam bagaikan dada burung merpati, mereka tidak akan pernah mencium harumnya Surga.’” [1].
Apa yang diungkapkan dalam hadits di atas telah terjadi pada zaman sekarang ini. Telah tersebar di antara kaum pria, mereka menyemir jenggot juga rambut mereka dengan warna hitam.
Yang nampak bagi kami -wallaahu a’lam- sesungguhnya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ (seperti dada burung merpati) adalah serupa dengan keadaan sebagian kaum muslimin pada zaman sekarang ini. Anda bisa mendapati mereka, memperlakukan jenggot mereka seperti keadaan dada burung dara. Mereka mencukur sisinya dan membiarkan yang ada di bawah dagunya, kemudian menyemirnya dengan warna hitam sehingga jadilah ia seperti dada-dada burung dara.
Ibnul Jauzi [2] rahimahullah berkata, “Bisa jadi bahwa makna tidak mencium wanginya Surga karena perbuatan yang mereka lakukan, atau karena keyakinan dan bukan karena semata-mata memakai semir rambut. Bisa jadi semir rambut itu menjadi ciri bagi mereka sebagaimana ciri kaum Khawarij adalah membotaki rambut, walaupun pada dasarnya membotaki rambut bukanlah sesuatu yang diharamkan.” [3].
Kami katakan: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang menyemir rambut dan jenggot dengan warna hitam. Dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, dia berkata:
“Abu Quhafah didatangkan pada hari penaklukan Makkah dengan rambut dan jenggot yang berwarna putih seperti pohon ats-tsaghamah [4], lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Ubahlah (uban) ini dengan sesuatu dan jauhilah warna hitam!’”[5].
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir].
27. ORANG TUA BERLAGAK SEPERTI ANAK MUDA.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa allam bersabda:
يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ، كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ، لاَ يَرِيْحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ.
Apa yang diungkapkan dalam hadits di atas telah terjadi pada zaman sekarang ini. Telah tersebar di antara kaum pria, mereka menyemir jenggot juga rambut mereka dengan warna hitam.
Yang nampak bagi kami -wallaahu a’lam- sesungguhnya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ (seperti dada burung merpati) adalah serupa dengan keadaan sebagian kaum muslimin pada zaman sekarang ini. Anda bisa mendapati mereka, memperlakukan jenggot mereka seperti keadaan dada burung dara. Mereka mencukur sisinya dan membiarkan yang ada di bawah dagunya, kemudian menyemirnya dengan warna hitam sehingga jadilah ia seperti dada-dada burung dara.
Ibnul Jauzi [2] rahimahullah berkata, “Bisa jadi bahwa makna tidak mencium wanginya Surga karena perbuatan yang mereka lakukan, atau karena keyakinan dan bukan karena semata-mata memakai semir rambut. Bisa jadi semir rambut itu menjadi ciri bagi mereka sebagaimana ciri kaum Khawarij adalah membotaki rambut, walaupun pada dasarnya membotaki rambut bukanlah sesuatu yang diharamkan.” [3].
Kami katakan: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang menyemir rambut dan jenggot dengan warna hitam. Dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, dia berkata:
أُتِيَ بِأَبِي قُحَافَةَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ.
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir].
_______
Footnote
[1]. Musnad Imam Ahmad (IV/156, no. 247), tahqiq dan syarah Ahmad Syakir, beliau berkata, “Shahih.”
Sunan Abi Dawud, kitab at-Tarajjul, bab Ma Jaa-a fii Khudhaabis Sawaad (XI/ 266, ‘Aunul Ma’buud).
Ibnu Hajar berkata, “Isnadnya kuat, hanya saja ada perbedaan, apakah hadits ini mauquf atau marfu, lalu walaupun kita mengatakan bahwa hadits ini mauquf, maka hadits seperti ini tidak bisa diungkapkan dengan pendapat sehingga hukumnya adalah marfu’ (Fat-hul Baari VI/499).
Al-Albani berkata, “Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa-i, Ahmad, adh-Dhiya' dalam kitab al-Mukhtaarah juga yang lainnya yang tidak mungkin diungkapkan… dengan sanad yang shahih me-nurut syarat asy-Syaikhani.”
Lihat kitab Ghaayatul Maraam fi Takhriiji Ahaadiitsil Halaal wal Haraam (hal. 84), cet. al-Maktab al-Islami, cet. pertama (1400).
Hadits ini diungkapkan pula oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab al-Maudhu’aat (III/55), beliau meng-ungkapkan bahwa yang muttaham adalah ‘Abdul Karim bin Abil Mukhariq, dia adalah matruk (di-tinggalkan haditsnya).
Ibnu Hajar membantah, beliau berkata, “Beliau salah dalam masalah itu, karena sesungguhnya hadits yang datang dari riwayat ‘Abdul Karim al-Jazari at-Tsiqah dijadikan perawi di dalam kitab ash-Shahiih.
Kemudian beliau menuturkan para perawi hadits tersebut, lihat kitab al-Qaulul Musaddad (hal. 48-49) karya Ibnu Hajar.
Ibnu Jauzi diikuti pendapatnya oleh asy-Syaukani dalam masalah itu, beliau berkata dalam kitab al-Fawaa-idul Majmuu’ah, “Al-Quzwaini berkata, ‘Hadits maudhu’.’ Al-Fawaa-idul Majmuu’ah fil Ahaadiitsil Maudhuu’ah (hal. 510 no. 1420) dengan tahqiq ‘Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi, cet. II th. 1392 H, Beirut.
[2]. Beliau adalah al-Allamah Abul Faraj ‘Abdurrahman bin ‘Ali al-Jauzi al-Qurasy al-Baghdadi al-Hanbali, pengarang karya-karya tulis besar yang mencapai tiga ratus karya tulis dalam bidang hadits, nasihat, tafsir, sejarah dan yang lainnya. Wafat pada tahun 597 H.
Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (XIII/28-30), dan Muqaddimah kitab al-Maudhuu’aat (I/ 21-226) karya ‘Abdurrahman Muhammad ‘Utsman, disebar luaskan oleh Muhammad ‘Abdul Muhsin, cet. I th. 1386 H.
[3]. Al-Maudhuu’aat (III/55), karya Ibnul Jauzi.
Ibnul Jauzi berkata, “Ketahuilah sesungguhnya sekelompok Sahabat dan Tabi’in pernah menyemir rambut mereka. Di antara mereka adalah: al-Hasan, al-Husain, Sa’d bin Abi Waqqas, demikian pula banyak dari kalangan Tabi’in yang membotaki rambut mereka. Sebagian memakruhkannya hanya karena di dalamnya ada unsur penyamaran. Adapun jika mencapai derajat haram ketika tidak ada unsur penyamaran, maka pendapat ini perlu mendapat peringatan. Tidak ada seorang pun yang berpendapat demikian.” (Al-Maudhu’aat III/55).
An-Nawawi berkata, “Diharamkan memakai semir rambut berwarna hitam menurut pendapat yang paling benar, ada juga yang mengatakan hukumnya makruh tanzih, dan pendapat yang paling tepat adalah haram, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ.
‘Dan jauhilah warna hitam!’”
(Syarh Muslim XIV/80).
Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab al-Khidhaab dari az-Zuhri, beliau berkata, “Dahulu kami menyemir rambut dengan warna hitam ketika wajah masih cerah (muda) ketika wajah mulai keriput dan gigi telah rapuh (tua), maka kami meninggalkannya.” Fat-hul Baari (X/354-355).
Al-Albani berkata, “Yang jelas bahwa az-Zuhri tidak mengetahui sama sekali adanya hadits yang mengharamkannya, dia berpendapat hanya dengan perasaannya saja, bagaimana pun keadaannya, perkataan atau perbuatan seseorang bukanlah hujjah setelah adanya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi, hadits terdahulu merupakan hujjah yang membatalkan pendapat az-Zuhri juga yang lainnya.” Ghaayatul Maraam (hal. 84).
[4] (اَلثُّغَامَةُ) dengan tsa yang didhammahkan dan ghin yang berharakat: pohon yang sangat putih bunga dan buahnya, ada juga yang mengatakan pohon yang sangat putih bagaikan salju.
Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (I/214), dan Fat-hul Baari (X/355).
[5]. Shahiih Muslim, kitab al-Libaas waz Ziinah bab Istihbaabu Khidhaabis Syaib bi Shufratin au Humratin wa Tahriimuhu bis Sawaad (XIV/79, Syarh an-Nawawi).
http://almanhaj.or.id/content/3179/slash/0/26-28-pemutusan-silaturahmi-jeleknya-hubungan-bertetangga-orang-tua-berlagak-seperti-anak-muda/
Footnote
[1]. Musnad Imam Ahmad (IV/156, no. 247), tahqiq dan syarah Ahmad Syakir, beliau berkata, “Shahih.”
Sunan Abi Dawud, kitab at-Tarajjul, bab Ma Jaa-a fii Khudhaabis Sawaad (XI/ 266, ‘Aunul Ma’buud).
Ibnu Hajar berkata, “Isnadnya kuat, hanya saja ada perbedaan, apakah hadits ini mauquf atau marfu, lalu walaupun kita mengatakan bahwa hadits ini mauquf, maka hadits seperti ini tidak bisa diungkapkan dengan pendapat sehingga hukumnya adalah marfu’ (Fat-hul Baari VI/499).
Al-Albani berkata, “Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa-i, Ahmad, adh-Dhiya' dalam kitab al-Mukhtaarah juga yang lainnya yang tidak mungkin diungkapkan… dengan sanad yang shahih me-nurut syarat asy-Syaikhani.”
Lihat kitab Ghaayatul Maraam fi Takhriiji Ahaadiitsil Halaal wal Haraam (hal. 84), cet. al-Maktab al-Islami, cet. pertama (1400).
Hadits ini diungkapkan pula oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab al-Maudhu’aat (III/55), beliau meng-ungkapkan bahwa yang muttaham adalah ‘Abdul Karim bin Abil Mukhariq, dia adalah matruk (di-tinggalkan haditsnya).
Ibnu Hajar membantah, beliau berkata, “Beliau salah dalam masalah itu, karena sesungguhnya hadits yang datang dari riwayat ‘Abdul Karim al-Jazari at-Tsiqah dijadikan perawi di dalam kitab ash-Shahiih.
Kemudian beliau menuturkan para perawi hadits tersebut, lihat kitab al-Qaulul Musaddad (hal. 48-49) karya Ibnu Hajar.
Ibnu Jauzi diikuti pendapatnya oleh asy-Syaukani dalam masalah itu, beliau berkata dalam kitab al-Fawaa-idul Majmuu’ah, “Al-Quzwaini berkata, ‘Hadits maudhu’.’ Al-Fawaa-idul Majmuu’ah fil Ahaadiitsil Maudhuu’ah (hal. 510 no. 1420) dengan tahqiq ‘Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi, cet. II th. 1392 H, Beirut.
[2]. Beliau adalah al-Allamah Abul Faraj ‘Abdurrahman bin ‘Ali al-Jauzi al-Qurasy al-Baghdadi al-Hanbali, pengarang karya-karya tulis besar yang mencapai tiga ratus karya tulis dalam bidang hadits, nasihat, tafsir, sejarah dan yang lainnya. Wafat pada tahun 597 H.
Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (XIII/28-30), dan Muqaddimah kitab al-Maudhuu’aat (I/ 21-226) karya ‘Abdurrahman Muhammad ‘Utsman, disebar luaskan oleh Muhammad ‘Abdul Muhsin, cet. I th. 1386 H.
[3]. Al-Maudhuu’aat (III/55), karya Ibnul Jauzi.
Ibnul Jauzi berkata, “Ketahuilah sesungguhnya sekelompok Sahabat dan Tabi’in pernah menyemir rambut mereka. Di antara mereka adalah: al-Hasan, al-Husain, Sa’d bin Abi Waqqas, demikian pula banyak dari kalangan Tabi’in yang membotaki rambut mereka. Sebagian memakruhkannya hanya karena di dalamnya ada unsur penyamaran. Adapun jika mencapai derajat haram ketika tidak ada unsur penyamaran, maka pendapat ini perlu mendapat peringatan. Tidak ada seorang pun yang berpendapat demikian.” (Al-Maudhu’aat III/55).
An-Nawawi berkata, “Diharamkan memakai semir rambut berwarna hitam menurut pendapat yang paling benar, ada juga yang mengatakan hukumnya makruh tanzih, dan pendapat yang paling tepat adalah haram, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ.
‘Dan jauhilah warna hitam!’”
(Syarh Muslim XIV/80).
Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab al-Khidhaab dari az-Zuhri, beliau berkata, “Dahulu kami menyemir rambut dengan warna hitam ketika wajah masih cerah (muda) ketika wajah mulai keriput dan gigi telah rapuh (tua), maka kami meninggalkannya.” Fat-hul Baari (X/354-355).
Al-Albani berkata, “Yang jelas bahwa az-Zuhri tidak mengetahui sama sekali adanya hadits yang mengharamkannya, dia berpendapat hanya dengan perasaannya saja, bagaimana pun keadaannya, perkataan atau perbuatan seseorang bukanlah hujjah setelah adanya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi, hadits terdahulu merupakan hujjah yang membatalkan pendapat az-Zuhri juga yang lainnya.” Ghaayatul Maraam (hal. 84).
[4] (اَلثُّغَامَةُ) dengan tsa yang didhammahkan dan ghin yang berharakat: pohon yang sangat putih bunga dan buahnya, ada juga yang mengatakan pohon yang sangat putih bagaikan salju.
Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (I/214), dan Fat-hul Baari (X/355).
[5]. Shahiih Muslim, kitab al-Libaas waz Ziinah bab Istihbaabu Khidhaabis Syaib bi Shufratin au Humratin wa Tahriimuhu bis Sawaad (XIV/79, Syarh an-Nawawi).
http://almanhaj.or.id/content/3179/slash/0/26-28-pemutusan-silaturahmi-jeleknya-hubungan-bertetangga-orang-tua-berlagak-seperti-anak-muda/
0 komentar:
Posting Komentar