Bagi seorang anak, orang tua bisa menjadi ladang untuk menggali pahala akhirat sebanyak-banyaknya. Yaitu dengan cara berbakti, menghormati, mengasihi, dan juga merawatnya ketika orang tua mencapai usia lanjut. Namun sayang, tidak banyak yang mengetahui betapa besar nilai kebaktian seorang anak kepada orang tua.
Cerita Indah nan Penuh Pelajaran pada diri Nabi Ibrahim dan Bapaknya
Dalam edisi yang lalu telah digambarkan bagaimana besar hak kedua orang tua atas diri anak dikarenakan besarnya pengorbanan mereka terhadap anak-anaknya. Sehingga karena besarnya hak tersebut, Allah -subhanahu wataala- meletakkan hak keduanya setelah hak-Nya dan hak Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-.
Hal ini telah dijelaskan oleh Allah I di dalam firman-Nya:
Sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatupun
dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.”
(An-Nisa: 36).
- Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t mengatakan: “Ayat ini merupakan dalil bahwa kedudukan hak orang tua adalah setelah hak Allah I. Jika dikatakan mana hak Rasul? Saya katakan: Pada hak Allah I sudah tercakup hak Rasulullah n. Sebab ibadah kepada Allah I tidak bisa diwujudkan melainkan dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah n.” (Al-Qaulul Mufid, 1/37).
- Siapakah yang dimaksud kedua orang tua di dalam ayat tersebut? Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t menjelaskan: “(Kata) walidain mencakup ibu, bapak dan seterusnya (garis keturunan) ke atas. Akan tetapi kepada ibu dan bapak yang lebih (ditekankan). Dan semakin dekat hubungannya, maka (penekanan) untuk berbuat baik juga lebih kuat.” (Al-Qaulul Mufid, 1/37)
Untukmu, Wahai Orang Tuaku
1. Durhaka kepadamu berdua termasuk dosa besar dan mengakibat-kan masuk ke dalam neraka.
- Diriwayatkan dari Abud Darda` z bahwa Rasulullah n bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang durhaka, orang yang beriman dengan sihir, orang yang kecanduan khamr, dan orang yang mendustakan taqdir.” [1].
- Diriwayatkan juga dari Al-Mughirah bin Syu’bah z, dia berkata: Nabi n bersabda:“Sesungguhnya Allah telah mengha-ramkan atas kalian kedurhakaan kepada ibu-ibu kalian, mengharamkan mengubur hidup anak-anak wanita, bakhil, rakus dan Allah membenci kalian untuk mengatakan katanya-katanya, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.” [2].
- Diriwayatkan dari Anas z: “Rasulullah n ditanya tentang dosa-dosa besar, beliau n menjawab: ‘Menyeku-tukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa, dan persaksian palsu’.” [3].
- Diriwayatkan dari Abu Bakrah z: Rasulullah n bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar?” Beliau mengulanginya tiga kali. Lalu mereka berkata: “Iya, wahai Rasululah.” Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua.” Beliau lalu duduk yang tadinya ittika` seraya mengatakan: “Ketahuilah (termasuk juga) persaksian palsu.” Abu Bakrah berkata: “Rasulullah n terus mengulanginya sehingga kami mengatakan: ‘Duhai seandainya beliau berhenti’.” [4].
- Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr, dari Nabi n, beliau bersabda: “Dosa-dosa besar adalah menyekutu-kan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa, dan sumpah palsu.” [5].
- Diriwayatkan dari Abu Bakrah z bahwa Rasulullah n bersabda: “Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan adzabnya oleh Allah di dunia, bersamaan dengan adzab yang Allah simpan untuk di akhirat nanti, daripada perbuatan dzalim dan memutuskan hubungan silaturrahim.” [6].
2. Mencela mereka berdua termasuk kedurhakaan dan perbuatan yang mendatangkan kutukan Allah -azza wa jalla-.
- Allah I berfirman: “Dan apabila keduanya telah lanjut usia atau salah satu dari keduanya, maka janganlah kamu mengatakan kepada mereka berdua “ah” dan jangan kamu menghardik-nya, dan katakanlah ucapan yang baik. Rendahkan sayap kehinaanmu di hadapan keduanya dan katakanlah: ‘Wahai Rabbku, berikanlah kepada keduanya kasih sayang sebagaimana dia berdua telah memeliharaku semenjak kecilku’.” (Al-Isra`: 24).
- Diriwayatkan dari Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah, ia berkata: “Di saat saya berada di sisi ‘Ali bin Abu Thalib, seseorang mendatangi beliau dan berkata: “Apakah Rasulullah n tidak pernah merahasiakan sesuatu kepadamu?” (‘Amir bin Watsilah) berkata: Lalu ‘Ali marah dan berkata: “‘Rasulullah n tidak pernah mera-hasiakan sesuatupun kepadaku yang beliau sembunyikan dari orang lain, hanya saja beliau menyampaikan empat kalimat kepada-ku.” Lalu orang itu berkata: “Apa keempat perkara itu, wahai Amirul Mukminin?” ‘Ali berkata: ‘Rasulullah n bersabda: ‘Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang yang menyem-belih untuk selain Allah, Allah melaknat orang yang melindungi pelaku bid’ah dan Allah melaknat orang yang mengubah patok bumi’.” [7].
- Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash c, bahwasanya Rasulullah n bersabda: “Termasuk dosa besar adalah sese-orang mencaci kedua orang tuanya.” (Para shahabat) berkata: ‘Ya Rasulullah, apakah seseorang (tega) mencaci kedua orang tuanya?’ Rasulullah n menjawab: ‘Iya. (Yaitu dengan cara) dia mencaci bapak orang lain lalu orang lain itu membalas mencaci bapaknya, dia mencaci ibu orang lain kemudian orang itu balas mencaci ibunya.” [8].
3. Doa engkau berdua wahai ibu dan bapakku, cepat diterima oleh Allah I. Maka doakanlah agar hidayah Allah I tercurah padaku dan janganlah berdoa kutukan untukku.
- Hal ini telah diperingatkan oleh Allah I melalui lisan Rasul-Nya Muhammad n dalam sebuah sabdanya: “Jangan kalian berdoa kejelekan untuk diri kalian, dan jangan berdoa kejelekan untuk anak-anak kalian, dan jangan berdoa kejelekan untuk harta benda kalian, karena tidaklah kalian bertemu dengan waktu yang mustajab (bila minta kepada Allah pasti akan dikabulkan) melainkan Allah mengabulkan doa kalian.” [8].
- Bila engkau tersakiti oleh putra putrimu, janganlah segera berdoa kejelekan buat mereka. Karena doa kedua orang tua termasuk sederetan doa yang mustajab, sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah n dalam sebuah sabda beliau dalam hadits Abu Hurairah z: “Tiga doa yang mustajab (dikabulkan) dan tidak ada keraguan padanya (yaitu) doa orang tua, doa orang yang sedang safar dan doa orang yang terdzalimi.” [9].
4. Bila engkau telah tiada, baktiku akan sampai kepadamu.
Hal ini telah di jelaskan oleh Rasulullah n di dalam sabda-sabdanya berikut:
- Dari Abu Hurairah z, bahwasanya Rasulullah n bersabda: “Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya melainkan tiga perkara (yaitu) shadaqah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan anak yang shalih yang mendoakan (kebaikan) baginya.” [10].
- Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c: “Seseorang berkata kepada Rasulullah n: ‘Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia. Apakah akan bermanfaat baginya jika aku bersedekah atas namanya?’ Beliau men-jawab: ‘Iya.’ Orang itu berkata: ‘Sesungguh-nya aku memiliki kebun yang sudah berbuah dan saya mengangkatmu menjadi saksi bahwa aku telah menyedekahkannya untuk ibuku.”[11].
5. Jika engkau berdua kafir kepada Allah I, maka dengarlah nasihat dari Rabbku kepadamu!
“Dan Kami telah wasiatkan kepada manusia agar berbuat baiklah kepada kedua orang tua, dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan-Ku dan kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, maka janganlah kamu menaati keduanya dan kepadaku kalian akan dikembalikan dan Aku akan mengabarkan kepada kalian apa yang telah kalian perbuat.” (Al-’Ankabut: 8). “Dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan-Ku sedangkan kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, maka janganlah kalian menaati keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik.” (Luqman: 15).
- Diriwayatkan dari Asma` bintu Abu Bakr c, dia berkata: “Ibuku datang menjengukku dan dia dalam keadaan musyrik di masa Rasulullah n. Kemudian aku bertanya kepada Rasulullah n dan aku mengatakan: ‘Dia sangat berkeinginan (untuk bertemu denganku), apakah aku boleh menyambung hubungan dengan ibuku?’ Rasulullah n bersabda: ‘Iya, sambunglah hubungan dengan ibumu’.”[12].
- Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah (putri Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wad’i) berkata: “Jika seorang wanita memiliki salah satu dari mahramnya atau keluarganya kafir, dia boleh berbuat baik kepadanya. Dalilnya adalah firman Allah I: “Allah tidak melarang kalian dari orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian dalam agama dan tidak mengusir kalian dari negeri-negeri kalian untuk kalian berbuat baik kepada mereka dan berbuat adil terhadap mereka. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.” (Al-Mumtahanah: 8). Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan: “Allah I tidak melarang kalian untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian dalam agama, seperti kaum wanita dan orang-orang lemah dari mereka; (untuk kalian berbuat baik kepada mereka) dan (kalian berbuat adil).” Lalu beliau menyebutkan hadits Asma` bintu Abu Bakr di atas. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/363). Kemudian Allah I menjelaskan tentang orang kafir yang kita tidak boleh berbuat baik kepada mereka: “Sesungguhnya Allah melarang kalian (untuk berbuat baik) kepada orang-orang kafir yang memerangi kalian dalam agama dan mengeluarkan kalian dari negeri-negeri kalian dan mereka dengan terang-terangan mengusir kalian untuk kalian berloyalitas kepada mereka. Dan barangsiapa yang berloyalitas kepada mereka maka merekalah orang-orang yang berbuat aniaya.” (Al-Mumtahanah: 9). Ibnu Katsir menjelaskan: “Sesungguh-nya Allah I melarang kalian dari berloyalitas kepada mereka yang memancangkan permusuhannya kepada kalian, memerangi kalian, dan mengusir kalian dengan terang-terangan. Allah I melarang kalian mencintai mereka, dan memerintahkan agar kalian memerangi mereka.”.
- Sa’d bin Abi Waqqash z berkata: “Telah turun empat ayat dalam Al-Qur`an berkaitan denganku: Pertama: Ibuku bersumpah tidak akan makan dan minum sampai aku meninggal-kan Muhammad. Maka turunlah ayat:“Dan jika kedunya memaksamu untuk menyekutukan aku sedangkan kamu tidak memiliki ilmu tentangnya maka janganlah kalian menaati keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik.” (Luqman: 15). Kedua: Sesungguhnya dulu aku pernah mengambil pedang yang sangat aku inginkan, lalu aku berkata: “Ya Rasulullah, berikan aku ini.” Lalu turunlah: “Mereka akan meminta kepadamu harta rampasan perang.” (Al-Anfal: 1). Ketiga: Aku sakit, lalu Rasulullah n menjengukku. Lalu aku mengatakan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku ingin mem-bagikan hartaku. Apakah aku boleh berwasiat dengan setengah hartaku?” Rasulullah n menjawab: “Tidak.” Lalu aku berkata: “Sepertiganya?” Lalu beliau diam, maka sepertiga (harta) setelah itu boleh (diwasiatkan). Keempat: Sesungguhnya aku minum khamr bersama sekelompok Anshar. Lalu seseorang dari Anshar memukul hidungku dengan rahang unta. Lalu aku mendatangi Rasulullah n, setelah itu Allah menurunkan ayat tentang hukum haramnya khamr.[13].
6. Jika engkau mati dalam keadaan musyrik, engkau tidak menda-patkan baktiku untuk mendoakanmu.
Allah I menjelaskan dalam sebuah firman-Nya: “Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampun bagi kaum musyrikin walaupun mereka adalah kerabat yang paling dekat setelah jelas baginya bahwa mereka menjadi penghuni neraka Jahim (mati dalam keadaan kafir).” (At-Taubah: 113).
Cerita Indah nan Penuh Pelajaran pada diri Nabi Ibrahim dan Bapaknya
Allah -subhanahu wataala- berfirman: “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al-Qur`an) ini, sesungguhnya dia adalah orang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. Ingatlah ketika dia berkata kepada bapaknya: ‘Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak bisa menolongmu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, jangan kamu menyembah setan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Rabb Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Rabb yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.’ Bapaknya: ‘Bencikah kamu kepada sesembahan-sesembahanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan aku rajam dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.’ Ibrahim berkata: ‘Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Rabbku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa berdoa kepada Rabbku.’ Maka ketika Ibrahim telah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishaq dan Ya’qub, dan masing-masing kami angkat menjadi nabi. Dan kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka menjadi buah tutur yang baik lagi tinggi.” (Maryam: 41-48).
Faedah yang terkandung dalam kisah Ibrahim Abul Muwahhidin (bapak orang-orang yang bertauhid):
- Bersemangat dalam berdakwah kepada Allah I, baik kepada keluarga yang dekat atau yang jauh, terlebih lagi kepada kedua orang tua.
- Bersabar dalam menerima segala ujian di jalan dakwah.
- Memakai uslub (metode) lemah lembut dalam berdakwah, terlebih kepada orang tua. Di dalam ayat ini Allah I mencontohkan sikap lemah lembut di dalam dakwah di mana Nabi Ibrahim tidak mengajak bicara bapaknya dengan kata: “Wahai bapakku, saya ini orang pintar dan kamu orang bodoh,” atau mengatakan “Kamu tidak punya ilmu sedikitpun.” Namun beliau memakai bentuk pembica-raan dengan kata yang menunjukkan bahwa beliau dan bapaknya mempunyai ilmu, namun ilmu yang sampai kepada beliau belum sampai kepada bapaknya.
- Allah I telah memerintahkan kita untuk mengikuti millah (agama) Nabi Ibrahim. Di antara bentuk mengikuti millah-nya adalah menempuh jalan beliau dalam berdakwah kepada Allah I, dengan jalan ilmu dan hikmah, lemah lembut lagi penuh kemudahan. Secara bertahap dari satu tingkatan kepada tingkatan yang lain, bersabar di jalan dakwah itu, tidak bosan, bersabar dari segala gangguan makhluk yang diarahkan kepadanya, baik dengan ucapan atau perbuatan. Sebaliknya, memberikan ampunan dan maaf serta gampang berbuat baik dengan ucapan atau perbuatan. (lihat Tafsir As-Sa’di, hal. 443-444).
Allah -subhanahu wataal- berfirman: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (Ingatlah) ketika ia datang kepada Rabbnya dengan hati yang suci. (Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Apakah yang kamu sembah itu? Apakah kamu menghendaki sesembahan-sesem-bahan selain Allah dengan jalan berbohong? Maka apakah anggapanmu terhadap Rabb semesta alam?’ Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata: ‘Sesungguhnya aku sakit.’ Lalu mereka berpaling darinya dengan membe-lakang. Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata: ‘Apakah kamu tidak makan? Kenapa kamu tidak menjawab?’ Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat). Kemudian kaumnya datang kepadanya dengan bergegas. Ibrahim berkata: ‘Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.’ Mereka berkata: ‘Diri-kanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim; lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala itu.’ Mereka hendak melakukan tipu muslihat kepadanya, maka Kami jadikan mereka orang-orang yang hina. Dan Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia akan memberi petunjuk kepa-daku. Ya Rabbku, anuge-rahkanlah kepadaku (seorang anak) yang terma-suk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira de-ngan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,’ sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.’ Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan kelahiran Ishaq, seorang nabi yang termasuk orang-orang yang shalih. Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata.” (Ash-Shaffat: 83-113).
Faedah yang diambil dalam kisah Isma’il:
- Sifat-sifat terpuji yang dimiliki oleh beliau di antaranya al-hilm. Sifat ini men-cakup kesabaran, akhlak yang baik, dada yang lapang dan memberikan maaf kepada siapa yang berbuat ani-aya kepadanya.
- Kesa-baran dalam mewujudkan ketaatan kepada Allah I.
- Keberanian yang sejati dalam menjunjung tinggi amanat Allah I.
- Keyakinan yang tinggi dalam melaksanakan perintah yang sangat berat.
- Anak yang shalih tidak akan menghalangi orang tuanya untuk melaksanakan perintah.
- Ketabahan dan kesabaran dalam melaksanakan tugas dari Allah I akan mendapatkan ganjaran yang besar, baik di dunia ataupun di akhirat. Allah I mengangkat penyebutan sang anak dan sang bapak dengan pujian yang tinggi sampai hari kiamat.
- Keberkahan hidup akan didapat dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. (lihat Tafsir As-Sa’di hal. 651-652).
- HR. Al-Imam Ahmad (no. 26212), Al-Imam An-Nasa‘i (no. 5577) dari shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c dengan lafadz yang lain dan ada tambahan. Juga dari shahabat Abdullah bin ‘Umar c dalam riwayat Ahmad (no. 5839) dan dari shahabat Abu Musa Al-Asy’ari z dalam riwayat Al-Imam Ahmad (no. 18747), dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam kitab beliau Shahihul Jami’ (5/191).
- HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593.
- HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5977 dan Muslim no. 127
- HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5976 dan Muslim no.126
- HR. Al-Imam At-Tirmidzi no. 2947
- HR. Al-Imam Abu Dawud no. 4256, At-Tirmidzi no. 2435, dan Ibnu Majah no. 4021 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 915 dan 976) dan dalam Shahih Adabul Mufrad no. 23
- HR. Al-Imam Muslim no. 3658
- HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5516 dan Muslim no. 6243
- HR. Al-Imam Abu Dawud no. 1313, At-Tirmidzi no. 3370, Ibnu Majah no. 3852 dan Al-Bukhari dalam Al-Adab (no. 32) dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Ash-Shahihah no. 598 dan dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 43.
- HR. Al-Imam Muslim no. 3084
- HR. Al-Imam Abu Dawud no. 2496 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud (no. 2566) dan dalam kitab Shahih Al-Adabul Mufrad hal. (no???) 46.
- HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5978 dan Muslim no. 1671
- HR. Al-Imam Muslim no. 4432 dan Al-Bukhari dalam Al-Adab no. 24.
0 komentar:
Posting Komentar