Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah ditanya mengenai maksud dari sikap pertengahan dalam beragama. Beliau menjawab:
Sikap pertengahan dalam beragama adalah sikap tidak ghuluw (ekstrem) dalam beragama, yaitu melewati batasan yang ditetapkan Allah Azza Wa Jalla, namun juga tidak kurang dari batasan yang ditetapkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Bersikap pertengahan dalam beragama yaitu dengan meneladai jalan hidup Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Sedangkan sikap ghuluw, adalah melebihi dari apa yang beliau ajarkan. Dan taqshiir adalah yang melakukan kurang dari apa yang beliau ajarkan.
Contohnya, seseorang mengatakan: ‘Saya ingin shalat malam dan tidak tidur setiap hari, karena shalat adalah ibadah yang paling utama maka saya ingin sepanjang malam saya dalam keadaan shalat‘.
Maka kita katakan bahwa sikap ini adalah sikap ghuluw dalam beragama dan tidak benar. Hal yang semisal ini pun pernah terjadi di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam,
“Sekelompok orang berkumpul membicarakan sesuatu. Lelaki pertama berkata, saya akan shalat malam dan tidak tidur. Yang lain berkata, saya akan puasa dan tidak berbuka. Yang ketiga berkata, saya tidak akan menikah. Perkataan mereka ini sampai kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam . Kemudian beliau berkata, kenapa ada orang-orang yang begini dan begitu?! Aku shalat malam tapi juga tidur, aku puasa tapi juga berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, dia tidak di atas jalanku” (HR. Bukhari-Muslim).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berlepas diri dari mereka yang ghuluw karena mereka tidak menyukai sunnah Nabi, diantara yaitu puasa dan berbuka, shalat malam dan tidur, serta menikah dengan para wanita.
Sedangkan al muqashir (orang yang meremehkan) adalah orang yang berkata: “Saya tidak butuh shalat sunnah, saya cukup shalat wajib saja”. Bahkan terkadang mereka meremehkan perkara-perkara yang wajib. Inilah al muqashir.
Adapun al mu’tadil (orang yang bersikap pertengahan) adalah orang yang menerapkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para khulafa ar rasyidin.
Contoh lain, ada 3 orang yang sedang membahas seorang yang fasiq di depan mereka.
Contoh ketiga, ada lelaki yang sudah berkeluarga, ia dikendalikan sesuai keinginan istrinya. Suaminya tidak menentang perbuatan dosa yang dilakukan istrinya dan tidak menyemangatinya untuk berbuat kebaikan. Istrinya telah menguasai akalnya dan jadilah sang istri ‘pemimpin’ dalam rumah tangganya.
Lelaki yang lain, kasar, angkuh, dan merasa tinggi di hadapan istrinya. Tidak peduli pada istrinya dan memperlakukan istrinya seolah istrinya lebih rendah dari pada pembantu. Lelaki yang ketiga adalah lelaki yang bersikap pertengahan. Ia bersikap sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya:
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 228).
“Janganlah seorang mu’min membenci seorang mu’minah. Jika ia tidak menyukai salah satu sifatnya, hendaklah ia menyenangi sifat yang lainnya” (HR. Muslim).
Lelaki yang terakhir tadi adalah yang mutawashith, yang pertama itu ghaalin dalam bermuamalah dengan istrinya sedangkan yang kedua muqashir. Demikian juga ini berlaku dalam seluruh amal ibadah dan muamalah.
[Majmu' Fatawa War Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 1/43, Asy Syamilah ].
—
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
http://muslim.or.id/manhaj/sikap-pertengahan-dalam-beragama.html
Sikap pertengahan dalam beragama adalah sikap tidak ghuluw (ekstrem) dalam beragama, yaitu melewati batasan yang ditetapkan Allah Azza Wa Jalla, namun juga tidak kurang dari batasan yang ditetapkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Bersikap pertengahan dalam beragama yaitu dengan meneladai jalan hidup Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Sedangkan sikap ghuluw, adalah melebihi dari apa yang beliau ajarkan. Dan taqshiir adalah yang melakukan kurang dari apa yang beliau ajarkan.
Contohnya, seseorang mengatakan: ‘Saya ingin shalat malam dan tidak tidur setiap hari, karena shalat adalah ibadah yang paling utama maka saya ingin sepanjang malam saya dalam keadaan shalat‘.
Maka kita katakan bahwa sikap ini adalah sikap ghuluw dalam beragama dan tidak benar. Hal yang semisal ini pun pernah terjadi di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam,
اجتمع نفر فقال بعضهم: أنا أقوم ولا أنام، وقال الآخر: أنا أصوم ولا أفطر، وقال الثالث: أنا لا أتزوج النساء،
فبلغ ذلك النبي، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فقال، عليه الصلاة والسلام: ” ما بال أقوامٍ يقولون كذا وكذا أنا أصوم وأفطر، وأقوم، وأنام، وأتزوج النساء، فمن رغب عن سنتي فليس مني
“Sekelompok orang berkumpul membicarakan sesuatu. Lelaki pertama berkata, saya akan shalat malam dan tidak tidur. Yang lain berkata, saya akan puasa dan tidak berbuka. Yang ketiga berkata, saya tidak akan menikah. Perkataan mereka ini sampai kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam . Kemudian beliau berkata, kenapa ada orang-orang yang begini dan begitu?! Aku shalat malam tapi juga tidur, aku puasa tapi juga berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, dia tidak di atas jalanku” (HR. Bukhari-Muslim).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berlepas diri dari mereka yang ghuluw karena mereka tidak menyukai sunnah Nabi, diantara yaitu puasa dan berbuka, shalat malam dan tidur, serta menikah dengan para wanita.
Sedangkan al muqashir (orang yang meremehkan) adalah orang yang berkata: “Saya tidak butuh shalat sunnah, saya cukup shalat wajib saja”. Bahkan terkadang mereka meremehkan perkara-perkara yang wajib. Inilah al muqashir.
Adapun al mu’tadil (orang yang bersikap pertengahan) adalah orang yang menerapkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para khulafa ar rasyidin.
Contoh lain, ada 3 orang yang sedang membahas seorang yang fasiq di depan mereka.
- Yang pertama mengatakan: ‘Saya tidak akan memberi salam pada orang fasiq ini. Akan saya boikot dia, saya jauhi dan saya tidak mau bicara dengannya’.
- Orang kedua mengatakan: ‘Saya akan berjalan bersama orang fasiq ini, bermuka cerah di hadapannya, mengundangnya ke rumah saya, saya pun memenuhi undangannya, dan sikap saya terhadapnya sama seperti sikap saya terhadap orang shalih’.
- Orang ketiga mengatakan: ‘Orang fasiq ini, saya benci dia karena perbuatan fasiqnya. Namun saya masih cinta dia karena imannya. Saya tidak akan memboikot dia kecuali jika memang diboikot ia menjadi lebih baik. Namun kalau boikot saya itu malah menambah kefasikannya, maka saya tidak boikot dia’.
Contoh ketiga, ada lelaki yang sudah berkeluarga, ia dikendalikan sesuai keinginan istrinya. Suaminya tidak menentang perbuatan dosa yang dilakukan istrinya dan tidak menyemangatinya untuk berbuat kebaikan. Istrinya telah menguasai akalnya dan jadilah sang istri ‘pemimpin’ dalam rumah tangganya.
Lelaki yang lain, kasar, angkuh, dan merasa tinggi di hadapan istrinya. Tidak peduli pada istrinya dan memperlakukan istrinya seolah istrinya lebih rendah dari pada pembantu. Lelaki yang ketiga adalah lelaki yang bersikap pertengahan. Ia bersikap sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 228).
لا يفرك مؤمن مؤمنة إن كره منها خلقا رضي منها خلقا آخر
“Janganlah seorang mu’min membenci seorang mu’minah. Jika ia tidak menyukai salah satu sifatnya, hendaklah ia menyenangi sifat yang lainnya” (HR. Muslim).
Lelaki yang terakhir tadi adalah yang mutawashith, yang pertama itu ghaalin dalam bermuamalah dengan istrinya sedangkan yang kedua muqashir. Demikian juga ini berlaku dalam seluruh amal ibadah dan muamalah.
[Majmu' Fatawa War Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 1/43, Asy Syamilah ].
—
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
http://muslim.or.id/manhaj/sikap-pertengahan-dalam-beragama.html
0 komentar:
Posting Komentar