Fatwa As-Syaikh Rabi' Seputar Jin dan Ruqyah

1. Apakah boleh berdialog dengan jin yang muslim (dalam ruqyah)?
Jawab : Tidak boleh, darimana kamu tahu bahwa dia itu muslim? Boleh jadi dia adalah munafik atau kafir, namun ia mengatakan, “Saya muslim”. Kamu tidak mengetahui hakikat jin dan engkau tidak pula mengetahui perkara yang ghaib. Maka hal tersebut tidak diperbolehkan -semoga Allah memberkahimu-.


Jika ada seorang manusia di hadapanmu yang mengaku muslim, maka terkadang engkau akan menghukuminya (sebagai seorang muslim) sebagaimana lahiriahnya. Engkau melihatnya melakukan shalat dan ibadah lainnya, namun engkau tetap tidak mengetahui tentang dirinya (secara bathiniah yang tersembunyi darinya). Akan tetapi jin yang merasuk ke dalam tubuh manusia, kemudian dia berkata kepadamu, “Saya muslim”, padahal boleh jadi dia itu fajir.

Maka tidak ada sedikitpun alasan untuk memberatkan diri (takalluf) dalam masalah ini (ruqyah), apa yang membuat kamu menjadi takalluf wahai saudaraku? Masih banyak rumah sakit yang terbuka. Dan apabila orang yang sakit itu mau bersabar, maka Allah -Azza wa Jalla- akan memberikan pahala kepadanya.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah didatangi oleh seorang yang buta, ia meminta agar Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mendoakan kesembuhan baginya, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ، وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ

“Jika engkau ingin maka saya akan berdoa untukmu dan jika engkau ingin maka engkau bersabar saja”. Dan seorang perempuan pernah datang kepada beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya ditimpa penyakit ayan, maka berdo’alah kepada Allah untuk (kesembuhan)ku”. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepadanya:

إِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ لَكِ، وَإِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ.

“Jika engkau ingin maka saya akan berdoa untukmu dan jika engkau ingin maka engkau bersabar saja, maka engkau akan memperoleh surga”.
 
Maka dalam kejadian di atas tidak terdapat sama sekali sifat takalluf (dari Nabi-pent.) seperti (sikapmu) ini. Apakah engkau lebih penyayang dibandingkan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-?!`.

Allah telah menguji para hambanya dengan berbagai macam penyakit:

مَا مِنْ شَيْءٍ يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ نَصَبٍ، وَلاَ حَزَنٍ، وَلاَ وَصَبٍ، حَتَّى الْهَمُّ يُهِمُّهُ؛ إِلاَّ يُكَفِّرُ اللهُ بِهِ عَنْهُ سِيِّئَاتِهِ.
 
“Tidak satupun menimpa seorang mukmin berupa musibah, kesedihan, penyakit, sampai duri yang menusuknya melainkan Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahannya”.
 
Maka seorang mukmin yang ditimpa penyakit, dia akan diberikan pahala jika dia bersabar, “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,” Yakni: Seperti penyakit-penyakit ini. “Mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun [Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan akan hanya akan kembali kepada-Nya]“. (QS. Al-Baqarah: 155-166).
 
Dan Ar-Rasul -’alaihis sholatu wassalam- bersabda tentang 70.000 orang yang masuk surga (tanpa hisab):

لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Mereka tidak minta diruqyah, tidak pula berobat dengan besi panas, dan mereka bertawakkal hanya kepada Rabb mereka”.
Dia tidak minta dari siapa pun (agar dirinya) diruqyah. Orang yang pergi meminta ruqyah, maka hal tersebut mengurangi keimanan dan ketawakkalannya kepada Allah -Azza wa Jalla- . Maka ajarilah dia dan katakan kepadanya, “Bersabarlah kamu, dan janganlah minta diruqyah, serta berserah dirilah kepada Allah dan berdoalah kepada-Nya, karena ruqyah merupakan bentuk permintaan (doa kepada Allah). Karenanya, hal tersebut (meminta untuk diruqyah) pasti memberikan pengaruh dalam masalah ketawakkalan kepada Allah -Azza wa Jalla-. Oleh karena itulah, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Mereka tidak minta diruqyah”, karena minta diruqyah akan mengurangi keimanan dan ketawakkalannya (kepada Allah).

Seorang mukmin dalam kehidupannya akan diuji dengan berbagai macam penyakit, bencana, dan musibah, agar Allah mengangkat derajatnya jika ia bersabar -semoga Allah memberkahi kalian-.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Maka barangsiapa yang bersabar, maka baginyalah (pahala) kesabaran dan barangsiapa yang marah, maka baginya kemurkaan (dari Allah)”.


Maka seorang mukmin wajib untuk bersabar atas ketentuan-ketentuan Allah. Apabila seseorang diangkat naik ke derajat keridhaan dengan ketetapan Allah -Azza wa Jalla-, maka itu adalah jenjang yang paling tinggi dalam keimanan, insya Allah. Maka kesabaran merupakan perkara yang wajib, sedangkan keluh kesah adalah perkara yang haram. Tidak boleh berkeluh kesah terhadap ketentuan-ketentuan Allah -Subhanahu wa Ta’ala-.

قُلْ لَنْ يُصِيْبَنَا إِلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا
“Katakanlah sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami.” (QS. At-Taubah: 51).

Jika Allah menghendaki ketidaksembuhanmu, maka ruqyah ataupun selainnya, tidaklah bermanfaat bagimu. Segala sesuatu berada di bawah keinginan dan kehendak Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Seorang mukmin harus menyerahkan urusannya kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dan wajib atasnya untuk beriman terhadap takdir dan ketentuan Allah, serta dia bersabar di atasnya -semoga Allah memberkahimu-.

Apabila Allah memberikan taufiq, untuk mengangkatnya ke derajat ridha, inilah perkara yang dicari -semoga Allah memberkahimu-. Apabila dia suka untuk berobat, maka dia berobat dan apabila dia minta untuk diruqyah, maka hal tersebut bukanlah perkara yang haram, akan tetapi ia merupakan perkara yang makruh dan akan mengurangi derajatnya (di sisi Allah) -semoga Allah memberkahimu-.

Adapun orang yang bersedia untuk meruqyah dan ia melakukannya supaya dirinya menjadi terkenal, bahkan sebagian mereka menyebarkannya pada selebaran-selebaran dan sebagian mereka membangun perkantoran-perkantoran (klinik ruqyah). Mereka itulah para penipu yang menonjolkan dirinya untuk suatu pekerjaan yang bukan tugasnya. Demi Allah, orang yang mengangkat dirinya untuk meruqyah adalah orang yang tertuduh, tertuduh dalam agamanya. Apa yang mengantarkannya untuk melakukan hal ini? Engkau wahai saudaraku, adalah salah satu dari sekian banyak kaum muslimin. Apakah dia (ruqyah) khususiyah (kemampuan khusus) yang datang kepadamu? Di dalamnya ada yang lebih bertakwa, lebih afdhal dan lebih alim daripadamu. Bagaimana khususiyah ini datang hanya untukmu, kemudian engkau tidak mau mencukupkan dengan ruqyah syar’iyah, bahkan engkau pergi kepada sesuatu dan hal-hal yang engkau bisa terpedaya olehnya? Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita seluruhnya.

2. Bolehkah meruqyah orang kafir?
Jawab: Boleh. Abu Said -radhiallahu ‘anhu- pernah meruqyah orang yang kafir, tatkala beliau dan sahabat yang lain keluar dalam suatu perjalanan dan melewati perkampungan Arab. Awalnya mereka meminta agar dijamu sebagai tamu, namun penduduk kampung tersebut enggan menjamu mereka. Selang beberapa waktu kemudian, pemimpin kaum tersebut disengat (kalajengking), maka penduduk kampung tersebut mendatangi para shahabat dan berkata, “Sesungguhnya pemimpin kaum disengat (kalajengking), apakah di antara kalian ada yang bisa meruqyah? Sahabat berkata, “Demi Allah kami telah meminta jamuan kepada kalian, namun kalian tidak menjamu kami, maka kami tidak akan meruqyahnya sampai kalian memberikan upah kepada kami”. Maka merekapun memberi upah beberapa ekor kambing. Kemudian salah seorang sahabat (Abu Sa’id) meruqyah pemimpin mereka dengan Al-Fatihah, sampai akhirnya orang itu sembuh dan lepas dari racun tersebut. Orang-orang yang meruqyah tersebut harus ikhlas, tulus dalam hatinya -semoga Allah memberkahi kalian- Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- membenarkan ruqyah (Abu Said) tersebut.


Sekarang kebanyakan orang yang meruqyah, mereka mengambil upah dan harta dari manusia -sekalipun mereka belum bisa memberikan faedah kepada (baca: menyembuhkan) mereka-. Seorang boleh mengambil upah atas ruqyah dengan syarat sembuhnya orang yang diruqyah, sebagaimana keterangan dalam hadits, “Seketika itu pula pemimpin kampung itu sembuh dan lepas dari ikatan, maka para sahabatpun mengambil upahnya”. Andaikata dia tidak sembuh, maka mereka (para shahabat) tidak mungkin bisa mengambil upah.

Sekarang ini orang yang meruqyah tamak terhadap harta, diapun mendatangi orang yang sakit dengan penyakitnya dan orang yang tertimpa musibah dengan musibahnya. Sekalipun dia tidak menyembuhkannya dia tetap mengambil hartanya (upah ruqyahnya). Maka harta/upah yang dia ambil tersebut adalah harta/upah yang haram. -semoga Allah memberkahimu-.

3. Apa hukum membacakan Al-Qur’an pada air?
Jawab: Tidak sepantasnya dilakukan, walaupun para ulama berpendapat dengannya, namun tidak ditemukan dalil atasnya. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak pernah melakukannya, demikian pula para shahabat -semoga Allah memberkahi kalian-. Mereka yang membolehkan hal tersebut tidak mempunyai satu dalil pun (yang bisa dipegang), sementara mereka mengetahui bahwa kami tidak akan menerima suatu pendapat, kecuali disertai dengan dalilnya. Maka setiap orang diambil perkataannya dan ditolak kecuali Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.

4. Bolehkah orang yang belum benar bacaan Al-Qur’annya meruqyah?
Jawab: Boleh baginya untuk meruqyah jika dia merasa berat kepada hal tersebut. Akan tetapi, wajib atasmu untuk mempelajarinya (membaguskan bacaannya). Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,


الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ.
 
“Orang yang mahir dalam membaca Al-Qur’an kelak akan bersama dengan para malaikat yang mulia lagi baik, dan orang yang membacanya dengan terbata-bata (belum lancar) serta dia merasa berat membacanya, maka dia akan menapat dua pahala”.

Terkadang seseorang tidak mampu untuk memperbaiki bacaannya, maka dia membacanya dan berusaha untuk memperbaiki bacaannya.

5. Apakah eksperimen dalam ruqyah diperbolehkan?
Jawab: Tidak ada eksperimen dalam ruqyah, hal tersebut (eksperimen) hanya ada dalam pengobatan (kedokteran) yang mana dia memang dibangun di atas hal tersebut. Adapun dalam ruqyah, maka yang terbaik adalah seorang muslim hanya terbatas dengan ruqyah yang disyariatkan. Adapun melakukan eksperimen, maka -pertama- engkau tidak mengetahui akan hal tersebut, dari mana permikiran terebut muncul di benakmu?.


6. Apa makna hadits:

لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا
“Tidak mengapa dengan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan”.

Jawab: Ya betul, tidak mengapa dengan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan. Ruqyah dalam perkara-perkara yang baik untuk menghilangkan dan meringankan penderitaan seseorang. Hal tersebut tidak akan terjadi kecuali jika engkau berdoa dan memohon hanya kepada Allah, kemudian membaca ayat-ayat Al-Qur’an, hadits dan doa-doa. Inilah yang dibolehkan dalam syariat Islam.

Adapun sebagian orang mereka meruqyah dengan sihir, yakni meruqyah dengan kalimat-kalimat yang di dalamnya mengandung perkara kesyirikan, demikian pula mereka meruqyah dengan kalimat-kalimat ajam (bukan bahasa Arab) yang di dalamnya mengandung kebathilan dan kesyirikan. Sementara ruqyah harus dengan bahasa Arab dan yang melakukannya harus dari kalangan orang yang bertakwa, shalih, yang tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika dia (orang yang meruqyah) berlama-lama dalam meruqyah dengan menambah doa-doa yang disyariatkan, maka hal ini tidak apa-apa dan diperbolehkan. Misalnya dia membaca doa ruqyah yang diajarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-,

بِسْمِ اللهِ، رَبَّ النَّاسِ ! أَذْهِبِ الْبَأْسَ، وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
“Dengan nama Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah petakanya dan sembuhkanlah dia. Engkaulah yang Maha Penyembuh, tidak ada yang menyembuhkan kecuali Engkau, sebuah penyembuhan yang tidak menimbulkan penyakit”. Atau dia meruqyah dirinya dengan mengucapkan,

بِسْمِ اللهِ، بِسْمِ اللهِ، بِسْمِ اللهِ
“Dengan nama Allah, dengan nama Allah, dengan nama Allah”. Kemudian berdoa,

أَعُوْذُ بعِزِةَّ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
“Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang kurasakan dan yang kutakutkan”. (sebanyak 7 kali).

Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Utsman bin Abil Ash Ats-Tsaqafi tatkala dia mengadukan penyakitnya kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Maka Rasulullah mengatakan, “Letakanlah tanganmu pada tempat yang sakit dari tubuhmu dan ucapkanlah, “Dengan nama Allah” -sebanyak tiga kali-, lalu ucapkanlah, “Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang kurasakan dan kuhindarkan” -sebanyak tujuh kali-.”.

Maka dia pun mengucapkan doa tersebut, lalu dia sembuh dari sakitnya. Oleh karena itu, bacaan ruqyah yang paling utama adalah Al-Qur’an kemudian hadits Nabi (dalam doa-doa yang beliau ajarkan), maka pilihlah yang paling utama darinya.

Di tengah-tengah kalian ada para peruqyah. Demi Allah, saya menasehatkan kepada para salafiyyin, untuk tidak masuk dalam perkara ini dan tidak mengangkat salah seorang pun dalam hal ini (peruqyah). Syaikh Al-Albani, Ibnu Baz dan Al-Utsaimin, apakah mereka mengangkat diri mereka untuk perkara ini? Demikian pula kaum salafi dari kalangan para shahabat, tabi’in dan imam-imam yang mendapat petunjuk, semisal Imam Ahmad, Malik, Syafi’i, apakah mereka juga menasehatkan untuk perkara tersebut? Dimana (kedudukan) kalian (dari mereka)? Kami katakan: Ikutilah As-Salaf, ikutilah As-Salaf dan kami adalah salafiyyin, sangat jauh dari mengada-adakan hal semacam ini.
 
Ruqyah adalah perkara yang dibolehkan, akan tetapi tidak dengan jalan yang bathil. Merekalah (salafiyyin) orang yang ittiba` dengan sebenar-benarnya ittiba` -semoga Allah memberkahimu-. Tinggalkanlah perkara-perkara ini yang bisa merusak dakwah dan da’inya -semoga Allah memberkahi kalian-.

Apabila seseorang datang kepadamu dan meminta ruqyah kepadamu, maka ruqyalah dia. Atau dia pergi dan mencari orang selainmu lalu dia sembuh, maka kesembuhan itu di tangan Allah. Hendaknya dia berdoa kepada Allah -Azza wa Jalla-, supaya Allah menyembuhkannya dan dia berdoa dengan doa-doa ini untuk kesembuhan bagi dirinya. Maka Allah akan menjadikan bagi dirinya jalan keluar.

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan bagi dirinya jalan keluar dan akan memberikan rezki dari arah yang tidak disangka-sangka”. (QS. Ath-Thalaq: 2-3).

Penanya berkata: Kami khawatir ya syaikh, orang-orang awam akan pergi ke tukang sihir dan dukun-dukun?!.
Jawab: Biarkan mereka pergi dan tidak kembali lagi. Kamu sendiri, siapa yang menuntut kamu? janganlah memberat-beratkan diri, karena jiwa, kehidupan dan agamamu akan menjadi rusak karenanya. Apakah karena mereka pergi ke tukang sihir, lalu engkau segera meruqyah dan mengangkat diri sebagai peruqyah?.


Penanya: Tidak -wahai Syaikh-, akan tetapi merekalah yang datang kepadaku?!
Jawab: Tinggalkan, tinggalkanlah. Tidaklah mereka itu datang kepadamu kecuali engkaulah yang memproklamirkan diri sebagai ahli ruqyah. Tinggalkanlah perkara ini -semoga Allah memberkahimu-. Tinggalkanlah manusia-manusia itu karena Allah -Azza wa Jalla-, dan janganlah engkau membebani dirimu sendiri dengan hal tersebut.


وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
“Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.” (QS. Shad: 86).

Ini adalah alasan yang sama yang dikemukakan oleh orang yang pertama kali meruqyah di Madinah. Dia adalah sahabat kami, salafi yang sangat baik, dia juga mengajar di masjid Nabawi. Demi Allah, dia berhasil memberikan pengaruh banyak pemuda sufiyyah di Madinah (sehingga mereka kembali kepada sunnah, pent.), dia mendatangkan pengaruh yang lebih besar daripada dai lainnya. Kemudian syaithan pun datang kepadanya. Demi Allah, -dia dahulu meminta nasehat kepadaku sebelum dia mulai (meruqyah)- karena sungguh dia adalah termasuk sahabat dekatku-. Dia minta nasehat kepadaku dengan mengatakan, “Wahai syaikh Rabi’, saya telah mengajar fulan tentang ruqyah dan sekarang dia meruqyah dan mengambil uang (dari ruqyah) sebesar 14 ribu!!” Saya berkata kepadanya, “Saya menasehatkan engkau agar tidak masuk dalam perkara ini.” Dia berkata, “Saya khawatir manusia akan pergi ke para dukun dan tukang sihir. Saya berkata, “Demi Allah, engkau tidak akan diminta pertanggung jawaban”. Saya katakan kepadanya, “Berbuatlah sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh dai-dai yang berjuang di jalan Allah.” Seperti Syaikh Abdullah Al-Qar’awi, beliau pernah datang kepada kami di suatu daerah dan kebanyakan manusia sakit di tempat tidurnya lagi tidak bisa berdiri. Apa penyebabnya? (Gangguan) jin dan semacamnya. Mereka keluar lalu mereka kerasukan jin di malam hari, di sekitar pohon-pohon, jalan-jalan dan selainnya. Sethan menguasai mereka –orang-orang yang bodoh lagi tidak memahami tauhid -. Kemudian beliau (Syaikh Al-Qar’awi) datang dan menyebarkan tauhid, tidak ada ruqyah dan tidak ada sesuatupun -semoga Allah memberkahi kalian-, sampai akhirnya semua masalah itu berakhir, seluruhnya berakhir tatkala tauhid dan ilmu telah tersebar. Tatkala ilmu dan tauhid telah tersebar, semua ini hilang dan sirna. Tapi tatkala tersebar dan merata, maka akan banyak bermunculan banyak tukang sihir, dukun, setan-setan dan seterusnya, yang mereka (tukang sihir, dukun dan setan) saling tolong menolong di dalamnya. Maka saya menasehatkan kepadanya agar dia beramal, sebagaimana amalnya orang-orang yang mengadakan perbaikan dengan berdakwah kepada tauhid dan memerangi kesyirikan dan khurafat.

7. Apakah boleh atau tidak, meminta bantuan kepada jin dalam melaksanakan perbuatan yang mubah lagi dibolehkan dalam syariat. Perlu diketahui bahwa dalam meminta bantuan kepada jin ini tidak ada sedikitpun amalan kesyirikan atau maksiat.


Jawab: Meminta bantuan kepada jin memberikan indikasi bahwa orang yang meminta bantuan tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan, karena mereka tidak akan membantu dirinya kecuali setelah dia kafir kepada Allah Azza wa Jalla. Apakah dengan cara dia mengencingi mushaf atau shalat ke arah selain kiblat atau shalat dalam keadaan junub. Yang jelas dia pasti telah melakukan sesuatu amalan yang mengkafirkan, setelah itu baru dia (jin) akan membantunya. Jin yang mengatakan kepadamu: “Saya muslim,” maka janganlah kamu membenarkannya karena dia adalah pendusta. Betul di antara mereka ada kaum muslimin, akan tetapi untuk menetapkan keimanannya dibutuhkan dalil-dalil.

8. Apakah takut kepada jin termasuk dari takut tabiat atau tidak?
Jawab: Kalau takutnya secara sirr (terselubung) dan dia meyakini bahwa jin itu bisa memberikan manfaat dan mudharat maka dia telah terjatuh ke dalam kesyirikan. Allah berfirman:


وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin: 6).

Kebanyakan jenis takut kepada jin -wallahu a’lam- termasuk ke dalam jenis takut ibadah (yang seharusnya hanya diberikan kepada Allah, pent.), karena dia meyakini bahwa jin itu bisa memberikan mudharat dan manfaat, padahal tidak ada yang menguasai mudharat dan manfaat kecuali Allah, bukan jin dan bukan pula manusia.

وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ
 بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ
“Ketahuilah, jika semua umat manusia bersatu padu untuk memberikan suatu kebaikan kepadamu, niscaya mereka tidak dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah ditulis oleh Allah bagimu, dan jika semua umat manusia bersatu padu untuk mencelakakanmu, niscaya mereka tidak dapat mencelakakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah ditulis oleh Allah bagimu.” sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

9. Firman Allah, “Sesungguhnya dia (iblis) dan bala tentaranya melihat kalian dari arah yang kalian tidak bisa melihat mereka.” Apakah tidak terlihatnya mereka bersifat mutlak, ataukah memungkinkan bagi sebagian orang bisa melihat setan-setan pada sebagian keadaan?.

Jawab: Ia, hal itu adalah kenyataan. Sebagaimana kisah Abu Hurairah bersama setan, Ar-Rasul  juga pernah melihatnya dalam shalat, dan saya juga -demi Allah- telah melihat setan-setan dengan mata kepala saya sendiri. Saya pernah melihat seekor kuda yang seumur hidup saya belum pernah melihat kuda dengan bentuk seperti itu, saya bersama saudaraku melihatnya dalam safar. Kami melihat melihat kuda yang aneh lagi menakjubkan itu di tempat yang tidak ada rerumputannya dan tidak ditinggali oleh manusia.

Beliau berkata: Ketika saya di atas kendaraan antara maghrib dan isya, saya juga pernah melihat seseok tubuh telanjang dengan kepala yang tidak ditumbuhi sehelai rambut pun, tapi bukan karena habis menggundul rambutnya (yakni: Sudah dari sananya, pent.). Bentuknya aneh dan di depannya ada dua anak kecil yang keduanya mempunyai kepala yang besar tanpa rambut. Keduanya sangat kurus dan begitu pula dengan kedua betisnya, bentuknya sangat aneh.

Maka banyak orang yang telah melihat setan, walaupun kebanyakannya setan itu tidak bisa terlihat.
Akan tetapi sekarang –sayang sekali- banyak orang yang mengambil pemikiran Muhammad Abduh -murid Al-Afghani- yaitu pengingkaran akan adanya sihir dan mengingkari jin bisa terlihat. Asal pemikiran ini mereka ambil dari Muktazilah Al-Aqlaniyun, yang menjadikan akal sebagai pemutus hukum dalam hal agama dan dunia. Maka tidak ada dalil yang menafikan kalau mereka bisa terlihat sesekali, dan saya menegaskan kepada kalian bahwa saya sendiri telah melihatnya.


10. Mereka juga mengingkari merasuknya jin ke dalam tubuh manusia.
Jawab: Hal ini (kerasukan) adalah hal yang bisa diketahui dengan panca indera, masyhur dan mutawatir dari sejak zaman dahulu. Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS. Al-Baqarah: 275).


Dan Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” (QS. An-Nas: 1-5).

Kenapa dia bisa membisikkan kejahatan ke dalam dadamu?
Bukankah karena dia bisa mengalahkanmu dan dia bisa masuk ke dalam tubuhmu?! Nabi  bersabda:

إِنًّّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
“Sesungguhnya setan berjalan di dalam tubuh anak Adam seperti mengalirnya darah.”.

Maka semua (yang mengikuti Muktazilah, pent.) menolak semua ayat dan hadits di atas dan menjadikan akal mereka sebagai pemutus perkara.

sumber : http://al-atsariyyah.com/fatawa-asy-syaikh-rabi-seputar-jin-dan-ruqyah.html


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger