Asuransi Konvensional : Tinjauan Kritis dan Solusinya

Oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi.

Pada zaman sekarang ini, asuransi telah menjamur dan menggeliat di setiap belahan bumi. Perusahan jasa asuransi-pun lahir di tengah hiruk pikuk kemajuan zaman. Berbagai produk dan sistem asuransi-pun ditawarkan, mulai dari asuransi sakit, kematian, kebakaran, kehilangan, kecelakaan, hingga asuransi kemacetan pembayaran.

Fenomena ini memancing beragam pertanyaan;

Apakah perusahan asuransi kontemporer sesuai dengan hukum dan prinsip syari’at Islam?! Apakah ada sistem asuransi yang sesuai dengan prinsip Islam sebagai penggantinya?!

Pertanyaan-pertanyan inilah yang akan menjadi fokus bahasan kita kali ini. Kita berdoa kepada Allah agar diselamatkan dari yang haram dan mencukupkan kita dengan yang halal. Amiin.[1].

DEFINISI ASURANSI.
Banyak definisi yang diberikan mengenai asuransi ini, namun defenisi yang mencakup adalah “Sebuah perjanjian pihak pertama (perusahaan asuransi) kepada pihak kedua (pihak nasabah) untuk memberikan ganti atas uang yang diserahkan, baik nanti diberikan kepada pihak kedua sendiri atau orang yang ditunjuknya ketika terjadi resiko kejadian yang telah tertera dalam akad perjanjian. Hal itu sebagai ganti dari uang yang diberikan pihak kedua kepada pihak pertama baik secara berangsur atau lainnya”.[2].

SEJARAH ASURANSI.
Jasa asurani pertama kali muncul adalah asuransi transportasi laut di Eropa, tepatnya di Italia Utara pada abad 15, karena banyaknya risiko dan bencana yang menimpa kapal laut pengangkut barang-barang saat itu. Model asuransinya yaitu pemilik barang membayar uang kepada pemilik kapal dengan perjanjian apabila barangnya rusak atau hilang maka dia akan mendapatkan tambahan uang.

Pemilik usaha asuransi mendapatkan keuntungan yang banyak dan pemilik barang juga merasa aman dengan keamanan barang-barang mereka. Waktu-pun berjalan, asuransi menyebar ke berbagai Negara seperti Inggris sehingga di sanadidirikan perusahan asuransi pertama kali. Dan setelah kejadian kebakaran hebat di Londonpada tahun 1666 M, maka didirikan perusahan asuransi kebakaran pertama kali. Kemudian setalah itu asuransi menyebar di Negara Amerika pada pertengahan abad 18. Kemudian pada abad 19, asuransi akhirnya juga masuk ke Negara-negara Arab.[3].

HUKUM ASURANSI KONVENSIONAL.
Perusahan-perusahan asuransi konvensional begitu marak pada zaman sekarang dengan berbagi model dan jenis, ada asuransi jiwa, kecelakaan, kerusakan, kesehatan, pendidikan, bahkan asuransi pembayaran hutang.

Namun, bagaimanakah setatus hukumnya?!
Majlis Ha’iah Kibar Ulama setelah mempelajari masalah ini secara terperinci, mereka memutuskan dalam rapat mereka di Riyadh 4/4/1397 H bahwa Asuransi Konvensional hukumnya haram berdasarkan dalil-dalil berikut:

Pertama:
Akad “Asuransi Konvensional” adalah salah satu bentuk akad tukar menukar barang yang berdasarkan pada asas untung-untungan, sehingga sisi ketidak jelasannya besar, karena nasabah pada saat akad tidak dapat mengetahui jumlah uang yang harus ia setorkan dan jumlah klaim yang akan ia terima. Bisa jadi ia menyetor sekali atau dua kali setoran, kemudian terjadi kecelakaan, sehingga ia berhak mengajukan klaim yang menjadi komitmen perusahaan asuransi. Dan mungkin juga sama sekali tidak pernah terjadi kecelakaan, sehingga nasabah membayar seluruh setoran, tanpa mendapatkan apapun. Demikian juga perusahaan asuransi tidak dapat menentukan jumlah klaim yang harus ia bayarkan dan jumlah setoran yang akan ia terima bila dicermati setiap akad secara terpisah. Padahal telah dinyatakan oleh dalam hadits shohih dari Nabi larangan dari jual beli ghoror (yang tidak jelas).[4].

Kedua:
Akad “Asuransi Konvensional” adalah salah satu bentuk perjudian, dikarenakan padanya terdapat unsur untung untungan dalam hal tukar menukar harta benda, dan terdapat kerugian tanpa ada kesalahan atau tindakan apapun, dan padanya juga terdapat keuntungan tanpa ada timbal baliknya atau dengan imbal balik yang tidak seimbang. Karena nasabah kadang kala baru membayarkan beberapa setoran atau asuransinya, kemudian terjadilah kecelakaan, sehingga perusahaan asuransi menanggung seluruh biaya yang menjadi klaimnya. Dan bisa saja tidak terjadi kecelakaan, sehingga saat itu perusahaan berhasil mengeruk seluruh setoran nasabah tanpa ada imbalan sedikitpun. Dan bila pada suatu akad unsur ketidak jelasan benar-benar nyata, maka akad itu termasuk perjudian, dan tercakup dalam keumuman larangan perjudian yang disebutkan dalam firman Allah Taala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٩٠

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah [434], adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90).
 
Ketiga:
Akad “Asuransi Konvensional” mengandung unsur riba fadhl (riba perniagaan) dan riba nasiah (penundaan), karena perusahaan asuransi bila ia membayar ke nasabahnya atau ke ahli warisnya atau kepada orang yang berhak memanfaatkan suatu klaim yang lebih besar dari uang setoran (iuran) yang ia terima, maka itu adalah riba fadhl, sedangkan perusahaan asuransi akan membayar klaim tersebut kepada nasabahnya setelah berlalu senggang waktu dari saat terjadi akad, maka itu adalah riba nasiah. Dan bila perusahaan membayar klaim nasabah sebesar uang setoran yang pernah ia setorkan ke perusahaan, maka itu adalah riba nasiah saja, dan keduanya diharamkan menurut dalil dan ijma (kesepakatan ulama).
 
Keempat:
Akad “Asuransi Konvensional” termasuk pertaruhan yang terlarang, karena masing-masing dari asuransi ini dan pertaruhan terdapat unsur ketidakjelasan, untung-untungan, dan mengundi nasib. Padahal syariat tidak membolehkan pertaruhan selain pertaruhan yang padanya terdapat unsur pembelaan terhadap agama Islam, dan penegakan benderannya dengan hujjah dan dalil dan pedang dan senjata. Dan Nabi telah membatasi rukhshoh (keringanan) pertaruhan dengan tebusan hanya ada tiga hal:
 
لاَ سَبّقَ إِلاَّ فِى خُفٍّ أَوْ فِى حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ

“Tiada hadiah taruhan selain pada unta atau kuda atau panah”.[5].
Dan asusansi tidaklah termasuk salah satu darinya, tidak juga serupa dengannya, sehingga diharamkan.
 
Kelima:
Akad “Asuransi Konvensional” padanya terdapat praktek pemungutan harta orang lain tanpa imbalan, sedangkan mengambil harta orang lain tanpa ada imbalan dalam transaksi perniagaan adalah haram, dikarenakan tercakup dalam keumuman firman Allah Taala,
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا
تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا ﴿٢٩
 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa: 29).
 
Keenam:
Pada akad “Asuransi Konvensional” terdapat pengharusan sesuatu yang tidak diwajibkan dalam syariat, karena perusahaan asuransi tidak pernah melakukan sesuatu tindakan yang merugikan, tidak juga menjadi penyebab terjadinya kerugian. Perusahaan asuransi hanyalah melakukan akad bersama nasabah untuk menjamin kerugian bila hal itu terjadi, dengan imbalan iuran yang dibayarkan oleh nasabah kepadanya, sedangkan perusahaan asuransi tidak pernah melakukan pekerjaan apapun untuk nasabahnya, sehingga akad ini diharamkan.[6].
 
Dan keputusan Haiah Kibar Ulama Saudi Arabia ini sesuai dengan keputusan Majma’ Buhuts Islamiyyah di Mesir pada bulan Muharram 1385 H , Muktamar Alami Awal lil Iqtishod Islami di Mekkah tahun 1396 H yang dihadiri oleh lebih dua ratus ulama dan ahli ekonomi, Majma’ Fiqih Islami di Mekkah pada 10 Sya’ban 1398 H, Majma’ Fiqih Islami di Jeddah pada 10-16 Rabiul akhir 1406 H.[7] Adapun pendapat yang membolehkan, maka argumen-argumen mereka lemah sekali, telah dijawab oleh para ulama.[8].
 
JANGAN TERTIPU DENGAN PERUBAHAN NAMA.
Suatu hal yang telah disepakati oleh semua hali ilmu bahwa “Perubahan nama tidaklah merubah hakekat hukum”.[9] Sesuatu yang jelek tidak bisa menjadi bagus kalau kita menamainya dengan nama yang indah (!) Demikian seterusnya.
 
Tatkalah perekonomian dengan basis syariah sedang gencar digalakkan maka perusahaan-perusahaan asuransipun tidak mau ketinggalan. Mereka ramai-ramai memikat nasabah dengan berbagai produk asuransi syariah. Mereka mengklaim bahwa produk-produk mereka telah selaras dengan prinsip syari’ah.
 
Secara global mereka menawarkan dua jenis pilihan:
  1. Asuransi Umum Syari’ah. Pilihan ini, mereka mengklaim bahwa mereka menerapkan metode bagi hasil/mudhorobah. Yaitu bila telah habis masa kontrak, dan tidak ada klaim, maka perusahaan asuransi akan mengembalikan sebagian dana/premi yang telah disetorkan oleh nasabah, dengan ketentuan 60:40 atau 70:30. Adapun berkaitan dana yang tidak dapat ditarik kembali mereka mengklaimnya sebagai dana tabarru’ atau hibah (hadiah).
  2. Asuransi Jiwa Syari’ah. Pada pilihan ini, bila nasabah hingga jatuh tempo tidak pernah mengajukan klaim, maka premi yang telah disetorkan, akn hangus. Prilaku ini diklaim oleh perusahaan asuransi sebagai hibah dari nasabah kepada perusahaan.[10].
Subhanalloh, bila kita pikirkan dengan seksama, kedua jenis produk asuransi syari’at diatas, niscaya kita akan dapatkan bahwa yang terjadi hanyalah manipulasi istilah [11].
 
Adapun prinsip-prinsip perekonomian syari’at, diantaranya yang berkaitan dengan mudhorobah dan hibah, sama sekali tidak terwujud. Yang demikian itu dikarenakan:
  • Pada transaksi mudhorobah, yang dibagi adalah hasil/keuntungan, sedangkan pada asuransi umum syari’ah diatas, yang dibagi adalah modal atau jumlah premi yang telah disetorkan.
  • Pada akad mudhorobah, pelaku usaha (perusahaan asuransi) mengembangkan usaha riil dengan dana nasabah guna mendatangkan keuntungan. Sedangkan pada asuransi umum syari’at, perusahaan asuransi, sama sekali tidak mengembangkan usaha guna mengelola dana nasabah.
  • Pada kedua jenis asuransi syari’at diatas, perusahaan asuransi telah memaksa nasabah untuk menghibahkan seluruh atau sebagian preminya. Disebut pemaksaan, karena perusahaan asuransi sama sekali tidak tidak akan pernah siap bila ada nasabah yang ingin menarik seluruh dananya, tanpa menyisakan sedikitpun. Padahal Rosululloh telah bersabda:

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan
jiwa darinya.” [12].
 
ASURANSI TA’AWUN SEBAGAI SOLUSI.
Islam tidak membutuhkan sistem-sistem perekonomian yang dibanguan di atas keharaman, tetapi perekonomiannya dibangun atas dasar saling membantu dan sosial seperti zakat, waqaf dan lain sebagainya.[13].
 
Oleh karenanya, sebagai gantinya, para ulama syari’ah dan ahli ekonomi Islam mengusulkan agar Asuransi dibangun atas dasar ta’awun (saling membantu) sebagaimana usulan Ha’iah Kibar Ulama dalam rapat mereka di Riyadh bulan Rabi’ul Awal 1397 H,[14] mereka mereka membolehkan asuransi ta’awun yaitu bergeraknya sejumlah orang yang masing-masing sepakat untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka sebagai akibat resiko bahaya tertentu, yang itu diambil dari uang iuran yang telah disepakati pembayarannya. Hal ini bisa diperluas menjadi sebuah lembaga atau yayasan yang memiliki pegawai dan pengelola khusus.
 
Ini adalah akad tabarru’ yang bertujuan saling membantu, bukan tujuan bisnis dan cari keuntungan, sebagaimana juga akad ini tidak mengandung riba, perjudian, spekulasi dan lain sebagainya yang ada dalam ansuransi konvensional.[15].
 
Solusi ini sangat penting untuk diterima sebagai pengganti asuransi konvensional karena beberapa alasan berikut:
  1. Banyaknya kekhawatiran dalam perekonomian manusia pada zaman sekarang.
  2. Masyarakat Islam tidak seperti masyarakat dahulu yang saling bahu-membahu.
  3. Negara tidak menerapkan zakat sebagaimana mestinya.
  4. Tidak ada larangan dalam Islam untuk membentuk system muamalat baru yang mengandung kemaslahatan kaum muslimin selama tidak melanggar aturan Islam.[16].
BILA TERDESAK HARUS ANSURANSI.
Dalam sebagian Negara, terkadang seorang muslim terdesak harus ikut asuransi, bila tidak maka tertahan dari kemaslahatannya, seperti ketika beli mobil misalnya, terkadang dia diharuskan untuk mengansuransikannya, bila tidak maka tertahan. Bagaimana solusinya padahal kita tahu asuransi jenis ini adalah haram?!
 
Kita katakan:
 
(1). Insya Allah tidak ada dosa bagi kita, yang dosa adalah yang memaksa, karena kondisi kita terpaksa dan terdzalimi sedangkan kaidah fiqih mengatakan:

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Keadaan dharurat itu membolehkan sesuatu yang terlarang.

Hanya saja, harus diterapkan kaidah lainnya juga:

الضَّرُوْرَاتُ تُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا
Dahrurat itu sekadarnya saja. [17].
(2). Bila ditakdirkan terjadi kecelakaan maka ambilah secukupnya uang yang kita bayarkan pada perusahaan asuransi, adapun selebihnya maka jangan mengambilnya karena kita tidak berhak mendapatkannya dan kita yakin bahwa akad tersebut haram dan bathil. Dan bila perusahaan tetap memaksa untuk mengambilnya, maka ambil dan sedekahkan dengan niat melepaskan diri dari perkara haram. Demikianlah solusinya.[18].
 
Demikianlah pembahasan ringkas dan sederhana tentang Asuransi. Semoga bermanfaat.
 
DAFTAR REFERENSI.
  1. At-Ta’min wa Ahkamuhu, Dr. Sulaiman bin Ibrahim bin Tsunayan, Dar Ibnu Hazm, Bairut, cet pertama 1424 H
  2. Mausu’ah Al-Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh wal Iqtishod Islami, Prof Dr. Ali Ahmad as-Salus, Dar Tsaqofah, Bairut, cet ketujuh 1426 H
  3. Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ahiroh fil Fiqih Islami, Dr. Muhammad Utsman Syubair, Dar Nafais, Bairut, cet keenam 1427 H
  4. Asuransi Dalam Persepektif Syariah, Dr. Husain Syahatah, penerbit Amzah,Jakarta, cet pertama 2006 M
  5. Riba dan Tinjauan Kritis Perbankan Syari’ah, Ust. MuhammadArifin Badri,MA, Pustaka Darul Ilmi,Bogor, cet pertama 1430 H.
__________
[1] Asuransi Dalam Persepektif Syariah hlm. xviii oleh Dr. Husain Syahatah.
[2] At-Ta’min wa Ahkamuhu hlm. 40 oleh Dr. Sulaiman bin Ibrahim bin Tsunayan.
[3] Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ahiroh fil Fiqih Islami hlm. 88 oleh Dr. Muhammad Utsman Syubair.
[4] Imam Nawawi berkata dalam Syarh Muslim 10/396: “Adapun larangan jual beli ghoror (yang tidak jelas), maka hal itu merupakan pokok yang agung dalam kitab masalah jual beli. Oleh karena itu Imam Muslim mendahulukannya, karena masuk dalam kaidah ini berbagai permasalahan yang sangat banyak sekali”. Maka tak aneh, bila Prof. Muhammad adh-Dhorir menulis buku khusus tentang masalah ini dalam kitabnya yang berjudul “Al-Ghoror wa Atsaruhu Fil Uqud fil Fiqih Islami”.
[5] Lafadz ( سَبّقَ ) memiliki dua riwayat: Pertama: Dengan menfathah huruf ba’ yang berarti harta taruhan. Kedua: Dengan mensukun ba’ yang berarti perlombaan. Al-Khothobi berkata dalam Ma’alim Sunan 3/304: “Riwayat yang shohih dalam hadits ini adalah dengan menfathah huruf ba’-nya”. (Lihat pula Al-Hawafiz At-Tijariyyah At-Taswiqiyyah hlm. 127 oleh Syaikhuna Dr. Khalid bin Abdillah Al-Mushlih).
[6] Dinukil dari Riba dan Tinjauan Kritis Perbankan Syari’ah hlm. 81-83 oleh Ust. MuhammadArifin Badri,MA.
[7] Lihat Fiqhu Nawazil 3/266-287 oleh Muhammad bin Husain al-Jizani dan Mausu’ah Al-Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh wal Iqtishod Islami hlm. 379-395 oleh Dr. Ali Ahmad as-Salus.
[8] Lihat secara luas dalam At-Ta’min Waa Ahkamuhu hlm. 157-211 oleh Dr. Sulaiman bin Ibrahim Tsunayyan.
[9] Lihat I’lamul Muwaqqi’in 4/532 karya Imam Ibnul Qoyyim, tahqiq Masyhur bin Hasan.
[10] Majalah MODAL, edisi 36, 2006, hal.16.
[11] Semoga Allah merahmati Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah tatkala mengatakan: “Merubah nama perkara haram padahal hakekatnya masih tetap adalah menambah kerusakan sesuatu yang haram tersebut karena hal itu mengandung tipuan kepada Allah dan rasul-Nya serta menisbatkan penipuan dan kedustaan kepada agama dan syari’atNya, seakan-akan Allah melarang dari suatu kerusakan tetapi membolehkan yang lebih parah darinya. Oleh karenanya Ayyub as-Sahtiyani mengatakan: “Mereka menipu Allah seperti menipu anak kecil, seandainya mereka melakukan keharaman apa adanya, tentu malah lebih ringan dosanya”. (Ighotsatul Lahfan 1/604-605, tahqiq Ali bin Hasan).
[12] Riba dan Tinjauan Kritis Perbankan Syari’ah hlm. 90-92 oleh Ustadz Muhammad Arifin binBadri,MA.
[13] Lihat secara luas dalam An-Nidhom Al-Mali wal Iqtishodi fil Islam oleh Dr. Mushlih Abdul Hayyi.
[14] Lihat Fatawa Ulama Baladil Haramain hlm. 1211-1214, kumpulan Dr. Khalid al-Juraisi.
[15] Lihat makalah al-Ustadz Al-Fadhil Khalid Samhudi –jazahullah khoiron- dalam Majalah As-Sunnah edisi 8/Th.XI/1428 H dengan judul “Perbadaan Antara Asuransi Ta’awun Dengan Asuransi Konvensional”.
[16] At-Ta’min waa Ahkamuhu hlm. 287-298 oleh Dr. Sulaiman bin Ibrahim Tsunayyan.
[17] Lihat Al-Fatawa Al-Kuwaitiyyah wal Fatawa Australiyyah hlm. 119-120 oleh Syaikh Al-Albani, ta’liq Syaikh ‘Amr bin Abdul Mun’im. Dan lihat penjelasan secara bagus tentang dua kaidah di atas dalam kitab “Haqiqoh Dharurat Syar’iyyah” oleh Dr. Muhammad Husain al-Jizani, cet Dar Al-Minhaj.
[18] Syarh Mumti’ 10/327 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, cet Dar Ibnil Jauzi.
 


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger