Sa’id bin Amir adalah salah seorang shahabat Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam yang membeli akhirat dengan dunia, dan mementingkan keridhaan Allah dan pahala-Nya atas segala keinginan hawa nafsu dan syahwat badannya.. Ia meninggalkan kenikmatan dan godaan dunia walaupun dengan kedudukannya sebagai seorang gubernur lazimnya mudah mendapatkan kemewahan dunia.
Berikut ini kisah kezuhudannya, semoga bisa menjadi inspirasi bagi diri kita dan para pemimpin kita.
Masa Muda dan Masuk Islamnya Sa’id bin Amir al-JumahiAdalah seorang anak muda Sa’id bin Amir Al-Jumahi salah satu dari beribu-ribu orang yang tertarik untuk pergi menuju daerah Tan’im di luar kota Makkah, dalam rangka menghadiri panggilan pembesar-pembesar Quraisy (pada masa sebelum ditaklukkan kaum muslimin, red), untuk menyaksikan hukuman mati yang akan ditimpakan kepada Khubaib bin ‘Adiy, salah seorang sahabat Muhammad yang diculik oleh mereka.
Kepiawaian dan postur tubuhnya yang gagah, ia mendapatkan kedudukan yang lebih dari pada orang-orang, sehingga ia dapat duduk berdampingan dengan pembesar-pembesar Quraisy, seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, dan orang-orang yang mempunyai wibawa lainnya.
Dengan demikian ia dapat melihat dengan jelas tawanan Quraisy yang terikat dengan tali, suara gemuruh perempuan, anak-anak dan remaja senantiasa mendorong tawanan itu menuju arena kematian, karena kaum Quraisy ingin membalas Muhammad atas kematian orang-orangnya ketika perang Badar dengan cara membunuhnya.
Ketika rombongan yang garang ini dengan tawanannya, sampai di tempat yang telah disediakan, anak muda Sa’id bin Amir Al-Jumahi berdiri tegak memandangi Khubaib yang sedang diarak menuju kayu penyaliban, dan ia mendengar suaranya yang teguh dan tenang di antara teriakan wanita-wanita dan anak-anak, Khubaib berkata, “Izinkan saya untuk shalat dua raka’at sebelum pembunuhanku ini jika kalian berkenan".
Kemudian ia memandanginya, sedangkan Khubaib menghadap kiblat dan shalat dua raka’at, alangkah bagusnya dan indahnya shalatnya itu…
Kemudian ia melihat, Khubaib seandainya menghadap pembesar-pembesar kaum dan berkata, “Demi Allah! Jika kalian tidak menyangka bahwa saya memperpanjang shalat karena takut mati, tentu saya telah memperbanyak shalat…”.
Kemudian ia melihat kaumnya dengan mata kepalanya, mereka memotong-motong Khubaib dalam keadaan hidup, mereka memotongnya sepotong demi sepotong, sambil berkata, “Apakah kamu ingin kalau Muhammad menjadi penggantimu dan kamu selamat?”, maka ia menjawab- sementara darah mengucur dari badannya, “Demi Allah! Saya tidak suka bersenang-senang dan berkumpul bersama istri dan anak sedangkan Muhammad tertusuk duri” . Maka orang-orang melambaikan tangannya ke atas, dan teriakan mereka semakin keras, “Bunuh!-bunuh…!".
Kemudian Sa’id bin Amir melihat Khubaib mengarahkan pandangannya ke langit dari atas kayu salib, dan berkata, “Ya Allah ya Tuhan kami! Hitunglah mereka dan bunuhlah mereka satu persatu serta janganlah Engkau tinggalkan satupun dari mereka”, kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya, dan di badannya tidak terhitung lagi bekas tebasan pedang dan tusukan tombak.
Orang-orang Quraisy telah kembali ke Makkah, dan mereka telah melupakan kejadian Khubaib dan pembunuhannya karena banyak kejadian-kejadian setelahnya. Akan tetapi anak muda Sa’id bin Amir Al-Jumahi tidak bisa menghilangkan bayangan Khubaib dari pandangannya walau sekejap mata.
Ia memimpikannya ketika sedang tidur, dan melihatnya dengan khayalan ketika matanya terbuka, Khubaib senantiasa terbayang di hadapannya sedang melakukan shalat dua raka’at dengan tenang di depan kayu salib, dan ia mendengar rintihan suaranya di telinganya, ketika Khubaib berdo’a untuk kebinasaan orang-orang Quraisy, maka ia takut kalau ia tersambar petir atau ketiban batu dari langit.
Khubaib telah mengajari Sa’id sesuatu yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Ia mengajarinya bahwa hidup yang sesungguhnya adalah aqidah dan jihad di jalan aqidah itu hingga akhir hayat. Ia mengajarinya juga bahwa iman yang kokoh akan membuat keajaiban dan kemu’jizatan. Dan ia mengajarinya sesuatu yang lain, yaitu bahwa sesungguhnya seorang laki-laki yang dicintai oleh para sahabatnya dengan kecintaan yang sedemikian rupa, tidak lain adalah nabi yang mendapat mandat dari langit.
Semenjak itu Allah membukakan dada Sa’id bin Amir untuk Islam, lalu ia berdiri di hadapan orang banyak dan memproklamirkan kebebasannya dari dosa-dosa Quraisy, berhala-berhala dan patung-patung mereka, dan menyatakan ikrarnya terhadap agama Allah. Sa’id bin Amir berhijrah ke Madinah, dan mengabdikan diri kepada Rasulullah , dan ia ikut serta dalam perang Khaibar dan peperangan-peperangan setelahnya.
Khalifah Umar bin Khatab Mengangkat Sa’id bin Umar al-Jumahi Sebagai Gubernur HimshDan ketika Nabi yang mulia shalallahu alaihi wasalaam dipanggil menghadap Tuhannya, -saat itu beliau sudah meridhainya- ia mengabdikan diri dengan pedang terhunus di zaman dua khalifah Abu Bakar dan Umar, dan hidup bagaikan contoh satu-satunya bagi orang mu’min yang membeli akhirat dengan dunia, dan mementingkan keridhaan Allah dan pahala-Nya atas segala keinginan hawa nafsu dan syahwat badannya.
Kedua khalifah Rasulullah telah mengetahui tentang kejujuran dan ketakwaan Sa’id bin Amir, bahkan kedua khalifah besar ini mau mendengar nasihat-nasihatnya dan memperhatikan pendapatnya.
Sebagai contoh, semasa awal kekhilafahan Umar, ia menemui Umar dan berkata, “Wahai Umar, aku berwasiat kepadamu, agar kamu takut kepada Allah dalam urusan manusia, dan janganlah kamu takut kepada manusia dalam urusan Allah, dan janganlah ucapanmu bertentangan dengan perbuatanmu, karena sesungguhnya ucapan yang paling baik adalah yang sesuai dengan perbuatan…".
“Wahai Umar, hadapkanlah wajahmu untuk orang yang Allah serahkan urusannya kepadamu, baik orang-orang muslim yang jauh atau yang dekat, cintailah mereka sebagaimana kamu mencintai dirimu dan keluargamu, dan bencilah untuk mereka sesuatu yang kamu benci bagi dirimu dan keluargamu, dan tundukkanlah beban menjadi kebenaran dan janganlah kamu takut celaan orang yang mencela dalam urusan Allah”.
Maka Umar berkata, “Siapakah yang mampu menjalankan itu wahai Sa’id?!.”
Ia menjawab, “Orang laki-laki sepertimu mampu melakukannya, yaitu di antara orang-orang yang Allah serahkan urusan umat Muhammad shalalahhu alaihi wasalam kepadanya, dan tidak ada seorangpun perantara antara ia dan Allah".
Beberapasa saat setelah itu, Umar mengajak Sa’id untuk membantunya mengurus negeri-negeri yang dikuasai kaum muslimin dan berkata, “Wahai Sa’id, aku menugaskan kamu sebagai gubernur atas penduduk Himsh”.
Maka Said berkata, “Hai Umar! aku ingatkan dirimu terhadap Allah; Janganlah kamu menjerumuskanku ke dalam fitnah".
Maka Umar marah dan berkata, “Celaka kalian, kalian menaruh urusan negara ini di atas pundakku (seorang diri, red), lalu kalian berlepas diri dariku!!. Demi Allah aku tidak akan melepasmu".
Kemudian ia mengangkatnya menjadi gubernur di Himsh, dan beliau berkata, “Kami akan memberi kamu gaji.” Sa’id berkata, “Untuk apa gaji itu wahai Amirul mu’minin? karena pemberian untukku dari baitul mal telah melebihi kebutuhanku.” Kemudian ia berangkat ke Himsh tanpa mengambil gajinya.
Lama berselang, suatu hari datanglah beberapa utusan dari penduduk Himsh kepada Amirul mu’minin (Umar bin Khatab radiyallahu anhu), maka Umar berkata kepada para utusan tersebut, “Tuliskan nama-nama orang fakir kalian dari negeri Himsh, supaya aku dapat menutup kebutuhan mereka.” Maka mereka menyodorkan selembar tulisan, yang di dalamnya ada Fulan, Fulan dan hingga tertulis nama Sa’id bin Amir.
Umar bertanya-tanya: “Siapa gerangan Sa’id bin Amir yang ini?.”
Mereka menjawab, “Gubernur kami.”
Umar sangat kaget, “Gubernurmu fakir?”
Mereka berkata, “Benar wahai Amirul Mu’minin, dan demi Allah sudah beberapa hari di rumahnya tidak ada api".
Maka Umar menangis hingga janggutnya basah oleh air mata, kemudian beliau mengambil seribu dinar dan menaruhnya dalam kantong kecil dan berkata, Sampaikan salamku, dan katakan kepadanya Amirul mu’minin memberinya harta ini supaya ia dapat menutup kebutuhan hariannya.”
Saat para utusan itu mendatangi Sa’id dengan membawa kantong, lalu Sa’id membukanya ternyata di dalamnya ada uang dinar, lalu ia segera meletakkannya jauh dari dirinya seperti melihat benda yang menakutkan, dan berkata: (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan dikembalikan kepada-Nya)- seolah-olah ia tertimpa musibah dari langit atau ada suatu bahaya di hadapannya, hingga keluarlah istrinya dengan wajah kebingungan dan berkata, “Ada apa wahai Sa’id?!, Apakah Amirul mu’minin meninggal dunia?.
Said menjawab, “Bahkan lebih besar dari itu.”
Istrinya berkata, “Apakah orang-orang muslim dalam bahaya?”
Ia menjawab, “Bahkan lebih besar dari itu.”
Istrinya berkata, “Apa yang lebih besar dari itu?”
Ia menjawab, “Dunia telah memasuki diriku untuk merusak akhiratku, dan fitnah telah datang ke rumahku.”
Istrinya berkata, “Bebaskanlah dirimu darinya.” -saat itu istrinya tidak mengetahui tentang uang-uang dinar itu sama sekali-. Ia berkata, “Apakah kamu mau membantu aku untuk itu?” Istrinya menjawab, “Ya!” Lalu ia mengambil uang-uang dinar dan memasukkannya ke dalam kantong-kantong kecil kemudian ia membagikannya kepada orang-orang muslim yang fakir.
4 Keluhan Rakyat Atas Said bin AmirSuatu hari Amirul Mukminin, Umar bin al-Khattab radiyallahu anhu, datang ke negeri Syam untuk melihat keadaan negeri-negeri Islam, dan ketika beliau singgah di Himsh -waktu itu disebut dengan ‘Al-Kuwaifah’ yaitu bentuk kecil dari kalimat Al-Kufah-, karena memang Himsh menyerupainya baik dalam bentuknya atau banyaknya keluhan dari penduduk akan pejabat-pejabat dan penguasa-penguasanya. Ketika beliau singgah di negeri itu, penduduknya menyambut dan menyalaminya, maka Umar berkata kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian tentang gubernur kalian?”.
Maka mereka mengadukan kepadanya empat keluhan tentang pemimpin mereka Sa’id bin Amir, yang masing-masing lebih besar dari yang lainnya. Umar kemudian mengumpulkan sang Gubernur, Sa’id bin Amir, dia dengan sebagian dari mereka dalam suatu majelis, sementara itu Umar berdo’a kepada Allah supaya Dia tidak menyimpangkan dugaanku terhadapnya, karena selama ini Umar selalu menaruh kepercayaan yang sangat besar kepada Sa’id bin Amir.
Dan ketika para wakil rakyat dan gubernurnya telah berkumpul di hadapan Umar, beliau berkata, “Apa yang kalian keluhkan dari gubernur kalian?”
Mereka menjawab, “Beliau tidak keluar kepada kami kecuali jika hari telah siang.” Maka Umar berkata, “Apa jawabmu tentang hal itu wahai Sa’id?.”
Maka Sa’id terdiam sebentar, kemudian berkata, “Demi Allah sesungguhnya aku tidak ingin mengucapkan hal itu, namun kalau memang harus dijawab,… sesungguhnya keluargaku tidak mempunyai pembantu, maka aku setiap pagi terpaksa harus (membantu istriku, red) membuat adonan, kemudian aku tunggu sebentar sehingga adonan itu menjadi mengembang, kemudian aku buat adonan itu menjadi roti untuk mereka, kemudian aku berwudlu dan keluar menemui orang-orang.”.
Umar berkata, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Wakil rakyatnya menjawab, “Sesungguhnya beliau tidak menerima tamu pada malam hari.” Umar berkata, “Apa jawabmu tentang hal itu wahai Sa’id?”
Sa’id menjawab, “Sesungguhnya Demi Allah aku tidak suka untuk mengumumkan ini juga, … aku telah menjadikan siang hari untuk mereka dan malam hari hanya untuk Allah Azza wa Jalla (ibadah / sholat malam, red)”.
Umar meneruskan, “Wahai para wakil rakyat, apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya beliau tidak keluar menemui kami satu hari dalam setiap bulannya.” Umar berkata, “Dan apa ini wahai Sa’id?”
Sa’id sang Gubernur Hims menjawab, “Aku tidak mempunyai pembantu wahai Amirul mu’minin, dan aku tidak mempunyai baju kecuali yang aku pakai ini, dan aku mencucinya sekali dalam sebulan, dan aku menunggunya hingga baju itu kering, kemudian aku keluar menemui mereka pada sore hari”.
Kemudian Umar melanjutkan : “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Para wakil rakyat menjawab, “Beliau sering pingsan, hingga ia tidak tahu orang-orang yang duduk di majelisnya.” Lalu Umar berkata, “Dan bagaimana mengenai ini wahai Sa’id?” Maka Sa’id bin Amir menjawab, “Aku telah menyaksikan pembunuhan Khubaib bin Adiy, kala itu aku masih musyrik, dan aku melihat orang-orang Quraisy memotong-motong badannya sambil berkata, “Apakah kamu ingin kalau Muhammad menjadi penggantimu?” maka Khubaib berkata, “Demi Allah aku tidak ingin merasa tenang dengan istri dan anak, sementara Muhammad tertusuk duri… , …. Dan demi Allah, aku tidak mengingat hari itu dan bagaimana aku tidak menolongnya saat itu, kecuali aku khawatir bahwa Allah tidak mengampuni aku… maka akupun jatuh pingsan setiap kali teringat peristiwa itu”.
Seketika itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menyimpangkan dugaanku terhadapnya”.
Kemudian beliau memberikan seribu dinar kepada Sa’id bin Amir. Ketika istrinya melihatnya ia berkata kepadanya, “Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kita dari pekerjaan berat untukmu, belilah bahan makanan dan sewalah seorang pembantu untuk meringankan pekerjaan kita”,
Sa’id berkata kepada istrinya, “Apakah kamu menginginkan sesuatu yang lebih baik dari itu?” Istrinya menjawab, “Apa itu?”
Said menjelaskan, “Kita berikan dinar itu kepada yang mendatangkannya kepada kita, pada saat kita lebih membutuhkannya.” Istrinya berkata, “Apa itu?”, Ia menjawab, “Kita pinjamkan dinar itu kepada Allah dengan pinjaman yang baik.” Istrinya berkata, “Benar, dan semoga engkau dibalas dengan kebaikan".
Maka sebelum ia meninggalkan tempat duduknya dinar-dinar itu telah dibagi dalam kantong-kantong kecil, Sa’id kemudian meminta salah seorang keluarganya, “Bagikanlah ini kepada jandanya fulan, dan kepada anak-anak yatimnya fulan, dan kepada orang-orang miskin keluarga fulan, dan kepada fakirnya keluarga fulan”.
Mudah-mudahan Allah meridhai Sa’id bin Amir al-Jumahi, karena ia adalah termasuk orang-orang yang mendahulukan(orang lain) atas dirinya walaupun dirinya sangat membutuhkan. (1).
Subhanallah.
(1). Untuk tambahan tentang biografi Sa’id bin Amr al-Jumahi, lihatlah: Al-Tahdzib:4/51, Ibnu ‘Asakir:6/145-147, Shifat al-Shafwah:1/273, Hilyatul auliya’:1/244, Tarih al-Islam:2/35, Al-Ishabah:3/326, Nasab Quraisy:399.
sumber :
http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/11/sa%E2%80%99id-bin-amir-al-jumahi/
sumber : http://kebunhidayah.wordpress.com/2012/05/06/said-bin-amir-al-jumahi-pemimpin-zuhud-pilihan-umar-bin-khatab/
Berikut ini kisah kezuhudannya, semoga bisa menjadi inspirasi bagi diri kita dan para pemimpin kita.
Masa Muda dan Masuk Islamnya Sa’id bin Amir al-JumahiAdalah seorang anak muda Sa’id bin Amir Al-Jumahi salah satu dari beribu-ribu orang yang tertarik untuk pergi menuju daerah Tan’im di luar kota Makkah, dalam rangka menghadiri panggilan pembesar-pembesar Quraisy (pada masa sebelum ditaklukkan kaum muslimin, red), untuk menyaksikan hukuman mati yang akan ditimpakan kepada Khubaib bin ‘Adiy, salah seorang sahabat Muhammad yang diculik oleh mereka.
Kepiawaian dan postur tubuhnya yang gagah, ia mendapatkan kedudukan yang lebih dari pada orang-orang, sehingga ia dapat duduk berdampingan dengan pembesar-pembesar Quraisy, seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, dan orang-orang yang mempunyai wibawa lainnya.
Dengan demikian ia dapat melihat dengan jelas tawanan Quraisy yang terikat dengan tali, suara gemuruh perempuan, anak-anak dan remaja senantiasa mendorong tawanan itu menuju arena kematian, karena kaum Quraisy ingin membalas Muhammad atas kematian orang-orangnya ketika perang Badar dengan cara membunuhnya.
Ketika rombongan yang garang ini dengan tawanannya, sampai di tempat yang telah disediakan, anak muda Sa’id bin Amir Al-Jumahi berdiri tegak memandangi Khubaib yang sedang diarak menuju kayu penyaliban, dan ia mendengar suaranya yang teguh dan tenang di antara teriakan wanita-wanita dan anak-anak, Khubaib berkata, “Izinkan saya untuk shalat dua raka’at sebelum pembunuhanku ini jika kalian berkenan".
Kemudian ia memandanginya, sedangkan Khubaib menghadap kiblat dan shalat dua raka’at, alangkah bagusnya dan indahnya shalatnya itu…
Kemudian ia melihat, Khubaib seandainya menghadap pembesar-pembesar kaum dan berkata, “Demi Allah! Jika kalian tidak menyangka bahwa saya memperpanjang shalat karena takut mati, tentu saya telah memperbanyak shalat…”.
Kemudian ia melihat kaumnya dengan mata kepalanya, mereka memotong-motong Khubaib dalam keadaan hidup, mereka memotongnya sepotong demi sepotong, sambil berkata, “Apakah kamu ingin kalau Muhammad menjadi penggantimu dan kamu selamat?”, maka ia menjawab- sementara darah mengucur dari badannya, “Demi Allah! Saya tidak suka bersenang-senang dan berkumpul bersama istri dan anak sedangkan Muhammad tertusuk duri” . Maka orang-orang melambaikan tangannya ke atas, dan teriakan mereka semakin keras, “Bunuh!-bunuh…!".
Kemudian Sa’id bin Amir melihat Khubaib mengarahkan pandangannya ke langit dari atas kayu salib, dan berkata, “Ya Allah ya Tuhan kami! Hitunglah mereka dan bunuhlah mereka satu persatu serta janganlah Engkau tinggalkan satupun dari mereka”, kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya, dan di badannya tidak terhitung lagi bekas tebasan pedang dan tusukan tombak.
Orang-orang Quraisy telah kembali ke Makkah, dan mereka telah melupakan kejadian Khubaib dan pembunuhannya karena banyak kejadian-kejadian setelahnya. Akan tetapi anak muda Sa’id bin Amir Al-Jumahi tidak bisa menghilangkan bayangan Khubaib dari pandangannya walau sekejap mata.
Ia memimpikannya ketika sedang tidur, dan melihatnya dengan khayalan ketika matanya terbuka, Khubaib senantiasa terbayang di hadapannya sedang melakukan shalat dua raka’at dengan tenang di depan kayu salib, dan ia mendengar rintihan suaranya di telinganya, ketika Khubaib berdo’a untuk kebinasaan orang-orang Quraisy, maka ia takut kalau ia tersambar petir atau ketiban batu dari langit.
Khubaib telah mengajari Sa’id sesuatu yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Ia mengajarinya bahwa hidup yang sesungguhnya adalah aqidah dan jihad di jalan aqidah itu hingga akhir hayat. Ia mengajarinya juga bahwa iman yang kokoh akan membuat keajaiban dan kemu’jizatan. Dan ia mengajarinya sesuatu yang lain, yaitu bahwa sesungguhnya seorang laki-laki yang dicintai oleh para sahabatnya dengan kecintaan yang sedemikian rupa, tidak lain adalah nabi yang mendapat mandat dari langit.
Semenjak itu Allah membukakan dada Sa’id bin Amir untuk Islam, lalu ia berdiri di hadapan orang banyak dan memproklamirkan kebebasannya dari dosa-dosa Quraisy, berhala-berhala dan patung-patung mereka, dan menyatakan ikrarnya terhadap agama Allah. Sa’id bin Amir berhijrah ke Madinah, dan mengabdikan diri kepada Rasulullah , dan ia ikut serta dalam perang Khaibar dan peperangan-peperangan setelahnya.
Khalifah Umar bin Khatab Mengangkat Sa’id bin Umar al-Jumahi Sebagai Gubernur HimshDan ketika Nabi yang mulia shalallahu alaihi wasalaam dipanggil menghadap Tuhannya, -saat itu beliau sudah meridhainya- ia mengabdikan diri dengan pedang terhunus di zaman dua khalifah Abu Bakar dan Umar, dan hidup bagaikan contoh satu-satunya bagi orang mu’min yang membeli akhirat dengan dunia, dan mementingkan keridhaan Allah dan pahala-Nya atas segala keinginan hawa nafsu dan syahwat badannya.
Kedua khalifah Rasulullah telah mengetahui tentang kejujuran dan ketakwaan Sa’id bin Amir, bahkan kedua khalifah besar ini mau mendengar nasihat-nasihatnya dan memperhatikan pendapatnya.
Sebagai contoh, semasa awal kekhilafahan Umar, ia menemui Umar dan berkata, “Wahai Umar, aku berwasiat kepadamu, agar kamu takut kepada Allah dalam urusan manusia, dan janganlah kamu takut kepada manusia dalam urusan Allah, dan janganlah ucapanmu bertentangan dengan perbuatanmu, karena sesungguhnya ucapan yang paling baik adalah yang sesuai dengan perbuatan…".
“Wahai Umar, hadapkanlah wajahmu untuk orang yang Allah serahkan urusannya kepadamu, baik orang-orang muslim yang jauh atau yang dekat, cintailah mereka sebagaimana kamu mencintai dirimu dan keluargamu, dan bencilah untuk mereka sesuatu yang kamu benci bagi dirimu dan keluargamu, dan tundukkanlah beban menjadi kebenaran dan janganlah kamu takut celaan orang yang mencela dalam urusan Allah”.
Maka Umar berkata, “Siapakah yang mampu menjalankan itu wahai Sa’id?!.”
Ia menjawab, “Orang laki-laki sepertimu mampu melakukannya, yaitu di antara orang-orang yang Allah serahkan urusan umat Muhammad shalalahhu alaihi wasalam kepadanya, dan tidak ada seorangpun perantara antara ia dan Allah".
Beberapasa saat setelah itu, Umar mengajak Sa’id untuk membantunya mengurus negeri-negeri yang dikuasai kaum muslimin dan berkata, “Wahai Sa’id, aku menugaskan kamu sebagai gubernur atas penduduk Himsh”.
Maka Said berkata, “Hai Umar! aku ingatkan dirimu terhadap Allah; Janganlah kamu menjerumuskanku ke dalam fitnah".
Maka Umar marah dan berkata, “Celaka kalian, kalian menaruh urusan negara ini di atas pundakku (seorang diri, red), lalu kalian berlepas diri dariku!!. Demi Allah aku tidak akan melepasmu".
Kemudian ia mengangkatnya menjadi gubernur di Himsh, dan beliau berkata, “Kami akan memberi kamu gaji.” Sa’id berkata, “Untuk apa gaji itu wahai Amirul mu’minin? karena pemberian untukku dari baitul mal telah melebihi kebutuhanku.” Kemudian ia berangkat ke Himsh tanpa mengambil gajinya.
Lama berselang, suatu hari datanglah beberapa utusan dari penduduk Himsh kepada Amirul mu’minin (Umar bin Khatab radiyallahu anhu), maka Umar berkata kepada para utusan tersebut, “Tuliskan nama-nama orang fakir kalian dari negeri Himsh, supaya aku dapat menutup kebutuhan mereka.” Maka mereka menyodorkan selembar tulisan, yang di dalamnya ada Fulan, Fulan dan hingga tertulis nama Sa’id bin Amir.
Umar bertanya-tanya: “Siapa gerangan Sa’id bin Amir yang ini?.”
Mereka menjawab, “Gubernur kami.”
Umar sangat kaget, “Gubernurmu fakir?”
Mereka berkata, “Benar wahai Amirul Mu’minin, dan demi Allah sudah beberapa hari di rumahnya tidak ada api".
Maka Umar menangis hingga janggutnya basah oleh air mata, kemudian beliau mengambil seribu dinar dan menaruhnya dalam kantong kecil dan berkata, Sampaikan salamku, dan katakan kepadanya Amirul mu’minin memberinya harta ini supaya ia dapat menutup kebutuhan hariannya.”
Saat para utusan itu mendatangi Sa’id dengan membawa kantong, lalu Sa’id membukanya ternyata di dalamnya ada uang dinar, lalu ia segera meletakkannya jauh dari dirinya seperti melihat benda yang menakutkan, dan berkata: (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan dikembalikan kepada-Nya)- seolah-olah ia tertimpa musibah dari langit atau ada suatu bahaya di hadapannya, hingga keluarlah istrinya dengan wajah kebingungan dan berkata, “Ada apa wahai Sa’id?!, Apakah Amirul mu’minin meninggal dunia?.
Said menjawab, “Bahkan lebih besar dari itu.”
Istrinya berkata, “Apakah orang-orang muslim dalam bahaya?”
Ia menjawab, “Bahkan lebih besar dari itu.”
Istrinya berkata, “Apa yang lebih besar dari itu?”
Ia menjawab, “Dunia telah memasuki diriku untuk merusak akhiratku, dan fitnah telah datang ke rumahku.”
Istrinya berkata, “Bebaskanlah dirimu darinya.” -saat itu istrinya tidak mengetahui tentang uang-uang dinar itu sama sekali-. Ia berkata, “Apakah kamu mau membantu aku untuk itu?” Istrinya menjawab, “Ya!” Lalu ia mengambil uang-uang dinar dan memasukkannya ke dalam kantong-kantong kecil kemudian ia membagikannya kepada orang-orang muslim yang fakir.
4 Keluhan Rakyat Atas Said bin AmirSuatu hari Amirul Mukminin, Umar bin al-Khattab radiyallahu anhu, datang ke negeri Syam untuk melihat keadaan negeri-negeri Islam, dan ketika beliau singgah di Himsh -waktu itu disebut dengan ‘Al-Kuwaifah’ yaitu bentuk kecil dari kalimat Al-Kufah-, karena memang Himsh menyerupainya baik dalam bentuknya atau banyaknya keluhan dari penduduk akan pejabat-pejabat dan penguasa-penguasanya. Ketika beliau singgah di negeri itu, penduduknya menyambut dan menyalaminya, maka Umar berkata kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian tentang gubernur kalian?”.
Maka mereka mengadukan kepadanya empat keluhan tentang pemimpin mereka Sa’id bin Amir, yang masing-masing lebih besar dari yang lainnya. Umar kemudian mengumpulkan sang Gubernur, Sa’id bin Amir, dia dengan sebagian dari mereka dalam suatu majelis, sementara itu Umar berdo’a kepada Allah supaya Dia tidak menyimpangkan dugaanku terhadapnya, karena selama ini Umar selalu menaruh kepercayaan yang sangat besar kepada Sa’id bin Amir.
Dan ketika para wakil rakyat dan gubernurnya telah berkumpul di hadapan Umar, beliau berkata, “Apa yang kalian keluhkan dari gubernur kalian?”
Mereka menjawab, “Beliau tidak keluar kepada kami kecuali jika hari telah siang.” Maka Umar berkata, “Apa jawabmu tentang hal itu wahai Sa’id?.”
Maka Sa’id terdiam sebentar, kemudian berkata, “Demi Allah sesungguhnya aku tidak ingin mengucapkan hal itu, namun kalau memang harus dijawab,… sesungguhnya keluargaku tidak mempunyai pembantu, maka aku setiap pagi terpaksa harus (membantu istriku, red) membuat adonan, kemudian aku tunggu sebentar sehingga adonan itu menjadi mengembang, kemudian aku buat adonan itu menjadi roti untuk mereka, kemudian aku berwudlu dan keluar menemui orang-orang.”.
Umar berkata, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Wakil rakyatnya menjawab, “Sesungguhnya beliau tidak menerima tamu pada malam hari.” Umar berkata, “Apa jawabmu tentang hal itu wahai Sa’id?”
Sa’id menjawab, “Sesungguhnya Demi Allah aku tidak suka untuk mengumumkan ini juga, … aku telah menjadikan siang hari untuk mereka dan malam hari hanya untuk Allah Azza wa Jalla (ibadah / sholat malam, red)”.
Umar meneruskan, “Wahai para wakil rakyat, apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya beliau tidak keluar menemui kami satu hari dalam setiap bulannya.” Umar berkata, “Dan apa ini wahai Sa’id?”
Sa’id sang Gubernur Hims menjawab, “Aku tidak mempunyai pembantu wahai Amirul mu’minin, dan aku tidak mempunyai baju kecuali yang aku pakai ini, dan aku mencucinya sekali dalam sebulan, dan aku menunggunya hingga baju itu kering, kemudian aku keluar menemui mereka pada sore hari”.
Kemudian Umar melanjutkan : “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Para wakil rakyat menjawab, “Beliau sering pingsan, hingga ia tidak tahu orang-orang yang duduk di majelisnya.” Lalu Umar berkata, “Dan bagaimana mengenai ini wahai Sa’id?” Maka Sa’id bin Amir menjawab, “Aku telah menyaksikan pembunuhan Khubaib bin Adiy, kala itu aku masih musyrik, dan aku melihat orang-orang Quraisy memotong-motong badannya sambil berkata, “Apakah kamu ingin kalau Muhammad menjadi penggantimu?” maka Khubaib berkata, “Demi Allah aku tidak ingin merasa tenang dengan istri dan anak, sementara Muhammad tertusuk duri… , …. Dan demi Allah, aku tidak mengingat hari itu dan bagaimana aku tidak menolongnya saat itu, kecuali aku khawatir bahwa Allah tidak mengampuni aku… maka akupun jatuh pingsan setiap kali teringat peristiwa itu”.
Seketika itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menyimpangkan dugaanku terhadapnya”.
Kemudian beliau memberikan seribu dinar kepada Sa’id bin Amir. Ketika istrinya melihatnya ia berkata kepadanya, “Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kita dari pekerjaan berat untukmu, belilah bahan makanan dan sewalah seorang pembantu untuk meringankan pekerjaan kita”,
Sa’id berkata kepada istrinya, “Apakah kamu menginginkan sesuatu yang lebih baik dari itu?” Istrinya menjawab, “Apa itu?”
Said menjelaskan, “Kita berikan dinar itu kepada yang mendatangkannya kepada kita, pada saat kita lebih membutuhkannya.” Istrinya berkata, “Apa itu?”, Ia menjawab, “Kita pinjamkan dinar itu kepada Allah dengan pinjaman yang baik.” Istrinya berkata, “Benar, dan semoga engkau dibalas dengan kebaikan".
Maka sebelum ia meninggalkan tempat duduknya dinar-dinar itu telah dibagi dalam kantong-kantong kecil, Sa’id kemudian meminta salah seorang keluarganya, “Bagikanlah ini kepada jandanya fulan, dan kepada anak-anak yatimnya fulan, dan kepada orang-orang miskin keluarga fulan, dan kepada fakirnya keluarga fulan”.
Mudah-mudahan Allah meridhai Sa’id bin Amir al-Jumahi, karena ia adalah termasuk orang-orang yang mendahulukan(orang lain) atas dirinya walaupun dirinya sangat membutuhkan. (1).
Subhanallah.
(1). Untuk tambahan tentang biografi Sa’id bin Amr al-Jumahi, lihatlah: Al-Tahdzib:4/51, Ibnu ‘Asakir:6/145-147, Shifat al-Shafwah:1/273, Hilyatul auliya’:1/244, Tarih al-Islam:2/35, Al-Ishabah:3/326, Nasab Quraisy:399.
sumber :
http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/11/sa%E2%80%99id-bin-amir-al-jumahi/
sumber : http://kebunhidayah.wordpress.com/2012/05/06/said-bin-amir-al-jumahi-pemimpin-zuhud-pilihan-umar-bin-khatab/
0 komentar:
Posting Komentar