Mimpi adalah suatu keadaan di mana manusia mengalami suatu kejadian yang memberikan gambaran kehidupan lain yang terkadang bisa memberikan makna dalam kehidupan sesungguhnya. Dan ini dialami oleh setiap individu yang terobsesi untuk melakukan tindakan yang terekam di alam bawah sadar, sehingga memunculkan banyak fenomena pemikiran yang mendominasi pikiran manusia saat dia terlelap di dalam tidurnya.
Mimpi bisa jadi isyarat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hambanya berupa berita baik ataupun buruk, dan mimpi ada yang memiliki makna, ada pula yang berupa mimpi kosong sekedar permainan syaithan terhadap manusia.
Al Qur’an dan As Sunnah telah memberikan penjelasannya dengan penjelasan yang bisa dijadikan pegangan dan patokan oleh setiap orang yang mengalami hal ini. Namun yang perlu kami ingatkan bahwa mimpi tidaklah dapat dijadikan sebagai patokan syariat. Dalam arti, dengan mimpi ini seseorang tidak boleh menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, mengamalkan atau meninggalkan salah satu ibadah. Tidak. Jangan seperti sekelompok kaum sufi yang jahil, yang karena mimpi melihat dia menyembelih anaknya, demikian juga beberapa orang lainnya, lalu mereka beramai-ramai menyembelih anaknya.
Atau seperti yang diceritakan dari salah seorang tokoh mereka bahwa dalam keadaan setengah terjaga diberi tugas oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjalankan tarekat ini dan itu. Maha Suci Allah, ini adalah kebohongan yang nyata. Dan kami ingatkan pula dengan satu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi: “Apabila zaman semakin terasa dekat (waktu terasa singkat), hampir-hampir mimpi seorang mukmin tidaklah berdusta, dan yang paling benar mimpinya adalah yang paling benar ucapannya.”.
Pembagian Jenis Mimpi
Mimpi itu ada tiga jenis:
Adab-adab Bila Bermimpi
Bila mendapati mimpi yang baik, maka disunnahkan bagi yang melihatnya untuk menjalankan empat hal berikut ini, yaitu:
Yang pertama: Tanda-tanda Mimpi yang Benar
Mimpi ini sangat berbeda dengan yang telah kami paparkan. Sehingga kalau mimpi itu meliputi berbagai perkara yang mendatangkan duka cita, keresahan, ketakutan dan sebagainya, maka tidak perlu diperhatikan karena itu adalah buatan syaithan.
Al-’Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan:
“Perbedaan antara ahlam [3] yang merupakan mimpi-mimpi kosong dan tidak bisa dita’wil, seperti orang yang bermimpi dalam keadaan dia sibuk berpikir dan berangan-angan terhadap suatu persoalan. Maka kebanyakan yang dilihatnya dalam tidurnya adalah sejenis dengan apa yang dipikirkannya ketika dia dalam keadaan jaga. Jenis ini biasanya adalah mimpi kosong yang tidak ada ta’wilnya.
Demikian juga bentuk lain yang dilemparkan syaithan kepada ruh orang yang tidur, berupa mimpi dusta dan makna-makna yang kacau. Ini juga mimpi yang tidak ada ta’wilnya. Dan tidak perlu menyibukkan pikirannya dengan hal ini. Bahkan sebaiknya dia membiarkannya begitu saja. Adapun mimpi yang benar, maka itu adalah ilham yang diberikan Allah kepada ruh ketika dia lepas dari jasad pada waktu tidur. Atau tamsil (permisalan) yang dibuat oleh malaikat bagi seorang manusia agar dia memahami apa yang sesuai dengan tamsil itu. Yakni, kadang dia melihat sesuatu sesuai hakekatnya, dan ta’birnya adalah apa yang dilihatnya dalam tidurnya.” [4].
Pembagian Golongan Manusia Menurut Mimpi
Telah kami uraikan pembagian mimpi ini menurut mimpi itu sendiri. Sedangkan menurut orang yang melihatnya (yang bermimpi), juga terbagi menjadi beberapa bagian. Dan ini sesuai dengan jujur tidaknya orang yang bermimpi. Berdasarkan keadaan orang yang bermimpi, ahli ilmu membagi keadaan manusia sehubungan dengan mimpi ini menjadi lima bagian, yaitu:
2. Mimpi orang-orang shalih
Mereka berada pada urutan kedua setelah para nabi dan rasul Allah. Yang dominan pada mimpi mereka adalah kebenaran. Namun di antaranya ada yang perlu dita’birkan dan ada pula yang tidak perlu, (karena mimpi itu) sudah menunjukkan suatu perkara yang sangat jelas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Yang paling benar mimpinya adalah yang paling benar ucapannya.” Dan beliau juga bersabda:“Mimpi yang baik dari orang yang shalih adalah satu dari 46 bagian kenabian (nubuwwah).” (HSR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim).
3. Mimpi para masturin (orang yang tidak dikenal keadaannya)
Yaitu orang-orang yang tidak diketahui apakah dia melakukan shalat, berzakat, haji dan ketaatan lainnya, mereka kurang dalam sebagian amalan dan mempunyai dosa yang lebih rendah dari syirik. Mereka ini juga mempunyai mimpi, namun kadang dari Allah dan kadang dari syaithan.
4. Mimpi orang-orang fasik
Mimpi mereka sangat sedikit benarnya, yang paling dominan adalah mimpi-mimpi kosong yang merupakan permainan syaithan.
5. Mimpi orang yang kafir
Mimpi mereka sangat jarang benarnya. Hal ini karena kekejian dan kekafiran mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan pada umumnya mimpi mereka adalah dari syaithan. Akan tetapi kadang mereka melihat mimpi yang benar. Namun demikian dipertanyakan, apakah mimpi tersebut berasal dari wahyu atau kita katakan satu dari 46 bagian kenabian?
Al-Imam Al-Qurthubi menjawab hal ini, beliau mengatakan: “Jika dikatakan bahwa mimpi yang benar itu adalah satu bagian dari kenabian, bagaimana mungkin orang yang kafir dan pendusta serta kacau keadaannya memperoleh atau bisa mendapatkannya? Jawabnya ialah bahwasanya orang yang kafir, fajir (jahat), fasik dan pendusta itu, meskipun suatu ketika mimpi mereka benar, itu bukanlah dari wahyu dan bahkan juga bukan dari nubuwwah. Karena tidaklah semua yang benar dalam berita tentang perkara ghaib, lantas beritanya merupakan nubuwwah. Dan sudah dijelaskan dalam surat Al-An’am bahwa seorang dukun atau yang lainnya (paranormal dan sejenisnya) kadang-kadang menyampaikan suatu berita dengan pernyataan yang benar (haq) lalu dibenarkan (dipercayai). Akan tetapi hal itu sangat jarang dan sedikit sekali. Demikian pula mimpi mereka ini.” [5].
Larangan Berdusta Tentang Mimpi
Jika ada sekelompok orang melihat mimpi yang sama, ini dinamakan kesesuaian, meskipun ungkapannya berbeda-beda. [8]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menerangkan makna hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ada beberapa shahabat bermimpi malam lailatul qadar pada 7 malam terakhir… Kata beliau: “Faedah dari hadits ini menunjukkan bahwa kesesuaian (kesamaan) mimpi pada sekelompok orang, menegaskan tentang tepat dan benarnya mimpi itu. Sebagaimana diambil faedah tentang kuatnya suatu berita yang bersumber dari satu kelompok.” [9].
Apakah Mimpi Itu akan Terjadi Segera setelah Dita’birkan?
Sebagian orang menunggu terjadinya ta’bir mimpi yang dilihatnya. Ini jelas tidak benar. Karena tercapainya tujuan mimpi yang mungkin saja tertunda satu atau beberapa tahun. Tidakkah anda lihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat mimpi pembebasan kota Makkah sebelum ditaklukkan, satu tahun sebelumnya? Bahkan Nabi Yusuf ‘alaihi salam tidak melihat bukti ta’bir mimpinya kecuali setelah lebih dari 30 tahun. Maka terjadinya kejadian yang bersifat kodrati ini adalah dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala pada waktuknya yang telah tertulis di sisi-Nya di Lauhul Mahfuzh.
Terburu-buru mengharapkan terjadinya, bukanlah tuntutan yang semestinya. Akan tetapi yang perlu diperhatijan adalah kesiapan jiwa untuk menghadapi bukti mimpi tersebut, kalau di dalamnya terdapat berita gembira (busyra) yang ditunggu, atau peringatan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Footnote:
[1] Kalau tadi dia tidur menghadap ke kiri dia ganti posisi menghadap ke kanan. Wallahu a’lam -pent.
[2] Dengan lafadz ini, tidak kami temukan dalam jami’-nya At-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[3] Ahlam adalah bentuk jamak dari hulm yaitu mimpi yang tidak benar.
[4] Al-Majmu’atul Kamilah li Mu’allafat Ibnu Sa’di, (1/108).
[5] Tafsir Al-Qurthubi, (9/124]
[6] Ru’ya adalah mimpi yang baik.
[7] Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/515-515.
[8] Tapi perlu diingat bahwa mimpi tidak bisa dijadikan sumber hukum syariat atau amalan. Wallahu a’lam.
[9] Fathul Bari (12/380).
Referensi:
sumber : http://yaaukhti.wordpress.com/2011/03/24/risalah-seputar-mimpi/
Mimpi bisa jadi isyarat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hambanya berupa berita baik ataupun buruk, dan mimpi ada yang memiliki makna, ada pula yang berupa mimpi kosong sekedar permainan syaithan terhadap manusia.
Al Qur’an dan As Sunnah telah memberikan penjelasannya dengan penjelasan yang bisa dijadikan pegangan dan patokan oleh setiap orang yang mengalami hal ini. Namun yang perlu kami ingatkan bahwa mimpi tidaklah dapat dijadikan sebagai patokan syariat. Dalam arti, dengan mimpi ini seseorang tidak boleh menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, mengamalkan atau meninggalkan salah satu ibadah. Tidak. Jangan seperti sekelompok kaum sufi yang jahil, yang karena mimpi melihat dia menyembelih anaknya, demikian juga beberapa orang lainnya, lalu mereka beramai-ramai menyembelih anaknya.
Atau seperti yang diceritakan dari salah seorang tokoh mereka bahwa dalam keadaan setengah terjaga diberi tugas oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjalankan tarekat ini dan itu. Maha Suci Allah, ini adalah kebohongan yang nyata. Dan kami ingatkan pula dengan satu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi: “Apabila zaman semakin terasa dekat (waktu terasa singkat), hampir-hampir mimpi seorang mukmin tidaklah berdusta, dan yang paling benar mimpinya adalah yang paling benar ucapannya.”.
Pembagian Jenis Mimpi
Mimpi itu ada tiga jenis:
- Mimpi yang baik, sebagai berita gembira (busyra) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan satu bagian dari 46 bagian dari kenabian (nubuwwah).
- Mimpi yang buruk, sebagai gangguan syaithan untuk menyusahkan Bani Adam dan mempermainkannya di dalam mimpinya.
- Mimpi karena bisikan jiwa sendiri atau keinginannya di waktu terjaga, lalu dilihatnya di dalam mimpi, termasuk juga kebiasaannya ketika dia dalam keadaan jaga. Seperti seseorang yang biasanya makan ketika itu, lalu dia tidur dan melihat dalam mimpinya dia makan. Atau seseorang bermalam dalam keadaan kekenyangan, lalu dia lihat dalam mimpi bahwa dia muntah.
Adab-adab Bila Bermimpi
Bila mendapati mimpi yang baik, maka disunnahkan bagi yang melihatnya untuk menjalankan empat hal berikut ini, yaitu:
- Memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala karena mendapatkannya.
- Bergembira dengan mimpi itu.
- Menceritakannya hanya kepada yang dia cintai.
- Menafsirkannya dengan tafsir yang baik dan tepat, karena mimpi itu terjadi sesuai dengan apa yang ditafsirkan.
- Isti’adzah (memohon perlindungan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kejelekan mimpi itu.
- Isti’adzah dari syaithan tiga kali (mengucapkan: A’udzu billahi minasy-Syaithanirrajiim, artinya saya berlindung kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk).
- Meludah ke kiri tiga kali.
- Mengganti posisi tidur. [1]
- Menegakkan shalat.
- Tidak menceritakannxa kepada siapapun.
- Tidak menafsirkannya sendiri.
- Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Apabila salah seorang dari kalian melihat mimpi yang disukainya, maka itu adalah dari Allah, dan hendaklah dia memuji Allah serta menceritakannya. Dan kalau dia melihat yang selain itu, berupa mimpi yang tidak disukainya, maka itu dari syaithan, maka hendaklah dia memohon pertolongan (kepada Allah) dari kejahatannya dan jangan menyebut-nyebutnya, maka hal itu tidak akan memudharatkannya.”
- Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, katanya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Jika salah seorang dari kalian melihat mimpi yang baik, maka hendaklah dia tafsirkan dan dia ceritakan. Dan kalau dia mimpi yang buruk, maka janganlah dia tafsirkan dan jangan pula menceritakannya.” [2]
- Diriwayatkan oleh Syaikhain (Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim) dari Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu, katanya:“Sungguh saya pernah bermimpi kemudian saya sakit, hingga saya mendengar Abu Qatadah berkata: ‘Saya pernah bermimpi kemudian saya sakit hingga saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: “Mimpi yang baik datangnya dari Allah. Jika salah seorang dari kalian bermimpi sesuatu yang disukainya, maka janganlah diceritakannya kecuali kepada orang yang dicintainya. Dan jika dia bermimpi sesuatu yang tidak disukainya, maka hendaklah dia memohon perlindungan kepada Allah dari kejelekkannya dan dari kejahatan syaithan serta meludah tiga kali, dan jangan menceritakannya kepada siapapun, karena hal itu tidak akan memberi madharat kepadanya.
- Dalam riwayat Al-Imam Muslim:“Jika dia melihat mimpi yang baik, maka hendaklah dia bergembira dan jangan dia ceritakan kecuali kepada orang yang dicintainya.”
- Al-Imam Muslim juga meriwayatkan dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:“Apabila salah seorang dari kalian melihat mimpi yang tidak disukahnya, maka hendaklah dia meludah ke kiri tiga kali, dan mohon perlindungan kepada Allah dari godaan syaithan tiga kali, kemudian dia mengganti posisi tidurnya.”
- Al-Imam Muslim meriwayatkan pula dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:“Maka apabila salah seorang dari kalian melihat mimpi yang tidak disukainya, hendaklah dia berdiri dan menegakkan shalat, dan jangan menceritakannya kepada siapapun.”.
Yang pertama: Tanda-tanda Mimpi yang Benar
- Bersih dari mimpi kosong, bayangan-bayangan yang menakutkan dan meresahkan.
- Dapat dipahami ketika terjaga. Yang bermimpi tidak melihat dalam tidurnya sesuatu yang bertolak belakang, seperti mimpi melihat orang berdiri dalam keadaan duduk.
- Tidur dalam keadaan pikirannya jernih, tidak disibukkan oleh satu persoalan pun. Karena pada umumnya, mimpi orang yang seperti ini adalah karena bisikan jiwanya (angan-angannya) sebelum tidur. Misalnya dia dalam keadaan haus lalu tertidur dan dalam tidurnya dia mimpi sedang minum. Atau lapar lalu mimpi sedang makan dan sebagainya.
- Mimpi tersebut dapat dita’wil dan sesuai dengan yang ada di dalam Lauhul Mahfuzh. Kalau mimpi itu kadang terlihat begini atau kadang begitu, maka itu tidaklah dinamakan mimpi yang baik dan benar. Karena mimpi yang benar itu harus tersusun rapi yang sesuah dan memungkinkan untuk dita’wilkan (ditafsirkan).
Mimpi ini sangat berbeda dengan yang telah kami paparkan. Sehingga kalau mimpi itu meliputi berbagai perkara yang mendatangkan duka cita, keresahan, ketakutan dan sebagainya, maka tidak perlu diperhatikan karena itu adalah buatan syaithan.
Al-’Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan:
“Perbedaan antara ahlam [3] yang merupakan mimpi-mimpi kosong dan tidak bisa dita’wil, seperti orang yang bermimpi dalam keadaan dia sibuk berpikir dan berangan-angan terhadap suatu persoalan. Maka kebanyakan yang dilihatnya dalam tidurnya adalah sejenis dengan apa yang dipikirkannya ketika dia dalam keadaan jaga. Jenis ini biasanya adalah mimpi kosong yang tidak ada ta’wilnya.
Demikian juga bentuk lain yang dilemparkan syaithan kepada ruh orang yang tidur, berupa mimpi dusta dan makna-makna yang kacau. Ini juga mimpi yang tidak ada ta’wilnya. Dan tidak perlu menyibukkan pikirannya dengan hal ini. Bahkan sebaiknya dia membiarkannya begitu saja. Adapun mimpi yang benar, maka itu adalah ilham yang diberikan Allah kepada ruh ketika dia lepas dari jasad pada waktu tidur. Atau tamsil (permisalan) yang dibuat oleh malaikat bagi seorang manusia agar dia memahami apa yang sesuai dengan tamsil itu. Yakni, kadang dia melihat sesuatu sesuai hakekatnya, dan ta’birnya adalah apa yang dilihatnya dalam tidurnya.” [4].
Pembagian Golongan Manusia Menurut Mimpi
Telah kami uraikan pembagian mimpi ini menurut mimpi itu sendiri. Sedangkan menurut orang yang melihatnya (yang bermimpi), juga terbagi menjadi beberapa bagian. Dan ini sesuai dengan jujur tidaknya orang yang bermimpi. Berdasarkan keadaan orang yang bermimpi, ahli ilmu membagi keadaan manusia sehubungan dengan mimpi ini menjadi lima bagian, yaitu:
- Para Nabi.
- Shalihun (orang-orang shalih)
- Masturun (yang tidak diketahui keadaannya)
- Fasaqah (orang-orang fasik)
- Kuffar (orang-orang kafir)
1. Mimpi para nabi
Mereka adalah manusia-manusia yang paling jujur (benar) mimpinya, dan ini tidak diragukan lagi. Karena mereka adalah orang-orang yang paling benar (jujur) ucapan dan perbuatannya. Sebab itulah mimpi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam bagaikan cahaya subuh (pagi) yang terang, karena mimpi beliau adalah wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau.2. Mimpi orang-orang shalih
Mereka berada pada urutan kedua setelah para nabi dan rasul Allah. Yang dominan pada mimpi mereka adalah kebenaran. Namun di antaranya ada yang perlu dita’birkan dan ada pula yang tidak perlu, (karena mimpi itu) sudah menunjukkan suatu perkara yang sangat jelas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Yang paling benar mimpinya adalah yang paling benar ucapannya.” Dan beliau juga bersabda:“Mimpi yang baik dari orang yang shalih adalah satu dari 46 bagian kenabian (nubuwwah).” (HSR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim).
3. Mimpi para masturin (orang yang tidak dikenal keadaannya)
Yaitu orang-orang yang tidak diketahui apakah dia melakukan shalat, berzakat, haji dan ketaatan lainnya, mereka kurang dalam sebagian amalan dan mempunyai dosa yang lebih rendah dari syirik. Mereka ini juga mempunyai mimpi, namun kadang dari Allah dan kadang dari syaithan.
4. Mimpi orang-orang fasik
Mimpi mereka sangat sedikit benarnya, yang paling dominan adalah mimpi-mimpi kosong yang merupakan permainan syaithan.
5. Mimpi orang yang kafir
Mimpi mereka sangat jarang benarnya. Hal ini karena kekejian dan kekafiran mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan pada umumnya mimpi mereka adalah dari syaithan. Akan tetapi kadang mereka melihat mimpi yang benar. Namun demikian dipertanyakan, apakah mimpi tersebut berasal dari wahyu atau kita katakan satu dari 46 bagian kenabian?
Al-Imam Al-Qurthubi menjawab hal ini, beliau mengatakan: “Jika dikatakan bahwa mimpi yang benar itu adalah satu bagian dari kenabian, bagaimana mungkin orang yang kafir dan pendusta serta kacau keadaannya memperoleh atau bisa mendapatkannya? Jawabnya ialah bahwasanya orang yang kafir, fajir (jahat), fasik dan pendusta itu, meskipun suatu ketika mimpi mereka benar, itu bukanlah dari wahyu dan bahkan juga bukan dari nubuwwah. Karena tidaklah semua yang benar dalam berita tentang perkara ghaib, lantas beritanya merupakan nubuwwah. Dan sudah dijelaskan dalam surat Al-An’am bahwa seorang dukun atau yang lainnya (paranormal dan sejenisnya) kadang-kadang menyampaikan suatu berita dengan pernyataan yang benar (haq) lalu dibenarkan (dipercayai). Akan tetapi hal itu sangat jarang dan sedikit sekali. Demikian pula mimpi mereka ini.” [5].
Larangan Berdusta Tentang Mimpi
- Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:“Barangsiapa yang mengaku telah bermimpi sesuatu padahal sebenarnya tidak maka ia akan dipaksa untuk duduk di antara dua helai rambut dan ia pasti tidak akan mampu melakukannya.” (HR. Bukhori no. 7042)
- Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Kedustaan yang paling besar ialah seorang laki-laki yang mengaku telah bermimpi melihat sesuatu padahal ia tidak melihatnya.” (HR. Bukhori no. 7043)
- Haram berdusta tentang mimpi dan perbuatan itu termasuk dosa besar yang terbesar, karena ia telah berdusta terhadap Allah. Adapun dusta yang dilakukan saat terjaga adalah dusta terhadap makhluk.
- Mimpi itu dari syaitan, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menamakan al-hulm bukan ru’ya [6]. Dan hulm (mimpi) di sini adalah dusta dan itu berarti dari syaitan. [7]
Jika ada sekelompok orang melihat mimpi yang sama, ini dinamakan kesesuaian, meskipun ungkapannya berbeda-beda. [8]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menerangkan makna hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ada beberapa shahabat bermimpi malam lailatul qadar pada 7 malam terakhir… Kata beliau: “Faedah dari hadits ini menunjukkan bahwa kesesuaian (kesamaan) mimpi pada sekelompok orang, menegaskan tentang tepat dan benarnya mimpi itu. Sebagaimana diambil faedah tentang kuatnya suatu berita yang bersumber dari satu kelompok.” [9].
Apakah Mimpi Itu akan Terjadi Segera setelah Dita’birkan?
Sebagian orang menunggu terjadinya ta’bir mimpi yang dilihatnya. Ini jelas tidak benar. Karena tercapainya tujuan mimpi yang mungkin saja tertunda satu atau beberapa tahun. Tidakkah anda lihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat mimpi pembebasan kota Makkah sebelum ditaklukkan, satu tahun sebelumnya? Bahkan Nabi Yusuf ‘alaihi salam tidak melihat bukti ta’bir mimpinya kecuali setelah lebih dari 30 tahun. Maka terjadinya kejadian yang bersifat kodrati ini adalah dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala pada waktuknya yang telah tertulis di sisi-Nya di Lauhul Mahfuzh.
Terburu-buru mengharapkan terjadinya, bukanlah tuntutan yang semestinya. Akan tetapi yang perlu diperhatijan adalah kesiapan jiwa untuk menghadapi bukti mimpi tersebut, kalau di dalamnya terdapat berita gembira (busyra) yang ditunggu, atau peringatan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Footnote:
[1] Kalau tadi dia tidur menghadap ke kiri dia ganti posisi menghadap ke kanan. Wallahu a’lam -pent.
[2] Dengan lafadz ini, tidak kami temukan dalam jami’-nya At-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[3] Ahlam adalah bentuk jamak dari hulm yaitu mimpi yang tidak benar.
[4] Al-Majmu’atul Kamilah li Mu’allafat Ibnu Sa’di, (1/108).
[5] Tafsir Al-Qurthubi, (9/124]
[6] Ru’ya adalah mimpi yang baik.
[7] Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/515-515.
[8] Tapi perlu diingat bahwa mimpi tidak bisa dijadikan sumber hukum syariat atau amalan. Wallahu a’lam.
[9] Fathul Bari (12/380).
Referensi:
- Kamus Tafsir Mimpi (judul asli: Qamusu Tafsirul Ahlam) karya Khalid bin ‘Ali bin Muhammad Al ‘Anbari, alih bahasa oleh Abu Muhammad Harits Abrar Thalib, penerbit: Pustaka Ar Rayyan.
- http://alislamu.com/new/3269/larangan-berdusta-tentang-mimpi
sumber : http://yaaukhti.wordpress.com/2011/03/24/risalah-seputar-mimpi/
0 komentar:
Posting Komentar