Hujjah yang paling lemah adalah hujjah suatu kaum yang menyandarkan diri kepada mimpi mimpi untuk melaksanakan atau meninggalkan suatu amalan. Mereka biasanya berkata “Kami bermimpi bertemu si fulan –biasanya seorang yang shalih– lalu dia berkata kepada kami ‘Tinggalkan amalan itu dan lakukan amalan ini”.
Sebagian yang lain berkata “ Aku bermimpi bertemu Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam diwaktu tidur lalu beliau berkata begini danmemerintahkan begitu” kemudian dia mengamalkan atau meninggalkan suatu amalan berdasarkan mimpinya itu, berpaling dari batasan batasan yang telah dibuat oleh syari’at.
Jelas itu suatu kesalahan. Karena, menurut syari’at, selain mimpi para Nabi sama sekali tidak bisa diambil sebagai hukum. Mimpi-mimpi tersebut harus dikembalikan kepada hukum hukum syari’at yang ada. Kalau cocok dengan hukum syari’at maka mimpi tersebut boleh diamalkan, namun jika tidak cocok maka wajib ditinggalkan dan dijauhi.
Mimpi bisa kita jadikan sebagai kabar gembira atau peringatan saja, tidak bisa dijadikan ketetapan hukum. Dan tidak bisa kita berkata “ Mimpi adalah salah satu bagian dari kenabian yang tidak boleh diabaikan. Bisa jadi yang mengabarkan mimpi itu adalah nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, karena beliau bersabda :
من رآني في المنام فقد رآني فإن الشيطان لا يتمثل بي
“Barangsiapa melihatku di waktu tidur maka dia benar benar telah melihatku, karena syeitan tidak dapat menyerupaiku” (HR Bukhari 6993, Muslim 2266)
jadi pengabaran beliau pada saat tidur (mimpi) sama seperti pengabaran beliau saat terjaga.
Tidak bisa kita berkata seperti perkataan diatas dikarenakan beberapa hal :
- Jika mimpi adalah salah satu bagian dari kenabian, maka mimpi tersebut bukan merupakan wahyu secara keseluruhan, melainkan hanya sebagiannya saja. Sedangkan satu bagian itu tidak bisa menduduki tempat secara keseluruhan dalam segala sisi, melainkan hanya mendudukinya pada bebrapa sisi saja. Mimpi bisa dipakai sebagai bentuk kabar gembira (bisyarah) san peringatan saja, tidak bisa menjangkau aspek hukum.
- Mimpi merupakan bagian dari kenabian diantara syaratnya adalah harus merupakan mimpi yang benar dari seorang yang shalih. Padahal terpenuhinya syarat syarat tersebut jelas membutuhkan penelitian, sehingga bisa jadi terpenuhi dan bisa pula tidak.
- Mimpi sendiri terbagi bagi. Ada mimpi yang merupakan mimpi biasa yang datangnya dari syeitan, ada yang merupakan khayalan , dan ada juga yang merupakan rekaman peristiwa sebelum tidur. Kapan kita bisa menentukan mimpi yang benar sehingga bisa diambil sebagai patokan hukum dan mana mimpi yang tidak benar untuk kita tinggalkan ?
Mimpi yang menggambarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengabarkan tentang suatu hukum pun perlu dilihat. Bila (didalam mimpi orang tersebut ) beliau mengabarkan tentang suatu hukum yang sesuai dengan syari’at, maka pada hakekatnya hukum yang dipegang adalah apa yang telah ada dalam syari’at tersebut. Dan jika Beliau mengabarkan sesuatu yang menyelisihi syar’at , maka itu mustahil !!
Karena setelah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam wafat, syari’at telah ditetapkan semasa hidupnya tak akan mansukh (diganti) dengan yang lainnya. Sebab agama islam ini, meskipun beliau telah wafat, ketetapan hukumnya tidak akan berubah dengan sebab mimpi seseorang karena hal ini suatu kebathilan menurut ijma’.
Jadi, barang siapa bermimpi mendapatkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengabarkan suatu hukum yang bertentangan dengan syari’at yang telah ada itu, maka tidak boleh diamalkan. Dan pada saat tersebut kita katakan : Mimpi orang tersebut tidak benar , karena kalau dia benar benar bermimpi melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tentu beliau tidak akan mengabarkan sesuatu yang menyelisihi syari’at.
Sekarang mari kita bicarakan makna sabda Rasululullah shalallahu ‘alaihi wassalam :
من رآني في المنام فقد رآني
“Barangsiapa melihatku di waktu tidur maka dia benar benar telah melihatku,”
Dalam hal ini ada dua penafsiran yaitu:
- Makna hadits tersebut adalah :“Barang siapa (bermimpi) melihatku sesuai bentuk dimana kau diciptakan maka ia telah melihatku, karena syeitan tidak bisa menyerupaiku”Karena beliau tidak mengatakan “Barang siapa yang berpendapat bahwa dia melihatku (dalam mimpi) maka dia telah melihatku” tetapi mengatakan “Barangsiapa melihatku (dalam mimpi) maka dia telah melihatku”Darimana orang yang berpendapat bahwa dirinya melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam itu memastikan kalau yang dia lihat dalam mimpinya itu betul betul wujud dari beliau ?, Jika dia tetap tetap bersikeras telah melihat beliau padahal dia tidak bisa memastikan kalau yang dilihatnya itu adalah betul betul wujud beliau, maka ini adalah suatu yang sulit untuk dipercaya.Kesimpulannya : Apa yang dilihat dalam mimpi seseorang bisa saja bukan Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam meskipun orang yang bermimpi meyakini bahwa itu adalah beliau shalallahu ‘alaihi wassalam
- Para ahli ta’bir mimpi berkata “ Sesungguhnya syetan bisa mendatangi seseorang yang sedang tidur dalam bentuk tertentu, seperti dalam bentuk orang yang dikenal oleh orang yang bermimpi tersebut atau yang lainnya lalu syeitan menunjukannya kepada orang lain seraya berkata “ Fulan, ini adalah nabi !” Cara seperti itulah yang ditempuh syeitan dalam menjalankan tipu dayanya terhadap orang orang yang bermimpi. Padahal sosok Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam mempunyai tanda tanda tertentu. Kemudian sosok yang ditunjukkan oleh syeitan tersebut menyampaikan perintah atau larangan yang tidak sesuai dengan syari’at kepada orang yang bermimpi. Orang yang bermimpi itu mengira kalau itu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam , padahal bukan , sehingga ucapan, perintah, atau larangan yang disampaiakn dalam mimpi itu tidak boleh kita percaya”
Jadi, jelaslah sudah permasalahan ini. Yaitu bahwa suatu hukum tidak bisa diambil dari mimpi mimpi sebelum dicocokan terlebih dahulu dengan dalil, karena gambaran yang ada dalam mimpi kemungkinan tercampur dengan kebathilan.
Hanya orang orang yang lemah hatinya sajalah yang berdalil dengan mimpi dalam masalah hukum hukum syari’at. Memang, bisa saja orang yang dilihat dalam mimpi itu datang dengan membawa pemberitahuan, kabar gembira, maupun peringatan secara khusus, akan tetapi para ahli ta’bir mimpi itu tidak menjadikannya sebagai suatu pedoman dalam menentukan hukum dan membangun suatu kaidah. Memang sikap yang benar dalam menyikapi apa yang terlihat dalam mimpi adalah dengan selalu berpatokan dengan syari’at yang ada. Wallahu a’lam.
Disadur dari Ringkasan Al I’tisham :
Membedah seluk beluk bid’ah, Imam Asy Syathibi rahimahullah oleh Syeikh Alawi bin Abdul Qadir As Saqqaf, penerbit Media Hidayah Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar