Catatan
Ringan : Bolehkah Menolak Kesaksian Hilal ?
Dikarenakan
artikel itu tertuju pada Depag, maka saya tidak berhak mewakili Depag untuk
menjawab pertanyaan dalam judul artikel yang disampaikan. Akan tetapi, saya
mengajak rekan-rekan untuk sedikit mengkajinya melalui pendekatan fiqh.
Belum
lama ini saya membaca tulisan seorang penulis tentang permasalahan hilal Syawal
1432 H yang lalu di : http://abisyakir.wordpress.com/2011/08/.
Saya ‘tertarik’ karena – Pertama - judulnya yang cukup ‘provokatif’ : Wahai Departemen Agama RI: Mengapa Anda Menolak Kesaksian Seseorang yang Sudah Melihat Hilal?. Apalagi diikuti himbauan agar kaum muslimin membatalkan puasanya lebih awal dari ketetapan Depag.[1] Kedua, sebagian bahasannya menampilkan analisis fiqh.
Saya ‘tertarik’ karena – Pertama - judulnya yang cukup ‘provokatif’ : Wahai Departemen Agama RI: Mengapa Anda Menolak Kesaksian Seseorang yang Sudah Melihat Hilal?. Apalagi diikuti himbauan agar kaum muslimin membatalkan puasanya lebih awal dari ketetapan Depag.[1] Kedua, sebagian bahasannya menampilkan analisis fiqh.
Oleh
karenanya, saya mengajukan pertanyaan awal : “Bolehkah Pemerintah menolak
kesaksian hilal sebagian kaum muslimin ?”.
Let’s
we go......
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَانْسُكُوا
لَهَا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ، فَإِنْ شَهِدَ
شَاهِدَانِ، فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah
karena melihatnya (hilaal) dan berbukalah karena melihatnya (hilaal).
Sembelihlah kurban karena melihatnya (hilaal) juga. Apabila hilaal tertutup atas
kalian, maka sempurnakanlah bulan menjadi tigapuluh hari. Apabila dua orang
saksi telah menyaksikannya, maka berpuasalah dan berbukalah” [Diriwayatkan
oleh An-Nasaa’iy no. 2116; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan
An-Nasaa’iy, 2/95 dan Irwaaul-Ghaliil no.
909].
أَنَّ أَمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ، ثُمّ قَالَ: عَهِدَ إِلَيْنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ،
فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ، نَسَكْنَا
بِشَهَادَتِهِمَا
“Bahwasannya
amir kota Makkah pernah berkhutbah, lalu berkata : ‘Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah
berpesan kepada kami agar kami (mulai) menyembelih berdasarkan ru’yah. Jika kami
tidak melihatnya, namun dua orang saksi ‘adil menyaksikan (hilal telah
tampak), maka kami mulai menyembelih berdasarkan persaksian mereka berdua….”
[Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2338; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam
Shahih Sunan Abi Daawud 2/54].
أَنَّ عُثْمَانَ أَبى أَنْ يُجِيزَ شَهَادَةَ هَاشِمِ بْنِ
عُتْبَةَ الأَعْوَرِ وَحْدَهُ عَلَى رُؤْيَةِ شَهْرِ رَمَضَانَ "
“Bahwasannya
‘Utsmaan (bin ‘Affaan) menolak diberlakukannya persaksian ru’yah bulan
Ramadlaan Haasyim bin ‘Utbah Al-A’war seorang diri” [Diriwayatkan oleh
Ath-Thabariy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 1137; para perawinya
tsiqaat, hanya saja ada keterputusan ‘Amru bin Diinaar dengan ‘Utsmaan
bin ‘Affaan].
Sebagian
ulama menjadikan riwayat-riwayat di atas sebagai dalil persyaratan adanya dua
orang saksi yang ‘adil untuk menerima persaksian hilaal.[2] Ulama
Ahnaaf mempersyaratkan bahwa jika langit dalam keadaan cerah/tidak
berawan, maka orang yang menyaksikannya (hilaal) haruslah dalam jumlah
yang banyak.[3].
Persyaratan
keadilan saksi adalah untuk memastikan ia tidak sengaja berdusta dalam
persaksiannya. Adapun persyaratan jumlah, pada hakekatnya untuk memastikan
keakuratan penglihatan hilaal – bahwa yang disaksikannya itu benar-benar
hilaal, bukan benda angkasa yang lain. Saksi yang ‘adil tidak
menutup kemungkinan salah dalam persaksiannya. Hilaal di awal
bulan bukanlah seperti purnama yang semua orang dapat melihatnya dengan
jelas. Memang benar, asal persaksian seorang yang ‘adil adalah diterima
dan tidak ditolak, kecuali jika ada indikasi-indikasi kuat yang
menunjukkan persaksian tersebut keliru.
Perhatikan
riwayat[4] berikut
:
وَبِهَذَا الإِسْنَادِ إِلَى مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ
عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، عَنْ أُسَامَةَ
بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ " هَكَذَا رَوَاهُ
مَالِكٌ، عَنْ عُمَرَ بْنِ عُثْمَانَ، بِضَمِّ الْعَيْنِ، وَخَالَفَهُ النَّاسُ فِي
ذَلِكَ، وَقَالُوا: إِنَّمَا رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ، قَالَ
مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ: كُلُّ مَنْ رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ مِنْ أَصْحَابِ
الزُّهْرِيِّ، قَالَ فِيهِ: عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ، وَحَكَمَ مُسْلِمٌ عَلَى
مَالِكٍ بِالْوَهْمِ فِيهِ، وَذَكَرَ أَنَّ مَالِكًا كَانَ يُشِيرُ بِيَدِهِ إِلَى
دَارِ عُمَرَ، كَأَنَّهُ عَلِمَ أَنَّهُمْ يُخَالِفُونَهُ
“Dan
dengan sanad ini sampai pada Maalik, dari Ibnu Syihaab, dari ‘Aliy bin
Al-Husain, dari ‘Umar bin ‘Utsmaan bin ‘Affaan, dari Usaamah bin Zaid
radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam pernah bersabda : “Orang muslim tidaklah mewarisi orang
kafir”. Begitulah yang diriwayatkan Maalik dari ‘Umar bin ‘Utsmaan –
dengan harakat dlammah pada huruf ‘ain - ; dan para perawi lain
telah menyelisihinya dalam hal itu. Mereka berkata : ‘Yang meriwayatkan hadits
ini adalah ‘Amru bin ‘Utsmaan’. Muslim bin Al-Hajjaaj berkata : ‘Semua
orang dari kalangan shahabat Az-Zuhriy yang meriwayatkan hadits ini berkata :
‘Amru bin ‘Utsmaan’. Muslim menghukumi Maalik telah keliru dalam
periwayatan ini. Dan ia menyebutkan bahwa Maalik berisyarat dengan tangannya ke
rumah ‘Umar, seakan-akan Maalik mengetahui orang-orang telah menyelisihinya
(dalam periwayatan hadits tersebut)” [Masyaikah Ibni Jamaa’ah,
1/181-182].
Maalik
bin Anas adalah imam yang sangat terpercaya tanpa diragukan lagi. Namun
periwayatannya tersebut (dengan menyebut ‘Umar bin ‘Utsmaan) dikelirukan oleh
Muslim bin Al-Hajjaaj, karena telah menyelisihi para perawi tsiqaat
lainnya dalam periwayatan dari Az-Zuhriy rahimahumullah (yang menyebut
‘Amru bin ‘Utsmaan).[5]
Kedudukan seperti Maalik tidak menghalangi untuk menolak riwayatnya jika
terdapat indikasi-indikasi kuat yang menunjukkan kelirunya
khabar/riwayat.
Yang
lain :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ
مُحْرِمٌ
Dari
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam menikahi Maimuunah dalam keadaan ihram
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1837 & 4259 & 5114, Muslim no. 1410,
At-Tirmidziy no. 842-844, Abu Daawud no. 1844, dan yang
lainnya].
Perkataan
Ibnu ‘Abbaas ini diselisihi oleh Maimuunah sendiri sebagaimana hadits
:
عَنْ مَيْمُونَةَ، قَالَتْ: " تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ حَلَالَانِ بِسَرِفَ "
Dari
Maimuunah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menikahiku, dan kami dalam keadaan halal (selesai ihraam) di Sarif”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1411, Abu Daawud no. 1843, At-Tirmidziy no. 845,
Ahmad 6/332 & 333 & 335, Ad-Daarimiy no. 1831, dan yang lainnya; ini
adalah lafadh Abu Daawud].
Perkataan
Maimuunah ini lebih diunggulkan daripada Ibnu ‘Abbaas, karena ia berkedudukan
sebagai pelaku. Apalagi perkataan Maimuunah ini sesuai dengan ketentuan umum
sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
الْمُحْرِمُ لَا يَنْكِح، ولَا يَخْطُبُ
“Orang
yang berihram tidak boleh menikah dan meminang/melamar” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 1409].
Menyikapi
perbedaan riwayat di atas, Sa’iid bin Al-Musayyib rahimahullah berkata
:
وَهِمَ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي تَزْوِيجِ مَيْمُونَةَ وَهُوَ
مُحْرِمٌ
“Ibnu
‘Abbaas telah keliru dalam riwayat pernikahan Maimuunah dalam keadaan
ihraam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1845, Al-Baihaqiy 7/212,
Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 1/125, Adz-Dzahabiy dalam
Mu’jamusy-Syuyuukh Al-Kabiir 1/180, dan yang
lainnya].
Kedudukan
tinggi yang dimiliki Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa bukan menjadi
penghalang untuk menolak riwayatnya, karena terdapat indikasi kuat bahwa ia
telah keliru dalam periwayatan.
Yang
lain :
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مُغِيرَةَ، عَنْ
الشَّعْبِيِّ، قَالَ: قَالَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ قَيْسٍ: طَلَّقَنِي زَوْجِي
ثَلَاثًا، عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا سُكْنَى لَكِ، وَلَا
نَفَقَةَ ". قَالَ مُغِيرَةُ: فَذَكَرْتُهُ لِإِبْرَاهِيمَ، فَقَالَ: قَالَ عُمَرُ:
لَا نَدَعُ كِتَابَ اللَّهِ، وَسُنَّةَ نَبِيِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِقَوْلِ امْرَأَةٍ لَا نَدْرِي أَحَفِظَتْ أَمْ نَسِيَتْ، وَكَانَ عُمَرُ يَجْعَلُ
لَهَا السُّكْنَى، وَالنَّفَقَةَ.
Telah
menceritakan kepada kami Hanaad : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari
Mughiirah, dari Asy-Sya’biy, ia berkata : Telah berkata Faathimah bintu Qais :
“Suamiku menjatuhkan thalaq tiga kepadaku di jaman Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: ‘Tidak ada tempat tinggal dan pemberian nafkah lagi untukmu”.
Al-Mughiirah berkata : Lalu aku menyebutkan hadits itu kepada Ibraahiim, lalu ia
berkata : ‘Umar berkata : “Kami tidak akan meninggalkan Kitabullah dan sunnah
Nabi kita shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya karena perkataan seorang
wanita yang kita tidak tahu apakah ia menghapalnya ataukah lupa”. ‘Umar tetap
memutuskan bagi orang yang dithalaq tiga mendapatkan tempat tinggal dan nafkah
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1180; shahih].
Dalam
hadits di atas dapat diketahui bahwa Khalifah ‘Umar radliyallaahu ‘anhu
menolak kesaksian Faathimah bintu Qais karena ia ragu akan kebenaran berita yang
disampaikan Faathimah.[6] Meskipun
ijtihad ‘Umar keliru, namun riwayat ini menunjukkan bahwa imam berhak
menolak kesaksian seseorang yang ia ragukan
validitasnya.
Dari
sini sudah mulai kelihatan arah jawaban dari pertanyaan : “Bolehkah
Pemerintah menolak kesaksian hilal sebagian kaum muslimin ?”, yaitu....... :
boleh, jika ada qarinah kuat yang dianggap menunjukkan
kesaksian hilaal itu keliru.
Qarinah
di
sini ada beberapa macam, misalnya : Pemerintah meragukan kompetensi si pengamat
(walau mungkin orang lain menganggapnya kompeten), tempat pengamatan yang kurang
layak (faktor geografis, atau yang lainnya), peralatan yang tidak memadai, dan
lain-lain – bersamaan dengan kebanyakan pengamat di tempat yang berbeda
menafikkan kemunculan hilaal. Bahkan, sebagian ulama mengatakan
hisab falakiy dapat menjadi qarinah pendukung untuk menolak
kesaksian ru’yatul-hilaal, jika seandainya menurut perhitungan ketinggian
bulan pada hari itu tidak memungkinkan untuk dilihat.[7]
Para
ulama madzhab dulu dan sekarang telah menuliskan beberapa hukum terkait
penolakan persaksian hilaal oleh imam (baik penolakannya itu dengan
alasan yang benar atau tidak benar). Ini adalah fakta yang menunjukkan imam
memang berhak menolak persaksian. Apalagi imam mempunyai wewenang memutuskan
perkara untuk mengangkat khilaf yang terjadi pada kaum
muslimin.
So,....
kembali ke judul provokatif : Wahai
Departemen Agama RI: Mengapa Anda Menolak Kesaksian Seseorang yang Sudah
Melihat Hilal?.
Jika kita kembalikan pada jawaban fiqh, penolakan itu kemungkinan
didasari oleh indikasi-indikasi kuat - yang menurut Pemerintah – bahwa hilaal
Cakung dan Jepara keliru.[8] Kita
tidak perlu mengambalikan jawaban pada hipotesis-hipotesis negatif yang justru
memperkeruh keadaan.[9].
Wallaahu
a’lam.
Semoga
ada manfaatnya, terutama jika ada permasalahan ru’yat hilaal di
bulan-bulan ke depan.
[abul-jauzaa’
– wonokarto, wonogiri, 1432 H - revisi tanggal 19 Januari
2012].
___________
[1]
Depag menetapkan 1 Syawal 1432 H jatuh tanggal 31 Agustus
2011.
[2]
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai persyaratan jumlah saksi,
yang masing-masing membawakan dalil yang menguatkan pendapatnya
:
a. Maalikiyyah
berpendapat : tidak diterima persaksian kecuali persaksian dua orang laki-laki
yang ‘adil untuk seluruh hilaal bulan.
b. Abu
Tsaur, Ibnul-Mundzir, Ibnu Hazm, dan dikuatkan oleh Ibnu Rusyd berpendapat :
diterima persaksian seorang yang ‘adil untuk seluruh hilaal
bulan.
c. Syaafi’iyyah
dan Hanaabilah berpendapat : tidak diterima persaksian kecuali dari dua orang
yang ‘adil; kecuali hilaal bulan Ramadlaan, maka mencukupi
persaksian satu orang yang ‘adil.
d. Hanaafiyyah
berpendapat : jika langit cerah, maka hilaal harus disaksikan oleh
sejumlah besar manusia. Adapun jika langit mendung, maka persaksian dua orang
‘adil mencukupi.
Saya
tidak akan membahasnya lebih lanjut tentang pentarjihannya, karena bukan ini
fokus pembicaraan artikel ini.
[3]
Alasannya : Jika memang langit cerah, maka tidak mungkin hilaal
hanya terlihat oleh satu orang atau dua orang saja. Beda halnya jika langit
tidak cerah, maka sangat mungkin hilaal hanya terlihat oleh satu atau dua
orang saja.
[4]
Beberapa ulama menjelaskan bahwa riwayat dan persaksian itu termasuk bagian
dari khabar. Ada persamaan dan perbedaannya. Akan tetapi di sini, saya
menekankan bahwa khabar (baik riwayat maupun persaksian) dapat ditolak jika ada
indikasi kuat untuk menolak khabar.
[5]
Di antaranya : Ibnu Juraij, Muhammad bin Abi Hafsh, Ma’mar bin Raasyid,
Sufyaan bin ‘Uyainah, Husyaim bin Basyiir, Yuunus bin Yaziid Al-Ailiy, ‘Uqail
bin Khaalid Al-Ailiy, Al-Auza’iy, Yaziid bin Al-Haad Al-Laitsiy, Zam’ah bin
Khaalid Al-Yamaaniy,’Abdullah bin Budail, dan
lain-lain.
[6]
Walau dalam hal ini, hadits Faathimah adalah benar lagi shahih (dan ‘Umar
telah keliru), sehingga wanita yang telah dithalaq tiga tidak lagi berhak
mendapatkan tempat tinggal dan nafkah dari mantan
suaminya.
[7]
Di sini saya tidak mengatakan bahwa puasa atau berbuka ditentukan
melalui hisaab. Hanya saja maksudnya adalah : Jika menurut hisaab
falakiy hilaal memungkinkan untuk dilihat di suatu malam, jika ada
orang yang mengaku melihat hilaal, maka kesaksiannya itu diterima dan
dimulailah ibadah puasa atau berbuka (‘Ied). Jika tidak terlihat, maka
bulan digenapkan tigapuluh hari. Kebalikannya, jika menurut hisaab falakiy
yang shahih hilaal tidak memungkinkan untuk dilihat dan kemudian ada
seseorang yang mengaku telah melihat, maka kesaksiannya itu ditolak.
Hisaab
digunakan
untuk menafikkan, bukan untuk menetapkan;
karena penetapan waktu ibadah berdasarkan ruyatul-hilaal sebagaimana
telah diketahui bersama.
Di
antara ulama yang berpendapat demikian adalah Al-Imaam As-Subkiy, Asy-Syaikh
Al-Maraghiy (ulama Al-Azhar), Asy-Syaikh ‘Aliy Ath-Thanthawiy (ulama Mesir),
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Sulaimaan bin Manii’, dan
Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Ubaikaan.
Ibnu
Hajar Al-Haitamiy (Tuhfatul-Muhtaaj, 3/383) berpendapat bahwa ru’yah
dapat ditolak berdasarkan hisaab jika hisaab tersebut
disepakati oleh ahli hisaab secara
mutawaatir.
Pendapat
ini sangat kuat.
Penelitian
modern telah membuktikan bahwa tingkat akurasi perhitungan astronomi sudah
mencapai orde detik. Oleh karena itu, perkiraan para astronom untuk waktu
terjadinya gerhana matahari dan bulan jarang yang
meleset.
[8]
Sebagai suplemen :
[9] Misalnya : http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/di-balik-permainan-dalam-penentuan-idul-fitri.htm


03.01
Baru Belajar Sabar

0 komentar:
Posting Komentar